Militerisme dan NKRI Harga Mati

  • Whatsapp
PRESIDEN Prabowo Subianto bersama para menteri, wakil menteri, kepala badan/lembaga hingga utusan khusus Presiden menjalani retreat Kabinet Merah Putih di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, Jumat, 25/10/2024. | Handout/Tim Media Prabowo

Militerisme terus mengukuhkan diri sebagai kekuatan dominan yang membentuk politik dan sejarah. Mulai rezim Orde Baru yang represif hingga era kontemporer yang ditandai dengan kembalinya figur-figur militer, seperti Prabowo Subianto. Dengan narasi “NKRI Harga Mati”, militerisme berusaha melegitimasi kekuasaan dan menekan kritik, sekaligus mengaburkan garis antara kepentingan negara dan kepentingan politik. Dalam konteks ini, ikhtiar pengukuhan Soeharto sebagai pahlawan nasional dan peluasan Komando Daerah Militer bukanlah sekadar peristiwa biasa, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk mempertahankan dominasi politik.






Riwanto Tirtosudarmo | Peneliti Independen

Bacaan Lainnya

Militerisme adalah sebuah ideologi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemiliteran, seperti kekuatan dan kekerasan, patriotisme, keseragaman, kedisiplinan dan loyalitas bawahan terhadap atasan. Dalam sebuah negara yang menganut militerisme, supremasi di tangan pemegang kekuasaan tertinggi. Warga negara harus patuh dan tunduk terhadap perintah pemegang kekuasaan tertinggi.

Sebagai ideologi, militerisme beririsan dengan patriotisme, otoritarianisme, dan fasisme. Pemimpin yang menganut ideologi militerisme tidak selalu seorang militer meskipun pemimpin militer memiliki kecenderungan kuat menjalankan militerisme ketika berkuasa. Di Indonesia, militerisme hanya salah satu ideologi yang berseliweran, selain kapitalisme, sosialisme, liberalisme, komunisme, marxisme, islamisme, marhaenisme, kolonialisme, dan imperialisme.

Dalam sejarah politik negeri ini, kita bisa menilai kapan militerisme menguat dan melemah sebagai ideologi yang dipakai negara. Secara praktik, militerisme seperti juga ideologi-ideologi yang lain tak pernah berdiri sendiri. Sebab, ideologi apa pun selalu hidup berdampingan dengan ideologi lain, sejauh keduanya memiliki tujuan yang sama. Misal di Tiongkok, komunisme hidup berdampingan dengan kapitalisme.

Yang pasti, militerisme bertolak belakang dengan demokrasi yang mengandaikan kesetaraan warga negara dalam kehidupan bernegara. Namun, militerisme bisa saja seolah-olah menjalankan demokrasi tatkala lembaga-lembaga yang menjadi simbol demokrasi, seperti parlemen, partai politik, dan pemilu dikuasai oleh tangan-tangan dari pemegang kekuasaan tertinggi yang militeristik.

Penggunaan kekerasan tampaknya tidak pernah jauh dalam sejarah politik bangsa dan negara ini. Sebagai bangsa, kita pernah melewati zaman kerajaan dan kesultanan yang ditegakkan dengan jalan kekerasan, melalui perang, pembunuhan, dan perebutan kekuasaan yang sering kali berdarah-darah. Kita pun mengalami penjajahan oleh bangsa lain yang melalui kekerasan militeristik telah menaklukkan kita. Itu mencerminkan kekalahan kita dalam melawan penjajah yang memiliki organisasi dan teknologi militer yang jauh lebih tinggi.

Kita juga merdeka dalam situasi kekerasan Perang Pasifik, di mana Belanda terpaksa meninggalkan negeri ini karena kalah perang dengan Jepang, 1942-1945. Kita pun belajar bahwa di bawah kekuasaan tentara Jepang – yang menjelang kalah perang terhadap tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat – berperan besar dalam menyiapkan pendirian Republik Indonesia. Peran tersebut antara lain melalui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Organisasi itu berhasil menyusun UUD 1945 yang bersifat sementara dan merumuskan Pancasila sebagai dasar negara.

Untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan harus diakui bahwa perlawanan bersenjata memegang peran penting, selain perjuangan diplomasi melalui meja-meja perundingan dengan Belanda. Kita juga bisa membaca sejarah bahwa Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang kemudian mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia dalam bingkai Republik Indonesia Serikat (RIS) ditentang oleh kekuatan-kekuatan anti-Belanda yang sangat erat mengandung elemen-elemen militer. Kekuatan dimaksud menjunjung tinggi perlawanan bersenjata dengan semangat patriotisme yang sangat kuat. Melalui Presiden Soekarno yang menyebut dirinya sebagai Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, tekanan untuk menolak RIS yang federalistik menguat. Sejak saat itu, federalisme dianggap barang tabu karena dikesankan hanya sebagai alat politik Belanda untuk memecah belah negeri ini.

Tahun 1950-an bisa dikatakan sebagai awal menguatnya militerisme dan kehendak untuk mewujudkan negara yang berbentuk kesatuan. Benih-benih militerisme bisa dilihat tumbuh subur melalui peristiwa-peristiwa sejarah yang menunjukkan militer adalah pengawal setia Republik. Dalam narasi sejarah militer ini sosok Jenderal Sudirman – bekas guru yang berhasil memimpin laskar rakyat melawan Belanda – adalah wujud paling sempurna dari patriotisme, kepahlawanan, perjuangan yang pantang menyerah dan loyalitas kepada pemimpin negara.

Peristiwa Madiun 1948, Pemberontakan Daerah 1956-1958, Peristiwa 1965, Konfrontasi dengan Malaysia, Perebutan Irian Barat, Pencaplokan Timor Timur, operasi militer untuk menumpas Fretilin, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM); adalah bukti-bukti sejarah patriotisme militer sebagai penjaga utama negara kesatuan dan integrasi nasional.

Mantan Presiden Soeharto diusulkan jadi pahlawan nasional. Tunjangan pahlawan nasional dari negara kepada ahli waris adalah Rp50 juta per tahun. | AFP/John Gibson

Kolonel Soeharto, pendamping Jenderal Sudirman dalam perang kemerdekaan, lewat kudeta merangkak bisa menggulingkan Presiden Soekarno. Ia membabat habis PKI dan mereka yang dianggap kiri (1965-1966) adalah juga panglima perang Komando Mandala, saat Trikora dan merebut kembali Irian Barat (1969).

Setelah memegang tampuk kekuasaan, Soeharto sulit untuk dibantah telah menjadi representasi militerisme, di mana stabilitas politik ditegakkan lewat represi dan persekusi terhadap mereka yang berani melawan: mahasiswa, disiden politik, ekstrem kiri, ekstrem kanan, Fretilin, GAM, OPM. Selama 32 tahun (1966-1988) dikenal istilah ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) sebagai tulang punggung kekuasaan Orde Baru, dan tentu saja militer (ABRI) di atas segalanya. Ketika Soeharto berkuasa inilah NKRI perlahan-lahan berubah menjadi mantra dengan embel-embel Harga Mati – sesuatu yang tidak bisa ditawar.

Negara kesatuan sempat sedikit terguncang tatkala ide federalisme muncul pada awal reformasi (1999-2000). Namun, kembali dikukuhkan ketika otonomi diberikan pada tingkat kabupaten lantaran kekhawatiran militer akan terjadinya disintegrasi jika otonomi diberikan ke tingkat provinsi.

Menangnya Prabowo Subianto, mantan menantu Soeharto, yang sempat diberhentikan sebagai militer karena dianggap terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan sumpah prajurit (Sapta Marga), menandai kembalinya militerisme. NKRI Harga Mati akan menjadi mantra sakti, mitos nasional sekaligus praktik dasar negara dan tameng utama dari kritik-kritik terhadap berbagai kebijakan negara yang hanya menguntungkan para oligark dan terus meminggirkan warga negara. Peluasan Komando Daerah Militer (Kodim) mengukuhkan militerisme telah mengalami “full circle” dalam sejarah politik negeri ini.

Selain kebijakan-kebijakan yang dari luar terlihat prorakyat, melalui pembentukan Kementerian Kebudayaan secara sistematis sedang dirancang narasi-narasi publik yang bertujuan melegitimasi militerisme. Penugasan sejumlah sejarawan oleh Menteri Kebudayaan untuk menulis kembali sejarah nasional akan menjadi bukti dihaluskannya berbagai bentuk kekerasan yang militeristik dari negara sepanjang sejarah politik Republik ini. Puncak kembalinya militerisme dengan mantra NKRI Harga Mati adalah akan dikukuhkannya Soeharto sebagai pahlawan nasional dalam waktu dekat ini.(*)

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 54 = 61