Kesalahan terbesar dalam memahami banjir adalah menganggapnya masalah lokal. Padahal, banjir merupakan hasil dari perubahan tata guna lahan. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa kebijakan pembangunan tak sejalan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Lubis (40) kelimpungan ketika air setinggi tiga meter menerjang rumahnya di Kampung Baru Masjid, Kelurahan Way Lunik, Panjang, Bandar Lampung, Jumat, 17 Januari 2025. Sekitar jam lima petang, ia bersama istri, ipar laki-laki, anak, dan seorang tetangganya terjebak di dalam rumah. Waktu itu, Lubis hendak mengamankan harta bendanya.
“Sudah tujuh tahun terakhir memang sering banjir, tapi paling setinggi lutut. Makanya, kami masih coba menyelamatkan barang-barang,” kata Lubis.
Setelah lima menit mengevakuasi perabotan, banjir tiba-tiba memenuhi seluruh isi rumah. Bahkan, ketinggian air nyaris menyentuh langit rumah. Istri dan anak Lubis tidak dapat berenang. Lubis pun membagi tugas. Ia menyelamatkan anaknya, sementara iparnya menolong sang istri. Saat itu, anak Lubis berhasil keluar lewat depan rumah. Sedangkan istri dan tetangganya terjebak di ruang tengah dekat dapur. Jadi, sudah tak memungkinkan untuk keluar.
“Sewaktu hendak menyelamatkan istri, saya tersetrum. Jadi, enggak bisa masuk. Ipar dan tetangga yang menolong istri,” ujar Lubis.
Akhirnya, ipar Lubis menyelam menuju dapur, lalu menjebol atap. Dibantu tetangga, ia menuntun istri Lubis untuk menaiki atap dapur. Sekitar sepuluh menit bertaruh nyawa, mereka pun selamat dengan menaiki atap rumah tetangga.
Di kampung tersebut, puluhan rumah penduduk tenggelam. Hanya empat rumah yang tidak terendam karena lokasinya lebih tinggi. Salah satunya kediaman mertua Lubis. Mereka pun mengevakuasi diri ke sana.
Sebelum menuju rumah mertuanya, Lubis dan keluarga mesti menunggu di atap rumah tetangga. Mereka baru dapat mengungsi sekitar jam delapan malam. Selama itu, tidak ada bantuan. Warga berjuang menyelamatkan diri dan keluarganya masing-masing.
“Bantuan dari Pemerintah Kota Bandar Lampung baru datang, besoknya. Sekitar jam delapan pagi, ada beberapa petugas yang membagikan nasi bungkus,” ucap Lubis.
Banyak harta benda tak terselamatkan. Lemari, pakaian, dan barang elektronik, semuanya rusak akibat banjir. Rumah juga dipenuhi lumpur. Beberapa bagian dindingnya jebol.
“Kalau sudah musim hujan, kami pasti waswas. Untung kami masih selamat. Bila kejadiannya tengah malam, mungkin banyak korban jiwa di kampung ini,” ujarnya.
Tujuh kilometer dari rumah Lubis, di Gang Buntu, kompleks Pasar Ambon, Kelurahan Pesawahan, Telukbetung Selatan, anak perempuan Khomsiyah (41) berteriak keras. Ia memanggil Khomsiyah agar keluar dari rumah karena banjir bandang mengepung.
Kala itu, Khomsiyah di dalam rumah bersama suaminya. Mereka sedang mengamankan barang berharga. Sementara, anaknya menunggu di teras.
Tubuh Khomsiyah terendam air. Dibantu suami, ia coba berenang menggapai anaknya yang berpegangan di tiang depan rumah. Arus air sangat deras. Dua lemari pakaiannya hanyut terbawa banjir. Bahkan, salah satu bagian rumahnya jebol.
“Enggak tahu kekuatan dari mana, saya dan suami menerjang banjir supaya bisa ke rumah tetangga,” kata Khomsiyah.
Rumah tetangga Khomsiyah terdiri dua lantai. Setelah berjibaku melawan derasnya banjir, Khomsiyah bersama suami dan anaknya akhirnya bisa menggapai lantai dua rumah tetangganya. Mereka menunggu hingga air surut. Sama seperti Lubis, Khomsiyah dan keluarga berjuang sendiri.
“Kami menahan lapar dan kedinginan. Menjelang tengah malam, air mulai surut, barulah bisa beli makan,” ujarnya.
Khomsiyah masih terguncang dengan banjir tersebut. Daerahnya tinggal memang langganan banjir, beberapa tahun terakhir. Namun, banjir kali ini lebih parah.
“Sebelum-sebelumnya, banjir hanya setinggi lutut. Kemarin itu, banjir lebih dari dua meter,” kata Khomsiyah.
Harta benda Khomsiyah banyak hilang, termasuk tabungannya sebesar Rp3 juta. Beberapa bagian rumahnya rusak. Dua lemari pakaiannya hanyut.
Pantauan konsentris, banyak warga terlambat mendapat pertolongan. Mereka baru menerima bantuan dasar, esok hari. Padahal, BMKG Lampung telah menetapkan status awas atau siaga satu banjir di Bandar Lampung, Jumat, 17 Januari 2025, pukul 16.47 WIB. Artinya, ada potensi banjir besar, genangan yang meluas, disertai angin kencang dan petir. Bahkan, potensi hujan ekstrem dan bencana hidrometereologi juga sudah terdeteksi oleh BMKG sejak 10 Januari.
Sampai hari kedua, di beberapa titik tampak tak ada posko darurat. Warga akhirnya berjuang masing-masing supaya selamat. Beberapa mengungsi ke rumah kerabat. Namun, ada juga tetap bertahan di rumahnya meski kondisi rumah rusak dan berlumpur.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bandar Lampung menyatakan, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan lambannya pertolongan saat banjir. Beberapa di antaranya dampak banjir sangat luas, jumlah petugas terbatas, dan minimnya sarana-prasarana tanggap darurat.
“Kami sudah menurunkan semua anggota, tapi dampak banjir luas. Jadi, belum semua terkover,” kata Kepala BPBD Bandar Lampung Wakhidi.
Ia bilang, banjir kali ini di luar prediksi. Selain hujan deras, pada waktu yang sama, air laut juga sedang pasang. Sehingga, air hujan tertahan di wilayah kota.
“Ke depan, kami perlu menambah personel dan sarana-prasarana supaya bisa menangani semua (titik banjir),” ujarnya.
Renggut Nyawa
Banjir di Bandar Lampung menelan dua korban jiwa. Keduanya, Suwendi (28) dan Bachtiar (60). Suwendi adalah warga Kelurahan Way Lunik. Rumahnya dekat Pura Kerthi Bhuana, di pinggir jalan lintas timur, By Pass.
Sore itu, Suwendi berniat mencari adiknya laki-laki. Ia pun melewati genangan banjir. Dalam pencarian, Suwendi mendapati sang adik sudah mengamankan diri di kediaman kerabat. Ia kemudian kembali ke rumah. Sebab, orang tua dan adik perempuannya, Hayatun, masih terjebak.
Saat muncul di depan rumah, Suwendi terpeleset karena derasnya banjir. Di depan rumahnya ada sebuah transformator. Tatkala tergelincir, tangannya refleks memegang tiang listrik. Seketika itu, Hayatun dan orang tuanya menyaksikan percikan api di sekitar tubuh Suwendi.
Sang Ayah berupaya menyelamatkan Suwendi. Ia sempat menggapai tubuh anaknya, namun tersengat listrik. Beruntung, ia dapat melepaskan diri. Sementara, percikan api muncul kedua kalinya. Suwendi pun tewas.
Setelah terlepas dari tiang listrik, jasad Suwendi mengambang. Sambil menangis, sang ayah segera meraih tubuh Suwendi dan mengevakuasi ke tempat yang tidak tergenang air.
Hayatun bilang, arus banjir hari itu deras sekali. Jalan yang biasa dilewati keluarganya tertutup oleh banjir.
“Itulah kenapa abang (Suwendi) sampai tergelincir karena jalan yang biasa dilewati enggak kelihatan. Jadi, dia lewat pinggir dekat tiang listrik,” ucap Hayatun.
Kepergian kakaknya itu membawa duka mendalam bagi keluarga, terutama kedua orang tuanya. Sebab, tiga hari setelah kematiannya, salah satu adik Suwendi menikah.
“Jadi, pada hari yang sama, keluarga itu terbagi di dua acara. Ada yang yasinan untuk peringatan tiga hari almarhum Suwendi, yang lainnya melangsungkan pernikahan adik,” ujarnya.
Sementara, Bachtiar adalah warga Kelurahan Kupang Teba, Telukbetung Utara. Kakek yang sehari-hari menjual bubur itu tewas terseret arus banjir. Mulanya, Bachtiar dan sang istri baru selesai memasak bubur. Kemudian, istri Bachtiar ke teras rumah, meninggalkannya di dapur.
Tepat di belakang rumah mereka terdapat aliran sungai yang hanya terpisah dinding. Tidak ada yang tahu pasti kapan Bachtiar terseret banjir. Sebab, saat itu hujan lebat. Sang istri yang berada di depan rumah baru mengetahui suaminya tenggelam dari tetangga.
“Ada tetangga yang memberi tahu bahwa ayah (Bachtiar) terbawa arus air. Dia juga sempat menolong ayah. Tapi, saking derasnya air, pegangannya terlepas,” kata Chandra, anak Bachtiar.
Saat itu, Chandra tidak di rumah. Hanya ada kedua orang tuanya. Ia menduga, ayahnya terpeleset di dapur karena mencoba memperbaiki pintu kamar mandi yang terkena banjir.
“Sebelumnya, tak pernah banjir itu sampai masuk ke dalam rumah, tapi kemarin banjir sampai setinggi betis. Kemungkinan, bapak mau membenarkan tutup pintu kamar mandi yang bersebelahan dengan sungai, lalu terpeleset,” ujarnya.
Tubuh Bachtiar ditemukan keesokan harinya, sekitar pukul 07.30 WIB. Jasadnya mengapung di pantai sekitar Kampung Nelayan Sukaraja yang berjarak 2,3 kilometer dari rumahnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menilai, banjir yang terus terulang memperlihatkan ketiadaan mitigasi, penanggulangan, serta buruknya kondisi dan tata kelola lingkungan. Fenomena ini bentuk abainya pemerintah terhadap nyawa warga.
“Sebab, banjir menyebabkan kerugian yang besar bagi warga, baik materi maupun nonmateri. Bencana itu juga berulang dan tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dalam penanganan,” kata Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri.
Irfan bilang, banjir kali ini lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019, BPBD setempat mendata 2.528 unit rumah terendam banjir. Peristiwa itu salah satu banjir terparah di Bandar Lampung. Data terbaru, setidaknya 14 ribu rumah dan 11 ribu orang terdampak banjir. Banyak dari mereka kehilangan harta benda.
UU 24/2007 memberi tanggung jawab penuh kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk penanggulangan bencana. Hal itu meliputi pengurangan risiko bencana, perlindungan masyarakat dari dampak bencana, pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi sesuai standar pelayanan minimum.
Catatan Walhi, terdapat sejumlah faktor yang memperparah banjir, antara lain penghilangan ruang terbuka hijau (RTH) dan perusakan bukit. Kemudian, buruknya tata kelola sampah, sungai, hingga drainase.
Di Bandar Lampung, RTH yang tersisa hanya 4,5 persen. Dari 33 bukit, hampir semuanya rusak akibat penambangan dan alih fungsi lahan. Semua sungai pun mengalami pendangkalan. Seluruh sampah dari penjuru kota tidak dikelola, lalu sistem drainase buruk.
“Jadi, selama bertahun-tahun, kebijakan pembangunan di Bandar Lampung tidak pernah sejalan dengan prinsip berkelanjutan. Banyak pembangunan yang justru mengambil alih ruang terbuka hijau dan merusak fungsi lingkungan,” ujar Irfan.
Ia mengingatkan regulator kebijakan jangan sampai atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, lingkungan hidup dan masyarakat selalu menjadi korban. Pembangunan yang rakus ruang dan tidak berkelanjutan, serta pengabaian atas persoalan lingkungan dalam pembangunan merupakan kejahatan terstruktur yang melanggar hak hak asasi manusia, yaitu lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Tak Menjawab Akar Masalah
Sejalan dengan pandangan Irfan, peneliti banjir Institut Teknologi Sumatera (Itera) Arif Rohman mengatakan banjir bukan hanya bencana alam, tapi juga hasil interaksi manusia dengan lingkungan. Manusia bertanggung jawab atas perubahan lingkungan yang dapat memperparah banjir.
“Banjir adalah bagian dari siklus hidrologi yang alami. Ketika curah hujan tinggi, air yang turun akan mencari jalannya sendiri, terutama ke daerah yang secara alami merupakan dataran banjir. Namun, urbanisasi yang pesat membuat air kehilangan tempat resapannya, sehingga aliran permukaan meningkat drastis dan menyebabkan genangan,” kata Arif.
Alih-alih terus menyalahkan cuaca atau kondisi geografis, pendekatan yang lebih tepat adalah memahami bahwa banjir pasti terjadi, tetapi dampaknya bisa dikurangi. Hal ini menjadi kesepakatan dalam studi kebencanaan melalui pendekatan pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction atau DRR).
Strategi DRR dapat diterapkan melalui berbagai upaya mitigasi, seperti peningkatan kapasitas drainase, penerapan konsep kota spons (sponge city), dan pengoptimalan lahan hijau sebagai daerah resapan.
“Sayangnya, banyak kota masih mengandalkan solusi jangka pendek, seperti pompa air dan peninggian tanggul. Padahal, sifatnya sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah,” ujarnya.
Menurut dosen Geomatika itu, salah satu kesalahan terbesar dalam memahami banjir adalah menganggapnya sebagai masalah lokal semata. Padahal, kawasan yang tergenang banjir merupakan hasil dari perubahan tata guna lahan di tempat lain.
“Sering terdengar bahwa deforestasi di daerah hulu meningkatkan limpasan air ke daerah hilir, sehingga debit sungai meningkat dan memperbesar risiko banjir. Dengan prinsip yang sama, jika banjir terjadi di daerah Way Lunik, maka seharusnya pemerintah dapat mengidentifikasi daerah mana saja yang berkontribusi besar dalam mengalirkan air ke sana,” kata Arif.
Salah satu konsep pengambilan keputusan untuk identifikasi wilayah yang dapat digunakan adalah multi criteria decision making (MDMC) melalui analisis spasial. MDMC sering digunakan untuk menilai risiko banjir, menganalisis dampak penggunaan lahan, dan menentukan alokasi lahan.
Model yang dapat digunakan ialah LEx-GM (Land Use Examination Global Model). Model ini berfungsi untuk memetakan pola perubahan tata guna lahan, memprediksi dampaknya terhadap hidrologi, serta mengidentifikasi area mana yang memiliki kontribusi signifikan terhadap peningkatan risiko banjir. Dengan model tersebut, pengambilan keputusan lebih berbasis bukti (evidence-based decision making).
“Pemerintah dapat menentukan zona-zona yang perlu dilindungi, menetapkan kebijakan tata ruang yang lebih adaptif, serta mengembangkan strategi mitigasi yang lebih efektif,” ujarnya.
Selain itu, model tersebut juga bisa digunakan untuk mendukung konsep Nature-Based Solutions (NBS), yaitu pendekatan mitigasi banjir yang memanfaatkan ekosistem alami seperti pembuatan ruang hijau perkotaan sebagai solusi berkelanjutan.
Teknologi saat ini juga memungkinkan penerapan model banjir secara lebih akurat. Dengan pesawat nirawak atau drone, pemerintah dapat menghasilkan model topografi yang sangat detail. Selain itu, smartphone bisa digunakan untuk menerima informasi secara real time, menampilkan zona rawan banjir, serta berfungsi sebagai alat bantu evakuasi.
Hal lain yang perlu dilakukan sebagai dasar pengambilan kebijakan pembangunan adalah pembuatan peta dasar dengan skala 1:5000. Dengan gambaran detail topografi wilayah, maka pemerintah akan lebih mudah menentukan lahan atau zona yang menjadi sasaran untuk mitigasi banjir.
“Saat ini, peta yang digunakan masih berskala 1:25.000. Tidak bisa menjadi dasar acuan untuk tata kelola kota atau kebijakan detail tata ruang. Selayaknya makanan pokok, peta tersebut akan menjadi dasar dan membuka jalan bagi seluruh kebijakan tata ruang. Keputusan yang diambil akan semakin akurat karena dapat mengetahui secara rinci bentuk, luas, dan tinggi suatu wilayah,” kata Arif.
Ia bilang, pada akhirnya, banjir di perkotaan bukan hanya masalah air yang meluap. Tanpa kesadaran bahwa setiap wilayah saling berkaitan, kebijakan yang diambil akan tetap bersifat parsial dan tidak efektif serta hanya menjadi siklus reaktif yang tak pernah tuntas. Pemerintah seyogianya proaktif dengan pendekatan yang lebih sistemik, berbasis data, dan berorientasi pada mitigasi risiko.
“Dengan memahami bahwa banjir pasti datang, regulator kebijakan harus memastikan bahwa dampaknya bisa dikurangi melalui perencanaan tata guna lahan yang lebih cerdas dan inovatif. Sehingga, mitigasi banjir bukan lagi sekadar wacana, tetapi benar-benar menjadi bagian dari kebijakan tata ruang yang berkelanjutan,” ujar Arif.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.