Selubung Kasus Skors-DO Mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia

  • Whatsapp
ANGGOTA Himateks UTI sedang rapat di sekretariat mereka pada 2019. | dok. Himateks UTI

Sembilan mahasiswa Teknik Sipil Universitas Teknokrat Indonesia dikenai skors dan drop out. Penjatuhan sanksi tersebut setelah mereka mendirikan sekretariat organisasi di luar kampus. Pihak kampus menyematkan berbagai tuduhan, mulai dari meresahkan warga, membangun jiwa ekstremisme dan radikalisme, hingga tak memenuhi standar akademik.   

Bacaan Lainnya





Semua bermula pada 2019. Sekitar jam dua siang pada awal November, sekelompok mahasiswa membersihkan sebidang tanah. Ukuran lahan itu kira-kira 10 x 3 meter. Mereka menebang 5 – 6 pohon pinang. Batang pohon tersebut digunakan untuk membuat bangku dan tiang untuk pondokan semipermanen. Atapnya memakai seng dan asbes.

Sekelompok mahasiswa itu adalah Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil (Himateks) Universitas Teknokrat Indonesia (UTI). Mereka terdiri dari mahasiswa teknik sipil angkatan 2017, 2018, dan 2019.

Saban hari, jika tidak ada jam kuliah, mereka secara kolektif membangun tempat tersebut menjadi sekretariat himpunan.

“Jadi, memang kami bareng-bareng dengan alat seadanya dan uang pribadi membangun sekretariat di tempat itu,” kata Ahmad Mu’fatus Sifa’i, mantan Ketua Himateks UTI, Kamis, 15 April 2021.

Tempat mereka membangun sekretariat semipermanen di samping Kantin Panggung. Lokasinya di belakang kampus UTI di Jalan Pagaralam 1, Kelurahan Kedaton, Kota Bandar Lampung. Sejak 2018, Fatus-panggilan Ahmad Mu’fatus Sifa’i-dan anggota Himateks memang sering kumpul di kantin itu. Mereka kenal baik dengan pemilik kantin.

“Karena kami (mahasiswa teknik sipil) ramai yang ke kantin, dan pemilik kantin tahu kalau kami tak punya sekretariat. Jadi, diperbolehkan pakai lahan itu,” ujar Fatus.

Tadinya, lahan berbentuk seperti gang itu digunakan sebagai akses masuk ke rumah yang berada di belakang kantin. Rumah itu juga punya pemilik kantin.

Anggota Himateks UTI sedang rapat. Kondisi sekretariat sebelum dibongkar pada 2019. | dok. Himateks UTI

Himateks akhirnya meminta izin kepada pemilik kantin untuk mendirikan bangunan semipermanen di lahan tersebut. Bangunan itu berupa pondok dengan lantai keramik putih dan atap berbahan asbes. Tempat itulah yang mereka gunakan sebagai tempat rapat, diskusi, dan merancang agenda-agenda himpunan. Kegiatan seperti pelatihan batu bata untuk mahasiswa teknik sipil, agenda pameran, serta kegiatan pengabdian kepada masyarakat mereka bahas di sana.

Namun, keberadaan Himateks di perkampungan warga itu tak berjalan dengan baik. Tidak lama setelah sekretariat berdiri, para mahasiswa didatangi babinkamtibmas sekitar jam sepuluh malam. Kedatangan anggota kepolisian tersebut hendak mengecek sekretariat Himateks.

“Babinkamtibmas itu mengatakan kepada kami bahwa kampus yang melaporkan,” kata Ikbal Surya Putra, anggota Himateks, yang saat itu berada di sekretariat. Belakangan diketahui, babinkamtibmas tersebut tak lagi bertugas di wilayah Kedaton.

Pada Februari 2020, anggota babinkamtibmas baru atas nama Aiptu Nurhali mendatangi markas Himateks sekitar jam sembilan malam. Tak berbeda jauh dengan babinkamtibmas sebelumnya, kedatangan aparat tersebut guna mengecek lokasi sekretariat.

“Babinkamtibmas itu memperingatkan kami untuk tidak kumpul-kumpul saat malam hari. Akhirnya, saat itu juga semua anggota himpunan yang berada di lokasi bergegas meninggalkan sekretariat,” ujar Agung Fernando Habeahan, anggota Himateks.

Satu bulan kemudian, awal Indonesia dilanda pandemi Covid-19, Nurhali kembali menyambangi sekretariat Himateks. Datang jam sembilan malam, kali ini ia bersama seorang pria berpakaian preman yang mengaku aparat. Dengan nada tinggi, pria tersebut berbicara, “Ini apa kumpul-kumpul? Kalau mau kumpul-kumpul jangan di sini, di kafe. Bubar!”

Kami mencoba mengonfirmasi kepada Aiptu Nurhali terkait peristiwa tersebut. Saat itu, Nurhali mengawal apel Satgas Covid-19 bersama Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana di Graha Mandala Alam, Kedaton, Minggu, 18 April 2021. 

Kami bertanya kepada Nurhali ihwal kedatangannya ke sekretariat Himateks. Namun, ia tampak takut untuk berbicara soal peristiwa tersebut.

“Tolong, tolong, mohon…Saya minta tolong jangan ditanya lagi,” ujarnya sambil tergesa-gesa menuju tempat parkir.

Kami menyampaikan bahwa konfirmasi itu penting untuk menjaga keberimbangan berita. Namun, Nurhali tetap tidak ingin memberi tanggapan.

“Jangan tanya saya, bukan ranah saya,” ucap Nurhali sembari meninggalkan kami dengan sepeda motornya.

Pada malam pembubaran itu, sekitar 20 mahasiswa yang berada di sekretariat. Fatus bersama Agung ditemani anak pemilik kantin bernama Rudi dan Nurdin, tetangga di depan kantin, menemui ketua RT setempat. Tujuannya, mereka ingin memberitahu bahwa kumpul-kumpul di lahan samping kantin itu merupakan aktivitas organisasi.

“Sebenarnya, mereka gak beritahu, saya sudah tahu. Kan saya punya kantin di situ,” kata Syarif Sunoto, Ketua RT 07.

Ia bilang, yang berselisih paham adalah pihak Teknokrat dan mahasiswa. “Ya kan masalahnya tempat itu, jalan itu (lahan sekretariat mahasiswa). Mereka kan nongkrong di situ, menurut Teknokrat mereka ribut,” ujar lelaki yang akrab disapa Ujang itu.

Pihak kampus merasa takut mahasiswa mengganggu warga. Namun, saat Ujang bertanya kepada warga apakah ada yang terganggu dengan keberadaan mereka, warga bilang tidak. Itu sebabnya, Ujang hanya memperingatkan mereka untuk tidak berkumpul sampai larut malam.

Penguasaan Lahan

Pada 2011, lingkungan yang dihuni mahasiswa merupakan perumahan warga. Kurang lebih 20 kepala keluarga tinggal di sana. Seiring waktu, satu per satu lahan warga jadi milik Teknokrat. Sekarang, tersisa sekitar 5-6 kepala keluarga saja di kompleks tersebut.

Dua warga membenarkan bahwa dahulu kompleks itu adalah perumahan warga. “Dahulu banyak tetangga saya di sini. Tapi, mulai tahun 2013, satu per satu pindah, dibeli pihak kampus (Teknokrat),” ujar Sultan (25), salah seorang warga.

Kini, di dekat lahan sekretariat Himateks itu hanya terdapat dua rumah warga, yaitu rumah Sultan dan pemilik kantin yang saling berhadapan. Selebihnya, sudah jadi milik Teknokrat. Sekitar 50 meter dari lahan sekretariat barulah ada rumah warga lagi. Terdapat empat rumah warga dan sebuah kantor milik Sultan. Ada juga sekitar 4-5 rumah di depan kantor Sultan, tapi sudah jadi milik Teknokrat. Kantor Sultan pun pernah ditawar pihak kampus.

Pembongkaran sekretariat Himateks UTI pada Selasa, 9 Februari 2021. Pembongkaran tersebut disaksikan sejumlah satpam kampus UTI. | ist

Berdasar video yang kami terima, pada 9 Februari 2021, seorang pria yang suaranya mirip Rektor UTI Nasrullah Yusuf memerintahkan untuk membongkar sekretariat Himateks. Dalam video tersebut, pria itu berbicara dengan nada tinggi dari loteng rumah Nasrullah.  

“Yang menentang kafir! Kalau gak bongkar, laporkan polisi. Kita tangkap itu,” katanya.

“Saya catat kamu…Saya catat kamu. Ini (lahan sekretariat mahasiswa) kan untuk (jalan menuju) masjid. Jihad demi Islam…Jihad demi Islam. Yang melawan kafir!”

Pria itu beberapa kali mengulangi perkataan yang sama. Lahan sekretariat yang dipakai mahasiswa merupakan aset atau jalan menuju masjid. Masjid dimaksud adalah Masjid Asmaul Yusuf yang berada di dalam kampus.

“Itu kan aset ke masjid. Karena kalian (Himateks) tempati, itu gak bisa dipakai aset ke masjid. Kami sudah sabar lebih dari satu tahun. Kami jihad. Ingat itu, kami jihad! Mati pun kami mau,” teriak lelaki tersebut.

Ia juga melontarkan ancaman. “Saya ada foto kalian (mahasiswa), bongkar! Kalau gak bongkar, saya pecat kalian,” ujarnya.

Nasrullah enggan dikonfirmasi ihwal video tersebut. Pesan lewat WhatsApp hanya centang biru (terbaca). Telepon juga tak dijawab walau dalam keadaan aktif.

Kami pun mendatangi kampus UTI. Namun, Nasrullah yang juga Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia itu tak dapat ditemui.

Dua mahasiswa dan seorang warga yang mengetahui kejadian itu menyampaikan bahwa peristiwa tersebut pada sore hari. Rumah Nasrullah berjarak sekitar 10 meter dari lahan sekretariat Himateks.

Saat itu, kata mereka, yang diperintahkan untuk membongkar sekretariat mahasiswa adalah anggota satuan pengamanan (Satpam) kampus. Video lain memperkuat hal tersebut. Dalam video, beberapa orang terlihat mengenakan seragam berwarna putih seperti satpam.

Apa yang diklaim pria dalam video bahwa lahan tersebut merupakan aset atau jalan menuju masjid tak menunjukkan demikian. Sebab, di ujungnya terdapat bangunan seperti kontrakan yang menutup lahan tersebut. Lahan dimaksud merupakan akses menuju rumah di belakang kantin. Di belakang rumah itu terdapat sungai yang membelah masjid dengan kantin.

Sedangkan di samping lahan sekretariat itu tampak gerbang besi dengan lebar sekitar empat meter. Gerbang itulah jalan menuju masjid. Sekitar 30 meter setelah gerbang terdapat jembatan yang langsung menuju masjid. Gerbang besi itu tidak dibuka untuk umum.

Pecat Mahasiswa

Delapan hari setelah peristiwa tersebut, mulai 17, 22, 25 Februari dan 4 Maret 2021, sembilan mahasiswa teknik sipil UTI menerima surat skors dan drop out (DO). Semuanya anggota Himateks.

Mereka yang dipecat adalah Vernanda Ade Vamula, Ulil Absor Abdalla, dan Agung Fernando Habeahan. Ketiganya mahasiswa tingkat akhir angkatan 2017. 

Sedangkan yang kena skors, yaitu M Iqbal Surya Putra, Ahmad Mu’fatus Sifa’i, Abdullah Azzam, Handri Kusuma, Afran Rasyid, dan Rahmad Wijaya. Mereka masing-masing diskors satu hingga dua semester.

Sembilan mahasiswa tersebut menerima surat skors dan DO secara bertahap. Penjatuhan sanksi itu setelah mereka melunasi uang kuliah tunggal (UKT).

“Saya membayar UKT pada 8 Februari 2021. Lalu, saya menerima surat DO pada 17 Februari,” kata Ulil yang kerja di Tangerang.

Sama seperti Ulil. Vernanda juga mendapat surat DO empat hari setelah membayar UKT. 

Pihak kampus menyampaikan surat skors dan DO melalui pesan WhatsApp. Beberapa mahasiswa kaget mengetahui hal tersebut.

“Kaget, tiba-tiba dapat surat isinya skors dan disuruh ambil surat ke ruangan kepala program studi atau wakil dekan III kemahasiswaan,” ujar Iqbal.

Fatus pun demikian. Ia menerima chat dari kepala program studi bahwa dirinya ditunda mengikuti kuliah hingga dua semester. 

Berdasar surat keputusan (SK) rektor UTI, mereka yang terkena skors dan DO karena melanggar kode etik mahasiswa dan melakukan kegiatan merusak citra kampus. Kampus Sang Juara itu menyebut sembilan mahasiswa dimaksud mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat dengan aktivitas mereka di permukiman warga dan kampus. Aktivitas tersebut menyebabkan pihak UTI beberapa kali dipanggil dan ditemui pihak kelurahan setempat beserta jajarannya. Kampus juga khawatir aktivitas tersebut akan membangun jiwa ekstremisme dan radikalisme bagi mahasiswa UTI, di mana bertentangan dengan prinsip-prinsip akademis.

Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer UTI Auliya Rahman Isnain. | dok. Auliya

Auliya Rahman Isnain, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer UTI, mengonfirmasi bahwa aktivitas yang dimaksud dalam surat DO dan skors adalah aktivitas membangun sekretariat di luar kampus.

“Pelanggaran kode etiknya (dalam surat DO dan skors) itu karena aktivitas tersebut membuat kami dipanggil RT, kelurahan, dan dengan warga sekitar juga kami merasa tidak enak,” kata Auliya. “Mereka juga sudah ditegur babinkamtibmas lebih dari lima kali karena kumpul-kumpul.”

Ihwal sikap ekstremisme dan radikalisme, Auliya bilang, “Ada simbol atau kata-kata (di sekretariat) yang seharusnya tidak ada. Seperti, tulisan ‘kawasan danger (berbahaya)’; ‘kawasan ekstrem’.”

Kondisi sekretariat Himateks setelah ditinggalkan. Foto diambil pada 16 April 2021. | Derri Nugraha

Di markas Himateks memang terdapat simbol yang digambar oleh mahasiswa. Simbol tersebut berupa gambar seperti dinosaurus dengan tulisan “Civil Engineering (teknik sipil)”. Terdapat pula gambar dinosaurus berjenis t-rex sedang mengaung dan serigala sedang melolong. Selain itu, tampak tulisan besar “Datang dengan berbeda untuk bersaudara.”

Sultan, warga setempat yang rumahnya berjarak sekitar 10 meter dari sekretariat Himateks, merasa tidak terganggu dengan aktivitas mahasiswa. Para mahasiswa juga kongko dalam batas waktu yang relatif wajar.

Rumah warga yang paling dekat dengan sekretariat hanya kediaman Sultan dan pemilik kantin. Selebihnya, bangunan milik Teknokrat yang beroperasi saat hari kerja saja.

“Enggak ada itu mereka meresahkan,” kata Hendrison, warga setempat. Rumah Hendrison sekitar 50 meter dari sekretariat Himateks.

Demikian pula Noneng (70), warga yang tinggal di depan rumah Hendrison. Ia menilai aktivitas para mahasiswa tidak meresahkan atau mengganggu penduduk setempat.

Ihwal pihak kampus dipanggil pihak kelurahan, Dedi, Kepala Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Kelurahan Kedaton menyampaikan bahwa konteksnya waktu itu adalah mediasi. Maksudnya, Kelurahan Kedaton memediasi pemilik kantin dengan pihak Teknokrat agar tidak ada kegiatan yang mengumpulkan warga dalam jumlah banyak. Hal tersebut guna menekan penyebaran Covid-19.

“Jadi, kami bergerak atas laporan dari Yayasan Pendidikan Teknokrat dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),” ujarnya. “Waktu itu, pihak kampus mengirim surat ke kelurahan. Surat tersebut menindaklanjuti surat BEM yang meminta untuk meninjau lokasi sekretariat (Himateks).”

Pihak kampus juga menyebut bahwa aktivitas para mahasiswa tidak mengatasnamakan himpunan mahasiswa atau organisasi manapun. Kalau organisasi resmi, maka segala bentuk aktivitas dan kegiatan harus diketahui pihak kampus.

“Jadi, aktivitas itu tidak mewakili himpunan mahasiwa manapun. Sebab, mereka tidak izin. Justru, kami memang tidak mengizinkan ada aktivitas di luar untuk kegiatan organisasi. Untuk kegiatan resmi, kami menyediakan sekretariat bersama,” kata Auliya.

Pelantikan Himateks

Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil (Himateks) UTI berdiri pada 10 Oktober 2018. Lebih dari 100 mahasiswa menghadiri acara pelantikan di Aula Gedung A UTI. Mereka adalah mahasiswa Strata (S-1) Teknik Sipil UTI angkatan 2017 dan 2018.

“Saat itu, pelantikan dihadiri Wakil Dekan Kemahasiswaan Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Rohmad Indra Borman, Kepala Program Studi (Kaprodi) Teknik Sipil Dian Pratiwi, dan kaprodi teknik elektro,” kata Fatus yang kala itu mendapat amanah sebagai Ketua Himateks.

Rohmad membenarkan menghadiri acara pelantikan Himateks. Namun, pria yang sedang melanjutkan pendidikan itu enggan ditanya lebih jauh seputar Himateks.

Seperti organisasi kebanyakan, Fatus dan teman-temannya berpikir bahwa Himateks perlu memiliki semacam sekretariat. Tujuannya, untuk mengembangkan roda organisasi. Juga sebagai “rumah” untuk berdiskusi, rapat, dan merancang agenda himpunan.

Wakil Dekan Kemahasiswaan Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Rohmad Indra Borman (pakai kemeja) menghadiri pelantikan anggota Himateks di aula Universitas Teknokrat Indonesia pada 19 Oktober 2018. | dok. Ahmad Mu’fatus Sifa’i

Semula, Fatus hendak mengajukan permohonan sekretariat Himateks ke pihak kampus. Namun, pihak kampus hanya dapat menyediakan sekretariat bersama.

Sekretariat bersama dimaksud berupa rumah dengan luas kira-kira 15 x 10 meter. Rumah tersebut membentuk ruangan seperti huruf L. Tempat itulah yang disebut kampus sebagai sekretariat untuk seluruh kegiatan organisasi mahasiswa.

Karena tak mendapat sekretariat khusus, Fatus dan anggota Himateks memutuskan untuk mencari tempat alternatif. Lokasi pertama yang dijadikan sekretariat di belakang Mal Boemi Kedaton. Tempat itu indekos salah satu anggota Himateks. Di sanalah Himateks menjalankan roda organisasinya.

Sekitar delapan bulan menempati indekos tersebut, Fatus dkk sepakat untuk pindah sekretariat. Pertimbangannya, indekos tersebut adalah tempat tinggal pribadi. Jadi, kurang baik bila terus menumpang.

Berbekal dana patungan dari para anggota, mereka akhirnya menyewa sebuah rumah di Jalan Keramat, Labuhan Ratu, Kecamatan Kedaton. Namun, hanya bertahan sekitar tiga bulan. Alasan utamanya: Finansial.

Terakhir, Himateks memutuskan untuk mendirikan sekretariat di lahan di samping Kantin Panggung. Tempat yang kemudian dipersoalkan pihak kampus.

Apa yang dialami Himateks juga dirasakan organisasi mahasiswa lainnya di UTI. Salah satunya, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Islam Ar-Rahman.

“Memang di kampus tidak disediakan ruangan khusus. Jadi, kami pakai kamar kos,” ujar mantan anggota UKM Islam Ar-Rahman.

Kami juga bertanya kepada lima mahasiswa soal sekretariat BEM UTI. Kelimanya tidak mengetahui markas BEM. Belakangan, pihak kampus mengklaim sekretariat BEM berada di sekretariat bersama.

Kampus Minta Tanda Tangan Ketua Hima

Dalam SK skors dan DO, terdapat surat penyataan dukungan dari Himpunan Masiswa Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer (Hima FTIK). Surat pernyataan itu menjadi salah satu pertimbangan pihak kampus dalam menerbitkan SK skors dan DO. Isi surat pernyataan Hima adalah menindaklanjuti surat penyataan BEM terkait sekelompok kecil mahasiswa UTI yang mengganggu ketenteraman lingkungan masyarakat dan kampus.

Hima di lingkungan FTIK mengusulkan agar rektor UTI membubarkan dan memberhentikan sekelompok mahasiswa yang radikalisme dan premanisme di lingkungan kampus.

Universitas Teknokrat Indonesia. Foto dibidik pada 22 April 2021. | Derri Nugraha

Surat tersebut diteken pada 31 Januari 2021. Tertera enam nama ketua Hima dari masing-masing jurusan di FTIK. Keenamnya, Hima Sitem Informasi, Hima Informatika, Hima Teknologi Informasi, Hima Teknik Komputer, Hima Teknik Elektro, dan Hima Sistem Informasi Akuntansi. Hanya ketua Hima Teknik Sipil yang tak ada dalam surat tersebut.

“Artinya, Hima Teknik Sipil tidak pernah mendapat undangan dari pihak BEM maupun fakultas,” kata Ketua Hima Teknik Sipil I Gede Agung Sandya.

Ketua Hima Teknologi Informasi Agung Malik Setiawan membenarkan bahwa namanya tertera dalam surat pernyataan dimaksud. Namun, ia tak tahu kalau surat tersebut berhubungan dengan sanksi DO dan skors.

“Ihwal isi surat, saya tidak ikut rapat. Saya waktu itu mendelegasikan kepada wakil. Sebab, saya diundang rapat sekitar satu jam sebelum rapat dimulai. Jadi, saya tak bisa ikut karena rumah saya jauh (di Pringsewu),” ujarnya.

Agung bilang, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Auliya Rahman menghubunginya untuk meminta scan tanda tangan. Disebutkan waktu itu bahwa ada kelompok radikalisme dan premanisme di kampus.

Sama seperti Agung, Ketua Hima Teknik Komputer I Made Ari Swastika juga diundang Auliya secara lisan untuk mengikuti rapat. Namun, saat itu, Made berhalangan karena sedang pulang kampung. Ia kemudian meminta wakil ketua Hima Teknik Komputer untuk mengikuti rapat.

Pun demikian dengan Ketua Hima Teknik Elektro Nanda Dana Pala. Ia tak tahu asal surat, siapa yang membuat, dan untuk siapa surat tersebut.

“Kami masih cari tahu, Bang. Kami ndak tahu asal surat yang mengatasnamakan Hima itu,” kata Nanda.

Saat dikonfirmasi, Auliya membantah ihwal surat tersebut. “Itu tidak benar, tidak ada surat itu,” ujarnya.

Kampus Diminta Cabut Skors-DO

Semula, pihak kampus menyebut bahwa sanksi skors dan DO terkait aktivitas sembilan anggota Hima Teknik Sipil di luar kampus. Belakangan, UTI menyatakan skors dan DO itu berhubungan dengan akademik, yakni indeks prestasi kumulatif (IPK) di bawah 2,0.

Agung Fernando Habeahan, salah satu mahasiswa yang dijatuhi DO, terkejut dengan pernyataan tersebut. Sebab, Agung memiliki IPK di atas 2,0.

“Kaget ya kalau (DO) itu soal IPK di bawah 2,0. Sebab, IPK saya di atas 2,0. Lagi pula dalam SK DO yang saya terima itu tidak ada menyinggung soal IPK,” kata Agung.

Menilai banyak kejanggalan ihwal skors dan DO, enam dari sembilan mahasiswa meminta pendampingan hukum ke LBH Bandar Lampung. LBH memandang penjatuhan skors dan DO tersebut bentuk pengekangan terhadap kemerdekaan mahasiswa untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

“Ini pengekangan, seharusnya kampus mendukung. Sebab, mahasiswa ini berjuang sendiri membuat sekretariat,” ujar Kodri Ubaidillah, Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, saat jumpa pers di kantor LBH setempat, 19 April lalu.

LBH meminta UTI segera mencabut sanksi skors dan DO. Sebab, secara prinsip, hak atas pendidikan adalah hak yang dijamin oleh undang-undang dan negara. Bila tak segera mencabut, LBH akan menggugat keputusan rektor UTI ihwal skors dan DO ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).

“Ini catatan buram potret pendidikan. Seharusnya, kampus menjadi wadah untuk mendidik mahasiswa menjadi lebih baik dan kritis,” kata Kodri.(*)

Catatan: Liputan ini dimuat Independen.id pada 2 Mei 2021.

Laporan Derri Nugraha dan Hendry Sihaloho

Banner-DOnasi.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

97 − 87 =