Anomali harga beras yang membentang antara stok melimpah dan kenaikan terus-menerus merupakan konsekuensi logis dari mekanisme pasar bebas. Kapitalisasi pangan ini tak hanya merugikan konsumen, tetapi juga memperparah kemiskinan. Model ekonomi kerakyatan yang berbasis pada partisipasi masyarakat dapat menjadi alternatif untuk menciptakan sistem yang setara dan berkeadilan.
Aroma pecel memenuhi udara pagi. Bau kacang sangrai dan rempah-rempah yang khas memenuhi ruangan. Di dapur sederhana, Sulastri sibuk menyiapkan pesanan pecel untuk pelanggan.
Setelah bumbu pecel siap, ia menambahkan beberapa sayuran seperti bayam, taoge, nangka muda rebus dan timun. Terakhir, pecel diberi potongan lontong, lalu diaduk dengan kuah kacang.
Sepintas, tidak ada perbedaan pecel yang dijual Sulastri. Komposisinya masih sama ketika pertama kali berjualan, lima tahun silam.
Namun, bila diperhatikan lebih detail, perbedaan besar terjadi pada ukuran lontong. Beberapa bulan terakhir, lontong yang dijual Sulastri menyusut lebih dari setengah. Sebelumnya, diameter lontong sekitar 5-6 sentimeter, kini tiga sentimeter. Ia terpaksa melakukan itu untuk menyiasati harga beras yang terus naik.
Sejak awal tahun ini, harga beras merangkak ke atas. Beras jenis medium mencapai Rp14 ribu per kg. Sedangkan beras premium tembus Rp16 ribu per kg. Bahkan, di beberapa lokasi, ada yang menjual beras premium Rp17 ribu per kg. Tahun lalu, harga beras medium hanya Rp12.800, sementara beras premium Rp14 ribu per kg.
Sebagai pedagang kecil, Sulastri tidak mungkin menaikkan harga pecel. Ia khawatir pelanggan akan kabur jika harga pecel terbilang mahal. Itu sebabnya, Sulastri memilih mengurangi ukuran lontong. Satu porsi pecel lengkap dengan lontong cuma Rp7.000. Keuntungan Sulastri sangat tipis, hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari.
“Dagang di desa tidak bisa menetapkan harga tinggi. Sebab, kebanyakan warga adalah buruh tani dengan penghasilan kecil,” kata Sulastri di kedainya, Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Jumat, 25 Juli 2025.
Ibu rumah tangga itu merasa kenaikan harga beras semakin menghimpit ekonominya. Sebab, kenaikan dibarengi pelonjakan komoditas lainnya, seperti cabai, tomat, bawang, minyak, dan gula. Ia berharap harga bahan pokok kembali stabil, sehingga lebih mudah memenuhi kebutuhan dapur dan biaya pendidikan anaknya.
***
Di tengah bising kendaraan di Jalan Imam Bonjol, Tanjungkarang Barat, Bandar Lampung, Sidik (45) termangu menunggu pembeli. Sudah tiga jam berlalu sejak buka pukul lima sore. Namun, belum ada orang membeli nasi goreng.
Akhir-akhir ini, dagangannya kian sepi. Satu tahun belakangan, penjualan Sidik terus merosot. Biasanya, ia bisa menjual hingga 70 porsi per hari. Kini, susut menjadi 30 porsi.
Sidik merasa khawatir dengan keadaan ini. Ia menduga bahwa ekonomi masyarakat sedang lesu, sebagaimana laporan media massa. Harga bahan pokok naik, sementara pengangguran di mana-mana. Belum lagi maraknya pemutusan hubungan kerja. Sehingga, banyak yang memilih irit belanja, menyimpan uang agar cukup bertahan hidup hingga bulan berikutnya.
Bagi Sidik, kenaikan harga beras seperti bencana. Sebab, produknya yang berbahan dasar nasi sangat bergantung pada harga beras. Semakin tinggi harga beras, semakin kecil pula keuntungan. Ditambah lagi, harga bahan pokok lainnya juga naik, sehingga modal tambah besar, sedangkan margin pendapatan makin kecil.
Untuk dagangan, Sidik menggunakan beras medium yang saat ini dibanderol Rp14.500 per kg. Beberapa tahun lalu, harganya masih Rp11.500 per kg. Bagi pedagang kecil seperti dirinya, sekecil apapun selisih harga sangat berarti. Sama seperti Sulastri, Sidik juga enggan menaikkan harga nasi goreng.
“Belum dinaikkan saja sudah sepi pembeli, apalagi kalau mahal,” ujarnya.
Sidik berharap, kondisi ini cepat berlalu. Pendapatannya sebelum beras naik saja sudah pas-pasan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ia khawatir akan masa depan anaknya yang masih menempuh sekolah menengah pertama. Bila terus begini, tidak akan cukup menafkahi keluarga dan menjamin biaya pendidikan sang anak. Apalagi, Sidik dan keluarganya masih tinggal di kontrakan yang harus bayar setiap bulan.
Menurutnya, pemerintah tidak bisa terus membiarkan situasi ini berlarut. Sebab, setiap elemen masyarakat pasti merasakan hal yang sama karena beras adalah makanan pokok. Jangan sampai banyak orang kehilangan sumber mata pencaharian lantaran tidak ada langkah tegas menekan harga beras.
***
Siang itu, Agus Sulistiyo (47) mencangkul lahan kering. Ia mengolah tanah untuk persiapan menanam terong di sebelah tanaman padi. Sebagai petani padi di Desa Gadingrejo, Agus sehari-hari menggarap lahan seluas setengah hektare milik orang lain. Hasil panen dibagi dua dengan empunya lahan.
Namun, jerih payahnya masih belum cukup menopang biaya hidup. Guna menaikkan pemasukan, Agus terpaksa menyewa lahan tambahan. Ia memilih menanam terong karena pengelolaan mudah dan panennya lebih cepat ketimbang padi.
Selain itu, terong tidak membutuhkan air sebanyak padi. Sehingga, sangat memungkinkan dijalankan pada musim kemarau saat ini. Dengan demikian, sembari menunggu panen padi, kebutuhan rumah tangganya bisa sedikit terpenuhi dari hasil memanen terong.
Inisiatif menanam palawija menjadi keniscayaan bagi Agus. Kondisi itu karena kenaikan harga beras tak serta-merta mengangkat perekonomian petani. Kendati harga beras melambung, nilai gabah di tingkat petani hanya setengahnya, yakni sekitar Rp6.500-Rp7.200 per kg.
Dari setengah hektare lahan yang ditanami padi, Agus hanya memanen gabah sekitar dua ton, yang setelah dikeringkan menjadi 1,6 ton. Ia akan kebagian delapan kuintal gabah kering siap jual. Artinya, dengan masa tanam 3-4 bulan, Agus hanya mengantongi Rp5,2 juta. Setelah dipotong biaya produksi yang mencapai Rp1,5 juta, maka rerata hasil keringat Agus cuma Rp925 ribu per bulan.
“Terkadang, cukup untuk makan saja,” kata Agus.
Kondisi lebih buruk dijalani Rudiyanto (45). Tidak seperti Agus, Rudiyanto tak punya modal untuk menyewa lahan tambahan. Ia hanya mengandalkan setengah hektare lahan padi yang belum cukup memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Keadaan semakin pelik kala paceklik. Dalam setahun, Rudiyanto hanya bisa menanam dua kali. Setelahnya, ia harus hiatus karena musim kemarau. Untuk menutupi kekurangan, Rudiyanto bekerja serabutan atau menjadi kuli bangunan.
Dalam situasi itu, tak jarang Rudiyanto, termasuk petani lainnya, terlilit utang. Tengkulak memberi pinjaman, tetapi dengan konsekuensi petani harus menjual hasil panen dengan harga murah.
Rudiyanto merasa kondisi demikian tidak adil. Petani yang menanam, merawat, hingga menghasilkan padi tak punya kontrol menentukan hasil keringat. Tengkulak, pengepul besar, atau korporasi yang memiliki kuasa atas harga. Akibatnya, petani terjebak dalam jurang kemiskinan karena penghasilan tidak cukup memenuhi kebutuhan dasar.
Rudiyanto berharap, pemerintah sebagai regulator kebijakan memberi perhatian serius. Ia tidak meminta banyak, hanya ingin partisipasi petani dalam penentuan harga hasil panen. Dengan demikian, tercipta keselarasan, stabilitas, dan keadilan harga.
“Miris rasanya, petani produksi padi, lalu jual gabah dengan harga murah, tapi beli beras dengan harga mahal,” ujarnya.
Karena itu, Rudiyanto mendesak pemerintah merumuskan kebijakan yang membuat sistem jual beli padi lebih adil. Petani sebagai produsen seharusnya dilibatkan secara bermakna, sehingga bisa merasakan kesejahteraan dari hasil jerih payah mereka. Ia mewanti-wanti agar pejabat dan politisi tak hanya memanfaatkan petani saat tahun politik, tapi menghilang ketika petani kesulitan.
***
Anomali Pasar
Dalam enam bulan terakhir, harga beras di wilayah Pringsewu, Bandar Lampung, Lampung Selatan, Lampung Utara, dan Pesawaran mengalami kenaikan signifikan. Di Pasar Way Halim, harga beras medium tembus Rp15.300 per kg.
Wendi Amri, seorang penjual beras yang telah berpengalaman, tampak khawatir ketika membicarakan kenaikan harga beras yang terus-menerus. Kenaikan itu tidak hanya memberatkan konsumen, tapi juga pedagang. Pengecer seperti Wendi hanya mengambil keuntungan dengan selisih Rp1.000-Rp2.000, yang menekannya harus bekerja lebih keras agar memperoleh penghasilan layak.
“Untungnya enggak besar, apalagi dipotong biaya angkut,” kata Wendi.
Suhayati, pemilik toko sembako di perbatasan Bandar Lampung-Pesawaran, merasakan hal sama. Pendapatannya terus minus lantaran penjualan menurun drastis. Ia hanya berani menyetok sedikit beras karena harga distributor mahal dan belum tentu laku.
Kenaikan harga beras ternyata merata di kabupaten/kota di Lampung. Data Badan Pangan Nasional per 28 Juli 2025, harga beras medium di Lampung sekitar Rp13 ribu-Rp14 ribu per kg, sementara beras premium Rp14.500-Rp16.000 per kg.
Dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 5 Tahun 2024 tentang Harga Eceran Tertinggi Beras (HET), penetapan HET beras medium dan premium berdasarkan zonasi.
HET beras medium di zona I, II, dan III masing-masing Rp 12.500 per kg, Rp 13.100 per kg, dan Rp 13.500 per kg. Adapun HET beras premium di zona I, II, dan III dipatok Rp 14.900 per kg, Rp 15.400 per kg, dan Rp 15.800 per kg.
Zona I meliputi Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi. Zona II mencakup Sumatra selain Lampung dan Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan. Zona III, Maluku dan Papua.
Artinya, harga beras di Lampung dijual di atas HET dengan disparitas 7,38-12 persen. Selain Lampung, harga beras di 163 kabupaten/kota pun mengalami penaikan.
Hal ini membingungkan masyarakat. Sebab, kenaikan tersebut di tengah produksi dan stok beras yang melimpah. Bahkan, produksi beras nasional melonjak tajam sepanjang Januari-Juli 2025.
Data BPS, produksi beras nasional mencapai 21,76 juta ton selama Januari-Juli 2025, meningkat 2,83 juta ton atau 14,49 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini sejalan dengan peningkatan produksi gabah kering giling (GKG) yang meroket menjadi 37,77 juta ton.
Stok beras nasional pun mencapai lebih dari 4 juta ton, tertinggi dalam sejarah Indonesia. Bahkan, FAO memproyeksikan produksi beras Indonesia akan mencapai 35,6 juta ton pada musim tanam 2025/2026. Lampung, sebagai salah satu penghasil padi terbesar di Indonesia, mampu memproduksi padi sebanyak 2.791.347 ton pada 2024.
Sepanjang Januari-Juli 2025, Lampung telah memproduksi padi 1,8 juta ton. Jumlah itu diproyeksikan terus bertambah sesuai yang ditargetkan Pemprov Lampung, yaitu 3,5 juta ton pada akhir tahun ini.
Dengan jumlah produksi tersebut, Lampung mengalami surplus beras lebih dari 700 ribu ton. Ketersediaan beras Februari-Mei 2025 mencapai 1.051.067 ton, jauh melebihi kebutuhan masyarakat yang hanya 284.531 ton.
Baru-baru ini, Bulog Lampung melaporkan bahwa cadangan beras akan aman hingga akhir 2025. Ketersediaan bahan pokok itu mencapai 162.856 ton. Sejumlah daerah mengalami surplus beras, seperti Pringsewu, yang selama dua kali musim panen terakhir selalu kelebihan produksi.
Pada 2024, Pringsewu memanen padi dari luas lahan 26.589 hektare, dengan produksi gabah sekitar 153.487 ton atau setara 97.952 ton beras. Dengan kebutuhan beras masyarakat yang hanya 32.110 ton per tahun, Pringsewu pun mencatatkan surplus beras yang cukup besar, yaitu 65.842 ton.
Tahun ini, Pringsewu kembali surplus beras. Luas tanam padi dari awal musim tanam rendeng 2024/2025 sampai Maret mencapai 14.644 ha. Hingga akhir April, luas panen mencapai 13.720 ha, dengan produksi gabah kering giling sekitar 83.692 ton atau setara 53.410 ton beras.
Dengan kebutuhan konsumsi masyarakat sekitar 10.232 ton, Pringsewu kelebihan beras sebanyak 43.178 ton. Berdasarkan hukum ekonomi, semestinya harga beras menurun seiring tingginya produksi padi. Namun, kenyataannya justru sebaliknya – harga beras terus meroket dan tak terkendali.
Menurut Pemimpin Wilayah Perum Bulog Kanwil Lampung Nurman Susilo, Bulog hanya menguasai 8 -10 persen dari total produksi beras di pasaran. Selebihnya, 90 persen dikuasai pihak swasta. Dengan demikian, harga beras mengikuti mekanisme pasar yang dimainkan oleh para pemilik modal.
Meskipun pemerintah telah menetapkan HET, banyak pelaku usaha menjual beras di atas harga eceren tertinggi. Bulog hanya dapat mengambil tindakan administratif, seperti mencabut izin usaha. Padahal, perbuatan tersebut melanggar hak konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf i UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kebijakan penetapan HET bertujuan melindungi hak konsumen agar dapat menjangkau barang dengan harga wajar. Pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan harga yang tidak benar atau menyesatkan dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar.
UU Perlindungan Konsumen juga memungkinkan konsumen yang dirugikan menggugat pelaku usaha. Gugatan bisa secara individu, kelompok, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, pemerintah, atau instansi terkait.
Bulog Lampung akan mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi harga beras yang tinggi, termasuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), Bantuan Pangan (Bapang), dan operasi pasar. Target penyaluran beras SPHP adalah 49.660 ton pada Juli-Desember 2025, dengan realisasi saat ini sebesar 4.723 ton (9,51 persen).
Mitra yang mendapat saluran beras wajib menjual sesuai HET, yaitu Rp12.500 per kg. Namun, Bulog mengakui bahwa kebijakan ini hanya menahan harga beras, bukan menurunkan. Sebab, akses pasar pemerintah hanya 10 persen.
Nurman menyarankan Pemprov Lampung membangun pasar induk, seperti Cipinang, Jakarta Timur. Pertimbangannya, pemerintah hanya mengetahui jumlah produksi, tetapi tidak bisa melacak distribusi.
Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah berencana meluaskan jangkauan pasar hingga 50 persen, dengan menyerap lebih banyak gabah dari petani. Namun, hal ini memerlukan infrastruktur dan dana besar, seperti menyediakan penggilingan dan gudang beras.
“Bulog mungkin ditugaskan menyerap gabah dalam jumlah besar, tetapi perlu memperkuat sarana dan prasarana untuk mencapainya,” kata Nurman.
Kapitalisasi Pangan
Pengamat Ekonomi Awan Santosa menilai bahwa penyimpangan harga beras dari realitas produksi menunjukkan bahwa struktur pasar pangan tidak demokratis. Korporasi mendominasi pengelolaan pangan, terutama dalam distribusi dan alokasi komoditas beras. Sehingga, menciptakan ketimpangan peran antara hulu dan hilir.
Petani sebagai produsen tak memiliki kontrol atas hasil keringatnya. Begitu pula pedagang kecil, tidak memiliki akses terhadap stok barang. Sementara itu, peran negara hanya terbatas pada regulasi, bukan sebagai pengelola utama pangan.
Kondisi pasar yang dikuasai segelintir elite modal tersebut membentuk model kapitalisasi pangan. Peran pemerintah dan petani akan terus dieliminasi dalam jaringan rantai pasok distribusi beras. Dengan demikian, pemilik kapital bisa memengaruhi pasar, mengatur harga dan mekanisme ditribusi, yang bertujuan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
“Itulah mengapa, walaupun produksi padi meningkat, harga beras tetap mahal. Sebab, rantai pasoknya dikuasai pemilik modal,” ujarnya.
Pandangan Awan mengafirmasi keterangan Bulog Lampung bahwa pemerintah hanya bisa mengintervensi distribusi beras di bawah 10 persen. Ini berarti bahwa sebagian besar kontrol atas harga dan distribusi beras di tangan korporasi.
Kisah Rudiyanto dan Agus Sulistyo, dua petani yang tidak pernah punya kuasa dalam penentuan harga gabah, juga menjadi bukti tentang bagaimana kapitalisasi pangan telah menggerogoti kehidupan mereka. Pedagang-pedagang kecil pun merasakan dampak menyusutnya pendapatan akibat dominasi korporasi.
Dewan Pakar Indonesian Consortium of Cooperative Innovation (ICCI) itu melihat bahwa kapitalisasi pangan cenderung mendapat karpet merah dari negara. Banyak kebijakan yang menguatkan peran korporasi dalam lingkar pasok komoditas beras, seperti impor.
Pada 2024, Indonesia mengimpor sebanyak 4,52 juta ton beras. Jumlah tersebut naik signifikan dari 2023, yakni 3,06 juta ton. Thailand dan Vietnam menjadi negara pemasok beras impor terbesar.
Kendati pemerintah mengklaim stok beras aman tahun ini, impor tetap dilakukan. Sepanjang Januari-Februari 2025, total volume impor beras Indonesia sebesar 95,94 ribu ton.
Di samping itu, solusi yang ditawarkan pemerintah belum menyentuh akar masalah. Kebijakan pemerintah yang sebatas menentukan HET, bantuan pangan, operasi pasar, atau menjual beras dengan harga murah, ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Menurut Awan, fenomena ini bukan sekadar masalah harga, melainkan sebuah gejala dari kegagalan sistem ekonomi kapitalis. Karena itu, pemerintah harus berani mengoreksi struktur pasar dan tata niaga yang tidak demokratis. Sebagai alternatif, Awan menawarkan model ekonomi kerakyatan, di mana masyarakat menjadi penggerak utama ekonomi dan menikmati hasil jerih payah sendiri.
Pemerintah bisa menjadi katalisator yang mengorganisasi setiap pihak dalam rantai pasok, distribusi, dan nilai, ke dalam satu sistem yang setara dan berkeadilan. Model usaha yang mendekati tujuan tersebut adalah membangun koperasi multipihak, yang mengintegrasikan petani, pedagang, dan konsumen dalam satu kesatuan yang solid.
Dengan demikian, setiap elemen memiliki kekuasaan yang sama dalam menentukan kebijakan, mekanisme pasar, dan harga komoditas. Sistem pasar yang terbentuk akan lebih demokratis, menghilangkan ketergantungan terhadap pemilik modal, dan keluar dari belenggu sistem ekonomi kapitalisme.
Namun, Awan pesimistis dengan berbagai kebijakan pemerintah yang terlihat lebih memihak korporasi. Belum lagi terungkapnya kasus-kasus korupsi di bidang pangan yang menunjukkan relasi erat penguasa dan elite modal. Hal ini memunculkan indikasi bahwa sistem yang menyengsarakan rakyat dipelihara dan dilanggengkan oleh negara.
“Masyarakat harus bisa secara mandiri mengonsolidasikan kekuatan kolektifnya untuk mencapai demokratisasi ekonomi, tanpa menunggu uluran tangan pemerintah,” ujarnya.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.