Kedaulatan rakyat yang diklaim secara konstitusional terasa hampa di lapangan. Hal itu berakar pada sejarah panjang yang membentuk kekuasaan elitis. Keadaan ini menuntut perlunya membangun ulang arah gerakan dengan fokus tunggal: menantang ketidaksetaraan mendasar dalam struktur kekuasaan.
Udara Sabtu malam terasa lengket. Di sebuah studio berukuran 2×3 meter – sebuah kotak kedap suara yang sempit – Ronaldo bersiap di depan mikrofon. Ia adalah vokalis The Mukamelas, salah satu band beraliran post-punk di Lampung.
Ronaldo segera memberi isyarat. Sebuah nada E mayor melengking dari gitar listriknya, disusul ketukan drum yang datar, metodis, khas irama post-punk yang dingin. Distorsi kasar itu segera memenuhi dan mendesak keluar udara dari ruangan kecil tersebut. Di bawah pendar temaram, bibirnya mulai mengalunkan lirik, nyaris seperti gumaman yang tertekan:
Teriak-teriak ilmu padi
Anomali saat buat petisi
Centang biru yang penting validasi
Foto-foto saat konsolidasi

Bait-bait itu terucap bukan hanya sebagai lirik, melainkan sebagai katarsis kolektif di tengah bising instrumen yang memekakkan telinga.
Lagu itu, “Genzet” – plesetan sinis dari ‘Generasi Z’ – lahir dari perenungan Ucok, sapaan akrab Ronaldo, pada awal 2024. Bait demi bait liriknya bukan cuma rangkaian kata, melainkan kristalisasi kegelisahannya melihat gelombang aksi massa beberapa tahun terakhir.
Di kamarnya, Ucok merenungkan ironi gerakan rakyat akhir-akhir ini. Ia melihat bagaimana sebuah konsolidasi lebih sering menjadi ajang mencari validasi – mungkin “centang biru” di media sosial – ketimbang diskusi mendalam soal arah perjuangan. Setiap kata dalam syairnya adalah sebentuk autokritik.
Di balik itu semua, kidung tersebut juga menjadi pengingat suram akan realita massa aksi, yang pada akhirnya kerap berhadapan dengan pentungan dan represi. Itulah dua sisi mata pisau dari “Genzet” yang kini mengaum di studio kecil itu.
Keterlibatan Ucok dalam riuh rendah demonstrasi bukan hal baru. Sejak menginjakkan kaki di bangku kuliah, ia sudah intens turun ke jalan, menolak kebijakan-kebijakan yang dianggapnya tak berpihak pada rakyat. Aksi pertamanya, sebuah baptisan api, terjadi pada 2019, di tengah gelombang #ReformasiDikorupsi.
Saat itu, ia masih mahasiswa semester lima Jurusan Ilmu Komunikasi. Di sekelilingnya, negeri ini bergejolak. Gelombang protes meluas di berbagai daerah.
Ucok ingat betul pemicunya: pemerintah dan DPR waktu itu hendak merevisi UU KPK, sebuah sinyal matinya harapan pemberantasan korupsi. Di sanalah, di tengah gas air mata dan teriakan massa, kesadarannya akan “validasi” dan “substansi” mulai terbentuk.
Bagi Ucok, revisi UU KPK bukan sekadar manuver penguasa. Itu adalah penyanderaan kewenangan utama lembaga yang menjadi harapan dan mimpinya tentang Indonesia lebih bersih.
Ia bisa merasakan pelemahannya secara nyata. KPK yang lahir dari rahim reformasi kini rapuh. Ucok mengepalkan tangan, bukan ingin berkelahi, tapi karena dorongan untuk melindungi harapan terakhir itu terasa membakar di dadanya.
Rentang waktu 23 hingga 30 September 2019 meninggalkan bekas luka yang lebih dalam daripada sekadar gas air mata. Di periode singkat itu saja, lebih dari 1.400 orang ditangkap. Lima orang meninggal dunia. Catatan KontraS, dua dari mereka tewas ditembak polisi.
Setiap angka itu menyisakan tanya yang menggerogoti benak Ucok. Ia tidak habis pikir, bagaimana mungkin warga sipil yang bersuara di negara demokrasi justru tewas ditangan aparat?
Belum kering kuburan para demonstran. Pemerintah sudah menggodok RUU sapu jagat: Omnibus Law Cipta Kerja. Dalihnya terdengar muluk: menciptakan lapangan kerja yang luas lewat investasi.
Ucok membaca berita itu. Ia mengikuti obrolan mahasiswa dan serikat buruh. Mayoritas dari mereka tidak setuju. Beleid lebih dari seribu halaman tersebut dinilai merampas hak normatif pekerja dan hanya menguntungkan korporasi.
Undang-undang yang dipandang bermasalah ini digulirkan ketika dunia diselimuti pandemi Covid-19. Masa itu, ekonomi banyak orang sedang tiarap.
Walhasil, ketika seruan aksi kembali terdengar, Ucok tidak ragu. Ia dan ribuan warga Indonesia pun kembali turun ke jalan. Seruan #MosiTidakPercaya menggema di gedung-gedung pemerintah. Demo tersebut bukan hanya protes, tapi penegasan pahit dari rakyat yang muak akan janji penguasa.
Namun, lagi-lagi suara rakyat tidak menjadi pertimbangan. Protes berbuah brutalisme aparat. Enam ribu massa aksi ditangkap. Ratusan lainnya menjadi korban kekerasan. Ucok mendengar cerita tentang teman-temannya yang dipukuli.
Sementara di gedung parlemen yang jauh dari bau gas air mata, wakil rakyat dengan tenang ketok palu mengesahkan regulasi yang ditentang berbagai elemen masyarakat. Tahun-tahun setelah aturan itu absah, ancaman PHK sepihak, status ketenagakerjaan tak jelas, hingga pemotongan upah menjadi momok nyata yang menghantui setiap makan malam keluarga buruh.
Beberapa kali turut serta dalam aksi massa membuat Ucok tercenung. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang mendesak. Mengapa, di negara demokrasi ini, suara kami terasa begitu hampa?
Kedaulatan sejatinya berada di tangan rakyat. Namun, setiap kali melihat realitas di lapangan, Ucok merasa seolah-olah prinsip itu hanya sebuah lelucon pahit yang tertulis di atas kertas.
Dalam tafakurnya, Ucok menemukan jawaban. Baginya, persoalan utama bukan lagi sebatas satu atau dua kebijakan yang bermasalah. Masalahnya lebih fundamental: posisi rakyat yang tidak setara ketika berhadapan dengan kekuasaan.
Sistem yang mengatur hidup banyak orang didesain mempertahankan ketimpangan. Dari #ReformasiDikorupsi hingga #MosiTidakPercaya, semua peristiwa itu telah menunjukkan wajah kekuasaan yang sebenarnya: menghamba kepada para pemilik modal. Orientasinya tentu bukan kepentingan masyarakat luas, namun pada keuntungan sebesar-besarnya bagi segelintir orang.
Pengalaman itulah yang menarik Ucok sejenak dari “parlemen jalanan.” Ia butuh tempat yang lebih tenang, sebuah dapur rekaman kecil, untuk menyalurkan energinya ke dalam musik. Anak muda itu ingin menumpahkan keresahannya melalui medium yang berbeda.
Ucok melihat pola aksi selama ini belum efektif. Perlu cara baru. Ia ingin agar semangat perjuangan dapat diartikulasikan dengan lebih luas melalui lirik dan nada. Ia mulai menulis lirik dan menyusun ritme.

The Mukamelas pertama kali muncul awal 2023. Posisi gitar diisi Nurrosidi dan Willy Ragasti. Ilmahadi memegang bas, sementara Albert di belakang drum. Mereka berasal dari latar belakang berbeda – mahasiswa, pekerja swasta, hingga aparatur pemerintah – tetapi disatukan oleh frekuensi yang sama.
Beberapa bulan yang lalu, Ucok masih berdiri di depan kelas, mengampu mata pelajaran bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar. Niatnya untuk mendidik terhalang aturan kaku: menjadi guru harus menempuh pendidikan profesi yang mensyaratkan jurusan linear. Kenyataan itu menamparnya.
Kini, di The Mukamelas, mereka semua berbagi naluri: menentang sistem tidak adil, melawan struktur yang menempatkan rakyat lemah dalam jurang kesengsaraan, dan menyuarakan apa yang tidak bisa mereka ubah di pekerjaan formal.
Senandung terbaru mereka bertajuk “Pekerja”, yang rilis tepat enam tahun setelah #ReformasiDikorupsi, adalah sebuah keresahan. Liriknya memotret kehidupan modern yang nyaris tak memberi ruang untuk berhenti.
Di dapur rekaman itu, Ucok merenungkan liriknya. Dalam dunia yang bergerak terlalu cepat, di mana waktu nyaris tak memberi ruang untuk bernapas, hanya satu hal yang terus berulang tanpa jeda: bekerja.
“Pagi bekerja.. Siang bekerja.. Malam bekerja.. Lupa keluarga!”
Begitu potongan lirik yang dinyanyikan Ucok di studio rekaman. Kata-kata itu bergaung, mewakili perasaan mereka semua. Hari raya yang dahulu penuh makna kini berganti jadi tanggal lembur yang dingin. Imlek, Nyepi, Natal, Lebaran – semua hari yang seharusnya jadi ruang untuk keluarga, keheningan, atau perayaan, kini berubah menjadi rutinitas yang sama dan kejam: bekerja.
Lewat permainan musik yang minimalis, konstan, dan sedikit keras, Ucok dkk hendak memberi pesan. Di tengah laju produksi dan pencapaian, mereka tetaplah manusia biasa yang butuh pulang, butuh hening, butuh jeda. Sebuah seruan pelan yang menjadi ruang untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan merasa dilihat.
“Ya sekeras apa pun bekerja, tetap yang kaya Sembilan Naga,” kelakar Ucok.
***
Di salah satu pagi pada pengujung September 2019, Risky Aditya bangun lebih cepat. Jiwanya bergelora hari itu. Setelah mandi, ia menyisir rambut ikalnya dengan gaya menyamping. Ia pun siap dengan almamater dipadu denim.
Risky kemudian sarapan mi telur ceplok dengan segelas susu. Ia tahu bahwa perjuangan hari itu perlu tenaga ekstra. Mengenakan sneakers bergaya retro dengan sepeda motor matic, Risky membelah jalan protokol menuju kantor DPRD Lampung.
Setelah memarkir sepeda motor, Risky bergabung dengan ribuan mahasiswa lainnya. Ia datang untuk mendesak parlemen membatalkan rencana pengesahan Revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba.
Sebagai mahasiswa fakultas hukum, Risky tahu betul pasal demi pasal dalam peraturan itu. Ia bisa melihat aturan-aturan tersebut akan menjadi alat yang sah untuk melemahkan pemberantasan korupsi dan merampas hak rakyat.
Seperti Ucok, hari itu adalah demonstrasi pertama bagi Risky. Ia belum punya pengalaman aksi. Kedatangannya berangkat dari kegelisahan yang menggerogoti.
Waktu berlalu. Risky terus terlibat dalam beraneka protes. Turun ke jalan, mencoba mengadang setiap kebijakan yang tidak populer. Selama itulah, dari satu aksi ke aksi lain, ia menjadi saksi kekalahan demi kekalahan. Hampir seluruh kebijakan yang dipersoalkan tetap sah menjadi undang-undang. Rasa frustrasi pun menumpuk.
Situasi itu membuat Risky menelaah lebih jauh strategi perjuangan. Ia terpikir sebuah ide: mengubah dari dalam, menjadi pembuat kebijakan itu sendiri. Dengan begitu, ia bisa ikut andil merumuskan peraturan yang berpihak kepada rakyat.
Pintu masuknya adalah Pemilu Legislatif 2024. Risky pun mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Lampung.
Selama pemilu, ia berhadapan dengan realitas yang jauh berbeda dari teori. Pemilu bukan ruang adu gagasan, melainkan pertarungan modal. Risky melihat dengan matanya: siapa punya uang, ia yang bakal merebut kursi kekuasaan.
Pantas saja jarang kelas pekerja, petani, atau nelayan yang menjadi wakil rakyat. Kebanyakan dari kalangan pebisnis maupun elite politik.
“Khalayak seolah-olah merayakan demokrasi, padahal suara rakyat hanya komoditas setiap pemilu,” kata Risky.

Kebijakan yang lahir dari gedung wakil rakyat terasa seperti dibuat untuk segelintir orang. Risky mengamati bagaimana rancangan undang-undang tertentu, yang dibungkus bahasa hukum, cenderung berujung pada keuntungan bagi mereka yang duduk di kursi komisi – para pemilik modal, mantan jenderal, dan pebisnis.
Ia melihat kesemuan itu, lalu memilih menepi. Di atas kertas, Risky menulis surat pengunduran diri dari keanggotaan partai.
Selama ini, berbagai cara telah ditempuhnya. Ia pernah berdiri di bawah terik matahari, berteriak dalam aksi protes di jalanan. Ia juga mengikuti diskusi demi diskusi. Namun, kedaulatan yang ia impikan terasa kian jauh.
Bagi Risky, ketidaksetaraan itu bukan sekadar teori di bangku kuliah, melainkan sesuatu yang terasa nyata. Kini, ia bekerja di sebuah perusahaan leasing, menagih angsuran dari pintu ke pintu. Suatu hari, ia mendatangi seorang pemilik kendaraan. Bukan angsuran yang didapat, melainkan pukulan. Pemilik kendaraan itu bersama temannya mengeroyok Risky.
Ia melapor ke kantor polisi. Di sana, Risky memberikan keterangannya di depan meja yang dingin. Berbulan-bulan berlalu. Status kasusnya tetap “dalam penyelidikan.” Para pelaku kekerasan masih bebas berkeliaran, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
“Jadi, yang harus dibongkar itu sistemnya,” ujar Risky.
***
Gelombang protes datang silih berganti. Risky masih ingat teriakan massa saat tagar #ReformasiDikorupsi bergema. Kemudian, muncul #MosiTidakPercaya, dan yang terbaru, penolakan terhadap pengesahan KUHAP. Di tengah hiruk pikuk itu, kabar lain muncul: pemerintah secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Di setiap aksi, pola itu berulang. Sebuah truk water cannon disiagakan di sudut jalan. Tangan-tangan diborgol, beberapa aktivis diseret ke mobil polisi. Risky pernah melihat rekannya berlari menyelamatkan diri. Di aksi lain, ia mendengar kabar seorang demonstran meninggal setelah bentrok dengan aparat.
Gerakan-gerakan itu, yang terkadang merenggut nyawa, terasa tidak membawa perubahan berarti. Risky mengamati bagaimana aturan-aturan baru terus disahkan, memperluas dan memperkuat kewenangan aparat keamanan.
Ia melihat kriminalisasi membayang-bayangi warga yang bersuara kritis. Ada kabar tentang lahan petani yang dirampas untuk proyek perkebunan besar, mengubah mereka dari pemilik otonom menjadi buruh tani. Struktur pemiskinan itu nyata, terlihat dari orang-orang yang semakin sulit memenuhi kebutuhan harian, sementara undang-undang baru terus mengalir dari gedung legislatif.
Di berbagai wilayah, penggusuran menghantui masyarakat. Ruang penghidupan dirampas atas nama ekonomi dan pembangunan.
Risky dan Ucok tahu ini bukan sekadar berita utama; ini terjadi di Lampung. Di Sabahbalau, rumah-rumah pedagang kecil dan pemulung dirobohkan oleh ekskavator pemerintah. Mereka yang mencoba mempertahankan haknya berbenturan dengan aparat. Warga melaporkan kekerasan, bibir pecah, dan ibu hamil yang mengalami pendarahan.
Perekonomian warga pun terus merosot. Risky merasakannya setiap kali menagih angsuran. Pasar-pasar tradisional yang dahulu riuh kini sepi.
Ucok mengamati hal yang sama dari sudut pandangnya. Ia melihat PHK besar-besaran. Mereka yang tadinya tergolong kelas menengah, kini berjuang untuk memenuhi kebutuhan harian.
Lebih dari tujuh juta orang menganggur. Nyaris setengah dari pekerja Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, sebuah kenyataan pahit yang terasa nyata di kantong-kantong perkampungan di Bandar Lampung. Mereka berjuang hanya untuk bertahan hidup.
Dinamika sosial-politik, ekonomi, dan gerakan sipil kontemporer pernah dibedah Riwanto Tirtosudarmo saat bertandang ke Lampung, Agustus 2025. Demografer politik pertama di Indonesia itu bertukar pikiran soal bukunya: Simposium Jokowi: Pebisnis Politik Menggapai Indonesia Emas. Sejumlah kalangan dari berbagai latar belakang – akademisi, jurnalis, aktivis, seniman, pegiat literasi, dan mahasiswa – hadir dalam diskusi tersebut.

Dari persamuhan itu, sebuah pandangan muncul ke permukaan. “Politik transaksional yang mengabaikan etika dan nilai-nilai demokrasi menandai perjalanan rezim selama dasawarsa terakhir.”
Pertanyaan penting kemudian mengemuka dari pandangan yang lain: bila demokrasi dibunuh oleh mereka yang diangkat dari proses demokratis, dan kebijakan-kebijakan hanya mengakumulasi ketertindasan rakyat, ke mana arah gerakan masyarakat sipil?
Sabtu, 22 November lalu, Riwanto mengingat ulang sejarah Indonesia. Penulis buku Mencari Indonesia itu menilai, republik ini sejak awal terbentuk melalui proses yang elitis. Kemerdekaan hanya klaim sepihak dari elite politik, yang mengatasnamakan seluruh warga negara. Ironisnya, proklamasi kemerdekaan itu sendiri di bawah naungan tentara Jepang.
Jauh sebelumnya, BPUPKI dibentuk oleh Jepang. Komposisinya adalah elite politik yang dikehendaki oleh penguasa saat itu. Tokoh progresif seperti Tan Malaka, Sutan Syahrir, dan Amir Sjarifuddin tidak menjadi bagian dalam badan yang melahirkan dasar negara dan sistem pemerintahan.
Bagi Riwanto, proses itu menyingkap sebuah kenyataan: negara ini dibangun di atas fondasi yang rapuh, di tengah pertarungan elite nasional.
Dalam perkembangannya, republik bekas jajahan Belanda ini menumpas suara-suara berbeda. Mereka yang dianggap tidak sesuai dengan kekuasaan ditindak oleh negara.
Tan Malaka, dieksekusi mati tanpa proses peradilan oleh pasukan dari Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya pada 21 Februari 1949. Amir Sjarifuddin, mantan Perdana Menteri, dieksekusi oleh TNI di Karanganyar pada 19 Desember 1948, setelah Peristiwa Madiun.
Jutaan warga lain, yang dituduh memiliki sentimen antirevolusi atau mendukung pihak tertentu, juga menjadi korban kekerasan yang meluas. Mereka tewas di tangan bangsanya sendiri.
Selama periode 1950-1965, negara mengerahkan sejumlah operasi militer untuk meredam berbagai gerakan. Operasi penumpasan Republik Maluku Selatan hingga Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Permesta) terjadi di berbagai wilayah.
Pada 1965, seiring pesatnya perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI), pembunuhan massal terjadi di berbagai penjuru negeri. Mereka yang dicap sebagai PKI dieksekusi mati. Laporan dari berbagai sumber menyebut lebih dari setengah juta rakyat Indonesia dilenyapkan tanpa peradilan. Setelah itu, negara diambil alih oleh kekuasaan otoriter Soeharto selama 32 tahun – yang mana kini menyandang gelar Pahlawan Nasional.

Perjalanan sejarah itu meyakinkan Riwanto bahwa sejatinya kedaulatan tidak pernah di tangan rakyat. Bahkan, reformasi yang bercita-cita mewujudkan supremasi sipil dan mengakhiri dominasi militer masih jauh dari kenyataan. Apa yang terjadi hanya sebatas reorganisasi kekuasaan. Ia melihat struktur politik masih dikuasai institusi nondemokratis, dan kekuatan sipil masih tunduk terhadap militer.
“Jadi, posisi rakyat yang tidak setara dengan kekuasaan merupakan proses panjang dinamika sosial-politik nasional yang mempertahankan sistem penindasan,” ujarnya.
Tidak ada solusi tunggal untuk melawan sistem tersebut. Riwanto memulainya dengan evaluasi. Peneliti senior itu memandang bahwa gerakan yang dimotori kelas menengah dari kalangan NGO dan mahasiswa mesti berkontemplasi.
“Apakah cara-cara yang selama ini dijalankan sudah menyentuh titik-titik masalah?” tanyanya, retoris. “Atau justru menjadi legitimasi kekuasaan?”
Gerakan masyarakat sipil banyak menempuh cara-cara yang dianggap demokratis. Mereka berunjuk rasa, membuat petisi daring, dan menggugat konstitusi. Namun, Riwanto melihat ada realitas yang luput dari gerakan tersebut. Pertanyaan fundamentalnya adalah: apakah benar ada demokrasi di Indonesia?
Ia mengutip kritik Harry Benda atas disertasi Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Dalam sebuah debat, Feith bertanya: “Mengapa demokrasi gagal di Indonesia?” Pertanyaan itu ditujukan kepada Harry Benda.
“You are asking the wrong question,” jawab Benda.
Demokrasi itu, jelas Benda, adalah cangkokan asing yang gagal diterapkan di Indonesia. Watak asli bangsa ini adalah feodal, patrimonial, dan otoriter.
Menurut Riwanto, pernyataan Benda bisa menjadi bahan renungan sekaligus menjawab kondisi yang dirasakan akhir-akhir ini. Meskipun perjuangan sudah sangat keras melalui berbagai jalur bahkan sampai menyabung nyawa, keputusan tidak pernah di tangan rakyat.
Lalu, apa yang harus dilakukan dan ke mana arah gerakan sipil? Riwanto bilang, langkah paling awal adalah membongkar pemahaman. Gerakan sosial perlu melihat salah satu akar masalah adalah kondisi rakyat yang tidak setara dengan kekuasaan.
Ihwal strategi perjuangan, Riwanto mengatakan bahwa dalam kerangka kekuasaan otoriter, kaum yang lemah punya cara sendiri. Para petani, nelayan, dan buruh yang tertindas memiliki resistensi politik, meskipun tidak terlihat di permukaan.
Perlawanan itu tidak selalu berupa pemberontakan terbuka. Sebaliknya, sering kali terwujud melalui tindakan-tindakan pasif, tersembunyi, dan anonim: sabotase, penundaan, kepatuhan palsu, dan kecurangan.
Salah satu contoh nyata: gerakan kelompok masyarakat adat Samin (Sedulur Sikep). Pada masa penjajahan Belanda, mereka menolak bayar pajak. Itu bentuk perlawanan tanpa kekerasan terhadap pemerintah kolonial yang mereka anggap tidak adil dan serakah. Bagi warga Samin, tanah milik alam, bukan penguasa.
Berangkat dari situ, Riwanto mengingatkan: gerakan yang kerap digawangi kelas menengah harus kembali ke basis rakyat. Para organisatoris mesti mulai membuka diri dan menemukan cara-cara perlawanan di masing-masing kelompok masyarakat. Tugasnya adalah mengorganisasi perlawanan menjadi terarah untuk menghancurkan sistem yang menindas, agar cara-cara yang selama ini digunakan tidak menghalangi resistensi itu muncul.
Di Bandar Lampung, Risky melipat surat pengunduran dirinya dari partai. Di sudut lain kota, Ucok memetik gitar, menyiapkan lirik baru tentang sistem penindasan yang harus dihancurkan. Mereka tahu, pekerjaan itu baru saja dimulai.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.







