Pemerintah Kota Bandar Lampung membuang air lindi TPA Bakung ke sungai. Limbah cair yang mengandung zat beracun itu bermuara ke teluk Lampung. Ini adalah bentuk kejahatan lingkungan yang terstruktur.
Dini hari itu Naiyah (40) masih belum tidur. Ia merasa gelisah. Sebab, hujan deras sejak petang tak jua mereda. Biasanya, kalau hujan lebih dari tiga jam sudah pasti banjir. Naiyah tinggal di Desa Umbul Kunci, Kelurahan Keteguhan, Kecamatan Telukbetung Timur, Kota Bandar Lampung.
Dari dalam rumah, ia mendengar gemuruh air. Naiyah pun memutuskan membuka pintu. Dalam sekejap, seluruh rumah dipenuhi air berwarna hitam. Bau busuk menguar. Naiyah panik. Ia segera membangunkan anggota keluarga karena air sudah setinggi lutut. Di dalam rumah ada kedua anak Naiyah beserta seorang adik laki-laki. Sementara, sang suami sedang bekerja.
Mereka mengungsi ke masjid, sekitar 50 meter dari rumahnya. Seraya menyelamatkan diri, Naiyah bersama adiknya berteriak agar warga setempat segera berevakuasi. Menunggu banjir surut, Naiyah dan beberapa warga akhirnya bermalam di masjid.
Banjir tersebut berdampak buruk bagi Naiyah. Beberapa bagian rumahnya rusak. Dinding pembatas depan rumahnya jebol. Perabotan terendam air. Sumber air Naiyah juga tercemar banjir.
Tadinya, keluarga Naiyah menggunakan sumur bor. Kini, mereka beralih ke perusahaan air minum (PAM). Sejumlah warga yang menggunakan sumur juga terpaksa pakai PAM. Kendati demikian, ada beberapa warga yang masih bertahan. Sebab, mereka khawatir tak sanggup membayar biaya PAM.
“Berat kalau berlangganan PAM. Bisa Rp100 ribu-Rp200 ribu per bulan. Tapi, mau bagaimana lagi, airnya sudah tidak bisa digunakan,” kata Naiyah, Jumat, 3 Januari 2025.
Air keruh berbau tak sedap yang terbawa banjir itu adalah lindi dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung, Telukbetung Barat. Lindi merupakan limbah cair hasil penguraian dari sampah. Karakteristik utamanya berwarna gelap dengan aroma busuk atau asam yang kuat.
Anak Naiyah dan beberapa warga yang terdampak banjir air lindi itu mengalami gatal-gatal. Bagian kaki mereka korengan.
“Tak cuma gatal-gatal, kedua anak saya juga kena demam berdarah karena banjir itu,” ujar Naiyah.
Rumah Naiyah sekitar seratus meter di bawah bukit TPA Bakung. Lokasi itu menampung seluruh sampah dari penjuru Kota Bandar Lampung. Kebanyakan adalah sampah domestik seperti plastik, kertas, sisa makanan, dan barang elektronik bekas yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pasar, perkantoran, dan restoran.
Tak jauh dari rumah Naiyah, terdapat lahan warga dengan luas sekitar satu hektare berubah menjadi danau lindi. Tanah itu salah satunya milik Yuswi (40). Lahan Yuswi tadinya berbentuk ngarai yang ditanami duku, durian, dan manggis. Sekitar 30 meter dari tanah tersebut, terdapat gunungan sampah dari TPA Bakung. Selama dasawarsa terakhir, air lindi dari sampah TPA Bakung terus mengisi lahan Yuswi. Kini, seluruh tanaman milik Yuswi sudah terendam air berwarna hitam pekat.
“Kemungkinan itu (danau) dalamnya sekitar 15 meter, mengikuti tinggi pohon,” kata Yuswi.
Pemerintah setempat bukan tak tahu masalah itu. Mereka sempat memasang tanggul pasir di sekitar danau karena debit air sudah rata dengan bukit. Sementara, di bawah bukit adalah perkampungan warga, yang salah satunya rumah Naiyah.
Pada Maret 2024, tanggul itu jebol. Lindi mengalir bak air terjun ke rumah-rumah warga, badan jalan, dan selokan. Air lindi juga mencemari sumur penduduk. Itulah mengapa sejumlah warga di Desa Umbul Kunci beralih menggunakan PAM karena air sumur tak laik pakai.
Peristiwa semacam itu bukan yang pertama. Pada Agustus 2023, sebelum dipasang tanggul, lindi memang sering tumpah ke perumahan warga. Apalagi, bila turun hujan dalam waktu relatif lama.
Sekarang, tanah Yuswi tak bisa lagi digunakan. Hanya ada air hitam seluas mata memandang. Yuswi sempat protes kepada pemerintah kota melalui UPTD TPA Bakung. Namun, hingga kini, belum ada kejelasan ganti rugi atas pencemaran di tanahnya.
“Saya berharap, pemerintah kota segera menuntaskan ganti rugi,” ucap Yuswi.
Limbah Dibuang ke Sungai
Danau lindi yang terbentuk di atas tanah Yuswi adalah limbah sampah tidak diolah. Seharusnya, lindi melewati beberapa tahapan pengolahan karena mengandung pelbagai macam bahan berbahaya dan beracun.
Alih-alih mengelola limbah, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung justru membangun gorong-gorong yang mengalirkan lindi ke Kali Keteguhan. Tatkala kapasitas danau penuh, selain tumpah ke rumah warga, lindi yang tak diolah itu mengaliri sungai-sungai yang bermuara ke teluk Lampung.
Sebelumnya, gorong-gorong tersebut adalah jalur air Sungai Keteguhan dari gunung di sekitar TPA Bakung. Namun, jalur itu dibendung oleh pemerintah dan dialirkan ke Kali Umbul Kunci yang berada di sebelahnya. Kini, Sungai Keteguhan tak lagi mendapat suplai dari air gunung, melainkan khusus membuang air lindi TPA Bakung.
Selain danau lindi alami, TPA Bakung yang memiliki luas lebih dari 18 kali lapangan sepak bola itu hanya memiliki satu lokasi yang dijadikan instalasi pengolahan lindi. Panjangnya kira-kira 50 meter dan lebar 25 meter. Tempat itu terdiri dari 18 kolam kecil yang menampung lindi dari timbunan sampah.
Pengamatan di lapangan, air di kolam-kolam itu tampak berwarna hitam pekat. Baunya pesing seperti urine manusia. Di ujung kolam terakhir, terdapat beberapa pipa sebagai jalan keluar lindi. Saat pertama kali keluar dari pipa, lindi itu masih berwarna hitam pekat dan berbau busuk. Kemudian, di sekitar jatuhnya air, terdapat busa yang cukup banyak. Lindi dengan karakteristik tidak diolah itu juga dibuang ke Sungai Keteguhan, tempat yang sama dengan gorong-gorong yang digunakan pemerintah mengalirkan lindi dari danau.
Air hitam pekat tersebut mengalir melewati ratusan rumah warga di Kecamatan Telukbetung Timur dan berakhir di pesisir Bandar Lampung. Pada bagian muara sungai dekat laut, air tersebut masih tetap berwarna hitam. Sejumlah warga mengaku sudah bertahun-tahun menyaksikan air hitam yang melewati Sungai Keteguhan. Bahkan, beberapa warga bilang jarang melihat ikan hidup di kali tersebut.

Hasil uji Laboratorium Kesehatan Daerah Lampung, air lindi mengandung derajat keasaman atau pH dan total suspended solid (TSS) yang tinggi. Nilai pH air lindi 9,25, sementara TSS 205 mg/l. Kemudian, nilai amonia (NH3) sebesar 2,28 mg/l.
Dua dari tiga parameter yang diukur berada di atas ambang batas baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Ada dua peraturan yang dilanggar. Pertama, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 59 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Lindi Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah. Lalu, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
Baku mutu adalah batas kadar unsur pencemar yang diperbolehkan dalam air lindi yang akan dibuang ke sumber air. Kedua beleid itu mengatur pH lindi mesti berada di kisaran 6-9, sementara TSS hanya diperbolehkan 30-100 mg/l. Artinya, Pemerintah Kota Bandar Lampung membuang limbah sampah ke sungai dengan salah satu kadar pencemar 2-4 kali lipat di atas standar.
Ahli Kimia dan Kesehatan Lingkungan Institut Teknologi Sumatera (Itera) Tarmizi Taher mengatakan, kondisi fisik lindi berwarna hitam karena banyak senyawa organik hasil penguaraian dari sampah. Ihwal apa saja zat di dalam senyawa organik tersebut bergantung dari jenis sampah yang diurai.
“Bisa berbahaya jika jenis sampah yang diurai berasal dari logam berat atau zat beracun lainnya,” kata Tarmizi.
Kemudian, bau urine dan berbusa juga mengindikasikan terdapat beberapa senyawa pencemar. Bau urine memungkinkan adanya kandungan amonia. Sementara, buih dapat berasal dari surfaktan atau kandungan utama untuk pembuatan sabun/detergen. Kedua senyawa itu bisa berbahaya jika dibuang ke media air dengan dosis berlebih. Sebab, amonia adalah salah satu zat beracun di perairan.
Dalam konteks lindi TPA Bakung, kadar amonia 2.28 mg/l terbilang tinggi. Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 06-6989.30 Tahun 2005 tentang Air dan Air Limbah menyatakan bahwa kadar amonia di dalam air tidak boleh lebih dari 0.20 mg/L. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0.2 mg/L, perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan.
Selanjutnya, terkait nilai pH 9,25 merupakan kondisi basa kuat yang berbahaya bagi makhluk hidup. Sebab, umumnya makhluk hidup, termasuk manusia, hanya bisa menoleransi pH pada rentang 6-9. Jika berada di bawah atau di atas nilai tersebut, maka makhluk hidup tidak dapat bertahan, bahkan mati. Itulah mengapa warga sekitar Sungai Keteguhan jarang melihat ikan hidup di perairan tersebut.
“Khusus untuk manusia, bila mengonsumsi air dengan pH di atas 9, bisa merusak organ dalam tubuh, termasuk fungsi ginjal, hati dll,” ujarnya.
Kemudian, nilai TSS tinggi menunjukkan tingkat pencemaran yang berat. Secara umum, TSS atau kekeruhan air akan menghalangi cahaya matahari masuk ke perairan. Akibatnya, ekosistem perairan akan rusak karena tidak terjadi fotosintesis. TSS juga merupakan indikasi banyaknya partikel padat yang larut dalam air.
“Akan sangat berbahaya jika partikel yang larut berasal dari logam berat, bakteri, dan sebagainya. Apalagi sampai berakhir di tubuh manusia,” ucap Tarmizi.
Perlu diketahui, sampah dari TPA Bakung juga berasal dari kawasan pelabuhan yang membawa material besi, seng, bekas baterai, dan beberapa bahan yang mengandung logam berat lainnya.
Ia bilang, pada umumnya limbah domestik harus diolah sebelum dirilis ke lingkungan. Pengolahan itu salah satunya menggunakan metode aerobic dengan menambahkan oksigen menggunakan aerasi ke dalam perairan, sehingga bakteri pengurai bisa bekerja optimal mengurangi zat pencemar. Khusus untuk lindi, perlu penangan khusus karena komponen organik yang perlu diurai sangat kompleks. Metode yang digunakan biasanya Advanced Oxidation Process (AOP) atau proses oksidasi lanjut. Biasanya, lindi yang sudah diolah cenderung tidak terlalu keruh karena nilai TSS/kekeruhan hanya sekitar 30 mg/l.
“Yang terpenting dari semua proses itu adalah memastikan limbah yang akan dibuang ke lingkungan berada di bawah baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Jika dalam prosesnya masih ada parameter yang belum sesuai, maka semestinya dilakukan pengolahan sampai benar-benar sesuai standar mutu air,” kata Tarmizi.
Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana menyatakan tak tahu soal air lindi TPA Bakung dibuang ke sungai. Di hadapan jurnalis, ia memerintahkan jajarannya untuk mencari tahu.
“Nanti tolong dicek, apakah benar atau tidak informasi (air lindi dibuang ke sungai) itu,” kata Eva sambil menunjuk salah satu stafnya, Senin, 6 Januari 2025.
Padahal, cerita warga Desa Umbul Kunci, ketika masa Pilkada Bandar Lampung, Eva kerap mengunjungi lokasi sekitar rumah Naiyah. Bahkan, gorong-gorong dan siring di sekitar danau lindi baru dibangun setelah kunjungan Eva.
Secara terpisah, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bandar Lampung Veni Devialesti mengakui kondisi pengolahan lindi di TPA Bakung kurang baik. Ia tak menampik bahwa air lindi TPA Bakung yang dibuang ke sungai tidak diolah.
“Kalau sebelumnya itu (kolam lindi) ada perlakuan (diolah), jadi warna (lindi) agak pudar (tidak hitam). Tapi, ya sekarang kondisinya seperti itu (warna hitam),”
Begitu juga dengan danau lindi di tanah Yuswi. Veni membenarkan bahwa mereka yang memasang gorong-gorong yang berujung di Kali Keteguhan tersebut.
“Nanti, kalau sudah berjalan (pengolahan sampah di TPA), Insya Allah kolam lindi pasti akan lebih baik,” kata Veni.
***
Ancam Kesehatan
Asap tebal menyelimuti rumah Intan (29) di Perumahan Keteguhan Permai, Telukbetung Timur. Kala itu, Intan baru pulang kerja. Pandangannya terbatas. Ia melangkah dengan hati-hati dari kendaraan menuju rumah. Asap tersebut berasal dari kebakaran di TPA Bakung.
Sudah 30 jam sejak terbakar, api belum juga padam. Esoknya, Intan harus ke dokter karena sesak napas. Kebakaran baru berhenti dua hari kemudian.
“Bukan pertama kali TPA Bakung terbakar, sudah sering. Setiap terbakar, saya selalu sesak napas. Asapnya juga bau sampah,” kata Intan, awal Januari lalu.
Selama kebakaran, warga di Bakung dan Keteguhan menderita batuk dan sesak napas. Bahkan, berbarengan dengan Intan, salah satu anak di Kelurahan Bakung terpaksa dibawa ke puskesmas karena terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Kebakaran di TPA Bakung beberapa kali terjadi. Pada Oktober 2023, lebih dari lima hektare sampah terbakar. Berlangsung hampir satu minggu, peristiwa tersebut menjadi salah satu kebakaran terbesar. Sebelumnya, TPA Bakung juga terbakar pada 2017.
Keterangan pengawas TPA dan warga setempat, kebakaran akibat percikan api yang keluar dari gas metana berlebih. Senyawa mudah terbakar itu muncul salah satunya akibat pembusukan sampah. Di TPA Bakung, terdapat beberapa titik panas dari gas. Sejumlah pemulung sering merebus air untuk minum kopi menggunakan panas alami dari gas tersebut.
Rumah Intan berada di belakang TPA Bakung. Sama seperti di kampung Naiyah, selain menderita akibat kebakaran, Intan juga terpaksa menggunakan air PAM untuk kebutuhan sehari-hari. Hal itu lantaran sekitar perumahan Intan dilewati Sungai Keteguhan yang menjadi tempat aliran lindi TPA Bakung.
“Kadang air sumurnya ada endapan berwarna kuning,” ujar Intan.
Intan dan keluarganya tidak pernah lagi mengonsumsi air sumur. Mereka menggunakan air galon untuk minum dan memasak. Dalam satu pekan, mereka bisa menghabiskan 5-6 galon. Sementara, air PAM digunakan untuk mandi cuci kakus (MCK).
“Jadi, kami harus keluar biaya lebih setiap bulannya untuk beli air galon dan bayar PAM,” ucap Intan.
Ia bilang, salah satu sumur warga pernah menjadi objek uji kualitas air. Hasilnya, air sumur itu mengandung bakteri coliform melebihi ambang batas. Artinya, air sumur tersebut berbahaya bila dikonsumsi. Itulah mengapa banyak warga beralih ke air PAM karena takut mengancam kesehatan. Namun, mereka tak sepenuhnya meninggalkan air sumur. Sebab, air PAM terkadang hanya hidup satu kali dalam sehari. Itu sebabnya, untuk MCK masih ditopang air sumur.
Berdasarkan Joint Monitoring Review dari World Health Organization dan UNICEF, lebih dari 140.000 anak, khususnya balita, meninggal setiap tahun karena diare. Penyebab utamanya adalah pengelolaan air limbah yang buruk. Adapun angka stunting di Indonesia mencapai 30%. Hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan air bersih.
“Kami berharap, TPA Bakung segera ditutup karena memang sudah over kapasitas dan tidak ada pengelolaan,” ucap Intan.
TPA Bakung berdiri sejak 1994. Mulanya, kehadiran TPA dipicu penuhnya tempat pembuangan sementara di beberapa tempat. Akhirnya, pemerintah membuka TPA Bakung untuk menampung sampah tersebut.
Sejak awal pembangunan, TPA Bakung memang tidak didesain untuk mengelola sampah. Pemerintah menerapkan sistem open dumping, yakni membuang sampah secara terbuka tanpa perlakuan khusus. Dengan kata lain, sampah hanya ditumpuk begitu saja di suatu tempat dan dibiarkan terbuka tanpa pengamanan.
Pengawas TPA Bakung Hadeni bilang, sejak awal berdiri, sampah memang tidak diolah. Semua sampah yang datang hanya ditimbang, lalu dibuang begitu saja.
Hadeni sudah 30 tahun bekerja sebagai pengawas TPA Bakung. Selama itu pula ribuan ton sampah menggunung di TPA Bakung. Ia memperkirakan tinggi gunungan sampah sekitar 50-75 meter. Sebab, lokasi tersebut tadinya lembah curam. Kini, tumpukan sampah setara bukit di sekitarnya.
“Setiap hari, sekitar 800-1.000 ton sampah yang dibuang ke TPA,” ujarnya.
Kendati demikian, jumlah sampah yang disampaikan Hadeni belum menunjukkan keadaan sebenarnya. Hal itu lantaran timbangan untuk mobil sampah rusak setidaknya lima tahun terakhir. Pengawas di TPA Bakung hanya memperkirakan berat sampah dari jenis kendaraan yang mengangkut.
“Kan sudah ada catatannya. Kalau truk itu beratnya sekitar 4-6 ton,” kata Hadeni.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menilai, buruknya pengelolaan sampah di TPA Bakung berkontribusi atas degradasi lingkungan di Bandar Lampung. Hal itu didasarkan pada beberapa determinan, di antaranya sistem open dumping bisa menjadi pemicu pencemaran udara, air tanah, dan tanah. Saat ini, sekitar 2 km dari lokasi penimbunan sampah, bau busuk masih menyengat dan mengganggu warga.
Kemudian, peningkatan risiko penyebaran penyakit serta perkembangan binatang perantara penyakit, seperti lalat dan tikus. Penyakit juga bisa menyebar ketika kebakaran lahan. Selama bertahun-tahun, masyarakat di sekitar TPA menderita penyakit kulit, ISPA, dan penyakit lain akibat sanitasi buruk.
Selanjutnya, limbah lindi yang tidak diolah dan dialirkan ke sungai mencemari air tanah yang salah satunya sumur masyarakat. Limbah tersebut juga bermuara di teluk Lampung.
“Artinya, pemerintah kota turut menyumbang pencemaran laut Lampung,” kata Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri.
Selain limbah cair, material sampah juga mengalir dari sungai di Bandar Lampung menuju kawasan pesisir. Data Dinas Lingkungan Hidup Lampung, sekitar 57 ribu ton sampah masuk ke perairan Lampung per tahun pada 2020. Dari jumlah tersebut, sekitar 19 ribu ton masuk ke wilayah pesisir teluk Lampung. Adapun sampah yang masuk ke teluk Bandar Lampung sekitar 8.000 ton per tahun.
Kejahatan Struktural
Atas dasar itu, Walhi Lampung menyatakan bahwa Pemkot Bandar Lampung telah melakukan kejahatan struktural lingkungan hidup. Pemerintah secara terstruktur, masif, dan sistematis membiarkan TPA Bakung selama puluhan tahun menjadi aktor utama pencemaran dan perusakan lingkungan.
“Semua pihak, baik eksekutif maupun legislatif, mesti bertanggungjawab atas buruknya pengelolaan sampah di Bandar Lampung,” kata Irfan.
Pertanggungjawaban tersebut mulai dari pidana, pemulihan lingkungan, hingga ganti rugi kepada masyarakat terdampak.
Ke depan, Irfan mendesak pemerintah segera merancang sistem pengelolaan sampah berkelanjutan dengan beralih dari open dumping menuju sanitary landfill. Pemerintah juga mesti mengembangkan teknologi pengelolaan sampah ramah lingkungan dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sampah. Paling penting, pemerintah menyediakan infrastruktur dan sarana-prasarana persampahan mulai dari hulu hingga hilir di Kota Bandar Lampung.
“Jadi, sampah dikelola sejak tingkat rumah tangga, RT, kelurahan, kecamatan, dan seterusnya. Sehingga, ketika sampai di TPA, sampah bisa diolah dengan baik,” ujarnya.
Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung Refi Mediantama setuju dengan pandangan Irfan. Ia berpendapat, situasi pengelolaan sampah yang buruk di Bandar Lampung setidaknya melanggar dua undang-undang. Pertama, UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Kedua, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 40 ayat (1) UU 18/2008 menyebut, “Pengelola sampah yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan tidak memerhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp5 miliar.
Ihwal limbah TPA Bakung yang dibuang ke sungai tanpa pengelolaan mengacu Pasal 98 UU 32/2009 yang menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.
“Dalam konteks TPA Bakung, pengelola sampahnya adalah satu kesatuan sistem pemerintah kota, mulai dari UPTD, Dinas Lingkungan Hidup, wali kota, hingga DPRD. Berdasarkan asas tanggung jawab UU Pengelolaan Sampah dan Lingkungan Hidup, mereka semua dapat dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan lingkungan tersebut,” kata Refi.
Menurutnya, jika melihat buruknya pengelolaan di TPA Bakung, unsur kesalahan dalam kedua pasal tersebut dapat terpenuhi. Hal itu juga bisa didasarkan pada ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU 18/2008 yang mengharuskan pemerintah daerah menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka (open dumping) paling lama lima tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut. Artinya, Pemkot Bandar Lampung seharusnya menutup TPA Bakung sejak 2013 atau lima tahun setelah UU tersebut berlaku.
“Kenyataannya, TPA Bakung masih beroperasi hingga hari ini menggunakan sistem open dumping. Artinya, selama ini, pemkot sengaja melakukan pembiaran pengelolaan sampah yang buruk. Bahkan, tak sesuai amanat UU Pengelolaan Sampah dengan tidak melakukan pengelolaan sampah dari tingkat tapak sampai akhir,” ucap Refi.
Selain pertanggungjawaban pidana, masyarakat yang selama ini dirugikan akibat dampak negatif dari kegiatan TPA tersebut seyogianya menerima kompensasi dari pemerintah daerah, baik berupa relokasi, pemulihan lingkungan, biaya Kesehatan dan pengobatan masyarakat dan/atau kompensasi dalam bentuk lain. Hal itu diatur dalam Pasal 25 UU 18/2008.
Warga juga bisa mengajukan gugatan untuk menuntut kompensasi atau pemulihan lingkungan. Pasal 91 (1) mengatur, “Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”
Refi bilang, gugatan itu sangat mungkin dilakukan. Sebab, dalam kejahatan lingkungan juga berlaku asas strict liability atau tanggung jawab mutlak, di mana unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
“Dengan prinsip itu, masyarakat sebagai penggugat tak dibebani rumitnya pembuktian unsur kesalahan. Adanya sebab akibat antara kerugian yang ditimbulkan dengan perbuatan tergugat cukup menjadi modal untuk menghukum tergugat,” ujarnya.
Selain itu, Refi berpandangan, sudah semestinya negara menjamin kesehatan lingkungan bagi masyarakat. Sebab, hak atas lingkungan hidup yang sehat dijamin oleh UUD 1945.
“Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyebut, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Negara seharusnya memenuhi dan melindung hak tersebut, bukan justru merampasnya,” ujar Refi.
Akhir Desember lalu, Kementerian Lingkungan Hidup menyegel TPA Bakung. Penutupan tersebut akibat ditemukan indikasi kuat pengelolaan sampah yang tidak sesuai regulasi dan menyebabkan pencemaran serius.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, ada cukup bukti untuk menaikkan status penyelidikan ke penyidikan. Ia juga bilang akan ada penetapan tersangka. Namun, hingga hari ini, belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.
Konsentris berupaya meminta tanggapan Hanif. Staf menteri menjanjikan pertanyaan akan dijawab oleh Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup. Namun, hingga berita ini terbit belum ada jawaban.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.