Arif Satria, BRIN, dan Ilmu-Ilmu Sosial Otonom

  • Whatsapp
PRESIDEN Prabowo Subianto melantik Arif Satria sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Istana Negara, Jakarta, Senin, 10/11/2025. | BPMI Setpres

Persoalan utama riset nasional bukanlah sekadar integrasi kelembagaan atau perbedaan hard vs soft sciences, melainkan hambatan struktural dari sistem politik-ekonomi oligarkis. Melalui rekam jejak Sajogyo dan “Mazhab Bogor”, Arif Satria diharapkan dapat mengembalikan muruah ilmu pengetahuan otonom yang berani, kritis, dan berkiblat pada keadilan sosial.






Riwanto Tirtosudarmo | Peneliti Independen

Bacaan Lainnya

Arif Satria, ahli ilmu sosial-perikanan lulusan Universitas Kagoshima, dilantik Presiden Prabowo Subianto sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), 10 November lalu. Arif menggantikan Tri Laksana Handoko, ahli fisika lulusan Universitas Hiroshima. Secara kebetulan, kedua kepala BRIN ini lulusan dari kampus Jepang, sebuah negara kapitalis di Asia yang dikenal memiliki tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi.

Sejak berdiri pada 2021, BRIN telah menuai kontroversi. Institusi itu dinilai memusatkan semua lembaga penelitian hanya dalam satu atap yang proses integrasinya menimbulkan banyak masalah. Sebab, mengubah secara drastis struktur kelembagaan penelitian milik pemerintah yang ada sebelumnya. Proses integrasi besar-besaran ini sampai sekarang masih dianggap belum selesai. Bisa diduga menyisakan tambahan pekerjaan rumah bagi kepala BRIN yang baru.

Saat ini, banyak yang mulai menyadari bahwa Reformasi 1998 ternyata tidak membawa perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apa yang dikatakan oleh Vedi Hadiz dan Richard Robison melalui buku mereka pada 2004, “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets” – saya kira – adalah benar.

Setelah Reformasi 1998, yang terjadi hanyalah reorganisasi kekuasaan para elite politik. Di belakang mereka, bercokol oligarki yang menguasai modal besar. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terus mengakar, baik di eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.

Demokrasi yang didambakan akan menguat melalui sistem multipartai dan pemilu langsung terbukti hanya menciptakan praktik politik uang. Prosesnya sangat transaksional dan menghasilkan elite politik palsu yang tidak mewakili kepentingan orang banyak.

Pada 6 September 2021, saya menulis esai berjudul “LIPI In Memoriam” di Kajanglako sebagai perpisahan dengan LIPI. Saya telah mengabdi hampir 40 tahun sebagai peneliti sosial di sana.

Meski saya menyambut baik kehadiran BRIN sebagai lembaga riset nasional yang baru, saya menyadari bahwa nasib lembaga riset di negara ini – yang terus diwarnai KKN, dengan politik semakin elitis dan ekonomi ekstraktif – tidak akan memberikan banyak kesempatan bagi para penelitinya. Mereka akan kesulitan melakukan riset yang mampu menghasilkan inovasi emansipatoris untuk kepentingan masyarakat luas. Persoalan utamanya adalah struktur dan sistem politik-ekonomi yang tidak kondusif untuk membangun ekosistem pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam wawancara di Harian Kompas, 20 November 2025, dengan judul yang terdengar gagah “Pertaruhan Riset dan Kultur Baru”, Arif seperti tidak bisa berbicara selain tunduk pada arahan Prabowo. Ia menyatakan, BRIN akan menunjang program pemerintah, termasuk mendukung Danantara untuk pertumbuhan ekonomi 8 persen, membantu Koperasi Merah Putih, dan program Makan Siang Gratis. Kebijakan ini dipandang skeptis oleh banyak pengamat.

Berbeda dengan presiden sebelumnya yang pragmatis terhadap pasar global, Prabowo menunjukkan determinasi untuk membangun ekonomi nasional yang lebih mandiri. Hal itu ditandai dengan sentralisasi sumber daya melalui Danantara dan target pertumbuhan 8 persen per tahun.

Penggantian Sri Mulyani – yang selama ini dianggap sebagai menteri ekonomi andal dan dekat dengan lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti IMF dan Bank Dunia – oleh Purbaya Yudhi Sadewa dapat dilihat sebagai gerakan nasionalisasi ekonomi di bawah kepemimpinan Prabowo. Langkah ini mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mau lagi didikte oleh kepentingan ekonomi global.

Sebenarnya, dunia ekonomi bukan sesuatu yang asing bagi Prabowo. Ia adalah cucu Margono Djojohadikusumo, direktur BNI pertama setelah kemerdekaan, dan putra dari Sumitro Djojohadikusumo. Ayahnya merupakan ekonom lulusan Universitas Rotterdam (Belanda), sekaligus tokoh Partai Sosialis Indonesia yang kemudian hengkang karena terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1956-1958 yang didukung oleh CIA.

Perbedaan utama Prabowo dengan kakek dan ayahnya terletak pada pilihannya untuk menjadi tentara dan berkarier di dunia militer. Latar belakang militernya ini sudah terlihat berpengaruh pada keputusannya untuk mengarusutamakan militer dalam berbagai kebijakan nasional di ranah sipil.

Dibandingkan dengan Kepala BRIN sebelumnya, Laksana Tri Handoko – yang diangkat pada masa pemerintahan Jokowi yang saat itu masih dekat dengan PDI-P dan Megawati – Arif kini berada di bawah kepemimpinan Prabowo. Kepala negara itu dikenal memiliki determinasi nasionalistik dan militeristik yang kuat. 

Dahulu, Handoko relatif memiliki kebebasan untuk mengarahkan BRIN sesuai dengan imajinasinya tentang sebuah lembaga riset pemerintah. Misalnya, menurut saya, Handoko secara teoretis (di atas kertas) berhasil memisahkan antara bagian yang bertugas memproduksi pengetahuan dengan bagian yang bertugas mendekatkan pengetahuan dengan kebijakan. Pemisahan seperti ini merupakan kondisi ideal dari sebuah lembaga penelitian pemerintah.

Namun, bagaimana realitasnya? Apakah Handoko telah mencapai keadaan ideal itu?

Saya kira, apa yang dicapai Handoko masih jauh dari kondisi ideal. Walau begitu, harus diakui bahwa Handoko telah memosisikan lembaga riset yang memang seharusnya memisahkan bagian antara memproduksi pengetahuan dengan menghasilkan inovasi berbasis pengetahuan.

Secara garis besar, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua: hard sciences dan soft sciences. Sebagai seorang ahli fisika, Handoko sangat memahami bagaimana ilmu-ilmu alam dan fisika diproduksi melalui laboratorium. Ia juga mendalami bagaimana produksi pengetahuan di kelompok hard sciences ditransformasikan menjadi produk teknologi yang dibutuhkan oleh dunia industri.

Namun, bagaimana dengan soft sciences, seperti ilmu sosial dan kemanusiaan (social science and humanities)?

Kemungkinan, cara pandang Handoko sebagai ahli fisika selama menjabat Kepala LIPI dan kemudian Kepala BRIN memengaruhi pendekatannya terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tergolong soft sciences. Seperti LIPI sebelumnya, BRIN juga membawahi dua golongan ilmu ini.

Presiden Prabowo Subianto melantik Kepala dan Wakil Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pelantikan berlansung di Istana Negara, Jakarta, Senin, 10/11/2025. | BPMI Setpres

Berdasarkan pengalaman saya sebagai peneliti sosial, di LIPI hampir selalu muncul persoalan ketika sebuah lembaga harus membawahi dua golongan ilmu dengan karakter berbeda. Standard Operating Procedure (SOP) untuk hard sciences tidak mungkin begitu saja diterapkan untuk soft sciences, demikian juga sebaliknya. Jadi, ini masalah klise yang terus berlanjut sejak era LIPI hingga BRIN.

Melihat latar belakang keilmuannya yang tergolong soft sciences, Arif tentu memiliki cara pandang tersendiri sebagai kepala lembaga penelitian pemerintah yang membawahi dua golongan ilmu pengetahuan dengan karakter berbeda.

Saya menduga, Arif lebih memahami apa yang harus dilakukannya terhadap bidang ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Terutama, secara teoretis, bagaimana memperlakukan hasil pengetahuan ilmu sosial dan kemanusiaan agar menjadi inovasi yang diperlukan masyarakat.

Persoalannya, dan ini terjadi di banyak negara, adalah bagaimana membangun jembatan antara penelitian dan kebijakan. Apalagi, ketika penelitian menjadi serba tanggung karena keterbatasan biaya serta ekosistem akademik yang birokratis. Terlebih, tradisi dan kultur akademik yang kuat belum terbangun optimal.

Karena itu, ini bukan hanya menjadi tantangan bagi BRIN sebagai wadah pemikir pemerintah, tetapi juga lembaga-lembaga riset di universitas. Tantangannya adalah merealisasikan apa yang sering diucapkan para pejabat, termasuk kepala BRIN yang baru dalam wawancara dengan Kompas: science-based policy atau kebijakan yang berbasis ilmu pengetahuan.

Kebetulan, saya mengamati perkembangan permukiman di sepanjang jalur kereta api Jakarta-Bogor. Di sekitar hampir setiap stasiun, kita menyaksikan perkembangan permukiman yang cepat. Akibatnya, makin sempit ruang terbuka hijau karena menjamurnya bisnis perumahan – umumnya berupa kompleks yang sangat padat.

Dampak lain yang segera terasa adalah kemacetan lalu lintas. Sebab, rata-rata setiap rumah kini memiliki kendaraan bermotor.

Hal memprihatinkan adalah pembangunan fisik yang tampak tidak terkendali. Situasi ini mencerminkan ketiadaan perencanaan kota dan kebijakan pemerintah terhadap dinamika kependudukan.

Sebagai salah satu penghuni yang setiap hari melihat dinamika di jalur ini, saya melihat betapa rusak ekologi manusia. Perkembangan urbanisasi yang tidak terkendali menciptakan lingkungan yang tak layak huni. Ironisnya, di jalur Jakarta-Bogor itu terdapat pusat-pusat ilmu pengetahuan bergengsi, seperti Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Sebelum menempuh pendidikan doktor di Kagoshima University, Arif meraih gelar S-1 di jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dan S-2 di jurusan Sosiologi Pedesaan. Kedua gelar tersebut diperolehnya dari IPB.

Setahu saya, jurusan Sosiologi Pedesaan IPB pernah memiliki beberapa tokoh ilmu sosial terkenal. Mereka adalah Sajogyo, Sediono Tjondronegoro, dan Gunawan Wiradi – dikenal sebagai perintis “Mazhab Bogor.”

Dari penelusuran saya, Sajogyo adalah seorang ilmuwan sosial yang mengembangkan apa yang saat ini dikenal sebagai ilmu sosial otonom dengan caranya sendiri. Seperti halnya Arif, Sajogyo (meskipun tidak lama) pernah menjabat sebagai Rektor IPB.

Bagi saya, upaya Sajogyo mengembangkan ilmu sosial otonom ini menarik untuk direnungkan. Terutama, ketika hari-hari ini kita merasakan adanya semacam impase dalam dunia akademik. Hal tersebut akibat menguatnya birokratisasi di satu sisi, dan tekanan untuk menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis pada sisi lain.

Ilmu sosial otonom bagi Sajogyo adalah ilmu sosial yang dibangun melalui kekuatan riset berdasarkan konsep-konsep yang ditemukan dari proses dialektika, antara aksi dan refleksi.

Sajogyo menekankan penelitian yang bersifat emansipatoris melalui pengumpulan data empiris dari masyarakat petani, yang pada umumnya merupakan kelompok rentan dan miskin. Ia tidak menolak penggunaan konsep-konsep asing. Namun, konsep tersebut harus selalu digunakan secara kritis dengan mengajukan dua pertanyaan pokok terlebih dahulu: Apakah konsep itu tepat dan relevan untuk diterapkan dalam masyarakat yang sedang diteliti? Dari penelitian-penelitiannya, Sajogyo berhasil menciptakan konsep-konsep baru, terutama yang berkaitan dengan kehidupan petani miskin.

Bagi Sajogyo, ilmu sosial otonom, selain harus bisa mendeskripsikan realitas sosial dengan baik juga mesti emansipatif. Sebab, pada akhirnya, ilmu pengetahuan harus bisa mengubah kondisi penduduk miskin agar menjadi lebih sejahtera. Dengan kata lain, ilmu sosial otonom seyogianya berkiblat pada keadilan sosial.

Saya berharap, sebagai Kepala BRIN yang baru, Arif memiliki passion terhadap masyarakat miskin, seperti petani dan nelayan. Harapan ini mengingat latar belakang dan rekam jejaknya sebagai peneliti dan ilmuwan sosial perikanan.

Saya menduga, Arif mengenal baik Sajogyo karena pernah kuliah di Sosiologi Pedesaan IPB. Kiranya, ia mampu melakukan inovasi kepemimpinan agar tidak terjebak dalam jargon-jargon politik klise.

Mudah-mudahan Arif dapat menjadikan BRIN sebagai think tank pemerintah yang tetap menjaga akal sehat, berpikir kritis (critical thinking), dan berani menyampaikan kebenaran (speak truth to power). Semoga!

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

30 − = 23