Sistem patriarkis dan kapitalis menempatkan kaum perempuan dalam ketidakadilan struktural. Situasi ini tercermin dalam kekerasan, kriminalisasi, pemiskinan, dan hilangnya ruang hidup. Konsolidasi gerakan perempuan menjadi penting untuk memperkuat posisi dan suara.
Saat suara membangunkan sahur terdengar, Eliyati berada di antara tumpukan sampah di belakang sebuah restoran. Dengan jemari cekatan, ia memilah sampah, mencari barang bekas yang dapat dijual. Sisa makanan berserakan di sekelilingnya, namun Eliyati terus mencari dengan sabar.
Setiap malam, mulai jam tujuh, Eliyati mendorong gerobaknya berkeliling kota mencari rongsok. Ia menempuh jarak hingga 20 kilometer dalam semalam, dan baru pulang menjelang dini hari.
Eliyati memilih keluar malam hari karena jalanan relatif sepi. Kalau siang, ia masih berpuasa, tidak kuat untuk melakukan aktivitas berat. Namun, mencari rongsokan pada malam hari bukan perkara mudah. Eliyati harus melawan dinginnya malam.
“Biasanya, saya keluar (cari rongsok) pakai jaket supaya enggak kedinginan,” kata Eliyati.
Eliyati, seorang janda berusia 65 tahun, masih harus bekerja keras. Ia mesti banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup tiga anaknya.
Enam tahun terakhir, Eliyati dua kali mengalami penggusuran. Tempat tinggalnya dihancurkan oleh ekskavator. Penggusuran terakhir tiga minggu yang lalu. Kini, ia tinggal di sebuah gang sempit di Sabahbalau, Lampung Selatan, dengan mengontrak ruangan 3×6 meter. Ruangan tersebut berfungsi sebagai kamar sekaligus ruang tamu. Biaya sewa sebesar Rp500 ribu per bulan.
“Aku khawatir akan digusur lagi karena tidak bisa bayar sewa,” kata Eliyati.
Eliyati menghasilkan sekitar Rp30 ribu-Rp50 ribu per hari dari memulung. Kadang-kadang, uang itu tidak cukup untuk makan, apalagi membayar kontrakan. Kehidupan yang semakin sulit ini membuat Eliyati merasa khawatir akan masa depannya.
“Kejam memang mereka itu,” ujarnya, mengenang penggusuran. “Bukannya memberi bantuan, malah terus menggusur. Di mana-mana saya tinggal, selalu digusur.”
Penggusuran tersebut berdampak terhadap pendidikan anak-anak Eliyati. Yogi, anak ketiganya, berhenti kelas lima SD setelah digusur pertama kali pada 2018. Anak keduanya tidak lanjut SMK. Hanya anak pertama Eliyati yang lulus SMA.
“Ijazahnya masih tertahan di sekolah,” kata Eliyati. Anaknya lulus SMA, tapi biaya untuk menebus ijazah masih menjadi beban.
Kesusahan keluarganya semakin berat. Dua anak Eliyati kini bekerja serabutan, satu sebagai kuli, dan satunya lagi menjual gorengan milik orang lain.
“Apa gunanya pemerintah jika hidup tetap susah?” ujarnya dengan nada kesal.
Di tempat berbeda, memakai topi caping yang terlihat usang, Uun Irawati sedang memanen jagung di ladangnya di kota baru, Lampung Selatan. Dibantu beberapa orang, perempuan yang akrab disapa Tini itu memetik satu per satu buah jagung, lalu memasukkan ke karung yang terbuat dari kain kasar sebelum akhirnya dijual menggunakan mobil bak terbuka yang berdebu. Suara daun jagung yang bergesekan dengan tanah terdengar keras, mengingatkannya pada hari-hari yang lebih baik.
Tini tahu betul perasaan Eliyati yang mengalami penggusuran. Satu tahun yang lalu, ladang jagung yang ia panen pernah digusur. Saat itu, ia masih menanam singkong. Kemudian, Satuan Petugas (Satgas) Pengamanan Aset Daerah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung membawa tiga traktor untuk menghancurkan sumber penghidupannya itu. Dua hektare lahan singkong miliknya lenyap dilibas traktor, meninggalkan debu dan kenangan pahit.
“Kalau mengingat itu (penggusuran), saya masih trauma,” kata Tini.
Pascapenggusuran, Tini mulai menata kehidupannya dengan perlahan-lahan. Ia tidak lagi menanam singkong, tanaman yang pernah menjadi sumber penghidupannya. Selain trauma yang masih terasa, saat ini harga singkong sedang anjlok, membuatnya tidak lagi menguntungkan. Sehingga, menanam jagung dipilih sebagai solusi, meskipun ketakutan akan masa depan terus membebani pikirannya.
Bayang penggusuran masih menghantui Tini dan ratusan petani di kota baru. Mereka ingat suara traktor yang menghancurkan ladang, suara ranting patah, dan tangisan yang terdengar di udara. Apalagi, tersiar kabar bahwa proyek pembangunan akan dilanjutkan, membuat kecemasan mereka semakin meningkat.
“Gimana kalau nanti digusur lagi, mau makan apa kami?” ujarnya.
Tak hanya menghadapi ancaman penggusuran, Tini yang memperjuangkan kehidupannya, saat ini menjadi korban kriminalisasi yang tidak adil. Ia dituduh menyerobot lahan dan melakukan perusakan.
“Saya hanya mempertahankan ladang, tidak mengambil punya orang. Saya melindungi ruang penghidupan,” kata Tini. “Sampai kapanpun saya pasti melawan.”
Tersekat
Tini dan Eliyati adalah dua contoh perempuan yang menghadapi ketidakadilan di Lampung. Dalam konflik berkepanjangan, perempuan menjadi kelompok paling rentan menerima dampak dan beban ganda, mulai dari kekerasan, kriminalisasi, pemiskinan, hilangnya rasa aman, hingga kehilangan sumber penghidupan.
Di tengah kondisi itu, konsolidasi gerakan perempuan di Lampung terhambat oleh fragmentasi dan kurangnya koordinasi antarlembaga. Banyak gerakan yang dimotori oleh kelas menengah melalui lembaga atau NGO yang concern isu perempuan, namun tersekat pada jalur masing-masing dan belum mampu mencapai dampak signifikan.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas (BEK) Solidaritas Perempuan Sebay Lampung Reni Mutia tak memungkiri bahwa gerakan perempuan masih berjalan sesuai isu masing-masing lembaga. Ada yang fokus persoalan kekerasan seksual, ada yang lebih intens soal isu petani, buruh, dll. Sehingga, konsolidasi gerakan kurang padu karena fokus isu menjalankan mandat organisasi.
“Hasilnya, perjuangan tidak menyentuh akar persoalan yang memiskinkan perempuan, seperti kuasa patriarki dan sistem kapitalisme,” kata Reni.
Menurutnya, hal tersebut tidak terlepas dari ketergantungan lembaga atau NGO terhadap donor. Dalam konteks gerakan, biasanya logistik NGO bersumber dari para donor. Namun, setiap donor biasanya memiliki agenda masing-masing, sehingga seringkali perjuangan berujung pada basis program.
“Patut diakui hal itu (bergantung pada donor) memang terjadi. Sebab, tak bisa dipungkiri dalam setiap gerakan diperlukan logistik. Namun, kami bisa memanfaatkan hal tersebut dengan cara cross-cutting. Artinya, dari program tersebut, kami bisa gunakan untuk mendukung perjuangan di masyarakat,” ujarnya.
Meskipun ketergantungan pada donor masih menjadi tantangan, Reni bilang, kondisi itu tidak menyurutkan perjuangan. Banyak aksi mereka tak mendapat dukungan donor. Sebaliknya, mereka membangun gerakan secara kolektif bersama masyarakat.
Menurutnya, perjuangan tersebut bagian dari proses membangun gerakan yang kuat dan mandiri. Itu sebabnya, SP Sebay Lampung mulai membangun kemandirian lembaga secara ekonomi untuk menghindari intervensi donor. Organisasi ini mengharapkan dukungan masyarakat untuk berjuang bersama.
Selain ketergantungan donor, kapasitas juga menjadi persoalan dalam gerakan perempuan. Kurangnya kemampuan para aktivis membuat gerakan ini terkesan berjalan sendiri. Tidak semua persoalan bisa menjadi fokus dari sebuah lembaga.
Sebagai contoh, SP Sebay yang fokus pemberdayaan petani dan perempuan pesisir serta buruh migran, akan kesulitan saat menghadapi kasus kekerasan seksual yang memerlukan penanganan hukum. Pada kondisi tersebut, yang bisa dilakukan adalah bersolidaritas.
“Setidaknya, kami membantu dari segi moral atau logistik untuk perjuangan tersebut,” kata Reni.
Selain itu, ia menyebut bahwa senioritas dalam gerakan menjadi salah satu hambatan. Terkadang, gerakan masih memiliki wajah patriarki dan stigma negatif terhadap organisasi perempuan yang baru. Akibatnya, banyak lembaga perempuan di Lampung sulit bertahan.
“Bagaimana konsolidasi mau kuat kalau organisasinya tenggelam karena tidak mendapat dukungan dari organisasi lain dan malah distigma,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Perkumpulan Damar Iin Zakaria memiliki pandangan serupa. Menurutnya, konsolidasi gerakan saat ini terjebak dalam segmentasi isu tertentu, sehingga perjuangan terkesan berjarak. Masing-masing NGO memiliki fokus isu yang berbeda-beda.
“Contohnya, Damar fokus pada penanganan kasus kekerasan seksual, tapi tidak mengurusi perempuan korban penggusuran,” kata Iin.
Ia bilang, belum ada konsolidasi untuk memperjuangkan suatu isu menjadi gerakan bersama. Hal ini bukan karena tidak mau saling mengurusi, tapi mungkin karena komunikasi kurang efektif.
Menurut Iin, persoalan donor bukan hambatan utama bagi gerakan. Namun, ia mengakui bahwa beberapa program pemberdayaan di beberapa kabupaten dampingan mengalami kesulitan karena keterbatasan pendanaan. Konsekuensinya, mereka harus membatasi program pemberdayaan di daerah tertentu.
Berbagai problem yang diuraikan Reni dan Iin setidaknya tergambar dalam aksi International Women’s Day di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Sabtu, 8 Maret 2025. Aksi itu menuntut penyelesaian berbagai persoalan perempuan mulai perampasan lahan perempuan petani, perusakan lingkungan hidup, penggusuran, hingga pelbagai kebijakan yang semakin mendiskriminasi dan memiskinkan perempuan.
Aksi dimulai dengan orasi politik dari massa yang hadir. Kemudian, diakhiri dengan pembagian siara pers dan makanan berbuka puasa. Namun, dalam gerakan tersebut, konstituen rakyat yang diperjuangkan tidak terlihat.
Demo itu didominasi NGO, aktivis, dan mahasiswa. Tidak tampak perempuan petani korban penggusuran, perempuan korban pengrusakan lingkungan, dan korban perampasan ruang hidup, seperti Tini dan Eliyati.
Jebakan Donor
Pada tahun 1950-an, gerakan perempuan di Indonesia mengalami masa kejayaannya. Gerakan-gerakan akar rumput tumbuh subur dan progresif, mencerminkan semangat perubahan yang sedang berlangsung. Salah satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia, Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), lahir pada masa ini. Gerwis merupakan gabungan organisasi perempuan dari sejumlah daerah yang menjadi cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Mia Siscawati, Pakar Kajian Gender dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, menyatakan bahwa Gerwani memiliki perhatian yang serius pada masalah pemberantasan buta huruf, masyarakat kelas bawah, dan pendirian sekolah.
“Mereka bahkan mendirikan sekolah di pasar-pasar supaya para perempuan tidak khawatir akan pendidikan anaknya,” kata Mia.
Namun, Gerwani tidak berumur panjang. Meletusnya peristiwa 30 September 1965 menjadi awal Gerwani “dihancurkan”. Propaganda yang berpusat pada “penyimpangan seksual anggota Gerwani” serta penggambaran PKI sebagai ateis dan antinasionalis tak hanya memicu pembunuhan massal orang-orang berhaluan kiri, tetapi juga penghancuran gerakan perempuan progresif.
Mia bilang, sejak saat itu, pemimpin Gerwani dan sebagian besar anggotanya ditangkap tanpa proses peradilan. Beberapa di antaranya mengalami kekerasan seksual sampai meninggal dunia. Bukan hanya perempuan, gerakan akar rumput seperti perjuangan petani juga “dihabisi”.
Situasi itu membuat gerakan sosial, termasuk gerakan perempuan di Indonesia, mati. Kemudian, aturan dari pemerintah rezim Orde Baru mulai membatasi gerakan-gerakan sosial di Indonesia. Tidak boleh ada perkumpulan sembarangan untuk membangun sebuah gerakan.
Pada tahun 1970-an, Indonesia banyak menerima dana dari Bank Dunia dalam bentuk utang. Kemudian, Bank Dunia mensyaratkan agar program yang dikelola dalam bentuk hibah. Program dana hibah itu melibatkan organisasi nonpemerintah atau dalam berbagai percakapan sering disebut LSM pelat merah.
Menurut Mia, LSM itu dibentuk oleh pemerintah sendiri untuk menerima dana-dana hibah tersebut. Dalam periode itu, Indonesia cukup banyak menarik perhatian beragam donor luar negeri. Mulai donor terbuka dari Bank Dunia, Jerman, termasuk donor privat dari Ford Foundation. Hasilnya, organisasi masyarakat sipil yang baru mulai bangkit lagi pada 1980-an pascatragedi ’65, akhirnya memulai tradisi menerima donor dalam bentuk dana hibah.
“Di satu sisi, kehadiran (donor) itu bisa memberikan amunisi dalam arti untuk logistik, tapi kelemahannya menghambat kemandirian (organisasi),” ujarnya.
Kehadiran para donor itu juga tidak bisa dilepaskan dari agenda internasional. Salah satunya keterlibatan Amerika dalam peristiwa 1965. Selama lebih dari 50 tahun, Amerika sangat banyak menggelontorkan dana ke Indonesia dalam bentuk hibah melalui USAID.
Para donor yang punya kepentingan masing-masing itu akhirnya menjebak organisasi masyarakat sipil dengan politik administrasi. Maksudnya, para aktivis di organisasi yang menerima donor mesti membuat laporan yang menyita waktu dan tenaga.
“Waktu (para aktivis) habis (hanya untuk mengurus administrasi). Apalagi dalam konteks daerah termasuk Lampung, organisasi-organisasi itu uangnya sedikit, tapi energi yang dihabiskan sangat banyak,” kata Mia.

Keterbatasan energi itulah yang sedikit banyak berkontribusi pada lemahnya reproduksi pengetahuan kritis, politik, dan pengorganisasian generasi muda hingga masyarakat di akar akar rumput. Sebab, waktunya sudah habis bergelut membuat laporan program.
“Saya tidak menyalahkan teman-teman, tapi situasi itulah yang akhirnya banyak yang hanya menjadi pekerja NGO, bukan aktivis,” ujar Mia. “Sebab, untuk membangun kembali (gerakan) memang perlu waktu dan effort tersendiri, sementara di sisi lain, selalu digelontorkan uang dari donor yang pasti punya agenda politik masing-masing.”
Menurut Mia, faktor sosial-budaya pun menjadi penghalang konsolidasi gerakan perempuan saat ini. Banyak penggerak gerakan perempuan muda yang memiliki pengalaman terbatas untuk terjun langsung ke tempat-tempat yang sulit untuk menjalankan pengorganisasian.
“Mereka mungkin memiliki semangat, tapi tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk menghadapi tantangan di lapangan,” kata Mia. “Apalagi, jika mereka harus meminta izin kepada orang tua atau suami untuk kegiatan pengorganisasian.”
Ia mengatakan, konstruksi sosial yang patriarkis masih kuat di masyarakat, sehingga perempuan dianggap harus fokus pada urusan domestik. Namun demikian, Mia percaya bahwa kemandirian dan keberdayaan adalah kunci mengatasi tantangan tersebut.
Aktivis perempuan perlu kuat dalam hal ilmu pengetahuan dan gagasan, serta punya strategi yang jelas untuk kaderisasi, kemandirian organisasi, dan pengorganisasian. Dengan demikian, gerakan perempuan dapat menjadi lebih kuat dan efektif dalam memperjuangkan hak-haknya dan menghadapi tantangan sosial-budaya.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.