Rantai Distribusi Kopi: Petani Didesain Tak Berdaya

  • Whatsapp
PEREMPUAN petani sedang memetik kopi di lahan garapannya, Dusun Giham Balak, Sekincau, Lampung Barat, Jumat, 30/5/2025. Dalam rantai disribusi kopi, petani tak punya kontrol atas harga dan nasibnya sendiri. | ist

Rantai distribusi kopi menunjukkan bagaimana petani terjebak dalam sistem yang dirancang untuk mempertahankan ketimpangan. Dengan dominasi korporasi, petani kopi kehilangan kontrol atas harga dan nasib mereka sendiri. Pewujudan reforma agraria dan pembangunan koperasi adalah kunci pembebasan dari struktur ekonomi yang mengeksploitasi petani.






Aroma kopi menyeruak di antara pepohonan rindang di Dusun Giham Balak, Sekincau, Lampung Barat. Amrin dan istrinya memulai panen awal, memetik buah kopi matang berwarna kuning dan merah. Setelah dua hari tidak ke ladang karena hujan, mereka berharap dapat mencegah kerugian akibat biji kopi membusuk.

Bacaan Lainnya

Bulan Mei dan Juni adalah waktu yang dinanti oleh Amrin, saat hasil kerja kerasnya selama delapan bulan akan terbayar. Ia berharap panen kali ini lebih baik dari sebelumnya. Amrin butuh uang untuk membiayai anak tertuanya masuk sekolah menengah atas.

Dua puluh tahun telah berlalu sejak Amrin mulai menggarap ladang kopi. Ia masih bekerja di tanah orang lain, mengelola tiga hektare kebun kopi robusta. Hasil panen dibagi dengan pemilik lahan.

Harga kopi yang melonjak tiga kali lipat dalam dua tahun terakhir membawa sedikit harapan. Di Dusun Giham Balak, harga robusta kini mencapai Rp65 ribu hingga Rp75 ribu per kg, jauh lebih tinggi dari biasanya. Krisis iklim di Brasil dan Vietnam telah memengaruhi harga kopi di seluruh dunia.

Melonjaknya harga kopi mendatangkan berkah bagi Amrin. Ia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan menabung. Namun, di balik euforia ini, Amrin masih merasa gundah. Ia tahu harga kopi tidak pernah pasti dan bisa turun kapan saja. Apa yang terjadi jika Brasil dan Vietnam kembali pulih dan panen lagi?

Amrin mungkin segera merasakan dampaknya. Harga kopi dunia kembali turun pada 3 Juni 2025. Arabika jatuh ke level terendah empat bulan ini, sementara robusta merosot ke posisi terendah selama tujuh bulan. Penyebabnya adalah Brasil dan Vietnam, dua produsen kopi terbesar di dunia, yang diperkirakan akan meningkatkan produksi.

Ia tahu bahwa naik turunnya harga kopi bukanlah masalah utama. Problem sebenarnya adalah ketidakberdayaan petani dalam menentukan harga.

“Apa kata tengkulak, itulah yang kami ikuti,” kata Amrin dengan nada yang pasrah.

Saat musim panen tiba, para pengepul kopi sudah menanti di depan pintu rumah-rumah petani. Setiap tengkulak menawarkan harga, dan petani seperti Amrin hanya bisa memilih yang tertinggi. Harga itu kemudian menjadi patokan bagi petani lainnya.

Amrin sadar, di balik itu semua ada kesepakatan di antara para tengkulak untuk menentukan harga yang tidak terlalu jauh berbeda. Petani hanya bisa menerima harga tersebut tanpa kuasa menentukan sendiri.

Ia merasa ada ketidakadilan dalam sistem ini. Petani seperti dirinya yang menanam, memupuk, dan merawat kopi hingga panen, namun ketika menjual, hanya bisa berserah.

“Kami tidak tahu apa yang menjadi dasar penentuan harga,” kata Amrin.

Tapi, Amrin tak menyangkal peran tengkulak dalam kehidupan petani. Saat paceklik, tengkulaklah yang membantu dengan pinjaman uang untuk modal produksi dan kebutuhan sehari-hari. Namun, bantuan itu tidak datang tanpa syarat.

Petani yang meminjam uang harus menjual kopi kepada spekulan, dan kadang-kadang harga yang ditawarkan jauh dari wajar. Bunga pinjaman pun kerap ditambahkan, membuat beban petani kian berat.

Amrin terjebak dalam dilema. Sebelum harga kopi seperti sekarang, ia sering meminjam uang dari tengkulak untuk biaya produksi dan kebutuhan sehari-hari sambil menunggu panen. Oleh karena itu, meskipun harga kopi sedang naik, Amrin tetap gelisah. Masalah utamanya adalah petani tidak memiliki daya tawar atas keringat mereka. Petani selalu menanggung risiko tertinggi di tengah ketidakpastian harga kopi.

“Kalau gagal panen, petani yang menanggung kerugian, bukan tengkulak atau perusahaan,” ujarnya.

Sejumlah petani sedang menjemur kopi di sebuah gunung di Kabupaten Pesawaran, Lampung, beberapa waktu lalu. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Amrin merasa bahwa sistem saat ini hanya menjadikan petani sebagai objek dagang, bukan pelaku utama. Mereka memeras keringat menghasilkan kopi, tapi tidak terlibat dalam penentuan harga. Ia berharap ada sistem yang lebih adil, di mana petani memiliki andil dalam menentukan harga, bukan hanya menerima keputusan sepihak. Dengan begitu, proses jual beli bisa berjalan setara, dan petani tidak lagi menjadi pihak yang dirugikan.

Di ketinggian hampir 400 meter di atas permukaan laut, petani kopi di Air Bakoman, Pulau Panggung, Tanggamus, menghadapi persoalan serupa. Mereka mengelola sekitar 170 hektare lahan yang ditanami kopi melalui skema perhutanan sosial. Potensi produksinya mencapai 300 ton per tahun. Namun, di balik hasil yang melimpah, petani tidak bisa menikmati dampaknya secara maksimal.

Mawardin, petani setempat, berterus terang tak berdaya dalam menetapkan harga. Petani hanya pasrah dengan harga yang ditentukan oleh tengkulak, tanpa opsi lain karena tidak memiliki akses informasi terhadap pasar global.

Kondisi di Air Bakoman mirip dengan Lampung Barat. Pengepul sering kali menjadi dewa penyelamat ketika petani kesulitan – memberikan pinjaman uang untuk membantu mereka keluar dari masalah. Namun, bantuan ini bisa menjadi jebakan. Petani yang berutang wajib menjual kopi kepada pengepul dengan harga lebih rendah dari pasar.

“Harga itu jadi permainan karena mereka yang menentukan,” kata Mawardin.

Kondisi ini telah berlangsung lama, menjadi momok bagi petani dan membuat mereka sulit keluar dari kemiskinan. Meskipun harga kopi naik dalam dua tahun terakhir, belum tentu membawa kesejahteraan bagi petani.

Mawardin bilang, selama petani tidak menguasai sistem jual beli, sulit bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidup. Harga kopi yang selalu berubah-ubah, dipengaruhi oleh produksi global dan iklim dunia, menempatkan petani susah memiliki kendali atas nasib sendiri.

Ia berharap petani punya posisi tawar, bahkan ketika harga kopi turun. Dengan begitu, petani tidak akan menanggung beban paling tinggi sendirian. Dalam proses produksi, petani sudah menghadapi berbagai risiko, mulai dari biaya hingga ancaman gagal panen.

Mawardin ingin memiliki akses langsung ke pasar ekspor. Akan tetapi, minimnya informasi tentang dinamika ekspor global serta keterbatasan modal membuat hal itu sulit terwujud. Petani membutuhkan uang tunai segera, sehingga tengkulak menjadi pilihan utama untuk menjual biji kopi.

“Perusahaan besar saja yang bisa ekspor, petani tak punya akses atau modal,” ujarnya.

***

Rantai Distribusi Kopi

Lampung memang menjadi provinsi penghasil biji kopi terbesar kedua setelah Sumatra Selatan, dengan produksi rata-rata di atas 100.000 ton per tahun. Namun, di balik kesuksesan ini, petani kopi masih menghadapi kesulitan dalam menentukan harga dan mengakses pasar.

Tahun lalu, Lampung memproduksi 141.191 ton kopi dari lahan seluas 152.378 hektare, meningkat lebih dari 35.000 ton dari tahun sebelumnya. Lampung Barat menjadi daerah penghasil kopi terbanyak dengan 62.980 ton, diikuti Tanggamus, Way Kanan, dan Lampung Utara.

Ekspor kopi Lampung juga memperkuat neraca perdagangan luar negeri, dengan nilai surplus USD 4,16 miliar pada 2024. Kopi robusta menjadi komoditas unggulan yang menyumbang besar, dengan total ekspor mencapai 10.597 ton senilai sekitar USD 1 miliar ke negara-negara seperti Vietnam, Rusia, dan Amerika Serikat.

Pada Januari-April 2025, BPS Provinsi Lampung mencatat nilai ekspor mencapai USD 1,925 miliar, dengan sektor nonmigas – termasuk kopi – menyumbang 22,33%. Namun, di balik angka ekspor yang mengesankan, pendapatan petani kopi justru menunjukkan hasil berbeda. Riset Universitas Lampung, rata-rata penghasilan petani kopi hanya Rp26 juta per tahun, jauh di bawah pendapatan per kapita Lampung yang mencapai Rp48,2 juta per tahun.

Penelitian oleh Abu Hasan dkk dari Institut Pertanian Bogor juga menunjukkan hasil serupa. Mereka menemukan bahwa pendapatan total rumah tangga petani kopi robusta di sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) – termasuk Lampung – antara Rp20,79 juta hingga Rp30,73 juta per tahun. Artinya, pendapatan bulanan petani kopi sekitar Rp1,7 juta-Rp2,5 juta.

Hingga Maret 2024, tercatat 941.230 penduduk Lampung masih hidup di bawah garis kemiskinan, meskipun sektor pertanian – termasuk kopi – menjadi tumpuan ekonomi utama. Ironisnya, penerima manfaat terbesar dari ekspor kopi bukanlah petani seperti Amrin dan Mawardin, melainkan korporasi. Di Lampung, sekitar 90% eksportir kopi adalah perusahaan asing, seperti Nestlé, PT Louis Dreyfus Company Indonesia (LDC), PT Olam Food Ingredients (OFI), PT Torabika Eka Semesta, dan PT Asia Makmur.

Seorang pengendara melintas di depan pabrik Nestle di Panjang, Bandar Lampung, Selasa, 3/6/2025. Salah satu produsen olahan kopi terbesar di dunia itu tidak mengambil bahan baku langsung dari petani, melainkan perusahaan lain yang menampung kopi. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Di antara korporasi pengekspor kopi di Lampung, Nestlé merupakan salah satu nama besar yang beroperasi di industri kopi global. Nestlé, melalui PT Nestlé Indonesia, mengekspor biji kopi olahan seperti Nescafé ke Singapura, Bangladesh, dan Pakistan.

Pada 2020, mereka mengekspor 155,15 ton produk olahan kopi senilai USD 475.224. Setiap tahun, Nestlé menyerap sekitar 50.000 ton biji kopi, setara dengan 1,2 triliun. Sebagai perusahaan multinasional terkemuka, Nestlé memiliki nilai merek lebih dari USD 20,7 miliar pada 2024, menjadikannya merek makanan paling berharga di dunia.

PT Asia Makmur juga menjadi salah satu eksportir besar kopi di Lampung, dengan volume ekspor sekitar 50.000 ton per tahun. Perusahaan ini memiliki kapasitas pengolahan biji kopi maksimal 40.000 kg dan output sebesar 34.623,85 kg.

Sebelum diekspor, biji kopi melewati rantai pasok yang panjang. Prosesnya dimulai dari petani yang menjual biji kopi kepada tengkulak kecil di wilayahnya masing-masing.

Selanjutnya, tengkulak kecil akan menyetor kopi kepada pengepul besar yang memiliki gudang penyimpanan. Pengepul dari berbagai daerah kemudian memasok kopi ke perusahaan eksportir, di antaranya LDC, Asia Makmur, Olam Food Ingredients, dan Torabika Eka Semesta. Di sini, kopi diolah untuk diekspor atau digunakan sebagai bahan baku produk olahan. Sementara itu, perusahaan besar seperti Nestlé mendapatkan bahan baku kopi dari beberapa pemasok, termasuk LDC, Asia Makmur, OFI, PT Berindo Jaya, dan PT Sucden Coffee Indonesia.

Setiyanto, seorang tengkulak besar di Tanggamus, memasok sekitar 1.200 ton kopi per tahun ke PT LDC, dengan pengiriman bulanan mencapai 50-100 ton dari petani binaannya. Ia bilang, perusahaan umumnya tidak menerima kopi langsung dari petani, melainkan dari pengepul besar yang telah terdaftar sebagai perusahaan kena pajak (PKP).

Perusahaan juga menetapkan standar kualitas kopi, seperti kadar air 11%-14%, dan menentukan harga basis setiap hari. Tengkulak besar seperti Setiyanto biasanya mengikuti harga yang ditetapkan perusahaan, meskipun tidak mengetahui secara pasti bagaimana perusahaan menentukan harga tersebut.

Harga basis yang ditetapkan perusahaan menjadi patokan bagi tengkulak untuk membeli kopi dari petani. Tengkulak besar biasanya mengambil margin Rp500-Rp1.000 per kilogram, sementara tengkulak kecil mencari keuntungan dari selisih harga jual ke tengkulak besar.

Harga kopi dunia, khususnya kopi robusta, mengacu pada Intercontinental Exchange (ICE) London. Pada 5 Juni 2025, pukul 01.01 WIB, harga Kopi Robusta London Berjangka tercatat USD 4.453 per ton, atau setara dengan Rp72.557 per kg. Sementara di tingkat petani, harga jual sekitar Rp60 ribu-Rp65 ribu.

Rantai distribusi seperti ini menempatkan petani dalam posisi lemah. Sepanjang rantai pasok, petani tidak memiliki kuasa untuk menentukan harga jual biji kopi mereka. Perusahaan dan tengkulaklah yang menetapkan harga, membuat petani sulit mencapai kesejahteraan.

Suasana sebuah kafe di kawasan Tanjungkarang Barat, Bandar Lampung, Jumat, 30/5/2025. Menjamurnya kafe yang menyediakan minuman kopi tidak berdampak signifikan terhadap kehidupan petani. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Ironisnya, kafe dan kedai kopi di Lampung menjamur, tapi tidak banyak membantu pendapatan petani. Sebab, banyak kafe membeli bahan baku dari distributor, bukan langsung petani.

Aldi, pemilik Tone Coffee, membeli biji kopi yang sudah di-roasting dari pengecer dengan harga Rp300 ribu-Rp350 ribu per kg. Dalam setiap pembelian, ia biasanya mengambil 7-10 kilogram.

Aldi tidak memiliki akses langsung ke petani karena stok telah diborong tengkulak. Selain itu, petani umumnya tidak memiliki fasilitas roasting, sehingga ia bergantung pada distributor yang memiliki mesin pemanggang.

Farhan, barista Kafe Benefits, pun menyampaikan hal senada. Kedainya membeli biji kopi robusta yang sudah dipanggang sebesar Rp180 ribu per kg. Sebelumnya, Farhan pernah membeli langsung dari petani, tetapi pasokan sering tidak tersedia karena jumlah pesanan yang sedikit, hanya 10 kg. Padahal, membeli dari petani bisa lebih murah Rp60 ribu-Rp70 ribu per kg, dengan biaya roasting tambahan Rp20 ribu per kg.

“Dengan kopi dari petani, kami bisa memotong ongkos produksi hingga setengah,” kata Farhan.

Namun, tidak semua kafe bergantung pada distributor. Beberapa kafe besar seperti Els Coffee dan Dr Coffee memiliki perkebunan kopi sendiri, sehingga dapat mengontrol penjemuran dan pemanggangan. Mereka juga menjual produk olahan kopi bubuk dan biji kopi kepada pelanggan, termasuk kafe lain.

Harga kopi robusta olahan Dr Coffee sebesar Rp250 ribu per kg, sedangkan Arabika dijual Rp185 ribu per 200 gram. Namun, di balik popularitas kafe-kafe ini, kehadiran mereka tidak berdampak signifikan bagi petani karena ada keterputusan rantai antara kafe dan petani.

***

Melawan Lewat Koperasi

Harum kopi menguar dari balik mesin sangrai dan penggilingan di Dusun Sidorejo, Pekon Ngarip, Kecamatan Ulu Belu, Tanggamus. Sri Wahyuni berdiri di samping mesin giling, mengisi corong dengan biji kopi kering yang telah dipanen dengan telaten. Ibu-ibu lain duduk di sekitarnya, mengumpulkan bubuk kopi yang keluar dari mesin. Di sudut ruangan, tim lain sibuk mengemas bubuk kopi ke dalam kemasan kecil bertuliskan “Kopi Srikandi.”

Di balik mesin, ada cerita tentang perjuangan perempuan petani kopi. Pada 2015, Sri dan 17 perempuan petani kopi lainnya mendirikan Kelompok Simpan Usaha (KSU) Srikandi Maju Bersama. Kala itu, kehidupan petani kopi sangat sulit. Mereka ingin meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal melalui usaha kopi yang dikelola sendiri.

Anggota KSU Srikandi sedang memasukkan kopi ke mesin penggilingan, beberapa waktu lalu. Petani kopi di sana mendirikan koperasi untuk melawan dominasi korporasi kopi. | dok. KSU Srikandi

Hari ini, KSU Srikandi memiliki 308 anggota dari delapan dusun. Bagi mereka, koperasi bukan hanya tempat berjualan, tapi juga simbol perlawanan terhadap dominasi korporasi kopi.

Banyak petani kopi hidup dalam kesulitan nyata. Mereka terjerat utang pada tengkulak dan tertatih-tatih memenuhi kebutuhan harian. Setiap panen, hasil kopi langsung ludes bayar utang, tanpa sisa untuk masa depan.

Kopi yang mereka tanam membutuhkan waktu 8-11 bulan untuk siap panen, tapi pada masa paceklik, petani kerap kelimpungan. Ketika menjual kopi, mereka tidak punya posisi tawar dan harus menerima harga yang ditetapkan tengkulak. Kondisi ini yang mendorong Sri dan warga desa untuk mencari jalan keluar dan membangun kemandirian, seperti yang mereka lakukan dengan mendirikan KSU Srikandi.

Setelah berjuang melawan kemiskinan dan dominasi korporasi, KSU Srikandi kini berdiri kokoh dengan unit usaha “Kopi Srikandi”. Perjuangan panjang itu dimulai dengan modal kecil, 5 kg kopi per orang dari para anggota. Dari situ, mereka belajar memproduksi kopi dengan kualitas tinggi dan menentukan harga sendiri.

Sekarang, mereka bisa menghasilkan sekitar 100-200 kg kopi petik merah setiap kali produksi, dengan harga jual Rp180 ribu per kg, jauh di atas harga yang ditawarkan pengepul. Kopi Srikandi telah dipasarkan di beberapa daerah di Indonesia, bahkan menarik perhatian Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Dengan keberhasilan ini, KSU Srikandi berani bermimpi lebih besar, termasuk menembus pasar ekspor ke Korea.

“Jadi, enggak semuanya bergantung pada tengkulak. Ada hasil panen yang diolah di koperasi,” kata Sri.

Sri Wahyuni memperlihatkan produk olahan Kelompok Simpan Usaha (KSU) Srikandi Maju Bersama di Ulu Belu, Tanggamus. Membangun koperasi menjadi salah satu cara bagi petani kopi melawan dominasi korporasi dan keluar dari jerat tengkulak. | dok. KSU Srikandi

KSU Srikandi tidak hanya berfokus pada kopi, tapi juga menjadi wadah keuangan bagi anggotanya. Dengan kesepakatan sederhana, siapa pun bisa bergabung: membayar uang pangkal Rp20 ribu dan simpanan pokok Rp250 ribu. Setiap bulan, anggota menyisihkan Rp10 ribu sebagai simpanan wajib, dan menambahkan simpanan sukarela sesuai kemampuan.

Sistem ini memungkinkan anggota mengakses dana kapan pun dibutuhkan, dengan pemberitahuan satu bulan sebelumnya untuk simpanan sukarela. Dengan cara ini, KSU Srikandi lebih dari sekadar koperasi—menjadi pilar keuangan bagi masyarakat desa.

Lewat KSU Srikandi, para anggota kini bisa mengakses pinjaman hingga Rp15 juta untuk modal produksi kopi, membebaskan petani dari jerat tengkulak yang kerap mencekik. Akhir tahun, koperasi menggelar rapat untuk membagikan sisa hasil usaha, memberi anggota bagian dari keuntungan yang diciptakan bersama. Pada 2019, total kekayaan koperasi bahkan melampaui setengah miliar, bukti nyata keberhasilan upaya kolektif.

Sri yakin, koperasi adalah kunci pembebasan dari rantai distribusi yang merugikan petani. Dengan kemandirian, petani tak lagi hanya menjadi objek penerima, tapi juga pelaku utama industri kopi.

“Kami bisa menentukan harga sendiri, bukan hanya menerima harga dari perusahaan dan tengkulak,” ujarnya.

Demokratisasi Ekonomi

Rantai distribusi kopi yang menempatkan petani dalam posisi tidak berdaya bukanlah fenomena alamiah, melainkan hasil dari dinamika kapitalisme yang kompleks. Menurut Muchtar Habibi, ahli ekonomi politik pembangunan dan kebijakan pertanian Universitas Gadjah Mada, sistem ini dirancang untuk mempertahankan ketimpangan. Petani gurem dan buruh tani, yang sering kali tidak memiliki lahan luas, terjebak dalam siklus eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan akumulasi kapital korporasi.

Mereka tidak memiliki pilihan selain terlibat dalam sistem yang menyerupai model inti-plasma, di mana petani diwajibkan memproduksi komoditas sesuai kebutuhan perusahaan. Di balik narasi “kemitraan” dan “kemajuan bersama”, realitasnya adalah petani hanya menjadi penyedia bahan baku tanpa kontrol atas harga dan nasib mereka sendiri. Sistem ini mempertahankan ketidaksetaraan dan eksploitasi terhadap petani kopi.

Contoh konkret dari sistem ini dapat dilihat pada perusahaan-perusahaan besar seperti Nestle, yang mengklaim bekerja sama dengan 20.000 petani kopi di Tanggamus dan Lampung Barat. Demikian pula dengan PT LDC Indonesia, yang membina 7.000 petani kopi di sejumlah kabupaten di Lampung. Kerja sama itu sering kali diwarnai dengan narasi kemitraan dan pembangunan. Namun, esensinya adalah perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh pasokan kopi dalam jumlah besar dengan harga yang ditentukan sendiri.

Seorang pengendara melintasi PT Louis Dreyfrus Company (LDC), Bandar Lampung, Senin, 1/6/2025. LDC dan perusahaan serupa, membeli kopi dari para pengepul besar yang memborong kopi di tingkat petani. Dalam prosesnya, perusahaan yang menentukan harga basis kopi. | KONSENTRISID/Derri Nugraha 

Pada praktiknya, petani kecil tidak memiliki akses langsung ke perusahaan. Mereka harus melalui tengkulak atau perusahaan yang telah menjalin kerja sama dengan korporasi besar. Kondisi tersebut menyebabkan petani kecil menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka tidak dapat menikmati hasil kerja kerasnya secara maksimal karena terjebak dalam rantai pasok yang panjang dan harga beli rendah.

Sistem yang telah berlangsung sejak zaman kolonial itu memungkinkan perusahaan memanfaatkan keterbatasan modal petani gurem. Tengkulak atau perusahaan menawarkan bantuan seperti bibit dan kredit dengan syarat harga jual yang ditentukan sendiri. Petani yang terjebak dalam sistem tersebut tidak memiliki pilihan selain menerima ketetapan harga dari pemilik modal, sehingga terus berada dalam posisi lemah.

Penulis buku “Capitalism and Agrarian Change: Class, Production and Reproduction in Indonesia” itu menekankan bahwa sistem yang mengungkung petani kopi tak hanya dibentuk oleh mekanisme pasar dan korporasi, tetapi juga difasilitasi oleh negara.

Pemerintah berperan aktif dalam memfasilitasi dan mendorong sistem kemitraan melalui regulasi dan kebijakan. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan besar didorong untuk berpartner dengan petani, seperti dalam kasus kopi dan perkebunan kelapa sawit. Ini semakin memperkuat posisi korporasi dan memperlemah posisi tawar petani.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan serangkaian regulasi untuk mendorong kemitraan antara perusahaan besar dan petani. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan Usaha Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/PK.240/5/2017 tentang Kemitraan Usaha Peternakan menjadi landasan hukum bagi kemitraan inti-plasma dan contract farming.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 juga mendorong perusahaan perkebunan besar untuk membangun kebun plasma, memperkuat model kemitraan yang sudah ada.

Pola kemitraan ini digadang-gadang dapat meningkatkan kesejahteraan petani, efisiensi produksi, dan efektivitas pemasaran hasil pertanian. Pemerintah kerap menggunakan retorika bahwa skema itu akan membawa kemajuan bersama bagi petani dan perusahaan.

“Padahal, skema tersebut lebih menguntungkan korporasi karena mengurangi risiko usaha,” kata Muchtar.

Dengan bermitra, perusahaan dapat menghemat biaya produksi secara signifikan. Petani yang bekerja dan menghasilkan komoditas membuat perusahaan dapat membeli produk jadi dengan harga sepihak, seringkali di bawah harga pasar yang wajar.

Jika perusahaan memproduksi sendiri menggunakan tenaga buruh, risiko kerugian akan meningkat karena potensi gagal panen, gelombang protes buruh, dan mogok kerja. Guna menekan biaya dan meminimalkan risiko, perusahaan beralih ke skema contract farming, yang memberi mereka kontrol tanpa beban langsung dari proses produksi.

Lewat skema itu, semua beban kerugian akan ditanggung oleh petani. Ketika terjadi gagal panen, petanilah yang memikul risikonya secara langsung. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan modal untuk biaya perawatan tanah, pengawasan pekerja, dan sewa gudang. Mereka hanya menerima barang dari petani sesuai standar yang ditetapkan. Pola seperti inilah yang terus berlanjut sampai sekarang, membuat petani sulit keluar dari kemiskinan dan mencapai kesejahteraan.

Menurut Muchtar, langkah mendasar untuk melawan sistem ini adalah mewujudkan reforma agraria, yang berarti distribusi tanah yang adil bagi seluruh petani. Dengan reforma agraria, tidak akan ada lagi tuan tanah yang berubah menjadi tengkulak dan menjadi alat bagi korporasi untuk mengeksploitasi petani. Reforma agraria dapat menjadi kunci untuk mengubah struktur ekonomi pedesaan dan memberdayakan petani secara ekonomi.

Setelah ketimpangan penguasaan lahan diatasi, langkah berikutnya adalah membangun kemandirian dan demokratisasi ekonomi melalui sistem koperasi. Dengan cara ini, pemusatan modal dan akumulasi kapital dapat dihindari, sehingga kesejahteraan dapat dinikmati oleh semua petani.

“Model ekonomi kerakyatan itu akan membuat petani lebih berdaya dan memiliki kontrol atas hasil kopi yang mereka produksi,” ujarnya.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 + 2 =