Mengapa Program Magang Nasional Bersifat Eksploitasi?

  • Whatsapp
MENTERI Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) meluncurkan Program Magang Nasional, Senin, 20/10/2025. Menelan APBN Rp1,4 triliun, Paket Stimulus Ekonomi Nasional itu diklaim dapat menekan angka pengangguran. | dok. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Program Magang Nasional mereproduksi struktur ketimpangan dalam pasar kerja. Dengan mengubah relasi kerja menjadi relasi “magang”, program tersebut memungkinkan perusahaan untuk mengakumulasi nilai lebih tanpa harus menanggung biaya tenaga kerja yang layak. Kebijakan ini mencerminkan artikulasi kepentingan negara dengan korporasi, di mana eksploitasi tenaga kerja dilegitimasi melalui narasi “pengalaman kerja” dan “keterampilan”, sehingga memperlemah posisi tawar lulusan sarjana dalam pasar kerja.






Adelia Dini Azzahra masih tak percaya, hari di mana ia bekerja akhirnya tiba. Pukul setengah delapan pagi, Adelia sudah siap dengan kemeja dan jin. Dengan langkah mantap, ia menuju perusahaan elektronik multinasional di Bandar Lampung.

Bacaan Lainnya

Adelia berusia 22 tahun. Ia lulusan Hubungan Internasional Universitas Lampung (Unila). Mimpi berkarier sebagai diplomat kini terasa angan-angan. Persaingan ketat dan peluang terbatas, memaksa perempuan itu kembali pada kenyataan: mencari kerja di luar latar belakang pendidikan. Baginya, yang terpenting saat ini dapat bekerja dan menghasilkan uang.

Sejak wisuda Mei lalu, Adelia telah mendaftar puluhan kali ke berbagai perusahaan lokal dan nasional. Bahkan, ia juga tergabung dalam sebuah grup pencari kerja daring dengan anggota lebih dari 250 ribu orang. Mereka saling berbagi informasi tentang peluang kerja. Dari beberapa lamaran kerja, Adelia hanya mampu menembus tahap wawancara.

Selain bersaing dengan lulusan sarjana lain, fenomena “orang dalam” juga menjadi tantangan bagi Adelia. Terkadang, seseorang diterima bekerja karena hubungan kekerabatan atau koneksi. Bahkan, ada yang sampai mengeluarkan sejumlah uang.

Suasana Peresmian Magang Nasional yang diikuti oleh peserta dari seluruh Indonesia. Lebih dari 15 ribu lulusan perguruan tinggi mengikuti program tersebut. Rencananya, pemerintah bakal merekrut hingga 100 ribu orang. | dok. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Di tengah kesulitan mencari kerja, Adelia melihat informasi soal Program Magang Nasional (PMN). Kebijakan itu salah satu inisiatif pemerintah dalam Paket Stimulus Ekonomi Nasional 2025. Program ini dirancang untuk membantu lulusan baru perguruan tinggi memperoleh pengalaman kerja dan menekan angka pengangguran terbuka.

Setelah mempelajari syarat-syarat PMN, Adelia merasa tertarik. Kendati kurang sesuai dengan jurusan kuliah dan tak ada kepastian bekerja setelahnya, magang itu mungkin bisa menjadi batu loncatan. Kondisi saat ini memang tidak memberinya banyak pilihan. Lapangan kerja makin sulit, saingan pun bertambah. Apalagi, kebanyakan perusahaan mensyaratkan minimal pengalaman 1-2 tahun.

Usai melewati sejumlah tahapan, Adelia akhirnya diterima magang sebagai staf administrasi. Kesulitan demi kesulitan itulah yang membuat dirinya bersemangat pada hari pertama magang, 20 Oktober 2025.

Sebelum memulai magang, ia menandatangani kontrak dengan perusahaan. Beberapa poin penting dalam kontrak meliputi uang saku sesuai UMK, BPJS Ketenagakerjaan, dan durasi magang enam bulan. Namun, isi kontrak tidak mengatur soal lembur maupun tunjangan lain, seperti transportasi dan internet. Artinya, perusahaan hanya menyediakan tempat magang dan tidak memiliki kewajiban lain terkait biaya normatif.

Setelah tiga minggu menjalani magang, Adelia mengaku bekerja layaknya profesional. Jam kerjanya juga sama dengan karyawan organik.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Adelia merasakan magang. Sewaktu kuliah, ia pernah mengikuti program magang merdeka. Tapi, suasana dan tujuannya berbeda. Waktu itu, magang cenderung fokus pelatihan kerja. Perusahaan lebih banyak berbagi pengetahuan terkait pekerjaan.

Adelia menyambut baik kehadiran PMN. Ia berharap program tersebut berkelanjutan, sehingga benar-benar menjawab tujuan PMN, yakni mengurangi pengangguran.

“Karena apa pun programnya, harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat, yaitu pekerjaan tetap, upah layak, dan lingkungan kerja yang sehat,” kata Adelia.

Dimas Aditia (empat dari kiri), salah satu peserta Magang Nasional dari Lampung. Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia itu mencoba peruntungan sebagai jurnalis lantaran lowongan guru terbilang minim serta mensyaratkan pengalaman. | ist

Pertentangan batin untuk bekerja di luar background kuliah juga dirasakan Dimas Aditia, alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unila. Lewat PMN, ia mencoba peruntungan sebagai jurnalis.

Sebelumnya, Dimas sudah mencari lowongan kerja sebagai guru. Namun, kebanyakan sekolah swasta mensyaratkan pengalaman mengajar minimal satu tahun. Sementara untuk sekolah negeri, pemerintah telah menghapus status guru honorer dan menggantinya dengan sistem Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Dimas bilang, upah guru honorer sangat memprihatinkan. Masih banyak tenaga honorer di Lampung yang menerima gaji hanya Rp250 ribu per bulan.

“Itu pun dibayarkan tiga bulan sekali,” ujarnya.

Kondisi sulit itu yang mendorong Dimas mendaftar PMN. Ia tak memiliki banyak pilihan lain. Dimas berpikir, tak ada salahnya mencoba, meski bidangnya tidak sesuai keahliannya. Selain itu, ia akan dapat uang saku. Setidaknya itu membantu memenuhi kebutuhan hidupnya enam bulan ke depan, sembari mencari peluang karier lebih baik.

Dimas tak pernah membayangkan akan menjadi wartawan. Ia berani mengambil pekerjaan itu karena jurusan kuliahnya juga mempelajari dasar-dasar jurnalistik.

Kondisi berbeda dirasakan kawan seperjuangannya. Di perusahaan media itu, ada 20 orang yang magang seperti Dimas. Beberapa lulusan pendidikan jasmani hingga teknik, jurusan yang sama sekali tidak berkaitan dengan jurnalisme. Mereka juga tak punya kuasa memilih pekerjaan. Sebab, lowongan sesuai jurusan sangat minim. Ketimbang menganggur lebih baik ikut magang.

Dimas menatap masa depan. Ia berharap pemerintah dapat memperbaiki sistem ketenagakerjaan, sehingga akses pekerjaan yang layak dan setara bisa terwujud.

“Karena kami yang hanya modal keahlian dan nilai akan kalah bila bertarung dengan uang dan ‘orang dalam’,” kata Dimas.

Logika Neoliberalisme

Adelia dan Dimas hanyalah potret kecil dari masalah dunia kerja yang lebih kompleks. Data Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 7,28 juta orang pada Februari 2025. Jumlah itu melonjak menjadi 7,46 juta pada Agustus 2025. Penambahan 180 ribu pengangguran dalam enam bulan terakhir mengindikasikan betapa sulitnya mencari pekerjaan di Tanah Air.

Dari angka yang dihadirkan BPS tersebut, sekitar 1,01 juta di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi, yaitu Diploma IV, S-1, S-2, dan S-3. Sebuah ironi, di mana investasi besar dalam pendidikan tinggi tidak sejalan dengan ketersediaan lapangan kerja yang sesuai.

Pada Februari 2023, jumlah pengangguran dari perguruan tinggi sebesar 945.413 orang. Artinya, terdapat peningkatan jumlah pengangguran bergelar sarjana di Indonesia. Fenomena ini menunjukkan krisis tenaga kerja terdidik, di mana makin banyak lulusan perguruan tinggi tak mampu menembus pasar kerja yang kian selektif. Pemerintah mengklaim bahwa Program Magang Nasional bisa menurunkan angka pengangguran.

Akademisi Universitas Tidar Anindya Dessi Wulansari | Instagram Anindya

Namun, Anindya Dessi Wulansari, pemerhati kebijakan industri, ekonomi politik, dan ketenagakerjaan, memiliki pandangan berbeda. Ia melihat program peningkatan serapan tenaga kerja, termasuk magang fresh graduate, kurang efektif mengurangi tunakarya. Sebab, persoalan utamanya bersifat struktural dan lintas sektor. Pendudukan, pendidikan berkualitas, investasi berkelanjutan, dan penciptaan kerja yang berkeadilan adalah beberapa faktor yang mesti diperhatikan.

Ia bilang, program magang dan relasi kerja fleksibel hanya “tambal sulam” untuk masalah ketenagakerjaan. Memang banyak peserta magang atau pekerja dengan relasi fleksibel yang bekerja. Namun, mereka berada dalam kondisi rapuh tanpa jaminan sosial, upah layak, atau kepastian karier.

“Akibatnya, perbaikan angka (pengangguran) menutupi ketimpangan dan menormalisasi prekarisasi (perentanan kerja) sebagai keberhasilan semu,” ujarnya.

Bagi Anindya, kehadiran PMN justru memperlihatkan paradoks dalam sistem pendidikan dan pasar kerja. Pengangguran dan kerentanan ekonomi bukan sekadar masalah keterampilan, tapi kegagalan sistem pasar menyediakan pekerjaan layak bagi lulusan perguruan tinggi. Solusi pemerintah yang menawarkan subsidi dan karpet merah bagi perusahaan melalui skema upah murah pekerja magang mencerminkan logika neoliberalisme. Arah kebijakan negara tetap berpihak pada logika pasar yang menormalisasi kerja fleksibel, alih-alih menjamin pekerjaan layak bagi rakyatnya.

Anindya pernah meriset soal program magang pada 2023. Dari 215 responden, 40,56 persen dan 32,22 persen merasa terdiskriminasi di tempat kerja karena status relasi kerjanya. Mereka sering menjadi “korban” beban kerja tinggi tanpa imbalan dan perlindungan yang layak. Sama dengan Adelia dan Dimas, mereka bekerja penuh layaknya karyawan tetap, tapi tidak memperoleh hak normatif seperti tunjangan transportasi, internet, maupun jaminan sosial lainnya.

Praktik ini mencerminkan eksploitasi terselubung yang dilegitimasi oleh kebijakan pemerintah. Negara seolah mengalihkan tanggung jawab biaya tenaga kerja kepada peserta magang sendiri, memperkuat struktur ketimpangan dalam pasar kerja formal.

Akademisi Universitas Tidar itu mengusulkan dua strategi besar: industrialisasi dan reforma agraria. Di perkotaan, industrialisasi harus berbasis nilai tambah, padat karya, dan berkeadilan. Di perdesaan, reforma agraria akan memperluas akses tanah dan sumber produksi, sehingga masyarakat desa tidak terus ingin ke kota dalam kondisi rentan.

Aktivis buruh Jumisih | ist

Biro Politik Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Jumisih menguatkan pandangan Anindya. Ia melihat program magang hanya menyirkulasi tenaga kerja, menggantikan pekerja lain dengan status yang lebih rendah. Pemagangan digeser maknanya dari pendidikan menjadi alat untuk menghemat biaya tenaga kerja.

“Kebijakan ini tidak akan mengurangi pengangguran, tapi hanya memutar hubungan kerja yang sudah ada,” kata Jumisih. 

Ia menyebut program magang sebagai wajah kapitalisme, di mana negara tunduk kepada pemilik modal. Pemerintah memberi karpet merah bagi korporasi, tapi mengeksploitasi pekerja. Mereka menggelontorkan dana rakyat untuk subsidi uang saku magang, padahal seharusnya perusahaan yang bertanggung jawab.

Jumisih mengusulkan transformasi ekonomi radikal untuk mengatasi krisis ketenagakerjaan. Negara harus mengadopsi sistem ekonomi kerakyatan, membuka ruang bagi usaha rakyat di sektor pangan, pendidikan, dan kesehatan. Usaha ini mesti dikelola oleh rakyat, bukan korporasi yang hanya mengutamakan keuntungan. Namun, yang menjadi tantangan adalah kekuasaan tersandera oleh kapitalis. Karena itu, rakyat harus bersatu dan berjuang menciptakan tatanan sendiri.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

87 − = 79