Pembatasan kuota rujukan dan penerapan Mobile JKN mencerminkan ketidakpekaan regulator kebijakan terhadap kondisi sosial masyarakat. Situasi ini dapat memperburuk ketimpangan sosial dalam akses layanan kesehatan, sehingga memperkuat struktur ketidaksetaraan. Perlu perubahan mendasar guna memastikan akses layanan kesehatan yang setara bagi semua orang.
Tur sedang memasak ketika suaminya, Tom, mengeluh kesakitan di dada sebelah kiri. Ia terburu-buru menyelesaikan pekerjaan di dapur karena Tom meminta dibawa ke rumah sakit. Sebagai mantan perawat, Tom merasa gejala tersebut indikasi sakit jantung.
Tom harus mendapatkan rujukan dari fasilitas kesehatan (Faskes) tingkat pertama sebelum berobat ke rumah sakit. Puskesmas Wayhalim, Bandar Lampung, adalah faskes tingkat satu yang terdaftar untuknya.
Menggunakan transportasi online, Tur dan Tom tiba di puskesmas jam setengah sembilan pagi. Puskesmas ramai hari itu, banyak pasien menunggu giliran diperiksa. Keduanya langsung menuju bagian pendaftaran.
Kepada petugas puskesmas, Tur bilang bahwa suaminya sakit dada. Ia minta rujukan untuk diperiksa oleh dokter spesialis jantung. Namun, petugas menolak dengan alasan kuota rujukan telah penuh.
“Sudah tidak bisa lagi, Bu. Kuota rujukan sudah penuh. Kalau mau rujukan, datang lagi besok,” kata Tur menirukan ucapan petugas bagian pendaftaran, Kamis, 13 Februari 2025.
Di beberapa bagian dinding puskesmas terpasang kertas bertuliskan, “Kuota rujukan ke rumah sakit dalam satu hari berjumlah 15 rujukan. Mohon untuk dimaklumi.” Kebijakan ini mulai berlaku sejak Agustus 2024. Tur dan Tom hanya bisa pasrah. Mereka kembali ke rumah dengan kecewa. Tom lebih sengsara, karena harus menahan rasa sakit di dadanya satu malam lagi.
Keesokan harinya, Tur dan Tom kembali ke Puskesmas Wayhalim. Mereka tiba lebih awal, sekitar jam tujuh pagi. Tur bahkan tidak sempat masak untuk keluarga karena khawatir kehabisan kuota rujukan.
“Kalau telat, nanti bisa enggak dapat rujukan lagi. Sementara, suami saya sudah kesakitan,” ujarnya.
Tur masih ingat pengalaman tidak mendapatkan rujukan. Ia merasa kebijakan kuota rujukan menyulitkan.
“Kan sayang ongkos dan waktu kalau sudah sampai puskesmas malah enggak dapat rujukan,” ucap Tur.
Seorang ibu penjual nasi di sekitar Puskesmas Way Halim pernah melihat hal serupa. Awal Januari lalu, seorang lansia datang membeli lontong sayur di lapaknya. Wajah lansia itu muram setelah keluar dari puskesmas. Ia tidak mendapatkan rujukan ke rumah sakit.
Lansia itu ingin periksa ke dokter saraf. Tapi, ia tiba di puskesmas agak siang, sekitar jam sembilan. Petugas puskesmas bilang kuota rujukan sudah cukup.
“Nenek itu dari Sukarame, naik angkot. Tapi, malah enggak dapat rujukan. Sudah tua, jalannya juga enggak kuat,” katanya.
Esoknya, nenek itu datang lebih awal. Ia tiba sebelum pukul tujuh pagi. Tujuannya satu: memperoleh rujukan.
Selain nenek itu, masih banyak pasien lain yang mengalami kesulitan serupa. Salah satunya adalah Bila (25) yang menderita sakit gigi. Ia harus datang buru-buru ke puskesmas. Jam enam pagi, Bila sudah siap-siap dari rumah. Ia tiba di puskesmas jam tujuh. Bila khawatir gagal memperoleh rujukan.
Ia menentang kebijakan kuota rujukan, namun merasa terpaksa menerimanya. Kebijakan itu dianggapnya tidak adil karena pasien harus bersaing untuk mendapatkan rujukan.
Rat, yang sudah renta, juga merasakan hal sama. Ia harus dibantu sang anak untuk mengantarkannya ke puskesmas. Tapi, ada kalanya anaknya bekerja dan tidak bisa mengantar. Jika tidak ke puskesmas pagi-pagi, Rat khawatir tak kebagian rujukan.
“Kalau bisa, sebaiknya tidak ada batasan kuota rujukan,” kata Rat. “Orang sakit sudah tersiksa, jadi seharusnya tidak dibuat susah lagi.”
Kepala Puskesmas Way Halim Darma Dianora menyatakan, kebijakan pembatasan kuota rujukan mulai dua tahun terakhir. Seiring waktu, pihaknya memberi batas secara bertahap.
“Meskipun ada pembatasan, jika pasien dinilai harus dirujuk pada hari itu juga, kami tetap melakukannya. Kami masih bisa memberikan hingga 20 rujukan per hari,” ujar Darma.
Ia bilang, pembatasan kuota lantaran tingginya permintaan rujukan. Dalam satu bulan, jumlah rujukan dapat mencapai 600. Banyak pasien yang datang ke puskesmas tidak ingin diperiksa, tapi langsung meminta rujukan ke rumah sakit. Padahal, beberapa jenis penyakit bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Penilaian kinerja puskesmas oleh BPJS Kesehatan setiap bulan juga memengaruhi kebijakan pemberian rujukan. Puskesmas akan dievaluasi berdasarkan jenis penyakit yang dirujuk. Lebih dari 100 jenis penyakit tidak bisa dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut dan harus diselesaikan di faskes tingkat pertama.
“Sebenarnya, kami tidak pernah membatasi kuota rujukan, tapi memperkecil dan memilah untuk mengedukasi masyarakat bahwa penyakit tertentu harus diselesaikan di puskesmas,” kata Darma.
***
Muakena duduk di ruang tunggu Rumah Sakit Advent Bandar Lampung. Wajahnya tampak linglung. Ia celingak-celinguk, seperti mencari sesuatu. Sesekali, tangannya menggaruk kakinya. Di kedua kakinya, terlihat borok yang membuatnya meringis.
Penyakit komplikasi menderanya selama beberapa tahun terakhir. Diabetes, jantung, rabun, dan penyakit kulit telah membuat hidupnya menjadi lebih sulit. Hari itu, ia hendak memeriksakan diri ke dokter spesialis penyakit kulit. Gatal dan pedih di bagian tubuhnya sudah tak tertahankan lagi.
Muakena duduk di depan loket pendaftaran pasien sejak pukul delapan pagi. Surat rujukan masih tergenggam di tangannya. Ia menunggu giliran, berharap dokter dapat mengatasi penderitaannya.
Namun, hingga jam sepuluh, Muakena masih menunggu. Ia belum bisa mendaftar karena rumah sakit tersebut menerapkan aturan bahwa pendaftaran pasien BPJS Kesehatan harus melalui aplikasi Mobile JKN. Pasien yang mendaftar secara manual, seperti Muakena, mesti menunggu informasi ketersediaan kuota.
“Jadi, saya disuruh menunggu sampai jam 11 siang,” kata Muakena. “Jika masih ada kuota, baru saya bisa berobat. Jika sudah habis, saya harus kembali lagi, besok.”
Kuota yang dimaksud Muakena adalah batas antrean dokter spesialis. Biasanya, dokter praktik di rumah sakit ini melayani sekitar 20-30 pasien per hari.
Kondisi itu menyusahkan Muakena. Ia buta teknologi, tidak mengerti cara mendaftar melalui Mobile JKN. Bahkan, memegang ponsel pintar saja terasa asing.
Matanya yang rabun membuatnya sulit melihat. Bayangan-bayangan di sekitarnya terkadang samar. Ia tinggal berdua dengan adiknya, yang juga sudah renta. Tidak ada suami, tidak ada anak. Tidak ada yang bisa membantunya.
“Jadi hanya bisa pasrah,” ujarnya, suaranya pelan. “Semoga masih bisa berobat.”
Petugas pendaftaran di RS Advent membenarkan cerita Muakena. Pasien BPJS harus menunggu ketersediaan kuota dari Mobile JKN.
“Silakan daftar melalui Mobile JKN,” kata petugas itu. “Anda bisa meminta bantuan kerabat untuk mendaftar.”
Namun, Muakena tidak memiliki kerabat yang bisa membantunya. Ia tak tahu menggunakan ponsel, menderita penyakit komplikasi, tak punya suami dan anak. Kondisi itu membuatnya semakin sulit untuk mendapat perawatan medis.
Petugas pendaftaran itu terdiam sejenak, lalu memanggil petugas lain bernama Jemson.
Setelah mendengar penjelasan, Jemson akhirnya memutuskan bahwa Muakena dapat mendaftar. Ia bisa berobat ke dokter spesialis penyakit kulit, hari itu juga.
Jemson bilang, pasien yang mendaftar secara manual seperti Muakena akan diambang ketidakpastian. Mereka baru bisa mendaftar jika kebagian kuota dari orang-orang yang pakai Mobile JKN. Sebab, prioritas kuota pendaftaran pasien BPJS hanya untuk Mobile JKN.
“Pasien yang mendaftar secara manual harus datang pagi untuk mendapatkan kesempatan mendaftar,” ucap Jemson.
Pendaftaran Muakena akhirnya diterima. Ia pun mendapat penanganan dokter, menandai akhir dari perjuangannya memperoleh perawatan medis.
Muakena bukanlah satu-satunya orang yang mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan. Tur dan Rat juga bernasib sama. Meskipun punya anak, mereka tetap merasa berat karena harus meminta bantuan setiap kali ingin kontrol. Ketergantungan pada anak membuat mereka merasa tidak nyaman. Sang anak harus meninggalkan pekerjaannya untuk membantu orang tua mendaftar berobat.
Konsentris mendatangi dua rumah sakit lain di Bandar Lampung. Keduanya juga menerapkan kebijakan yang sama. Pendaftaran secara manual tidak disarankan karena tak ada kepastian untuk jadwal dokter. Prioritas utama pendaftaran hanya melalui Mobile JKN.
Banyak pasien yang masih kesulitan beradaptasi dengan aplikasi tersebut. Mereka harus minta tolong kerabat yang paham menggunakan ponsel pintar untuk mendaftar. Namun, tidak semua pasien memiliki kerabat yang dapat membantu. Beberapa pasien sudah sulit karena penyakit, dan ditambah lagi dengan kesulitan administrasi.
Dalam upaya memastikan akses pelayanan kesehatan yang merata, BPJS Kesehatan Kantor Cabang Bandar Lampung menyatakan bahwa puskesmas atau faskes tingkat pertama tidak boleh membatasi kuota rujukan. Keputusan ini berdasarkan indikasi medis, sehingga pasien yang membutuhkan rujukan mendapatkan pelayanan yang tepat.
“Kami akan mengonfirmasi puskesmas terkait alasan pembatasan kuota rujukan,” kata Dodi Sumardi, Kepala Bagian SDM, Umum, dan Komunikasi BPJS Kesehatan Kantor Cabang Bandar Lampung.
Dodi tak memungkiri bahwa pihaknya memberi penilaian kinerja puskesmas. Alasannya, guna memastikan bahwa pelayanan kesehatan sesuai standar. Penilaian ini terkait Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK) BPJS Kesehatan, untuk menentukan besaran dana yang diterima oleh puskesmas setiap bulan. Dana kapitasi bervariasi, mulai dari Rp5 juta hingga Rp10 juta, tergantung jumlah peserta BPJS di faskes tersebut.
Namun, ada konsekuensi jika puskesmas dinilai banyak memberi rujukan yang tidak sesuai. Dana kapitasi bisa dipotong atau dikurangi.
“Hal itulah yang terkadang membuat beberapa puskesmas terkesan membatasi kuota rujukan,” ujarnya.
Ihwal Mobile JKN, Dodi bilang, untuk memudahkan pasien dalam mendaftar ke rumah sakit. Sebelumnya, pasien harus datang pagi sekali supaya dapat antrean. Namun, dengan Mobile JKN, pasien bisa langsung mendaftar lewat aplikasi, tanpa harus cepat-cepat ke rumah sakit.
Kendati demikian, pihak BPJS tidak mewajibkan rumah sakit menggunakan Mobile JKN. Alasannya sederhana: mempertimbangkan kondisi pasien yang lanjut usia atau tidak bisa mengoperasikan smartphone.
“Ke depan, memang pelayanan berbasis digital, namun tergantung kondisi pasien,” kata Dodi. “Jika memang tidak memungkinkan, harusnya diterima secara manual.”
Ketimpangan Struktural
Pemerhati kebijakan publik Universitas Lampung Dodi Faedlulloh menilai, pembatasan kuota rujukan menunjukkan ketidaksetaraan dalam akses layanan kesehatan. Kebijakan kesehatan seyogianya berorientasi pada keadilan dan inklusivitas, bukan sekadar efisiensi administratif.
“Pembatasan kuota rujukan di faskes mengorbankan hak pasien untuk mendapatkan layanan kesehatan tepat waktu,” kata Dodi.
Selain itu, Mobile JKN yang mengutamakan pendaftaran dalam jaringan tanpa mempertimbangkan kelompok rentan seperti lansia atau masyarakat dengan keterbatasan akses teknologi, melahirkan eksklusivitas digital dalam layanan kesehatan. Hal ini mencerminkan kebijakan yang kurang sensitif terhadap kondisi sosial masyarakat. Regulator kebijakan seharusnya menyadari kondisi objektif masyarakat yang belum tentu memiliki akses dan melek terhadap teknologi.
Kebijakan ini membatasi hak dasar warga untuk memperoleh layanan kesehatan yang setara. Konstitusi dan regulasi di Indonesia menekankan bahwa kesehatan adalah hak dasar yang dijamin oleh negara.
Pembatasan kuota rujukan secara kaku di puskesmas tanpa mekanisme alternatif membuat masyarakat yang sakit harus menunggu dalam kondisi bisa saja memburuk. Demikian pula dengan penerapan Mobile JKN yang diskriminatif terhadap kelompok yang tidak memiliki literasi digital.
“Secara tidak langsung hal Ini memperlihatkan ketimpangan struktural dalam penyediaan layanan kesehatan,” kata Dodi.
Menurutnya, teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperluas akses, bukan malah menciptakan hambatan baru bagi kelompok rentan. Argumen BPJS bahwa digitalisasi mengikuti perkembangan zaman memang benar, tetapi penerapannya mesti inklusif. Artinya, penerapan teknologi perlu mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan semua kelompok masyarakat, termasuk mereka yang tidak melek teknologi.
Ketimpangan sosial dalam akses terhadap layanan publik menjadi sorotan utama. Warga yang tidak melek teknologi terpaksa menunggu, yang berpotensi menyebabkan kondisi kesehatan mereka memburuk. Hal ini memperlihatkan bahwa penerapan teknologi mesti lebih mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan semua kelompok masyarakat.
Jika pembatasan kuota rujukan diberlakukan, maka pemegang otoritas harus memiliki mekanisme darurat yang efektif. Mekanisme ini tak boleh hanya berdasarkan angka kuota harian, melainkan harus mempertimbangkan kebutuhan mendesak setiap pasien.
Selain itu, Mobile JKN perlu didukung dengan opsi pendaftaran manual yang tetap mendapatkan prioritas setara dengan daring. Langkah tersebut guna memastikan bahwa kelompok yang tidak bisa mengakses teknologi tetap mendapatkan layanan kesehatan.
“Pemerintah harus memberikan edukasi dan pendampingan bagi lansia dan kelompok rentan sebelum menerapkan kebijakan berbasis teknologi. Hal ini tidak bisa dinafikan,” kata Dodi.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.