100 Hari Prabowo, Sehari Donald Trump

  • Whatsapp
PRESIDEN Prabowo Subianto menyampaikan pidato pertamanya di hadapan Sidang Paripurna MPR RI usai dilantik menjadi presiden periode 2024-2029, di Gedung Nusantara MPR-DPD-DPR RI, Senayan, Jakarta, Minggu, 20/10/2024. | Humas Setkab/Rahmat

Dalam pidato setelah pelantikannya menjadi presiden Amerika, Donald Trump mengulang janji-janji kampanyenya. Persis 100 hari yang lalu, Prabowo juga menyampaikan pidato yang penuh janji. Tampaknya ada chemistry antara Trump dan Prabowo.






Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen

Bacaan Lainnya

Sebagian rakyat Amerika baru merayakan pesta pelantikan presidennya pada 20 Januari 2025. Di Indonesia, sebagian rakyatnya juga baru merasakan kepuasan memiliki presiden baru setelah 100 hari bekerja. Kepuasan rakyat Indonesia tercermin dari hasil survei Harian Kompas, 20 Januari lalu.

Menarik membandingkan Amerika dan Indonesia. Keduanya lahir dari revolusi melawan kolonialisme. Kedua negara ini juga sebanding dilihat dari jumlah penduduk, keluasan, dan kekayaan alamnya.

Amerika dan Indonesia juga bisa disebut sebagai dua negara yang memiliki keragaman etnik tinggi. Memiliki motto yang mirip “E Pluribus Unum”, “Bhineka Tunggal Ika”, “Unity in Diversity”. Jika ada yang membedakan barangkali tentang siapa yang dianggap sebagai penduduk asli dan tradisi politik.

Amerika adalah negara yang dibangun oleh para imigran. Penduduk aslinya boleh dikatakan punah dalam interaksi dan konflik yang harus dihadapi dengan para imigran yang memiliki kemampuan berperang lebih tinggi. Penduduk asli Amerika, Orang Indian, saat ini, sebuah ironi sejarah. Mereka bisa ditemukan di wilayah-wilayah reservasi, sebuah teritori yang diproteksi oleh negara.

Sementara, di Indonesia, siapa yang bisa dianggap penduduk asli (indigenous people) masih menjadi perdebatan tersendiri, yang menurut saya, belum selesai. “Citizenship” sebagai sebuah konsep yang diadopsi dari luar masih memerlukan debat yang sungguh-sungguh untuk menemukan definisi yang tepat. Ini tentu berkaitan dengan tradisi politik, yang membedakan antara Indonesia dan Amerika. Sejarah politik menjadikan Amerika sebuah negara federasi, ada pemerintah federal dan ada negara bagian (state); sementara Indonesia negara kesatuan. Perbedaan bentuk negara ini memiliki implikasi dalam check and balance kekuasaan.

Seperti Prabowo (73), Donald Trump (78) tidak kenal kata menyerah dalam usahanya menjadi presiden. Pantang menyerah, sebuah sikap yang dimilikinya mencerminkan kepribadian yang teguh dan ambisi meraih kekuasaan dengan biaya dan risiko berapa pun “no matter what”, “with all means”. Prabowo setelah tiga kali bertarung akhirnya meraih cita-citanya menjadi presiden ke-8 Republik Indonesia. Donald Trump, setelah dikalahkan oleh Biden empat tahun lalu, tidak menyerah begitu saja. Donald Trump empat tahun berjuang mengembalikan kekuasaan yang menurut pandangannya telah dicuri oleh Biden, dan membuktikan bisa terpilih kembali menjadi Presiden ke-47 Amerika Serikat.

Presiden AS Donald Trump berpidato dalam parade pelantikan di Washington, DC, pada 20 Januari 2025. Donald Trump memangku jabatan untuk masa jabatan keduanya sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat. | AFP/Justin Sullivan

Donald Trump, dalam pidato setelah pelantikannya tanpa teks selama 29 menit, dengan penuh percaya di hadapan elite politik dan bisnis Amerika yang hadir, mengulang janji-janji kampanyenya, “Make America Great Again” (MAGA). Pidato penuh janji dan ancaman ini disaksikan oleh rakyat Amerika dan dunia. Persis 100 hari yang lalu, 20 Oktober 2024, Prabowo juga menyampaikan pidato yang penuh janji, sangat nasionalistik; seperti Donald Trump.

Dalam pertarungan melawan Kamala Haris, Donald Trump terbukti menang telak. Kemenangan yang sampai hari ini masih dianalisis, bagaimana itu bisa terjadi. Persis seperti di Indonesia, masih dipergunjingkan bagaimana Prabowo bisa menang secara telak dari Ganjar Pranowo dan Anis Baswedan. Sampai hari ini, saya masih belum bisa menemui Mohamad Qodari, sahabat saya, yang jauh hari sebelum pemilu presiden menganjurkan jangan membuang-buang uang yang tidak perlu karena Prabowo pasti menang satu putaran. Saya masih penasaran dengan ilmunya yang bisa tepat meramal kemenangan Prabowo.

Prabowo yang dicekal masuk ke Amerika karena dianggap telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia, ketika Donald Trump berkuasa di periode pertama (2017-2021), diberi visa boleh masuk Amerika. Ada chemistry yang tampaknya sama antara Trump dan Prabowo.

Dalam politik luar negeri selama ini, bahkan sejak awal kemerdekaan, Amerika selalu dekat dengan Indonesia. Amerikalah yang mendesak Belanda untuk memberikan kedaulatan kepada Indonesia pada 1949. Ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, bersama Sjahrir, Agus Salim, dan Soedjatmoko adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam perjuangan diplomasi di tingkat internasional. Mereka bisa dikatakan sebagai sisi kosmopolitan dari Indonesia. Ilmuwan politik pertama Amerika yang mengkaji Indonesia saat perjuangan kemerdekaan, George Kahin, dikenal dekat dengan kelompok Sjahrir.

Hanya ketika Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, mulai menunjukkan tanda-tanda melawan, Amerika harus menjatuhkannya. Sejak 1965, Indonesia kembali ke pangkuan Amerika. Juga ketika Indonesia berusaha memasukkan Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia melalui Pepera 1969 yang dinilai cacat, Amerikalah yang mendesak Belanda untuk menyerahkan Irian Barat ke Indonesia. Mungkin dibalik itu karena ada emas di Papua yang kemudian dikeruk perusahaan Amerika. Ketika Orde Baru di bawah pemerintahan militer Soeharto mulai berkuasa, Soedjatmoko, barangkali pengikut Sjahrir yang terpandai, diangkat oleh Soeharto menjadi duta besar Amerika Serikat (1968-1971).

Meskipun dari gestur politik Prabowo seperti memberi angin kepada Cina dengan menjadikan Cina sebagai negara yang pertama dikunjunginya setelah dilantik sebagai presiden, dengan dalih politik bebas aktif Prabowo bisa memainkan kartu diplomasi dengan Amerika. Namun, dugaan saya, Amerika lebih dekat di hati Prabowo yang dua kali mengikuti kursus militer di Amerika.

Prabowo lebih tahu “bahasa Amerika” daripada “bahasa Cina”, atau “bahasa Rusia”. Tapi, politik kata Otto von Bismarck adalah “the art of possible…” semua dimungkinkan dalam politik. Jadi, saat ini, kita sulit untuk mengatakan kemana arah politik luar negeri ke depan, meskipun kehadiran Trump akan ikut mendikte arah itu.

Di tengah banyak analisis yang menunjukkan menurunnya peran politik global Amerika, apalagi setelah Donald Trump berkuasa lagi, negara adidaya ini sudah demikian besar investasi infrastrukturnya, terutama secara militer, pengetahuan dan geopolitik, di seantero dunia. Keterbukaan informasi dan ilmu pengetahuan di Amerika menjadikan negeri ini memiliki tradisi debat dan polemik yang terbuka tentang dirinya.

Saya kira, tradisi ini menjadikan Amerika sebuah negara yang mempunyai agilitas dan otokritik yang mampu setiap kali menghadapi krisis menemukan jalan keluar dari dalam dirinya. Begitu juga saat ini ketika fenomena anomali seperti sedang terjadi dengan naiknya Donald Trump yang tampil dengan politiknya yang dianggap fasistik, rasialis, populis, oligarkis, dan ultranasioalis.

Belum sampai sehari setelah dilantik menjadi presiden, Donald Trump tidak tanggung-tanggung langsung menandatangani 26 “Executive Order” yang menyangkut perdagangan, imigrasi, politik luar negeri dan sebagainya. Sebagian dinilai bersifat sangat kontroversial dan banyak yang meragukan bisa dilaksanakan, seperti perintah untuk menurunkan harga, dan menghapus hak menjadi warga negara berdasarkan kelahiran di Amerika Serikat. Kebijakan itu langsung mendapat respons dari banyak negara bagian karena dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Dengan kemenangannya yang sangat meyakinkan dibandingkan yang pertama, Donald Trump dipastikan akan lebih agresif dan otoriter dalam kebijakan-kebijakannya. Bentuk negara yang bersifat federasi, di mana negara bagian memiliki otonomi, barangkali juga membuat Donald Trump tidak mungkin seenaknya memperlakukan warga negaranya. Begitu juga dalam hal politik luar negeri, berbagai ancaman Trump dinilai sebagai retorik atau simbolik belaka.

Di Indonesia, meskipun prediksi ekonomi Indonesia tampak suram, terutama dengan tingginya utang luar negeri dan praktik ekonomi yang terus bersifat ekstraktif, oligarki, memarginalkan rakyat dan merusak lingkungan; namun, sekali lagi jika kita percaya dengan hasil survei Harian Kompas, 80 persen rakyat Indonesia puas dengan kinerja 100 hari Prabowo.

Saya sejak lama mencurigai pooling dan survei-survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga. Sebab, kebanyakan orang sesungguhnya tidak tahu apa yang dilakukan oleh para surveyor dan poolster itu. Meskipun selalu diberi embel-embel tingkat kepercayaan 95 persen, dan marjin error 5 persen; tapi perhitungan dan analisis yang sebenarnya hanya pembuat survei yang tahu. Hasil survei kemudian dipublikasikan seperti menjual kucing dalam karung. Tapi, tampaknya inilah gejala politik yang sedang melanda dunia, tidak di Amerika tidak di Indonesia; tingkah laku politik diarahkan oleh hasil survei.

Gejala penggunaan survei dan pooling politik boleh dikatakan belum lama. Jika tidak keliru, lembaga-lembaga survei ini tumbuh bersamaan dengan mulai dipraktikkannya sistem multipartai dan semakin meningkat sejak diputuskannya pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung. Sulit untuk menghindari kesan booming survei dan pooling elektabilitas para calon peserta pemilu atau pilkada dengan maraknya politik uang. Tidak aneh kalau kemudian ada buku berjudul “Democracy for Sale.” Saya curiga, tradisi survei politik dan transaksi politik diam-diam, mungkin disadari oleh segelintir orang dan umumnya banyak yang tidak menyadari, bahwa kebiasaan atau tradisi baru ini diimpor dari Amerika.

Salah satu dimensi yang tidak banyak diteliti, atau sengaja tidak diteliti, ketika reformasi politik 1988 dimulai adalah tentang peran lembaga-lembaga internasional, state atau non-state, telah mencangkokkan berbagai paham, kebiasaan, metode, nilai-nilai; yang berasal dari luar ke dalam Indonesia. Ketika para akademisi dan aktivis melakukan aksi protes terhadap tindakan Jokowi yang dinilai melanggar konstitusi dan mendeklarasikan reformasi kembali ke titik nol, beberapa waktu lalu, sesungguhnya sebuah momentum yang tepat untuk berani melakukan otokritik, what went wrong with Indonesia?

Sayangnya hal itu tidak terjadi, dan barangkali di sinilah perbedaan Indonesia dengan Amerika. Sejak Donald Trump mulai mengharu biru politik Amerika, sense of crisis mulai dirasakan. Polemik dan debat dilakukan, di berbagai media, populer maupun serius di kalangan akademisi. Kritik dan otokritik dilancarkan oleh berbagai pihak, kiri, kanan, tengah, ultrakiri maupun ultrakanan. Mungkin pada akhirnya tidak akan ada yang bersifat drastis karena ekosistem dan infrastruktur politiknya sudah kokoh, tapi tetap upaya mencari ekuilibrium yang baru terus berlangsung dan terminologi baru perlu dicari dan didefinisikan.(*)

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 + 2 =