Dairi, Pasaman Barat, Lampung: Menentang Dominasi Korporasi Atas Ruang Hidup

  • Whatsapp
PULUHAN warga Dairi, Sumatra Utara, menggelar aksi Mangandung di depan PTUN Jakarta, beberapa waktu lalu. Mangandung adalah ritual meratap dengan menangis, sebuah tradisi lisan masyarakat Batak Toba yang biasa digelar dalam upacara perkabungan. Warga Dairi mendesak PTUN Jakarta mencabut persetujuan lingkungan untuk aktivitas tambang seng dan timah hitam oleh PT Dairi Prima Mineral. | dok. Bakumsu

Konflik agraria di Sumatra – Dairi, Pasaman Barat, dan Lampung – adalah manifestasi dari ketidakadilan struktural yang telah berlangsung lama. Masyarakat terusir dari ruang penghidupan demi kepentingan ekonomi korporasi. Kebijakan negara yang bias terhadap pemilik modal semakin memperlemah posisi tawar masyarakat. Spirit perlawanan pun terlahir.






1 Oktober 2016. Desa-desa di Banjarmargo, Tulangbawang, Lampung, sunyi. Ribuan petani meninggalkan rumah. Mereka mendirikan tenda-tenda sederhana di lahan perkebunan tebu PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL).

Bacaan Lainnya

Sudah 20 hari massa yang tergabung dalam Serikat Tani Korban Gusuran BNIL (STKGB) – kini Serikat Tani Kerja Gerak Bersama – menduduki lahan itu. Warga laki-laki menjaga kamp siang dan malam, sementara perempuan mengawasi rumah di kampung. Satu tujuan menyatukan mereka: merebut kembali ruang penghidupan.

Pagi itu, pamswakarsa memicu ketegangan. Mereka memamerkan senjata tajam, menunjukkan kesaktian di depan massa dengan mengarahkan senjata ke tubuh sendiri. Ejekan dan makian menyertai aksi tersebut. Warga tak kuasa menahan amarah. Massa mengejar puluhan pamswakarsa yang lari kocar-kacir di ladang tebu. Mereka diusir dari lahan perkebunan.

Salah satu ladang tebu PT BNIL di Desa Bujuk Agung, Banjarmargo, Kabupaten Tulangbawang, Lampung. Anak perusahaan Tunas Baru Lampung, bagian Sungai Budi Group, itu mengusir lebih dari 3.000 warga di tujuh desa. | dok. STKGB

Amarah warga meledak. Tenda-tenda pamswakarsa dihancurkan, 39 sepeda motor rusak, 15 lainnya terbakar. Sebuah traktor dan mobil logistik BNIL juga menjadi sasaran. Setelahnya, massa tetap berjaga di kebun, sementara beberapa warga lainnya bolak-balik ke rumah untuk memastikan keluarga mereka aman.

Kabar tentang rencana pamswakarsa untuk membalas serangan membuat warga tetap waspada. Polisi akhirnya tiba di lokasi untuk mengantisipasi kerusuhan semakin besar.

Malam harinya, polisi mendatangi rumah Sukirji, Sekretaris STKGB. Aparat meminta agar warga meninggalkan lahan perkebunan. Namun, Sukirji tak bisa memenuhi permintaan itu. Massa sudah tidak terkendali, emosi mereka memuncak.

Di tengah malam, Sukirji kembali ke ladang, bergabung dengan warga di bawah guyuran hujan. Esoknya, massa bersiap menghadapi kemungkinan serangan balasan dari pamswakarsa. Sekitar jam sembilan pagi, helikopter kapolda Lampung mendarat di PT BNIL. Massa tetap bertahan.

Jam satu siang, empat batalion Brimob tiba di lokasi dengan senjata lengkap. Mereka memukul mundur warga keluar dari perkebunan dengan gas air mata, tameng, dan kawat berduri. Sukirji dan beberapa petani lainnya ditangkap, lalu dibawa ke Polres Tulangbawang.

Pengusiran berlangsung hingga sore. Warga dipaksa meninggalkan kamp setelah polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet. Menjelang magrib, warga memblokir jalan lintas timur dengan truk, bus, dan kayu sebagai protes atas penangkapan rekan mereka.

Malam itu, desa-desa di Banjarmargo mencekam. Aparat menyisir setiap sudut kampung, sementara ribuan petani bersembunyi di ladang karet. Banyak petani menjadi korban kekerasan aparat.

Dini hari, polisi menangkap Ketua STKGB Sukirman di Desa Indraloka. Ia digelandang ke markas polisi bersama tiga orang lainnya, tapi hanya Sukirman yang ditahan. Lebih dari lima petani ditangkap, termasuk seorang pendeta yang membela warga. Mereka dituduh melanggar beberapa pasal, mulai dari penghasutan hingga kepemilikan senjata tajam.

Vonis beragam dijatuhkan Pengadilan Negeri Menggala. Sukirji dan Sukirman, pengurus STKGB, mendapat hukuman paling berat, 2 tahun 4 bulan penjara. Sedangkan yang lain menerima pidana 1-1,5 tahun.

Sukirman menghela napas berat, “Kami yang berjuang untuk tanah sendiri malah dianggap penjahat.” Ia masih teringat pengalaman pahit melawan korporasi yang merampas ruang penghidupan mereka.

Ratusan petani menolak perpanjangan HGU PT BNIL, beberapa waktu lalu. Mereka menuntut tanah yang direbut perusahaaan dikembalikan ke masyarakat. | dok. STKGB

Sukirman, 74 tahun, mengenang tahun 2016 sebagai puncak kemarahan warga setelah puluhan tahun menanti lahan mereka direbut. Konflik ini berakar dari 1986, saat gubernur Lampung mengklaim 10.000 hektare lahan warga di tujuh desa diberikan kepada tiga perusahaan anak Sungai Budi Group: PT BNIL, PT Rimbang Lampung Abadi, dan PT Trimulya Adi Kencana. Namun, hingga 1990, tak ada aktivitas dari ketiga perusahaan itu.

Wilayah Transmigrasi Swakarsa Mandiri seluas 10.000 ha sudah berkembang menjadi permukiman padat, lengkap dengan sekolah dan pasar. Bahkan, daerah tersebut dianggap sebagai contoh sukses transmigrasi.

Tapi, pada 1991, PT BNIL dengan bantuan tentara mengusir warga secara paksa dan kejam. Mereka menggunakan gajah untuk merangsek ke permukiman, menghancurkan rumah dan tanaman warga. Suara senjata mengiringi aksi kekerasan. Seorang warga dilaporkan meninggal terinjak gajah.

Lebih dari 3.000 warga yang terusir dari tujuh desa dipindahkan ke Desa Bujuk Agung dan Indraloka. Namun, kapasitas dua desa itu tak cukup. Sebagian dari mereka terpaksa pindah ke desa-desa lain di sekitar Tulangbawang.

Warga yang tinggal di Bujuk Agung dan Indraloka dijanjikan ganti rugi berupa tanah dua hektare per keluarga. Rinciannya, seperempat hektare untuk pekarangan, tiga perempat hektare lahan pangan, dan satu hektare usaha plasma BNIL.

Berdasarkan kebijakan menteri dalam negeri, gubernur Lampung menerbitkan izin lokasi BNIL seluas 6.600 hektare, terbagi menjadi 5.100 ha lahan inti dan 1.500 ha plasma. Namun, PT BNIL memaksa warga menandatangani blanko kosong dan memberikan uang Rp100 ribu sebagai ganti rugi. Warga yang menolak dipukul dan dikurung.

Baru pada 1998, warga menyadari bahwa blanko tersebut digunakan PT BNIL untuk mengklaim 1.500 ha lahan plasma milik mereka sebagai lahan inti perusahaan. Ini berarti petani dua kali mengalami perampasan lahan kurang dari satu dekade.

“Masa itu, kalau melawan, kami berhadapan dengan moncong senjata,” kenang Sukirman, yang juga dipaksa menyerahkan tanahnya.

Puncaknya pada 2016, Sukirman dan petani lainnya dipenjara karena memperjuangkan haknya. Namun, mereka bukanlah satu-satunya korban. Antara 1991-2017, tercatat 55 warga menjadi korban penyerobotan lahan: 21 orang dianiaya dengan penyiksaan ringan hingga berat, 26 orang dipenjara, dan delapan orang dibunuh.

Sukirman bilang, ribuan warga yang tergusur masih hidup dalam kemiskinan hingga sekarang. Mereka terpaksa menjadi buruh tani atau kuli bangunan karena kehilangan tanah sebagai sumber penghidupan.

Ia melihat, sejak awal negara tidak memihak rakyat. Masyarakat yang hidup tenteram dari hasil pertanian justru tergusur dari tanah sendiri akibat kebijakan pemerintah. Ia kecewa terhadap hukum di Indonesia yang seharusnya memberikan keadilan, namun malah digunakan untuk memenjarakan korban penggusuran.

Kendati demikian, Sukirman tak pernah menyerah. Selama masih bernyawa, ia bersama petani di desanya tetap melawan, meskipun tidak semua petani bergabung karena trauma dan ketakutan setelah mengalami kriminalisasi dan kekerasan.

Setelah keluar dari penjara, Sukirman terus menjaga api perjuangan. Ia mengorganisasi petani dan menyadarkan tentang pentingnya hak-hak mereka. Bersama STKGB, Sukirman juga tetap menyurati Komnas HAM dan lembaga pemerintah lainnya agar kasus perampasan lahan diusut tuntas. Namun, hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa hak masyarakat akan kembali.

“Kalau tetap memperpanjang HGU perusahaan, kami akan terus berjuang,” ujarnya.

Konflik agraria di Lampung tak hanya di Tulangbawang. Beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Sungai Budi Group tercatat bersengketa dengan masyarakat. Contohnya, PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) yang merampas 807 hektare lahan masyarakat di tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah. PT BSA adalah anak perusahaan Tunas Baru Lampung yang merupakan bagian dari Sungai Budi Group.

Selain itu, ada juga konflik di kawasan Register 45, Moro Moro, Kabupaten Mesuji, yang melibatkan PT Silva Inhutani Lampung (SIL). Perusahaan yang merupakan anak korporasi Bumi Waras, bagian dari Sungai Budi Group, itu disebut mencaplok lebih dari 9.000 ha tanah garapan masyarakat. Konflik tersebut masih berlanjut hingga kini.

Di Way Kanan, PT Adhi Karya Gemilang, anak perusahaan Bumi Waras, juga terlibat konflik lahan dengan masyarakat sekitar 400 hektare. Lampung Selatan, Lampung Timur, dan Pesawaran juga sedang menghadapi konflik agraria dengan perorangan maupun korporasi.

***

Pagi itu, Syahmiarti bersama puluhan warga menggelar doa bersama di ladang. Tanah di bawah kaki mereka menjadi saksi bisu perjuangan para petani.

Tak lama, ratusan aparat Polres Pasaman Barat dan Polda Sumatra Barat datang. Wajah-wajah mereka terlihat tegas dan penuh kewaspadaan. Polisi mengawal PT Permata Hijau Pasaman (PHP) I, anak perusahaan Wilmar Group, untuk menggusur tanaman, pondok, dan posko petani di lahan 600 ha di Nagari Kapa, Pasaman Barat.

Namun, Syahmiarti dan kawan-kawannya tak gentar. Mereka membentuk pagar hidup, dengan perempuan di garis depan dan laki-laki berjaga di belakang, untuk menghalau upaya perusahaan menanam sawit. Ica – sapaan akrab Syahmiarti – berdiri teguh bersama yang lainnya, menolak keras penggusuran yang dinilai tidak adil.

Kepolisian berupaya mengusir warga yang bertahan di ladang. Tanah ulayat Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumatra Barat, diambil alih untuk perkebunan sawit oleh anak perusahaan Wilmar Group. | dok. Masyarakat Kapa

Ica dan perempuan lainnya duduk dengan bergandengan tangan, membentuk barikade hidup untuk menghalangi akses polisi dan perusahaan. Namun, tak lama kemudian, aparat memaksa masuk, menarik tangan dan mendorong para perempuan hingga gandengan mereka terlepas.

Dalam sekejap, kekuatan massa yang kalah jumlah itu tak mampu menahan gempuran aparat. Mereka terpaksa terusir dari lahan yang menjadi ruang penghidupan. Saat itu, enam perempuan dan tiga laki-laki ditangkap, termasuk Ica. Mereka dibawa dengan tiga minibus menuju Polda Sumatra Barat.

Petani yang ditangkap menjalani pemeriksaan hingga tengah malam. Mereka baru dilepaskan pada dini hari. Belum ada status hukum yang jelas bagi warga.

Tiga hari kemudian, situasi di lahan sengketa kembali memanas. Menjelang petang, perusahaan dengan dua alat berat dan dikawal lebih dari 150 aparat memasuki lahan untuk menanam bibit sawit. Petani yang berjaga menghalangi mereka, sehingga terjadi aksi saling dorong.

Tiga perempuan petani Kapa pingsan, sementara Ica mengalami lebam di lengan dan kuku kaki yang nyaris terkelupas. Sore itu, kepolisian kembali menangkap lima warga, yang baru dilepaskan keesokan harinya.

Setelah diperiksa tiga kali, 11 petani, termasuk Ica, ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dituduh melanggar Pasal 107 huruf a UU 39/2014 tentang Perkebunan. Beleid itu mengatur sanksi pidana penjara maksimal empat tahun atau denda hingga Rp4 miliar bagi setiap orang yang melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin sah.

“Padahal itu tanah ulayat Nagari Kapa, tapi kami dituduh ilegal,” kata Ica.

Sejak 1994, PT PHP I membangun perkebunan sawit di atas tanah masyarakat adat Nagari Kapa seluas 924 hektare, meskipun telah mendapat penolakan dari warga setempat. Penyerobotan lahan tersebut dianggap ilegal karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Menurut filosofi adat Nagari Kapa, “Babingkah Adat,” setiap ketetapan atau keputusan harus melalui persetujuan atau musyawarah masyarakat adat. Oleh karena itu, penyerahan tanah adat oleh segelintir orang tanpa keterlibatan masyarakat adat dinyatakan cacat administrasi.

Kemudian, dasar penguasaan lahan oleh PT PHP baru terbit pada 2004 melalui HGU yang bermasalah. HGU yang dimiliki PT PHP – Nomor 54 dan 55 – sama sekali tidak mencakup wilayah adat Nagari Kapa, melainkan berada di Nagari Sasak, Kecamatan Sasak Ranah Pasisie.

Pada 2019, warga Nagari Kapa sempat merebut kembali tanah mereka dan memanfaatkannya sebagai ladang pertanian, tempat menanam jagung, singkong, pisang, pepaya, dan durian. Hasil bumi itu menjadi sumber penghidupan dan menopang ekonomi warga. Namun, pada 2024, perusahaan kembali merampas lahan tersebut, merusak tanaman warga, dan menggusurnya hingga rata dengan tanah.

Kini, Ica dan ratusan petani Kapa kehilangan lahan bertani. Mereka terpaksa mencari nafkah secara serabutan – beberapa menjadi buruh tani dan kuli bangunan. Sementara, perusahaan kembali berjaya dengan menanam sawit. Di tengah keterbatasan, Ica dan petani lainnya mencoba bertahan dengan membudidayakan melon hidroponik, yang tidak memerlukan lahan luas karena media tanamnya berupa air.

Meski demikian, para petani tetap menginginkan tanah adatnya kembali. Mereka terus menyuarakan tuntutan melalui surat dan unjuk rasa.

Sebuah alat berat meratakan ladang warga Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumatra Barat, beberapa waktu lalu. Tanah ulayat masyarakat diambil alih anak perusahaan Wilmar Group untuk perkebunan sawit. | dok. Masyarakat Kapa

Direktur LBH Padang Diki Rafiqi menilai bahwa pencaplokan tanah oleh perusahaan telah merenggut masa depan generasi masyarakat adat Nagari Kapa. Dalam budaya Minang, tanah ulayat bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga identitas adat. Kini, generasi penerus Kapa kehilangan tempat berlindung dan identitas karena tanah ulayat mereka telah diambil alih.

Diki juga menyoroti peran pemerintah yang mendukung perusahaan dengan menerbitkan HGU, sebuah langkah yang dipandangnya mengabaikan hak-hak fundamental masyarakat adat. Tanah bukan sekadar lahan, melainkan alat produksi yang memungkinkan mereka bertahan hidup dan melestarikan identitas budaya. Perampasan tanah oleh perusahaan, yang didukung pemerintah, telah memutus mata rantai kehidupan masyarakat adat di Sumatra Barat, mengancam eksistensi mereka sebagai entitas budaya yang utuh.

Ia menyesalkan bagaimana hukum yang seyogianya menjadi pelindung keadilan, justru digunakan sebagai alat represi melalui kepolisian. Laporan kekerasan yang dilakukan perusahaan terhadap petani kerap diabaikan, sementara laporan perusahaan terhadap petani berujung kriminalisasi dan penjara.

“Setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum,” ujarnya.

Diki mendesak pemerintah segera mengembalikan tanah ulayat kepada masyarakat adat. Ia menilai bahwa klaim kesejahteraan yang dibawa oleh perusahaan sawit tidak terbukti. Pengamatan LBH Padang menunjukkan bahwa daerah dengan korporasi sawit di Sumatra Barat justru menjadi kantong kemiskinan.

Pengacara publik itu pun menyanggah janji pemerintah bahwa tanah akan dikembalikan setelah HGU berakhir. Sebab, tanah adat yang telah berstatus HGU otomatis menjadi tanah negara.

“Pemerintah harus bertanggung jawab. Sebab, konflik ini hasil kebijakan mereka,” kata Diki.

Konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit memang kerap terjadi di Sumatera Barat. Beragam masalah muncul, seperti penyerobotan lahan, permasalahan skema plasma, pelanggaran peraturan perkebunan, kompensasi yang tidak memadai, dan masalah ketenagakerjaan.

Riset Walhi Sumatra Barat dan beberapa lembaga, setidaknya ada 14 komunitas masyarakat berkonflik dengan delapan perusahaan yang terafiliasi dengan Wilmar, baik sebagai anak perusahaan maupun pemasok. Komunitas masyarakat itu tersebar di Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Pasaman Barat.

Per Desember 2020, Wilmar tercatat memiliki perkebunan sawit seluas 232.053 ha di seluruh dunia, dengan 65% di antaranya berada di Indonesia. Beberapa entitas Wilmar bertanggung jawab atas hilangnya tanah ulayat di Sumatra Barat.

Terbaru, ancaman juga menghantui Sipora, sebuah pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Wilayah tersebut terancam kehilangan hutan lebih dari 20.000 ha akibat pengajuan izin oleh PT Sumber Permata Sipora (SPS).

***

Hari itu, Barisman Hasugian menghadiri pesta pernikahan adik pamannya di Silima Pungga-Pungga, Dairi, Sumatra Utara. Suasana pesta dipenuhi kebahagiaan dan kehangatan. Para tamu larut dalam sorak-sorai dan tawa, sementara kain Ulos menambah semarak suasana.

Namun, kebahagiaan itu tiba-tiba berubah. Langit mendung dan hujan deras beberapa jam. Setelah reda sekitar pukul tiga sore, Barisman dan istrinya berencana pulang ke desanya di Bongkaras. Tepat sebelum berangkat, ponsel Barisman bergetar dengan nada panik dari anak keduanya. “Jangan pulang, Bapak! Bongkaras banjir bandang!”

Barisman langsung batal pulang, mengingat jalur itu dekat dengan bibir sungai yang tengah meluap. Ia pun menginap di tempat pesta pernikahan demi keselamatan.

Banjir bandang tersebut menghantam Bongkaras dan Desa Longkotan. Tujuh nyawa melayang, tiga ditemukan di perairan Aceh, dua di ladang, dua lainnya masih hilang. Rumah-rumah warga hancur, sembilan di antaranya rusak parah. Lahan pertanian dan perkebunan porak-poranda, 150 hektare sawah dan 60 hektare kebun rusak. Hewan ternak tersapu arus, 400 ekor ikan, 150 ekor ayam, dan satu ekor kerbau hilang.

Petaka itu juga menghancurkan sawah Barisman, seluas seperempat hektare, yang kini tertutup material kayu dan batu. Banyak lahan tak bisa digunakan lagi, membuat ratusan warga kehilangan mata pencaharian.

“Mereka tak tahu apa yang dilakukan sekarang,” kata Barisman.

Banjir 2018 itu disebut karena penggundulan hutan di hulu sungai. Salah satunya disebabkan penambangan bijih seng, timah, dan perak oleh PT Dairi Prima Mineral (DPM).

Potret wilayah pertambangan PT Dairi Mineral Prima di Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Perusahaan yang setengah sahamnya dimiliki Bakrie Group itu mengancam ribuan nyawa dan ruang penghidupan petani Dairi. | dok. Bakumsu

Barisman bilang, sebelum tambang beroperasi, desanya tak pernah banjir bandang. Namun, setelah kehadiran perusahaan, berbagai bencana mulai menghantui. Pada 2012, limbah tambang bocor dan mencemari perairan serta kolam ikan warga. Sejak itu, Barisman dan ribuan warga dari 11 desa di Dairi menolak kehadiran tambang. Mereka melakukan berbagai aksi, mulai dari demonstrasi hingga gugatan ke pengadilan.

PT DPM telah lama beroperasi di Dairi dengan izin eksplorasi logam seluas 27.420 ha, mencakup hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan areal masyarakat. Berdasarkan Surat Persetujuan Presiden Nomor B.53/PRES/1/1998, wilayah konsesi ini membentang di Kabupaten Dairi, Pakpak Bharat, dan sebagian Kabupaten Singkil, Aceh.

Aktivitas tambang merambah hutan dan ladang warga, mulai dari pengeboran hingga pembangunan akses jalan. Mayoritas saham perusahaan dimiliki oleh China Nonferrous Metal Mining Co Ltd dan Bakrie Group.

Setelah berbagai bencana melanda desanya, Barisman dan perwakilan masyarakat dari 11 desa, yang tergabung dalam Aliansi Petani untuk Keadilan (APUK) Dairi, mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta pada 2023. Gugatan itu awalnya dikabulkan, tetapi pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup mengajukan banding dan membatalkan putusan tersebut.

Namun, Barisman dan kawan-kawan tak menyerah. Mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 12 Agustus 2024, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi tersebut, memberikan kemenangan bagi warga Dairi yang telah berjuang lama.

Setelah Mahkamah Agung mengabulkan kasasi warga Dairi, Kementerian Lingkungan Hidup akhirnya mencabut izin kelayakan lingkungan hidup PT DPM pada 21 Mei 2025. Keputusan itu tertuang dalam Keputusan KLH/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Nomor 888/2025.

Namun, Barisman melihat kendaraan perusahaan masih hilir mudik di lokasi tambang. Fakta ini menimbulkan kekhawatiran masyarakat bahwa perusahaan akan kembali beroperasi dan mengancam keselamatan mereka.

“Masyarakat sudah menang, izin sudah dicabut. Perusahaan harus pergi dari tanah Dairi,” kata Barisman.

Masyarakat Dairi menggelar aksi damai di depan kantor bupati, beberapa tahun lalu. Mereka mendesak pemerintah setempat menolak aktivitas tambang di wilayahnya. | dok. Bakumsu

Dormaida Sihotang, seorang petani yang wilayahnya masuk dalam konsesi tambang, masih hidup dalam ketakutan jika DPM kembali beroperasi. Ancaman terhadap ruang hidup dan nyawa selalu membayangi.

Perempuan seperti dirinya kerap menanggung beban ganda akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan aktivitas ekstraktif, seperti penambangan. Sumber air yang tercemar, kerusakan lahan pertanian, dan bencana selalu menempatkan perempuan dalam posisi rentan. Ketika sumber air tercemar, perempuan yang paling merasakan dampaknya karena mereka bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Untuk menuntut kejelasan, Dormaida bersama masyarakat Dairi mendatangi pemerintah kabupaten dan DPRD Dairi, awal Juni lalu. Mereka mendesak pemerintah memastikan perusahaan menghentikan seluruh aktivitasnya. Namun, upaya itu menemui jalan buntu ketika hanya sekretaris dewan yang menemui mereka. Dalam pertemuan tersebut masyarakat tidak mendapat jawaban jelas ihwal respons pemerintah soal pencabutan izin PT DPM.

Situasi itu menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat Dairi. Setelah menempuh jalur konstitusional dan meraih kemenangan dengan pencabutan izin, masyarakat masih menunggu tindakan nyata pemerintah daerah.

“Kami menuntut PT DPM pergi dari Dairi, karena tambang hanya membawa kerusakan lingkungan, merampas ruang hidup, dan menimbulkan korban jiwa,” ujar Dormaida.

Seperti Lampung dan Sumatra Barat, konflik agraria merupakan persoalan serius di Sumatra Utara. Data Walhi Sumatra Utara, setidaknya tercatat delapan kasus konflik agraria di kawasan hutan yang mencakup 3.057 hektare. Konflik ini umumnya terjadi karena tumpang tindih antara kawasan hutan dengan lahan kelola masyarakat.

Selain itu, pemerintah juga menerbitkan izin kepada perusahaan untuk kegiatan seperti perkebunan kayu dan kelapa sawit di area yang sama. Walhi mendata 37 kelompok petani dengan total luas lahan 19.485,59 hektare terlibat dalam konflik agraria berkepanjangan dengan perusahaan perkebunan sawit dan usaha ekstraktif lainnya.

***

Kehampaan Hak

Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas Profesor Afrizal melihat konflik agraria di Pulau Sumatra, seperti Dairi, Pasaman Barat, dan Lampung tidak dapat dipisahkan dari kebijakan ekonomi-politik Pemerintah Indonesia yang mendorong pelaksanaan perkebunan kelapa sawit melalui korporasi. Hal ini memicu persaingan antarinvestor untuk memperluas lahan, yang sering kali merampas tanah rakyat.

Kebijakan itu dipengaruhi oleh para pemilik modal yang melobi penguasa untuk menguntungkan kepentingan mereka. Pemerintah pun cenderung meremehkan kemampuan warga desa dalam mengelola tanah, dengan menganggap mereka tidak mampu mengembangkan perkebunan secara mandiri. Padahal, dalam banyak kasus, perusahaan lebih mengutamakan akumulasi kapital daripada kesejahteraan petani.

Pelibatan masyarakat kerap kali terbatas pada status sebagai mitra atau petani plasma, yang justru menciptakan situasi timpang. Hal ini terlihat dalam beberapa kebijakan seperti skema kemitraan, plasma, dan contract farming.

Sejumlah petani perempuan Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumatra Barat, pingsan usai bentrok dengan aparat dan pihak Wilmar Group yang hendak mengusir mereka dari lahan garapannya, beberapa waktu lalu. | dok. Masyarakat Kapa

Dalam beberapa kasus, seperti di Lampung, perusahaan malah merampas kebun plasma milik petani. Pola seperti ini tak hanya di sektor perkebunan, tetapi juga bidang lain seperti pariwisata dan pertambangan, di mana peran korporasi lebih prioritas ketimbang kemandirian masyarakat.

Pelibatan masyarakat yang terbatas dan dominasi korporasi dalam berbagai sektor tidak terlepas dari sistem yang lebih luas. Hubungan erat antara elite ekonomi dan politik melahirkan “demokrasi oligarki” yang menguntungkan korporasi.

Dalam sistem ini, pemerintah lebih cenderung mendukung kepentingan elite ekonomi. Pebisnis kini menjadi bagian integral dari politik praktis, dengan perusahaan besar kerap terlibat dalam pendanaan politik tertentu. Sebaliknya, politisi condong merapat pada korporasi yang dapat menyediakan modal kampanye. Dengan sumber daya, koneksi, dan keahlian finansial yang jauh lebih besar, pemilik modal memiliki kemampuan untuk memengaruhi undang-undang dan prosedur hukum.

“Perselingkuhan keduanya membentuk sistem yang secara struktural merampas tanah dan memiskinkan petani,” kata Afrizal.

Peta sebaran konflik perkebunan kelapa sawit Wilmar Group di Sumatra Barat. | Walhi Sumatra Barat

Keadaan ini bukan hanya menciptakan “demokrasi oligarki” yang menguntungkan korporasi, tapi juga melemahkan hak-hak masyarakat desa. Kolusi antara pelaku bisnis dan otoritas negara memungkinkan perusahaan mengambil alih lahan warga pedesaan karena aturan dan hubungan informal yang tidak adil.

Menurut Afrizal, kondisi ini disebut “kehampaan hak” (rightless). Hak-hak warga kurang efektif karena ketentuan hukum tidak dilaksanakan dengan baik. Dalam praktiknya, warga sering menghadapi hambatan, seperti akses terbatas ke lembaga negara dan sistem hukum yang lemah.

Misal, masyarakat yang seharusnya memiliki hak demonstrasi dan menyampaikan tuntutan terkait ruang penghidupan, acap dikriminalisasi dengan hukum. Kondisi itu membuat hak-hak lainnya menjadi tidak dapat diakses karena harus berhadapan dengan ancaman penjara. Situasi ini menempatkan petani selalu berada dalam posisi tak berdaya.

Afrizal berpandangan, Indonesia perlu mereformasi sistem politik yang memosisikan uang sebagai modal utama meraih kekuasaan. Kondisi ini mendorong politisi cenderung mendekat kepada oligarki yang punya modal besar. Pada akhirnya, pemimpin terpilih akan terikat pada mereka yang menyediakan dana politik.

Selain itu, kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan agar tidak melanggengkan politik uang. Dengan demikian, keterlibatan korporasi dalam proses pemilu dapat berkurang.  

“Reformasi ini krusial karena setiap kebijakan lahir dari proses politik,” kata Afrizal.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 + 2 =