Laju Krisis Iklim dan Kandasnya Sekolah Anak-anak Pesisir

  • Whatsapp
FIKRI (baju hitam) melempar ikan hasil payang di pantai Sukaraja, Bandar Lampung, Senin, 21/10/2024. Putus sekolah sejak kelas tiga SD, ia membantu perekonomian keluarga dengan menjadi nelayan. | KONSENTRIS.ID/Derri Nugraha

Upaya mitigasi krisis iklim bertolak belakang dengan komitmen. Lewat izin-izin aktivitas ekstraktif, regulator kebijakan justru mendukung pembangunan eksploitatif yang mempercepat krisis iklim. Situasi ini membawa dampak bagi kehidupan masyarakat pesisir.






Genggaman Farid sesekali terlepas saat mengangkat keranjang ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gudang Lelang, Bumi Waras, Bandar Lampung, Minggu, 27 Oktober 2024.

Bacaan Lainnya

Bagaimana tidak, berat satu keranjang sekitar 30 kg-35 kg. Dalam sekali bongkar muatan kapal, Farid memindahkan lebih dari 40 keranjang ikan. Satu keranjang biasanya diangkat oleh dua orang. Sejumlah anak-anak juga turut membantu.

Adakalanya terdengar geretak gigi Farid menahan dingin. Namun, ia tak bisa rihat sebelum semua ikan diangkut dari kapal. Bahkan, untuk sekadar ganti baju. Pakaiannya yang basah pun sampai kering di badan. Selesai bongkar muat, Farid dan anak-anak itu menerima upah.

“Biasanya, sekali bongkar dapat Rp25 ribu, atau dibayar 2 kg-3kg ikan,” kata Farid.

Meski tak seberapa, upahnya sedikit membantu kebutuhan anggota keluarga, seperti membeli beras dan minyak goreng. Maklum, penghasilan orang tuanya kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Membantu bongkar muat kapal memang menjadi pekerjaan anak-anak setempat. Sama seperti Farid, mereka menjual tenaga guna menyokong ekonomi keluarga. Hampir setiap pagi dan sore mereka berkumpul di dekat kapal-kapal nelayan.

Farid (kiri) bersama temannya sedang mengangkat keranjang ikan di TPI Gudang Lelang, Bumi Waras, Bandar Lampung, Minggu, 27/10/2024. Kendati berusia belia, Farid terpaksa bekerja dan putus sekolah karena penghasilan orang tuanya sebagai nelayan tak cukup membiayai pendidikan. | KONSENTRIS.ID/Derri Nugraha

Farid masih berumur 15 tahun. Namun, ia terpaksa bekerja karena penghasilan orang tuanya terus merosot. Remaja itu pun mesti menerima kenyataan pahit. Langkahnya masuk sekolah menengah pertama (SMP) harus terhenti lantaran terbentur biaya. Dengan kata lain, Farid cuma lulus sekolah dasar (SD).

Tadinya, ayah Farid mencari nafkah sebagai nelayan. Namun, hasil melaut yang kian timpang mendesaknya beralih menjadi kernet travel. Sedangkan bunda hanya ibu rumah tangga.

Farid punya tiga saudara. Dua kakak dan satu adik. Kakak pertama dan kedua sempat merasakan bangku sekolah menengah atas (SMA), namun tak selesai. Kini, masing-masing dari mereka bekerja sebagai nelayan dan pramuniaga. Adapun adik Farid masih kelas tiga SMP.

“Saya kerja (bongkar muat) ini juga bantu uang jajan adik,” ucap Farid.

Di wilayah pesisir Bandar Lampung, anak-anak yang nasibnya seperti Farid terbilang banyak. Beberapa kawan Farid yang ikut bekerja bongkar muat pun putus sekolah. Ada yang behenti sejak SD, lalu beberapa tidak lanjut saat masuk SMP. Alasannya relatif sama, yakni tidak mampu secara ekonomi.

Rusja (60), seorang penjaga tempat pelelangan ikan, bercerita bahwa dari kelima anaknya, paling tinggi hanya tamatan SMP. Bahkan, ada yang berhenti sejak kelas tiga SD. Rusja dahulunya nelayan. Ia beralih jadi petugas lelang ikan lantaran pendapatan kian menurun dan kondisi fisik tak lagi prima untuk melaut.

Rusja tak memungkiri bahwa anak-anak di daerahnya jarang menempuh sekolah tinggi. Rata-rata putus di tengah jalan. Banyak dari mereka berakhir jadi anak buah kapal atau sekadar membantu bongkar muat.

“Banyak tidak lanjut sekolah karena orang tua tak mampu membiayai,” ujarnya.

Ia bilang, penghasilan nelayan akhir-akhir ini kian terpuruk. Beberapa koleganya pun alih pekerjaan. Bahkan, tak sedikit yang memutuskan merantau.

Salah satunya adalah suami Lina (40). Sang suami mengadu nasib ke Lampung Selatan. Semula, suami Lina juru mudi kapal. Sekarang, ia menjadi peternak benur udang.

Anak Lina juga ada yang kandas sekolah. Anak pertamanya tak selesai SMA, sedangkan anak ketiga berhenti sejak SD. Satu-satunya yang lulus SMA adalah anak kedua. Itu pun ijazah tertahan lantaran Lina masih punya tunggakan di sekolah.

“Sekarang ini sekolah mahal. Jadi, untuk bisa sekolah tinggi itu barang mewah,” kata Lina.

Bukan hanya di pesisir Bandar Lampung. Anak putus sekolah juga terjadi di daerah lain. Muhammad Anhar, misalnya. Anak buah kapal dari Kota Agung, Tanggamus, itu sudah merantau ke pantai wilayah Jawa dan pesisir Bandar Lampung untuk mengais rezeki.

“Kecil (penghasilan orang tua), enggak cukup buat kebutuhan sehari-hari. Makanya, saya merantau. Jadi, tak sekolah lagi,” ujar Anhar.

Seandainya lanjut sekolah, Anhar saat ini duduk di kursi SMA. Ia bukan tak ingin meneruskan pendidikan, tapi keadaan memaksanya berhenti. Terkadang, terlintas dalam benaknya untuk mengejar cita-cita.

“Saya ingin jadi tentara,” ucapnya tersipu-sipu.

Kini, keseharian anak muda tanggung itu membantu bongkar muat kapal. Ia agak jarang berlayar. Sebab, kapal-kapal nelayan tak banyak yang melaut.

“Beberapa bulan ini angin kencang, ada badai juga. Jadi, jarang melaut,” ujar Anhar.

Beberapa tahun terakhir kondisi lautan memang kurang bersahabat. Cuaca buruk, gelombang tinggi, perubahan arus laut, dan berubahnya zona tangkapan ikan menjadi halangan bagi nelayan.

Sono, seorang nakhoda, mengatakan kerap merugi saat melaut. Pasalnya, biaya operasional makin melonjak akibat berkurangnya tangkapan. Ia juga harus berlayar lebih lama dan jauh untuk mendapatkan ikan sesuai target.

“Kalau dahulu paling lama 5-7 hari (melaut), sekarang harus 12 hari, paling cepat 10 hari. Jadi, operasionalnya tambah, bahan bakar pun ikut tambah,” kata Sono.

Ia bersama anak buah kapal harus menempuh puluhan mil dari teluk Bandar Lampung ke arah anak Gunung Krakatau. Namun, hasil melaut tetap sedikit. Beberapa kawannya juga menyebar ke pantai timur dan selatan, tapi tangkapan masih belum cukup.

Kerugian pun semakin besar. Biasanya, modal berlayar mencapai Rp40 juta, sedangkan hasil melaut hanya Rp30 Juta.

Menurutnya, ketiadaan ikan karena kondisi cuaca makin sulit diprediksi. Sebagai nelayan, Sono mengerti kapan cuaca ekstrem atau perubahan arus laut. Namun, belakangan ini, banyak nelayan tak bisa lagi memperkirakan keberadaan zona tangkap ikan.

“Kalau dahulu (cuaca) bisa dibaca, sekarang enggak bisa ditentukan. Biasanya, angin pada Oktober-November dari selatan, tapi kok datang dari arah berbeda,” kata Sono.  

Cuaca tak menentu itu juga memengaruhi ketinggian gelombang. Kala angin kencang, ombak di laut semakin tinggi. Alhasil, nelayan tak berani melaut karena khawatir kapal karam.

Sono bilang, kondisi alam sangat menentukan tangkapan. Jika cuaca bagus dan arus tidak berubah-ubah, ia meyakini ada saja ikan yang diperoleh nelayan. Tetapi, situasi saat ini memaksa mereka mencari ikan hingga ke perairan yang jauh.

“Ya namanya sudah pekerjaan, dapat tak dapat (ikan) jalani saja,” ujarnya.

***

Senin pagi, Fikri (12) sudah siap dengan saragamnya. Ia mengenakan baju dan celana panjang lengkap dengan topi. Di atas topinya terkebat sebuah baju untuk melindungi leher dari sengat mentari.

Hari itu, Fikri ikut rombongan nelayan payang di Kampung Nelayan Sukaraja, Bandar Lampung. Gelombang air laut belum begitu tinggi. Ini waktu yang tepat menebar jala.

Ada 10 orang yang terlibat. Fikri paling muda. Enam dari mereka memacu kapal kecil ke tengah laut untuk memasang pukat. Fikri bersama nelayan lain bersiap di pinggir pantai. Setelah jaring menyebar sempurna, mereka bahu-membahu menarik ke pinggir pantai.

Sesekali tangan Fikri terpental karena ombak laut menghantam payang. Berada paling depan, remaja belia itu memastikan jaring tidak sangkut. Sebab, di sekitar pantai banyak sampah dan tumpukan kayu. Sekali penarikan payang menghabiskan waktu sekitar empat jam. Terendam air laut selama itu, jemari Fikri pun keriput. Pakaiannya basah kuyup. Begitulah kondisi Fikri, setiap hari.

Fikri (baju hitam) sedang mengangkat payang bersama para nelayan di Kampung Nelayan Sukaraja, Bandar Lampung, Senin, 21/10/2024. Fikri adalah salah satu dari sekian banyak anak di wilayah pesisir Lampung yang harus putus sekolah karena persoalan ekonomi. | KONSENTRIS.ID/Derri Nugraha

Serupa kisah Farid, Fikri tak lagi sekolah karena persoalan finansial. Pemasukan orang tuanya tak cukup untuk biaya sekolah. Ia berhenti kelas tiga SD.

“Makan saja susah, makanya saya berhenti sekolah. Cari uang saja di laut,” kata Fikri.

Saban hari, ia membantu pendapatan keluarga dangan menjaring ikan. Hasil keringatnya rerata Rp300 ribu-Rp400 ribu. Uang tersebut dibagi dengan 10 orang yang ikut menjala. Artinya, Fikri mengantongi uang sekitar Rp30 ribu-Rp40 ribu. Bila kondisi cuaca bersahabat, Fikri bisa dua kali menebar payang dalam sehari.

“Uangnya dipakai beli beras, minyak goreng, dan jajan adik,” ujarnya.

Tak berbeda dengan TPI Gudang Lelang, anak-anak di Kampung Nelayan Sukaraja juga banyak putus sekolah. Musabab utamanya: rendahnya penghasilan orang tua sebagai nelayan.

Jepri, salah seorang nelayan, menyatakan penghasilannya menyusut dalam 10 tahun terakhir. Apalagi, akhir-akhir ini cuaca makin tak terkendali. Sudah empat bulan angin kencang disertai gelombang pasang. Kalau air pasang terlalu tinggi, Jepri dan nelayan lain tak berani menebar jaring.

Selain sulit menarik jala, kapal kecil mereka dapat rusak dihantam ombak. Belum lagi keberadaan ikan kian sedikit. Saat ini, penghasilannya sekitar Rp20 ribu-Rp40 ribu per hari. Pencaharian itu terkadang kurang untuk membeli bahan pokok.

“Makanya, banyak (anak-anak) putus sekolah. Sebab, penghasilan orang tuanya semakin kecil,” kata Jepri.

Ia bilang, nelayan yang berpenghasilan seperti dirinya bakal susah menyekolahkan anak. Salah satu anaknya pun kandas sekolah. Anaknya yang lain lulus SMA. Namun, hingga kini, sulit mencari pekerjaan lantaran ijazah ditahan pihak sekolah. Sebabnya adalah Jepri belum melunasi tunggakan SPP.

“Kalau biaya sekolah Rp200 ribu-Rp300 ribu per bulan, ya berat. Belum lagi pakaian (seragam) dan kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.

Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), Anak Tidak Sekolah (ATS) di Lampung mencapai 146.612 orang. Perinciannya, 29.599 pelajar drop out/putus sekolah, 43.566 Lulus Tidak Melanjutkan (LTM), dan 73.447 anak Belum Pernah Bersekolah (BPB).

Sepanjang Januari-Juni 2023, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung mencatat 15.965 pelajar putus sekolah. Jumlah itu pada setiap jenjang pendidikan, mulai SD, SMP, hingga SMA/SMK se-Lampung. Jenjang SMA/SMK menjadi penyumbang terbesar angka putus studi, yaitu 6.334 orang. Kemudian, SD 5.682 orang dan SMP 3.679 orang.

Dari jumlah tersebut, anak-anak di kawasan pesisir menyumbang ATS cukup besar. Bandar Lampung, misalnya, sebanyak 975 orang dari 2.531 anak putus sekolah berasal dari wilayah pesisir, seperti Telukbetung Timur, Bumi Waras, Telukbetung Selatan, dan Panjang.

Pemerintah menyatakan, faktor dominan penyebab putus sekolah karena pelajar memilih bekerja membantu ekonomi keluarga.  

***

Laju Krisis Iklim

Menurunnya penghasilan nelayan yang berujung putusnya sekolah anak-anak di pesisir berkorelasi dengan krisis iklim. Beberapa hal yang dialami nelayan mengindikasikan anomali cuaca tersebut. Contohnya, kenaikan permukaan air laut, meningkatnya suhu air, dan perubahan gelombang arus laut.

Secara global, peningkatan rata-rata suhu bumi mencapai 1,1 derajat celsius selama periode 1850-1900. Kenaikan suhu bumi berdampak terhadap peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang panas yang mengakibatkan pencairan lapisan es di kutub.

Sepanjang 1994-2017, bumi telah kehilangan 28 triliun ton es di kutub. Pada 2020, es seluas 3,75 juta kilometer hilang dari Arktik. Tahun lalu, bongkahan es seluas Kota London, Inggris, lepas dari Antartika.

Mencairnya lapisan es tersebut menyebabkan kenaikan volume air laut dunia secara cepat. Catatan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), sejak 1990, permukaan air laut meningkat dua milimeter, setiap tahun. Skenario terburuk, ilmuwan memproyeksikan kenaikan permukaan air laut mencapai satu meter pada 2100.

Sebuah riset di perairan Sumatra memperlihatkan kenaikan air laut yang signifikan per tahun. Pengamatan Satelit Altimetri Jason-2 periode 2011-2014, fenomena kenaikan muka air laut (sea level rise) di perairan Sumatra bagian timur, salah satunya Lampung, dengan rerata nilai kenaikan sebesar +15,4605 mm/tahun (Andriyanto dkk, 2016). Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Lampung pun menyatakan, perairan Lampung mengalami peningkatan suhu hingga 30-31 derajat celcius pada 2020.

Selain itu, krisis iklim berdampak pada frekuensi el nino dan la nina di Indonesia. Kedua cuaca ekstrem tersebut lebih sering muncul dan intensitasnya semakin kuat. La Nina merupakan anomali iklim yang berpusat di Samudera Pasifik yang bisa menambah curah hujan di Indonesia. Hasilnya, badai, banjir, hujan, dan longsor lebih banyak. Sebaliknya, El Nino, anomali yang berpusat di wilayah yang sama, memicu penurunan curah hujan, kenaikan suhu air laut, gelombang tinggi, dan kekeringan di Indonesia.

Dahulu, kedua fenomena itu setiap 5-7 tahun sekali. Namun, belakangan ini, frekuensinya menjadi lebih sering, yakni 1-2 tahun. Itulah mengapa para nelayan sulit memprediksi keberadaan ikan akibat kondisi cuaca yang berubah-ubah secara cepat.

Ahli Kelautan Institut Teknologi Sumatera Mohammad Ashari Dwiputra | KONSENTRIS.ID/Derri Nugraha

Ahli Kelautan Mohammad Ashari Dwiputra mengatakan, pelbagai fenomena akibat krisis iklim itu berhubungan dengan produktivitas ikan di laut. Meningkatnya suhu air laut memicu pemutihan karang atau coral bleaching – kondisi ketika karang kehilangan warna akibat stres lingkungan. Adapun terumbu karang memiliki peran vital dalam ekosistem laut. Setidaknya, terdapat tiga fungsi utama terumbu karang, yaitu tempat ikan mencari makan (Feeding Ground), daerah pemijahan (Spawning Ground), dan tempat pengasuhan anak ikan (Nursery Ground).

“Ketika terumbu karang rusak karena kenaikan suhu air laut, otomatis biota laut, salah satunya ikan, pergi mencari lingkungan yang sesuai untuk hidup. Makanya, nelayan kalau melaut harus lebih jauh (ke tengah laut),” kata Ashari.

Selain peningkatan suhu, kenaikan permukaan air laut juga dapat merusak terumbu karang. Hal itu karena meningkatnya konsentrasi sedimentasi, di mana terumbu karang akan mati ketika sedimentasi di lautan tambah banyak. Rusaknya ekosistem ikan dapat menurunkan produktivitas.

Kemudian, perubahan arus laut yang tak terkendali berdampak pada runtuhnya rantai makanan di laut. Ikan kecil kebanyakan memakan plankton, lalu ikan kecil akan dimakan ikan yang lebih besar, begitupun seterusnya. Perubahan arus laut yang drastis akan mengubah pola rantai makanan tersebut.

“Bilamana salah satu dari jaring-jaring makanan itu hilang, maka ke belakang akan habis,” ujarnya.

Akademisi Fakultas Sains Institut Teknologi Sumatera itu mengingatkan pentingnya keberadaan ekosistem karbon biru atau blue carbon, yaitu karbon yang diserap, disimpan, dan dilepaskan oleh ekosistem pesisir dan laut. Ekosistem karbon biru mencakup hutan mangrove, padang lamun, rawa garam, dan estuaria.

“Dalam beberapa penelitian, ekosistem karbon biru tersebut 10 kali lebih kuat menyerap dan menyimpan karbon dibandingkan hutan,” kata Ashari.

Atas dasar itu, ia menyarankan Nature-based Solutions (NbS) atau Solusi Berbasis Alam sebagai cara untuk menekan krisis iklim yang berpengaruh pada tangkapan nelayan.

“Jadi, dengan kondisi mangrove atau ekosistem laut yang baik, maka secara otomatis akan memperbaiki iklim yang sedang tidak baik-baik saja,” ujarnya.

Perlu diketahui, lebih dari 70% hutan bakau di Lampung rusak parah. Dari seluas 160.000 hektare hutan bakau, sekitar 136.000 hektare beralih fungsi menjadi penambakan. Hutan bakau yang tersisa diperkirakan 1.700 hektare. Itu pun dalam kondisi kritis.

Pembangunan Eksploitatif

Dalam konteks daerah, Provinsi Lampung turut menyumbang laju krisis iklim. Model pembangunan di Lampung dinilai eksploitatif. Setidaknya hal itu terlihat dari penerbitan izin-izin perkebunan sekala besar dan aktivitas ekstraktif.

“Penerbitan izin tersebut berkontribusi dalam perubahan penyimpanan cadangan karbon dan pelepasan emisi,” kata Irfan Tri Musri, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung.

Terbaru, kontribusi paradigma pembangunan yang eksploitatif di Lampung itu tampak dari berbagai sektor. Konteks urban, misalnya, cukup masif alih fungsi lahan menjadi pertambangan, perumahan, dan kawasan industri.

Di Kota Bandar Lampung, ketersediaan ruang terbuka hijau sekitar 4%. Angka itu jauh dari jumlah ideal. UU 26/2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan penyediaan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas wilayah suatu daerah. Perinciannya, 20% ruang publik dan 10% ruang privat.

Krisis iklim juga diperparah dengan persoalan tata kelola sampah yang buruk. Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), sampah dan aktivitas rumah tangga turut mempercepat pelepasan emisi.

Menurut Irfan, Pemerintah Provinsi Lampung belum memiliki komitmen untuk menekan laju krisis iklim. Kendati telah menetapkan kebijakan untuk mitigasi krisis iklim, tapi implementasi di lapangan justru bertolak belakang.

“Upaya serius pemerintah untuk mengatasi krisis iklim dalam konteks pembatasan izin-izin industri ekstraktif tidak pernah terjadi di Lampung. Bahkan, Pemerintah Provinsi Lampung mempromosikan kehadiran izin-izin industri ekstrafktif,” ujarnya.

Selain itu, langkah regulator kebijakan terkesan menguntungkan korporasi ketimbang lingkungan. Salah satu contohnya, peraturan daerah soal pemanenan tebu dengan cara dibakar. Hal tersebut justru menambah emisi hasil pembakaran ke atmosfer.

Irfan bilang, aktivitas inti yang menyebabkan laju krisis iklim berada di sektor pembangunan. Sebab, sektor pembangunan selalu berbasiskan konversi atau alih fungsi lahan. Karena itu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lampung perlu merumuskan peta jalan upaya pengurangan emisi, adaptasi, maupun mitigasi krisis iklim. Desain kebijakan itu mesti sinkron dengan langkah masing-masing organisasi perangkat daerah.

“Ketika peta jalan itu terkonsep dan dijalankan dengan baik, maka Lampung akan berkontribusi dalam penurunan emisi,” kata Irfan.

Bappeda menyatakan, kebijakan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 32.a tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Lampung.

Beleid itu mengatur, setiap organisasi perangkat daerah berkoordinasi dalam rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca. Rencana aksi dimaksud berpusat pada lima sektor, yaitu bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, serta pengolahan limbah. Namun demikian, implementasi kebijakan tersebut terkendala anggaran.

“(Persoalan ini) bukan hanya di Lampung, tapi juga dialami pemerintah pusat dan daerah lain,” kata Merylia, Fungsional Perencana Ahli Muda Bappeda Lampung.

Ia bilang, setiap organisasi perangkat daerah terus melakukan aksi mitigasi krisis iklim, seperti rehabilitasi hutan dan lahan. Pihaknya juga mengedukasi masyarakat melalui Program Kampung Iklim dan Kampung Sehat Iklim. Meski belum maksimal, kegiatan-kegiatan tersebut diklaim memberikan kontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca di Lampung.

“Pada 2023, penurunan emisi gas rumah kaca mencapai 14,94% dengan nilai 5,6 juta ton Co2 Ekuivalen,” ujar Merylia. (*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7 + 2 =