Represi sistemik terhadap aktivis merupakan manifestasi dari rezim otoritarian. Negara melalui instrumennya menggunakan kekerasan, penangkapan, serta penahanan untuk membungkam perbedaan pandangan dan kritik. Pola yang terus berulang ini memperlihatkan urgensi perubahan struktural dan konsolidasi gerakan sosial untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
Pukul lima sore itu, Kristina Tiya Ayu dan Adit Gumilang sedang mencari seorang teman yang hilang dalam kericuhan aksi menolak Omnibuslaw Cipta Kerja. Naik sepeda motor, keduanya memindai massa yang masih bergejolak di kompleks DPRD Lampung. Tiba-tiba, puluhan polisi berpakaian preman muncul dari balik kerumunan, menyergap mereka dengan cepat.
“Ini dia yang dicari,” ujar salah satu aparat.
Polisi meninju kepala Adit, lalu menendang tubuhnya. Salah satu dari mereka menjegal Adit hingga tersungkur, kemudian menginjaknya beramai-ramai. Seraya mengeroyok, aparat menuduh Adit membawa senjata tajam dan provokator. Kepala Adit benjol, wajahnya bengkak, dan paha kanan memar-memar.
Aparat kemudian membawa Kristina dan Adit ke dalam halaman DPRD Lampung. Di sana, sudah ada puluhan demonstran lain. Total, 48 orang diciduk.
Kristina masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Sebelum tertangkap, ia sempat bersembunyi di sebuah warung yang berjarak 40 meter dari titik aksi. Dari balik garasi, ia melihat satu per satu demonstran ditangkap dan dipukuli. Beberapa di antaranya menerima bogem di bagian wajah.

Hujan turun deras. Aparat terus memburu demonstran. Banyak yang tertangkap dan digebuki, antara lain Daffa dan Dwi. Semula, Daffa hendak kabur saat pecah kericuhan, tapi ia melihat polisi memukuli temannya yang tertinggal di belakang. Mahasiswa itu berbalik untuk menolong, namun dikepung sejumlah polisi. Tinju dan tendangan menghujani tubuhnya, terutama bagian wajah dan perut. Mata Daffa lebam, hidung berdarah, dan perut kiri memar.
Sementara, Dwi yang sudah mengamankan diri lebih dari 300 meter dari lokasi, tiba-tiba didatangi aparat saat sweeping. Polisi menuduhnya melempar batu, tapi Dwi tidak sempat membela diri. Ia langsung diseret ke dalam kompleks DPRD, di mana sejumlah polisi menunggu. Dwi ditonjok, lalu dimasukkan dalam mobil tahanan bersama demonstran lain.
Mereka dibawa ke Polresta Bandar Lampung. Dari puluhan pedemo yang tertangkap, Kristina paling lama diperiksa. Ia dicecar seputar perannya dalam aksi. Polisi menuduhnya provokator. Kristina bergeming. Ia merasa tidak pernah menghasut siapa pun. Kehadirannya dalam aksi hanya wujud dukungan atas perjuangan rakyat.
Malam hari, polisi memilih acak demonstran, termasuk Kristina, untuk menjalani tes urine. Kristina menolak dengan tegas, karena tidak ada indikasi bahwa ia maupun pedemo lainnya membawa obat-obatan terlarang.
“Enggak ada yang bisa memastikan kejujuran polisi dalam pemeriksaan urine,” ujarnya.

Pemeriksaan pun berlanjut hingga dini hari. Esoknya, kepolisian membebaskan seluruh pengunjuk rasa.
Di Lampung, penangkapan serupa telah menjadi kenangan pahit bagi Kristina. Sewaktu aksi menolak pengesahan UU Cipta Kerja pada 7-8 Oktober 2020, ia menjadi salah satu dari 272 orang yang ditangkap polisi. Mereka baru dipulangkan keesokan harinya.
Kristina menjadi target aparat, terutama setelah kericuhan meletus. Kala itu, ia sedang memberikan orasi politik di hadapan massa aksi. Polisi menunjukkan foto Kristina, seolah-olah mencari bukti keterlibatannya dalam kerusuhan. Bahkan, wartawan diminta mengumpulkan foto-foto Kristina saat aksi, sebagai upaya memperkuat tuduhan.
Kristina dan Adit mengutuk brutalitas aparat dalam penanganan aksi. Polisi telah membungkam dan merenggut kebebasan warga negara dalam menyampaikan pendapat dan ekspresi.
Dalam demokrasi, demonstrasi adalah mekanisme kontrol publik. Protes merupakan “senjata” rakyat untuk memastikan tidak terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan yang menyeramkan.
Adit merenungkan situasi ini. Di bawah rezim otoriter dan sistem kapitalistik, polisi tampaknya lebih berperan sebagai alat kekuasaan untuk melanggengkan kelancungan negara, bukan pelindung masyarakat.
“Perlu transformasi total agar polisi tak lagi memandang demonstrasi sebagai ancaman, melainkan keniscayaan dalam demokrasi,” kata Kristina.
Kondisi tak jauh berbeda terjadi baru-baru ini. Penangkapan sewenang-wenang berlangsung pada aksi menolak kenaikan penghasilan wakil rakyat, Agustus-September 2025. Gelombang protes yang merenggut 10 nyawa itu menyisakan luka mendalam.
Aparat menangkap lebih dari 6.000 orang dari 228 titik demonstrasi yang digelar di 144 kabupaten/kota. Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan adalah beberapa kota terdampak.
Polisi menetapkan 959 orang, termasuk 295 anak, sebagai tersangka kericuhan. Mereka dijerat dengan berbagai pasal sesuai jenis tindak pidana. Pasal 160, 161, 170, 187, 351, dan 406 KUHP adalah beberapa contoh. Sebagian juga dikenakan Pasal 212, 213, 214 KUHP, UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951, serta Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 32 ayat (1) UU ITE.
Di Jakarta, proses hukum masih berjalan. Ratusan pelajar, mahasiswa, hingga demonstran sudah ditahan lebih dari satu bulan. Mereka masih menanti kepastian hukum.
Terbaru, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan empat aktivis. Mereka adalah Delpedro Marhaen dan Muzaffar Salim dari Lokataru Foundation, Syahdan Husein (Gejayan Memanggil), dan Khariq Anhar, aktivis Aliansi Mahasiswa Penggugat asal Riau.
Keempat aktivis tersebut mengajukan praperadilan, mempertanyakan keabsahan penangkapan, penyitaan, penahanan, hingga penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya. Langkah tersebut merespons tuduhan penghasutan berkaitan dengan unjuk rasa yang berujung kerusuhan pada akhir Agustus 2025.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyebut penetapan tersangka tidak sah karena keempat aktivis itu belum pernah diperiksa sebagai “calon tersangka”. Penyitaan barang-barang aktivis juga tanpa penetapan pengadilan. Penangkapan mereka pun tidak sah karena belum pernah dipanggil atau diperiksa polisi.

Pola represi terhadap suara rakyat sudah terlihat sejak enam tahun terakhir. Kekerasan dan penangkapan terjadi pada aksi-aksi besar, seperti #ReformasiDikorupsi, #MosiTidakPercaya, #PeringatanDarurat, #IndonesiaGelap, hingga Tolak Revisi UU TNI.
Pada aksi #ReformasiDikorupsi 24-30 September 2019, polisi menangkap 1.489 orang dan 380 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Lima orang gugur dalam aksi tersebut, meninggalkan luka yang tak terhapuskan. Mereka ialah Yusuf Kardawi, Immawan Randy, Maulana Suryadi, Akbar Alamsyah, dan Bagas Putra Mahendra.
Investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) menyebut, Randy dan Yusuf meninggal akibat ditembak polisi. Namun, keadilan masih jauh dari jangkauan. Hanya satu polisi yang divonis bersalah karena menembak Randi, sementara kasus Yusuf masih belum terang sampai hari ini.
Adapun Maulana ditemukan dalam keadaan bersimbah darah. Luka pukul menghiasi bagian belakang tubuhnya. Darah keluar dari telinga dan hidung. Sedangkan Akbar ditemukan tergeletak di trotoar. Luka di tubuhnya membuktikan kekerasan yang tak terkendali. Bagus menemui ajalnya setelah terlindas truk saat menghindar dari kejaran aparat.
Amnesty International mencatat 6.658 orang ditangkap selama aksi #MosiTidakPercaya pada 2020. Sebanyak 301 orang dari mereka ditahan, termasuk 18 jurnalis yang hanya menjalankan tugasnya. Kekerasan polisi tidak berhenti, 402 korban kekerasan tercatat di 15 provinsi sepanjang demonstrasi.
Represi aparat tidak berhenti. Aksi damai di 14 kota, 22-29 Agustus 2024, berakhir dengan kekerasan. Setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi. 344 orang mengalami penangkapan dan penahanan semena-mena, 152 orang luka-luka akibat serangan fisik, termasuk penembakan meriam air. 17 orang terpapar gas air mata, sementara 65 lainnya mengalami kekerasan berlapis, termasuk kekerasan fisik dan penahanan inkomunikado. Ada juga satu orang yang dilaporkan sempat hilang sementara.
Kekerasan tersebut terjadi saat polisi menghadapi unjuk rasa #PeringatanDarurat. Aksi massa itu menyerukan penolakan terhadap revisi UU Pilkada, sebuah perjuangan untuk demokrasi yang berakhir dengan darah dan air mata.
Penekanan kembali berlanjut. Aksi Tolak Revisi UU TNI, 15-28 Maret 2025, menjadi saksi kekerasan negara. Pemegang otoritas menerjunkan 5.021 personel gabungan untuk pengamanan aksi di depan Gedung DPR/MPR. Pasukan tersebut berasal dari instansi TNI, Polri, hingga Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP).
Temuan Tim Advokasi untuk Demokrasi, TNI dan Polri menjadi aktor utama pelaku kekerasan. Sebanyak 83 demonstran luka-luka, dan 161 orang ditangkap secara sewenang-wenang. Jumlah tersebut tersebar di total 69 titik aksi di seluruh Indonesia, sebuah kekerasan yang meluas dan sistematis.
Problem Sistemik
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah melihat pola represi aparat sebagai persoalan sistemik. Upaya sistematis memburu aktivis dan warga sipil kritis terhadap pemerintah menunjukkan kencenderungan negara membungkam perbedaan keyakinan dan sikap politik.
Castro, sapaan akrab Herdiansyah, memandang problem tersebut sebagai gejala masalah lebih besar: negara belum keluar dari watak otoritarian. Kekuatan militer kini lebih kuat, dengan penambahan prajurit, pembentukan Komando Daerah Militer, dan perluasan wewenang melalui UU TNI.
“Orde Baru runtuh dua dekade lalu, tapi alat politik kekuasaan dan kroninya berestorasi dan bertahan,” kata Castro.

Ia menilai, persoalan struktural tersebut terus langgeng karena gerakan masyarakat sipil gagal menjaga muruah reformasi. Cita-cita reformasi untuk mewujudkan supremasi sipil dan mengakhiri dominasi militer masih jauh dari kenyataan. Kekuasaan politik masih dikuasai institusi nondemokratis, dan kekuatan sipil masih tunduk pada militer.
Bahkan, Jokowi memberi suaka kepada Prabowo dengan melantiknya sebagai Menteri Pertahanan. Terpilihnya Prabowo sebagai presiden menjadi puncak kembalinya rezim militeristik di Indonesia.
Castro melihat dua faktor utama mengapa gerakan masyarakat sipil gagal menjaga amanat reformasi. Pertama, napas perjuangan yang pendek, di mana gerakan hanya bereaksi pada momen tertentu dan kemudian tiarap. Kedua, gerakan rakyat belum memiliki alat politik seperti partai alternatif yang kuat untuk menghadapi penguasa.
“Konsistensi dan kontinuitas gerakan serta membangun alat politik adalah kunci untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat,” ujarnya.

Rubby Emir, Pendidik Aktivis dan Fasilitator Organising Institute, sejalan dengan Castro dalam menganalisis problem sistemik yang melanda gerakan sosial. Dalam perspektif gerakan sosial, Rubby membagi penyebab utama problem tersebut dalam dua faktor: eksternal dan internal.
Secara eksternal, rezim terus berkonsolidasi untuk memperluas dan memperkuat kekuasaannya, memecah belah gerakan sosial melalui operasi buzzer dan kebijakan yang mempersempit ruang sipil. Sementara, secara internal, motor-motor gerakan rakyat terfragmentasi, bergerak sesuai isu sektoral atau kelembagaan masing-masing, sehingga gerakan rakyat tidak terkonsolidasi dengan baik.
Aktor gerakan sipil belum melihat bahwa isu-isu parsial tak akan selesai bila tidak mengubah struktur dan sistem yang menindas. Tidak ada yang salah dari perjuangan pada sektor-sektor tertentu, tapi penyatuan gerakan adalah kunci. Aktor-aktor gerakan sosial harus melihat perpotongan dari masing-masing isu dan mencari benang merah untuk perjuangan yang lebih besar: perubahan secara struktural dan sistematis.
Ia menekankan pentingnya gerakan sosial kembali pada rakyat sebagai konstituennya. Perlu ada perombakan paradigma para aktivis dan organisasi yang terlibat dalam pengorganisasian gerakan, yang saat ini masih memandang relasi aktivis dengan rakyat sebagai transaksional. Masyarakat hanya dipandang sebagai objek penerima program, bukan subjek yang berjuang bersama.
“Padahal, memperkuat gerakan perlu membangun kesadaran sosial-politik rakyat. Hubungan yang terjalin harus lebih dari sekadar program, sehingga perjuangan bisa lebih solid dan mengakar,” kata Rubby.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.







