Perjuangan Keadilan Tak akan Padam: Suara dari Lampung untuk Papua

  • Whatsapp
APARAT kemanan dari TNI/Polri bersama ratusan pengungsi di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, beberapa waktu lalu. Hingga kini, diperkirakan puluhan ribu warga Papua sudah mengungsi ke hutan, kota, atau daerah yang jauh dari kampungnya. | ist

Pendekatan militeristik dan eksploitasi sumber daya alam menciptakan struktur penindasan yang sistematis di Papua. Kekerasan negara melahirkan trauma kolektif dan perjuangan panjang rakyat Papua akan keadilan. Penentuan nasib sendiri dan dialog setara-inklusif menjadi langkah krusial.






Akhir Desember 2019. Hujan deras turun di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah. Anak-anak tetap bermain sepak bola. Mereka berlari, menggiring bola, dan menerjang genangan air. Bermain bola kaki adalah cara mereka melepas penat setelah seharian bekerja di ladang.

Bacaan Lainnya

Namun, sore itu, rasa lapar memaksa Norpen menyudahi permainan. Ia ingin mencicipi sayur daun ubi masakan ibunya. Setelah bermain, Norpen mandi di kali kecil dekat lapangan. Rumahnya hanya beberapa langkah dari sungai.

Saat Norpen keluar dari kali, tiga truk TNI berhenti di belakangnya. Pasukan turun dengan senapan laras panjang, beberapa melepaskan tembakan ke udara. Mereka mengultimatum warga segera meninggalkan desa, menuduh ada anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang bersembunyi.

Norpen, 15 tahun, langsung lari ke rumah. “Mama, papa, kita harus pergi!” katanya panik.

Tanpa makan, Norpen dan orang tuanya bergabung dengan warga lain yang menjauh dari desa. Mereka hanya membawa pakaian dan berkas penting.

Di bawah hujan malam, rombongan warga berjalan kaki selama lima jam, membelah hutan pegunungan Puncak Jaya. Ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut membuat napas berat. Sekitar jam 12 malam, mereka tiba di Desa Eknemba, sebuah tempat yang relatif aman dari kontak senjata.

Masyarakat dari Distrik Sugapa berjalan menyusuri hutan, beberapa waktu lalu. Mereka terpaksa mengungsi karena kampungnya menjadi salah satu operasi militer di Papua. | ist

Malam itu, warga beristirahat di gereja setempat, dengan perut kosong. Mereka menunggu pagi tiba, sebelum dapat melanjutkan perjalanan. Dua hari kemudian, situasi dinyatakan kondusif, dan warga kembali ke desa. Namun, yang mereka temukan adalah rumah-rumah yang berantakan, perabotan rusak, dan kesan kehancuran.

Sejak malam itu, kampung Norpen berubah. Sebelum 2019, aparat sudah sering memeriksa identitas warga, tapi sekarang semakin brutal. Senjata digunakan secara masif, kadang tanpa peringatan, militer menyerbu desa, menembaki rumah dan ternak.

Norpen masih ingat, empat bulan setelah pengungsian pertama, tentara kembali memerintahkan warga untuk mengungsi. Desing peluru memenuhi udara, warga panik, dan Norpen menyaksikan kekacauan tersebut.

Ketika pulang, Norpen mendapati ternaknya mati ditembak. Begitu pula dengan peliharaan warga lain. Rumah-rumah Hanoi, yang terbuat dari kayu dan jerami, rusak parah dengan lubang-lubang peluru.

Norpen masih terkenang tatkala saudaranya melahirkan sewaktu pengungsian di tengah hutan, tiga tahun silam. Ia bersalin tanpa bantuan tenaga kesehatan.

Bayi tersebut lahir dengan baju seadanya. Mereka mencari perlindungan dan akhirnya menemukan pondok kecil di tengah hutan, tempat mereka berdiam beberapa hari sebelum meneruskan perjalanan ke lokasi pengungsian.

“Kejam sekali mereka, tidak manusiawi lagi,” kata Norpen mengingat peristiwa kelam yang masih berlangsung di kampungnya.

Warga terakhir kali mengungsi pada 2024. Namun, sampai sekarang, aparat masih berjaga di sudut-sudut desa. Mereka menjadikan sekolah, gereja, dan kantor desa sebagai markas angkatan bersenjata.

Militer mengawasi ketat aktivitas warga. Bahkan, sekadar mencari makan di ladang pun harus sesuai jam yang ditentukan aparat. Warga juga dilarang keluar pada malam hari. Tragisnya, Norpen menceritakan tentang seorang pendeta yang tewas ditembak dan ditikam oleh tentara saat memberi makan babi.  

Pihak berwenang, termasuk polisi dan militer, awalnya membantah peristiwa tersebut. Kepolisian Daerah Papua mengklaim bahwa insiden itu dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang ingin memancing perhatian global menjelang Sidang Umum PBB pada September 2020.

Namun, laporan Komnas HAM, tim pencari fakta gabungan di bawah Menkopolhukam, dan tim investigasi independen aktivis dan tokoh masyarakat Papua menyimpulkan bahwa kasus pembunuhan itu dilakukan oleh aparat keamanan. Semua peristiwa tersebut mengiris hati Norpen. Ia tidak bisa melupakan kekejaman serdadu.

“Kami di Papua memang tidak dianggap sebagai manusia,” ujarnya dengan nada sesak, seperti menahan tangis.

***

Letupan senjata memecah kesunyian dini hari di Desa Walima, Distrik Kwamki Narama, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Suara itu datang dari rumah kepala desa. Suasana seketika mencekam.

Ardina Kogoya dan keluarganya terbangun. Ia ketakutan, badannya gemetar hebat. Keluarga Ardina tidak berani membuka pintu, khawatir tertembak jika keluar. Mereka diam di dalam rumah, tidak mengeluarkan suara.

Pagi hari, warga gempar. Kepala desa dan istrinya didapati tewas tertembak. Keduanya dituduh terlibat dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Peristiwa itu bertepatan dengan pengepungan di desa Norpen.

Akibatnya, Ardina yang masih SMP terpaksa mengungsi ke Timika dan tinggal di rumah abangnya. Orang tuanya tetap di kampung, menjaga harta benda yang tersisa. Banyak anak lain juga mengungsi, sebagian ke kota, sebagian lagi ke hutan atau Jayapura. Ardina tidak kembali ke desanya sampai lulus SMP.

Ratusan warga di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, terpaksa mengungsi dari kampungnya akibat operasi militer. Banyak masyarakat sipil menjadi korban jiwa dalam operasi tersebut. | ist

Ardina merasa negara tidak pernah memperlakukan warga Papua dengan adil. Kebebasan mereka diambil, dan dialog selalu digantikan dengan kekerasan aparat.

“Saya sering menangis dan bertanya, apakah kami tidak berhak tinggal di tanah sendiri?” ujarnya.

Pengalaman Ardina bukanlah kasus isolasi. 2019 menjadi tahun yang mengerikan bagi berbagai kabupaten di Papua Tengah.

Menurut laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), terdapat operasi militer ilegal di Papua Tengah. Jatam memperkirakan 21.609 prajurit TNI dikirim ke Papua antara 2019-2021, berdasarkan data media dan pernyataan resmi negara. Operasi militer meningkat setelah pemerintah melabeli kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai teroris.

Pemerintah berdalih bahwa pengiriman pasukan adalah upaya mempertahankan NKRI dan menumpas ‘Kelompok Kriminal Bersenjata’. Namun, kenyataannya banyak warga sipil yang menjadi korban kekerasan militer.

Catatan Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) dan KontraS Papua, sepanjang 2020 terjadi 63 peristiwa kekerasan militer yang melibatkan TNI dan Polri, mengakibatkan 304 warga sipil Papua dan Papua Barat menjadi korban. Kepolisian terlibat dalam 33 kasus, TNI 22 kasus, dan gabungan TNI-Polri delapan kasus. Kekerasan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga motif: politik (35 kasus), arogansi aparat (25 kasus), dan ekonomi (tiga kasus).

Data Amnesty International menunjukkan bahwa antara 3 Februari 2018 hingga 20 Agustus 2024, setidaknya 132 kasus pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua, menewaskan 242 warga sipil. Sebagian besar kasus ini melibatkan aparat keamanan, dengan 83 kasus dan 135 korban.

Sementara itu, Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM) mencatat 2.118 korban jiwa akibat kekerasan di Papua sepanjang Januari 2010-Maret 2022. Sebanyak 1.654 orang luka-luka dan 464 orang meninggal dunia.

Kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai semakin brutal, dengan penggunaan senjata api, senjata tajam, pembakaran bangunan, penjarahan, dan pemerkosaan. Aktor utama kekerasan ini kelompok KKB-KSB/TPNPB-OPM dan aparat keamanan TNI/Polri.

Aparat kemanan dari TNI/Polri bersama ratusan pengungsi di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah. Hingga kini, diperkirakan puluhan ribu warga Papua sudah mengungsi ke hutan, kota, atau daerah yang jauh dari kampung halamannya. | ist

Menurut Majelis Rakyat Papua (MRP), pemerintah Indonesia telah melakukan 15 operasi militer di Papua sepanjang 1963-2004. Amnesty International mencatat 10.000 orang terbunuh dalam operasi militer antara 1963-1998.

Peter Tatchell Foundation memperkirakan lebih dari 100.000 penduduk asli Papua telah terbunuh sejak 1969. Namun, jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih besar, bahkan mendekati 500.000, akibat pembunuhan, kelaparan, dan penyakit yang berkaitan dengan pendudukan.

Kasus terbaru terjadi pada 15 Mei, di mana seorang anak Papua, Antonia Hilaria Wandagau, kehilangan ibunya, Hetina Mirip, yang ditembak dan dibakar oleh aparat negara. Mayatnya ditemukan terkubur setengah badan di pekarangan rumah mereka di Kampung Jindapa, Papua Tengah, tak jauh dari desa Norpen.

TNI mengklaim telah menembak mati 18 anggota OPM dalam operasi yang sama dengan kematian Hetina. Namun, Antonia membantah bahwa ibunya adalah seorang kombatan atau anggota OPM, melainkan seorang perempuan pendiam dan religius. Menurut Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, selain Hetina, tiga warga sipil lainnya juga tewas dalam baku tembak antara TNI dan OPM.

Kekerasan dan ketidakstabilan di Papua mendorong anak-anak seperti Ardina dan Norpen melanjutkan pendidikan di luar daerah, termasuk Universitas Lampung (Unila). Pengalaman hidup membentuk mereka menjadi lebih kuat dan gigih memperjuangkan keadilan untuk tanah kelahiran. Bersama ratusan anak lainnya, mereka menggelar aksi demonstrasi di ruang publik untuk mendesak penghentian pelanggaran HAM Berat di tanah Papua.

Ardina, Norpen, dan bangsa Papua lainnya hanya menginginkan kehidupan normal seperti masyarakat Indonesia lainnya: hidup tanpa ancaman senjata, bebas mencari nafkah dan beraktivitas, serta merasa aman dan nyaman di tanah kelahiran sendiri.

***

Dari Lampung untuk Papua

Suara langkah kaki menghantam aspal Jalan Raden Intan, Bandar Lampung, akhir Mei lalu. Tanpa alas kaki dan mengenakan koteka, Anderian Kamo memimpin longmarch puluhan mahasiswa Papua menuju Tugu Adipura.

Setelah tiba, mereka membentuk pagar batas persegi dengan tali rapia, lalu berdiri di dalamnya. Kemudian, satu per satu dari mereka menyuarakan tuntutan.

Suara solidaritas menggema di Kota Tapis Berseri. Massa aksi dari berbagai organisasi, termasuk Ikatan Mahasiswa Papua Lampung (IKMAPAL) dan Komunitas Mahasiswa Papua Se-Sumatra, berkumpul menuntut negara menghentikan operasi militer di Papua.

Anderian Kamo memimpin longmarch puluhan mahasiswa Papua menuju Tugu Adipura, Bandar Lampung, Sabtu, 31/5/2025. Aksi bertajuk “Catatan Gelap HAM di Papua” itu mendesak negara mengehentikan kekerasan militer di Papua. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Aksi tersebut respons atas peristiwa kekerasan yang terjadi di beberapa wilayah di Papua pada Mei 2025, termasuk penembakan terhadap warga sipil di Dogiyai, Intan Jaya, Maybrat, dan Puncak Jaya. Tuntutan mereka jelas: hentikan kekerasan, hormati hak asasi manusia.

Di Dogiyai, lima warga dilaporkan tertembak. Di Intan Jaya, tiga orang tewas, termasuk Hetina Mirip, di distrik yang sama dengan tempat tinggal Norpen. Operasi militer juga menyebabkan tiga warga sipil lainnya terluka akibat peluru nyasar. Di Maybrat, kasus serupa menimpa warga sipil. Semua kasus tersebut ditengarai melibatkan aparat keamanan.

“Pendekatan bersenjata hanya memperparah konflik dan menimbulkan korban di kalangan sipil, terutama perempuan dan anak-anak,” kata Anderian.

IKMAPAL mendesak negara untuk mengusut tuntas pelaku pelanggaran HAM dan membuka pengadilan. Pemulihan bagi korban dan pengungsi juga menjadi tuntutan, serta penghentian kriminalisasi terhadap aktivis dan masyarakat Papua yang menyuarakan haknya secara damai.

Mereka melihat, pendekatan militeristik hanya memperdalam luka kolektif rakyat Papua. Di tengah situasi HAM yang memburuk, negara seyogianya menjadi pelindung, bukan pelaku kekerasan.

Anderian menekankan pentingnya membuka akses bagi jurnalis, LSM, dan pemantau HAM ke seluruh wilayah Papua. Kemudian, mendorong dialog damai antara pemerintah dan rakyat Papua. Keadilan dan perdamaian di Papua hanya bisa dicapai jika negara menghormati hak asasi manusia.

Selain Anderian, banyak mahasiswa Papua lain yang turun ke jalan, hari itu. Salah satunya Ardina. Ia menyampaikan orasi dengan penuh emosi.

“Kami bukan hewan yang bisa diburu semaumu. Kami manusia Papua dengan martabat dan nyawa yang sama berharganya,” ujarnya dengan air mata mengalir.

“Kami butuh keadilan, bukan peluru. Kami butuh kedamaian, bukan operasi militer,” lanjutnya. Suara-suara ini menjadi seruan kuat bagi perubahan di Papua.

Ia bilang, perempuan Papua kerap diabaikan oleh negara. Namun, mereka tidak akan diam lagi. Perempuan Papua akan terus bersuara menuntut keadilan seutuhnya.

Massa dari sejumlah elemen menggelar aksi damai di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Sabtu, 31/5/2025. Mereka menuntut penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Pengalaman traumatis akibat konflik di Papua menjadi beban bagi masyarakat, termasuk Ardina dan Norpen. Beberapa peserta aksi juga berbagi cerita tentang trauma yang dialami. Suara-suara mereka menjadi pengingat akan pentingnya keadilan dan perdamaian di Papua.

Obaipi, mahasiswa asal Papua Tengah, masih teringat peristiwa “Paniai Berdarah” pada 2014. Tragedi itu menewaskan empat warga sipil dan melukai 21 lainnya akibat penembakan oleh tentara. Insiden ini dinyatakan sebagai pelanggaran HAM Berat oleh Komnas HAM.

Ia merasakan bahwa masyarakat Papua tidak dianggap sebagai manusia. Kekerasan dan pembantaian selalu menjadi pilihan aparat. Meskipun kini menempuh pendidikan di Lampung, ia terus menyuarakan persoalan Papua. Suara Obaipi menjadi salah satu dari banyak suara yang menyerukan keadilan di Papua.

Operasi militer di Papua sering kali dikaitkan dengan motif ekonomi, terutama eksploitasi kekayaan alam seperti tambang emas. PT Freeport Indonesia telah menghasilkan 1.900 ton emas selama 50 tahun beroperasi. Namun, kekayaan ini tidak banyak dirasakan oleh rakyat Papua.

Yosepat Mirip, mahasiswa yang tumbuh di Kota Timika, dekat lokasi tambang, menyatakan bahwa masyarakat setempat hanya menerima sebagian kecil dari kekayaan tersebut. Ini menjadi ironi bagi masyarakat Papua yang hidup di tengah-tengah kekayaan alam melimpah.

Selama puluhan tahun, keberadaan perusahaan asing tidak membawa kemakmuran bagi masyarakat Papua. Banyak warga di sekitar tambang masih hidup dalam kemiskinan. Bahkan, beberapa suku masih berpindah-pindah tanpa tempat tinggal tetap.

Yosepat pun ikut bersuara lantang, menuntut agar kekayaan alam Papua dinikmati oleh bangsa Papua sendiri. Ia menolak agar Papua tidak terus menjadi budak di tanahnya sendiri. Suara Yosepat menjadi bagian dari perjuangan panjang masyarakat Papua akan keadilan.

Tekanan dan Rasisme

Perjuangan mahasiswa Papua di Lampung tidaklah mudah. Mereka masih menghadapi intimidasi dan rasisme, bahkan di luar tanah kelahiran mereka. Peristiwa pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019 menjadi contoh nyata.

Insiden itu bermula dari dugaan penghinaan terhadap bendera merah putih, yang kemudian memicu kemarahan massa dan aparat. Di Lampung, mahasiswa Papua juga mengalami tekanan serupa. Dua mobil aparat mendatangi Rusunawa Universitas Lampung untuk meredam protes. Bahkan, pers mahasiswa Teknokra Unila yang hendak menggelar diskusi soal Papua mengalami teror, peretasan akun, dan doxing. Intimidasi ini menunjukkan bahwa perjuangan mahasiswa Papua masih jauh dari kata aman.

Kristianus Bobi, anggota IKMAPAL, mengatakan bahwa mahasiswa Papua kerap mendapat panggilan telepon dari aparat setiap 1 Desember, Hari Kemerdekaan bagi rakyat Papua sejalan dengan pengakuan kemerdekaan oleh pemerintahan Belanda pada 1961. Aparat tampaknya ingin memastikan tidak ada aksi protes atau demonstrasi yang digelar pada hari itu. Tindakan ini menambah daftar panjang tekanan yang dialami mahasiswa Papua dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Baru-baru ini, saat IKMAPAL akan menggelar aksi di Tugu Adipura, tiga mobil minibus berisi aparat berpakaian preman mendatangi sekretariat mereka. Aparat menanyakan siapa saja yang ikut dalam aksi dan kapan demonstrasi. Ini bukan pertama kalinya mahasiswa Papua dibatasi ruang gerak.

Kristianus bilang, perlakuan semacam itu memicu ketakutan dan tekanan bagi mahasiswa Papua. Mereka waswas karena pengalaman brutal aparat di tanah kelahiran. Dampaknya, banyak yang enggan terlibat dalam aksi memperjuangkan isu Papua di Lampung.

Rasisme juga masih menghantui mahasiswa Papua di Lampung. Mereka kerap menerima ejekan bernada rasis yang dapat menjatuhkan mental. Beberapa di antaranya mengaku sering menangis sendiri setelah mendengar umpatan seperti “monyet” atau “bau”.

Sejumlah mahasiswa Papua berdiskusi di sekretariat IKMAPAL, Bandar Lampung, Sabtu, 7/6/2025. Perjuangan mahasiswa di Lampung dalam menyuarakan isu Papua tak lepas dari intimidasi dan rasisme. | ist

Kristianus menekankan bahwa mereka seharusnya seperti warga Indonesia lainnya, merasa aman dan bebas menyampaikan pendapat tanpa teror, ancaman, tekanan, dan rasisme. Namun, realitasnya jauh berbeda. Pengalaman pahit ini menambah beban bagi mahasiswa Papua.

Ia menyatakan bahwa perjuangan mahasiswa Papua untuk keadilan tidak akan pernah padam. Mereka menuntut agar bangsa Papua diperlakukan dengan martabat, memperoleh kebebasan, dan hak-haknya sebagai warga negara dihormati. Kristianus juga mendesak negara menghentikan segala bentuk kekerasan dan pengiriman serdadu ke Papua.

Papua bukan tanah kosong, melainkan rumah bagi masyarakat dengan budaya dan kearifan lokal yang kaya. Namun, realitasnya, mereka seperti tamu di tanah sendiri, di mana kekayaan alamnya dieksploitasi, kebebasan dirampas, dan terus dituduh sebagai separatis.

Mahasiswa Papua menuntut negara segera membuka ruang dialog. Sejak bergabung dengan Indonesia, rakyat Papua tidak diberi kesempatan menyampaikan pilihan dan pandangan ihwal hidup mereka.

“Bila tak mau dialog dan terus menggunakan cara kekerasan, lebih baik lepaskan Papua. Biarkan kami menentukan nasib sendiri,” kata Kristianus.

Kolonialisme Primitif

Made Supriatma, peneliti isu Papua, melihat akar persoalan di sana sebagai kolonialisme primitif—penguasaan politik yang dibarengi dengan pengambilan paksa sumber daya dan tenaga kerja demi akumulasi kekayaan bagi pihak penjajah. Aparat keamanan hadir bukan untuk melindungi, melainkan memfasilitasi penjarahan kekayaan alam Papua.

Segala infrastruktur yang dibangun pun bertujuan sama: memudahkan eksploitasi. Pemerintah Indonesia hanya melihat Papua sebagai objek pengisapan tanpa membangun infrastruktur merata atau mengembangkan sumber daya manusianya.

“Sangat keji, yang dipikirkan hanya mengeruk, merampas, dan mengisap sumber dayanya,” kata Made.

Ia menggarisbawahi bahwa sejak awal Papua tidak pernah terlibat dalam arus nasionalisme Indonesia. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, Papua justru masih menjadi wilayah koloni Belanda, status yang dipertahankan hingga 1962.

Sementara itu, Indonesia mengklaim Papua sebagai bagian dari wilayahnya berdasarkan luas wilayah Hindia Belanda pada masa kolonial. Klaim tersebut menjadi dasar bagi Indonesia untuk menganggap Papua sebagai bagian integral dari negara ini, meskipun Papua sendiri tidak pernah menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejarah ini menjadi salah satu akar konflik yang terus berlanjut sampai sekarang.

Setelah menghadapi tekanan dari Indonesia dan sekutunya, Belanda menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada PBB melalui Perjanjian New York pada Agustus 1962. Setahun kemudian, kekuasaan de facto diserahkan kepada Indonesia sambil menunggu pelaksanaan referendum yang rencananya digelar pada 1969.

Namun, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang digelar Pemerintah Indonesia pada 1969 di bawah pengawasan PBB berlangsung dengan cara-cara yang jauh dari demokratis. Hanya 1.025 orang yang “dipilih” untuk mengikuti musyawarah. Prosesnya sarat dengan tipu daya, intimidasi, dan todongan senjata.

PBB dan rezim Orde Baru membenarkan proses ini dengan dalih “musyawarah dan mufakat”. Hasil Pepera memutuskan Papua bergabung dengan Indonesia, dan sejak itu operasi militer yang menewaskan ribuan warga sipil terus berjalan.

“Bangsa Papua adalah bangsa paling malang di dunia. Mereka tak pernah diajak bicara mengenai nasib sendiri. Semuanya ditentukan oleh pihak luar,” ujarnya.

Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute itu juga menyoroti sikap Pemerintah Indonesia yang dipandang pengecut dalam menangani isu Papua. OPM dan afiliasinya selalu dicap sebagai kelompok kriminal dan teroris, bukan pemberontak. Jika disebut pemberontak, hukum humaniter internasional akan berlaku, yang mewajibkan penyelesaian konflik melalui jalur perundingan, mediasi, atau arbitrase berdasarkan prinsip kedaulatan, non-intervensi, dan HAM. Namun, Pemerintah Indonesia justru menghindari perundingan dan terus mengandalkan pendekatan militeristik, yang hanya mengakibatkan lebih banyak korban sipil tak berdosa.

Menurut Made, satu-satunya cara menyelesaikan konflik di Papua dengan membuka ruang perundingan, menghentikan aktivitas militer dan kekerasan, serta memberikan kebebasan penuh kepada rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Selama hal ini tidak dilakukan, Indonesia akan terus menjajah rakyatnya sendiri dengan cara brutal.

Muhammad Novan Prasetya, Direktur Shopia Nusantara, melihat persoalan Papua dari sudut pandang lebih luas. Bukan sekadar konflik keamanan, tetapi juga sejarah panjang kolonialisme, marginalisasi, serta eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Dari segi ekonomi, sosial, hingga politik, Papua telah menjadi korban ketidakadilan struktural yang melahirkan pelanggaran HAM, ketimpangan pembangunan, dan perampasan ruang hidup.

“Kegagalan negara dalam menghormati dan menjaga kedaulatan masyarakat Papua terlihat jelas dalam berbagai bentuk ketidakadilan ini,” ujarnya.

Pengungsi dari dari Distrik Sugapa membangun tenda darurat di tengah hutan. Kondisi tidak manusiawi itu mereka rasakan selama bertahun-tahun. | ist

Pendekatan kekerasan yang terus-menerus digunakan negara, mulai dari operasi militer hingga stigmatisasi separatis, hanya memperparah luka lama di Papua. Trauma kolektif kini menjadi bayang-bayang bagi anak-anak Papua.

Novan melihat sendiri bagaimana warga Papua yang ditemuinya diliputi ketakutan saat membahas tanah air mereka. Rasa takut ini bukan tanpa alasan; sejarah kekerasan dan penindasan telah menciptakan atmosfer ketakutan yang sulit dihilangkan. Ini adalah warisan pahit dari kebijakan negara yang lebih mengutamakan keamanan daripada kemanusiaan.

Menurut dosen Ilmu Politik Universitas Musamus Merauke itu, keinginan untuk merdeka yang kerap disuarakan masyarakat Papua bukan sekadar tentang pemisahan fisik, tetapi pengakuan dan penghormatan atas hak-hak dasar mereka sebagai manusia yang bebas di tanah leluhur. Merdeka, bagi mereka, berarti hidup tanpa ancaman kekuatan militer yang membatasi kebebasan. Namun, kenyataannya justru berbeda. Pendekatan militeristik semakin menguat sejak UU TNI disahkan, menambah lapisan kekerasan dan penindasan di Papua.

Ia berharap, negara segera menghentikan kekerasan dan membuka ruang dialog yang setara, inklusif, dan berlandaskan keadilan. Hanya dengan cara ini, solusi yang sebenarnya bisa ditemukan, bukan sekadar memadamkan api konflik, tetapi membangun masa depan yang lebih manusiawi bagi rakyat Papua.

Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengakui kesalahan atas pelanggaran HAM di Papua. Pengakuan ini penting untuk memutus rantai impunitas bagi pelaku kejahatan HAM dan membuka jalan rekonsiliasi.

Selain itu, Novan juga menekankan pentingnya pengembalian akses tanah bagi masyarakat adat yang terampas. Kebijakan pembangunan yang selama ini eksploitatif harus digantikan dengan pengelolaan berbasis komunitas, ekologis, dan menghormati hak kolektif masyarakat adat Papua.

“Terpenting, suara masyarakat Papua harus menjadi prioritas,” kata Novan.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

82 + = 89