Benahi Tata Kelola BPJS Kesehatan, Bukan Naikkan Iuran

  • Whatsapp
SUASANA ruang pelayanan di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Bandar Lampung, Senin, 15/9/2025. Di tengah buruknya tata kelola, pemerintah justru berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Defisit anggaran yang sering menjadi alasan menaikkan iuran BPJS Kesehatan hanyalah gejala dari problem lebih dalam. Masalah mendasar terletak pada buruknya tata kelola yang memicu beragam persoalan, seperti birokrasi berbelit, inefisiensi, dan keterbatasan akses. Tanpa menyelesaikan akar masalah, penaikan iuran hanya memperparah beban masyarakat.






Hari itu, Nanda duduk dekat ibunya di ruang tunggu rumah sakit. Ia terpaksa cuti kerja agar bisa menemani sang bunda menjalani pengobatan. Sudah satu tahun terakhir mamanya menderita tumor usus. Setiap dua minggu, ia harus kembali ke rumah sakit untuk kemoterapi.

Bacaan Lainnya

Pagi yang tergesa-gesa membuat mereka belum sempat sarapan. Di depan meja pendaftaran, puluhan orang menyambut dengan riuh. Nanda dan ibunya harus menunggu lebih dari dua jam untuk mendapat nomor urut. Ketika tiba giliran mendaftar, petugas rumah sakit memberi kabar mengejutkan: kartu peserta JKN ibunya sudah tidak aktif sejak akhir Maret 2025. Untuk melanjutkan pengobatan, ia harus membayar jutaan rupiah.

Keduanya kaget dan lemas. Mereka heran mengapa kepesertaan BPJS Kesehatan itu nonaktif, padahal dua minggu sebelumnya masih bisa digunakan. Keterbatasan uang membuat mereka harus pulang tanpa mendapat perawatan.

Setelah ditelusuri, penyebabnya adalah ayah Nanda yang sudah pensiun pada akhir Februari 2025, sehingga iuran BPJS yang sebelumnya ditanggung perusahaan kini berhenti. Tak ingin ibunya menderita lebih lama, Nanda kembali meminta izin ke perusahaan untuk mengurus pengaktifan peserta BPJS.

Di kantor BPJS Kesehatan, Nanda menjelaskan keadaan ibunya yang darurat. Ia ingin mengaktifkan kembali BPJS agar mamanya dapat mengakses perawatan.

“Bisakah pembayaran iuran BPJS dialihkan ke perusahaan tempat saya bekerja?” tanya Nanda.

Petugas itu mengangguk. Berbekal informasi tersebut, Nanda segera menghubungi perusahaan dan mengurus persyaratan yang diperlukan. Setelah merampungkan proses perpindahan, Nanda kembali mendatangi kantor BPJS guna memastikan keaktifan.

Tapi, petugas itu menyampaikan kabar yang tak diinginkan: meskipun sudah terdaftar lagi, kepesertaan BPJS baru aktif pada bulan berikutnya. Artinya, BPJS tetap tidak bisa dipakai pada bulan itu. Nanda mengernyitkan dahi, serasa tak percaya. 

“Ibuku harus segera menjalani kemoterapi. Kalau tidak, penyakitnya akan semakin parah,” ucap Nanda. Namun, petugas hanya menggelengkan kepala, “Itu sudah aturan BPJS.”

Sejumlah warga sedang melintas di depan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM), Bandar Lampung, beberapa waktu lalu. Sebagai pelaksana BPJS Kesehatan, layanan di rumah sakit kerap menuai kritik karena tidak sesuai standar. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Nanda mencari alternatif lain agar BPJS bisa langsung aktif. Ia bertanya apakah bisa membayar iuran BPJS secara mandiri, bukan lewat perusahaan.

“Tak masalah jika harus bayar sendiri, asalkan BPJS bisa langsung aktif. Ibu saya butuh pertolongan secepatnya,” kata Nanda kepada petugas, berharap ada solusi untuk mempercepat proses itu.

Usaha Nanda tetap sia-sia. Petugas mengatakan bahwa karena Nanda sudah mengurus perpindahan pembayaran melalui perusahaan, ia tidak bisa lagi menggantinya melalui jalur mandiri dalam bulan yang sama. Ada aturan yang membatasi perubahan status pembayaran hanya sekali dalam sebulan.

Nanda merasa marah, tapi tak berdaya. Ia hanya bisa pulang dengan membawa kabar buruk: ibunya harus menahan sakit lebih lama, tanpa pengobatan, hingga bulan berikutnya.

Resepsionis hotel bintang tiga itu merasa kecewa dengan sistem BPJS Kesehatan. Ia telah mengorbankan waktu, tenaga, dan pekerjaannya hanya untuk mengurus sesuatu yang seharusnya mudah diakses. Bagaimana mungkin kesehatan, yang merupakan hak dasar, justru terhalang oleh prosedur teknis yang kaku?

“Apakah manusia bisa merencanakan sakit, sehingga harus diatur waktunya untuk mendapatkan layanan?” tanya Nanda dengan frustrasi. “Bagaimana jika keterlambatan perawatan menyebabkan kematian? Siapa yang akan bertanggung jawab?”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiran Nanda, tapi jawabannya senantiasa tidak mengubah keadaan. Orang tuanya tetap sulit mengakses jaminan kesehatan yang sangat dibutuhkan. Situasi demikian terasa absurd, seolah-olah urusan administratif lebih penting ketimbang nyawa manusia.

Bagi Nanda, pelayanan jaminan kesehatan di republik ini terasa mengecewakan. Selain banyak prosedur teknis yang menghambat akses pengobatan, layanan juga terkesan setengah hati. Ibunya sering menerima pelayanan yang tidak sesuai dengan iuran. Meskipun mamanya membayar iuran BPJS untuk kelas II, namun kerap kali ditempatkan di ruangan kelas III yang sempit dan perawatan kurang maksimal.

Kekhawatiran Nanda sangat beralasan. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Ini berarti negara memiliki kewajiban untuk memenuhi, menjamin, dan melindungi hak kesehatan setiap warga negara.

Negara seyogianya menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau, dan mudah diakses. Dengan demikian, semestinya tiada lagi aturan teknis yang bisa menghalangi akses layanan kesehatan bagi siapa pun. Keadaan yang dialami ibunya memperlihatkan bahwa ada ketidakcocokkan antara regulasi dan implementasi di lapangan.

***

Sudah sekian kali Lia harus absen dari kantor untuk mengurus rujukan ayahnya di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan. Periode 2023 menjadi tahun yang berat bagi keluarga Lia. Ayahnya jatuh sakit dengan gejala cairan di paru-paru, menyebabkan terasa sesak dan sulit bernapas. Sementara itu, ibunya terpaksa berhenti bekerja untuk merawat suaminya, sehingga Lia yang menanggung semua biaya pengobatan.

Lia, seorang jurnalis muda, memiliki prestasi lewat karya jurnalistiknya yang membuahkan berbagai beasiswa. Namun, profesinya sebagai pewarta rentan terhadap kekerasan, upah rendah, dan stigma.

Karena itu, ia memutuskan melanjutkan studi pascasarjana ilmu komunikasi. Harapannya, bisa menjadi dosen dan kehidupan lebih stabil dengan risiko yang minim. Meski demikian, untuk saat ini, pekerjaannya sebagai wartawan masih menjadi tulang punggung utama bagi keluarga.

Lia sangat kesal harus bolak-balik meninggalkan pekerjaan hanya untuk mengurus rujukan. Ia mesti menempuh jarak lebih dari 70 kilometer setiap tiga bulan. Sistem BPJS Kesehatan yang membatasi masa berlaku rujukan 90 hari memaksanya kembali ke FKTP. Lantaran orang tua tinggal di Penengahan sementara Lia menetap di Bandar Lampung, keluarganya harus mencarter mobil demi mengontrol penyakit sang ayah.

Pernah suatu kali, mereka sampai di Bandar Lampung yang kemudian tidak bisa berobat karena rujukan kedaluwarsa. Dengan sangat terpaksa, Lia dan keluarga kembali ke Penengahan demi rujukan baru. Ini jelas membuang biaya, waktu, dan tenaga.

Bagi Lia, hal itu sungguh tak masuk akal. Rumah sakit selayaknya memiliki catatan lengkap ihwal riwayat kesehatan pasien. Jika memang belum ada, rumah sakit bisa langsung memberikan perawatan tanpa harus menunggu rujukan baru.

Apalagi, tidak semua Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ramah dalam mengeluarkan surat rujukan. Terkadang, prosesnya melalui prosedur berbelit dan terasa menyulitkan. Padahal, kondisi pasien harus mendapat pertolongan. Sama seperti yang dialami Nanda, akses kesehatan justru sukar diperoleh cuma karena birokrasi.

Tapi, itu bukan bagian terburuk dari pengalaman Lia berhadapan dengan pelayanan BPJS Kesehatan. Beberapa bulan setelah ayahnya tutup usia, ia membaca utas di X dari dokter Andi Khomeini Takdir.

Andi membeberkan dilema saat menangani pasien BPJS dengan komplikasi yang tak kunjung membaik. Pasien akhirnya dirujuk kembali ke fasilitas kesehatan (faskes) awal, dan keluarga meminta pengobatan optimal. Dokter tahu obat yang cocok, tapi tidak tersedia di faskes tersebut. Sebagian obat ada di apotek luar, namun sistem BPJS melarang resep dari luar.

“Pusing. Berasa putus asa. Tahu solusi, tapi ruang geraknya minimal,” tulis Andi, menggambarkan betapa frustrasinya situasi tersebut.

Membaca thread itu, Lia langsung teringat bagaimana pelayanan dokter terhadap ayahnya. Selama satu tahun, tidak banyak tindakan atau perubahan obat signifikan yang diberikan dokter. Padahal, kondisi ayahnya terus memburuk—dari yang semula hanya sesak napas berkembang menjadi tidak bisa buang air kecil hingga lumpuh.

“Perawatan dokter hanya normatif, seperti dikasih infus dan bilang harus menjaga makanan,” ujarnya.

Penasaran dengan cara kerja BPJS, Lia mencoba mencari tahu kebenaran thread itu kepada teman seorang dokter. Sang dokter bilang, ruang gerak praktisi medis memang sangat terbatas saat menggunakan BPJS, sehingga pelayanan sebatas penyediaan obat generik. Padahal, dokter tahu obat terbaik untuk pasien, tapi BPJS membatasi resep obat dari luar.

Situasi ini membuat petugas medis serba salah. Jika memberi resep luar, mereka dapat teguran dari BPJS. Kalau tidak meresepkan, kondisi pasien bisa makin parah. Realitas ini memperlihatkan betapa sistem membatasi kemampuan dokter memberikan perawatan optimal.

Seperti kata-kata terakhir Andi dalam cuitan itu, para dokter akhirnya hanya bisa beradaptasi dengan kondisi. Mereka menggunakan sumber daya dan obat yang tersedia, serta mengatur diet dan terapi suportif lainnya. Sambil berdoa, berharap pasiennya diberi kemudahan dalam penyembuhan.

Berdasarkan cuitan dan keterangan temannya, Lia menyadari bahwa selama ini hanya diberi harapan kosong tentang kesembuhan ayahnya. Secara sistemik, BPJS tampaknya tak dirancang untuk benar-benar menyembuhkan pasien.

“Jadi, bisa saja dokter tahu solusi terbaik buat ayah, tapi hanya diberi perawatan seadanya karena aturan. Waktu itu, dokter bilang, keluarga harus banyak berdoa,” kata Lia.

Pengalaman mengurus ayahnya membuat Lia semakin skeptis terhadap pelayanan kesehatan, terutama BPJS. Ia melihat jaminan kesehatan justru terasa mencekik pasien yang ingin berobat—masyarakat sudah menderita harus menghadapi kerumitan administrasi dan aturan yang membingungkan. Lia bahkan berkelakar ingin menjadi orang kaya saja.

“Pelayanan kesehatan pasti lebih mudah kalau pasien bisa bayar lebih banyak,” ucapnya sambil tertawa getir.

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Bandar Lampung Yessy Rahimi. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Secara terpisah, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Bandar Lampung Yessy Rahimi mengatakan bahwa dalam kasus Nanda, pembayaran premi yang biasanya dilakukan pada awal bulan dengan potongan upah pekerja mungkin menjadi kendala. Jika Nanda mendaftar di tengah bulan, kepesertaan BPJS baru dapat aktif pada bulan berikutnya.

Namun, Nanda bisa menggunakan metode pembayaran mandiri untuk mengaktifkan BPJS lebih cepat. Dengan catatan, status nonaktif belum lebih dari satu bulan. Jika lebih dari itu, maka harus menunggu 14 hari.

Yessy bilang, masa tunggu aktivasi 14 hari itu bukanlah sekadar prosedur formal, melainkan punya tujuan, yaitu memastikan administrasi berjalan tertib. Aturan ini manifestasi dari misi besar jaminan kesehatan sebagai program gotong royong. Setiap warga berpartisipasi untuk membantu mereka yang membutuhkan pengobatan.

“Selama ini, banyak orang yang baru mendaftar ketika sakit, sehingga tidak ada gotong royongnya,” kata Yessy.

Ia tak memungkiri bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak asasi. Dalam idealisme ini, warga negara seharusnya dapat mengakses pelayanan kesehatan tanpa biaya. Namun, realitas keuangan negara tidak memungkinkan untuk sepenuhnya menanggung beban tersebut. Itulah mengapa pemerintah memberlakukan subsidi melalui Program Bantuan Iuran (PBI) sebagai upaya membantu keluarga kurang mampu.

Sedangkan dalam kasus Lia, masa rujukan 90 hari merupakan bagian dari pengawasan pelayanan kesehatan. Ada beberapa jenis penyakit yang masuk dalam program rujuk balik. Maksudnya, FKTP akan mengontrol secara berkala penyakit tersebut, apakah masih memerlukan penanganan di rumah sakit tingkat lanjut atau cukup mengulang obat.

“Kalau dirasa sulit bolak-balik, pasien bisa pindah FKTP yang paling mudah dijangkau. Dengan demikian, memangkas biaya perjalanan, waktu, dan tenaga,” ujar Yessy.

Ihwal resep di luar rumah sakit, ia bilang tidak ada pembatasan. Akan tetapi, BPJS memang melarang praktisi medis membebankan biaya dalam bentuk apa pun, termasuk meminta pasien membeli obat di luar rumah sakit. Kalaupun terdapat obat yang diperlukan pasien namun tidak tercantum dalam formularium nasional, itu tetap tanggung jawab rumah sakit. Komitmen tersebut tertuang dalam perjanjian kerja sama antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan.

Yessy menduga, petugas kesehatan enggan memberi keterangan obat yang lain di luar formularium nasional karena khawatir rumah sakit tekor. Sebab, bila dokter meresepkan obat di luar yang ditetapkan BPJS, maka rumah sakit wajib membayar atau menyiapkan obat tersebut.

***

Buruk Tata Kelola

Di tengah gelombang kritik terhadap layanan BPJS Kesehatan, pemerintah justru berencana menaikkan iuran mulai awal 2026. Pemerintah beralasan bahwa peningkatan pelayanan kesehatan akan membawa konsekuensi biaya lebih tinggi. Sehingga, penyesuaian tarif iuran dianggap perlu untuk memastikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan efektif.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukanlah fenomena baru. Sejak diluncurkan pada 2014, iuran BPJS telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Kenaikan signifikan pada 2019 dengan lonjakan mencapai 115 persen.

Alasan di balik kenaikan drastis ini adalah BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp17,03 triliun. Pemerintah terpaksa menomboki guna menutupi kekurangan anggaran. Sejak itu, isu defisit keuangan BPJS Kesehatan menjadi argumen utama pemerintah untuk mengusung wacana penyesuaian tarif iuran.

Pada 2024, BPJS kembali mencatat defisit sebesar Rp9,56 triliun. Total pendapatan sekitar Rp165,73 triliun, sementara beban jaminan mencapai Rp174,90 triliun.

Dodi Faedlulloh | dok. pribadi

Pemerhati kebijakan publik Universitas Lampung (Unila) Dodi Faedlulloh melihat rencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan terkesan reaksioner. Pemerintah sering menjadikan defisit anggaran sebagai dalih. Sementara, temuan Indonesian Corruption Watch (ICW), defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) akibat kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan BPJS Kesehatan.

Ia juga menyoroti ketidakseriusan kementerian terkait dalam berkoordinasi. Kemudian, ketidakjelasan peran Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang mungkin masih belum dipahami masyarakat.

Menurut penulis buku “Birokrasi dalam Perspektif Kiri” itu, akar masalah terletak pada tata kelola, sehingga yang perlu dibenahi governance, bukan menaikkan iuran. Kegagalan satuan pengawas internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk kecurangan. 

Dodi bilang, jika defisit selalu dijawab dengan menaikkan iuran, itu berarti beban kesalahan manajerial justru dialihkan kepada masyarakat. Logika kebijakan ini tak adil. Fakta bahwa iuran sudah beberapa kali naik, tapi defisit tetap berulang, menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak efektif.

Pemerintah seperti mengulang kesalahan dengan mengambil jalan pintas fiskal, tanpa keberanian mengoreksi struktur tata kelola. Resistensi birokrasi dan kepentingan tertentu yang diuntungkan dari status quo pengelolaan BPJS membuat reformasi tata kelola selalu tertunda.

Bila memang pemerintah serius membenahi BPJS Kesehatan, maka prioritasnya bukan menaikkan iuran, tetapi memperbaiki tata kelola secara fundamental. Hal ini mencakup aspek transparansi, akuntabilitas, dan peningkatan kualitas layanan.

“Tanpa perbaikan tersebut, kenaikan iuran hanyalah kebijakan berulang yang kontraproduktif dan semakin membebani rakyat,” ujarnya.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 + = 12