Cuaca panas tak hanya mengancam hasil panen, tetapi juga menjerat petani dalam lingkaran kemiskinan. Fenomena berulang ini memperlihatkan kelemahan struktural pemegang otoritas dalam melindungi petani. Swasembada pangan pun jauh panggang dari api.
Di bawah terik menyengat, Wagini (68) duduk di gubuk kecilnya di Jalan Alternatif Pasar Minggu, Gedongtataan, Pesawaran. Ia meregangkan kaki, lalu meneguk air dari botol di lehernya. Caping di kepalanya melindungi dari panas mentari.
Cuaca gerah akhir-akhir ini membuat Wagini harus sering beristirahat. Tubuhnya yang renta sudah tidak kuat menahan terik terlalu lama.
Sementara itu, di sawah yang sudah dipanen, Paino, putra Wagini, sibuk membersihkan gulma kering dengan cangkul bergerigi. Keringat menetes di dahinya. Ia terus bekerja untuk memastikan lahan siap ditanami kembali.
Wagini, petani penggarap yang telah bertahun-tahun mengelola tanah milik orang lain, berdiri di atas tanah yang kering dan mengeras. Ia menunjuk beberapa bagian tanah yang retak-retak, sambil berkata, “Jangankan tanam bibit, bajak saja susah.”
Mereka berencana menanam padi yang baru pada waktu dekat. Namun, rencana itu tampaknya menemui jalan berliku. Sudah satu minggu lahan garapan Wagini mengering. Kondisi tersebut tidak memungkinkan untuk menanam bibit padi.
Kekeringan yang melanda lahan garapannya membuat Wagini harus mencari solusi. Selama ini, pengairan lahan garapan Wagini bersumber dari sungai. Kini, debit kali mengecil, membuat aliran air ke sawahnya berkurang. Ia terpaksa mempertimbangkan menyewa jasa pompa jika kondisi terus berlanjut. Biaya penyedotan Rp30 ribu-Rp40 ribu per dua jam. Jasa itu sedikit membantu, tapi hasilnya tidak akan maksimal.
Biasanya dalam kondisi air normal, Wagini bisa memanen 1,4-2 ton padi. Namun kini, sawahnya retak-retak. Banyak bulir padi tidak berisi. Beberapa bagian sawah terancam gagal panen. Hasil panen bisa turun setengah menjadi 800 kg-1 ton. Pendapatan itu harus dibagi dengan pemilik lahan. Dalam tiga bulan masa tanam hingga panen, Wagini hanya mendapat bagian sekitar 4-5 kuintal gabah.
Pemasukan Wagini tak menentu karena harga jual padi selalu berubah, bahkan cenderung turun. Saat ini, harga gabah sekitar Rp6.000 per kg. Dalam 100 hari penanaman, ia hanya mengantongi Rp2,4 juta-Rp3 juta. Uang itu harus disisihkan untuk persiapan tanam selanjutnya. Wagini biasa menghabiskan Rp800 ribu-Rp1 juta untuk produksi, termasuk bibit, pupuk, jasa bajak, dan pompa air.
Artinya, rata-rata Wagini hanya mendapat uang maksimal Rp600 ribu per bulan. Angka sangat kecil di tengah kebutuhan pokok yang terus naik.
“Jangankan mau sejahtera, kadang untuk makan saja enggak cukup,” ujarnya dengan nada getir.
Kondisi tersebut tak jarang membawa petani pada jurang tengkulak. Hasil panen yang kecil membuat petani tak punya cukup uang untuk memulai produksi selanjutnya. Akhirnya, petani terpaksa meminjam uang dengan konsekuensi harus menjual hasil panen ke pengepul, yang kebanyakan membeli gabah dengan harga sangat rendah.
Pahit kehidupan menjadi petani sudah dialami Wagini secara turun temurun, setidaknya tiga generasi. Karena pendapatan yang kecil, garis keturunan Wagini jarang bisa merasakan bangku sekolah. Ayahnya tidak tamat sekolah dasar, begitupun Wagini. Saat ini, anak-anak Wagini, termasuk Paino, sebatas mencicipi sekolah menengah pertama. Kemudian, cucu Wagini tidak ada yang lulus sekolah menengah akhir.
“Beginilah kehidupan wong tani, miskin terus,” kata Wagini dengan senyum pahit.
Tak hanya pendidikan, kebutuhan pokok belum terpenuhi. Sehari-hari mereka makan seadanya, mengandalkan sayuran hasil menanam sampingan di sawah, seperti genjer dan kangkung. Pakaian pun jarang berganti, kecuali ketika ada pemberian dari kerabat atau politisi yang berjanji menyejahterakan mereka saat pemilu.
Namun, tidak ada pilihan lain bagi Wagini dan keluarganya. Mereka dipaksa bertahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Kalau enggak ada petani, mau makan apa pejabat dan masyarakat,” ujarnya.
***
Posisi matahari sudah sejajar dengan kepala, namun Rismanto (50) masih sibuk menebar kotoran sapi di lahan garapannya, Sukarame, Bandar Lampung. Tanah yang kering dan retak-retak menyambut langkahnya, sementara aroma kotoran sapi membaur dengan bau tanah. Gerakan tangan yang perlahan dan pasti membuktikan bahwa ia sudah terbiasa dengan aktivitas ini.
Feses itu menjadi pupuk alami untuk menyuburkan tanah, menghemat biaya pupuk kimia yang semakin mahal. Kebiasaan tersebut sudah dilakoninya beberapa tahun terakhir.
Rismanto lebih dari tiga dekade menjadi petani. Sama seperti Wagini, ia menggarap sawah orang dengan sistem bagi hasil. Bersama adiknya, Riswanto mengelola lahan lebih dari setengah hektare.
Rismanto berencana menyemai benih padi dan membajak sawahnya dalam waktu dekat. Namun, udara panas belakangan ini membuatnya gundah. Tanah garapannya mulai kering, pertanda buruk bagi lahan tadah hujan.
Berbeda dengan Wagini, sawah Rismanto tidak memiliki sumber air lain di sekitarnya. Jika panas terus berlanjut, kemungkinan besar ia tidak bisa menanam padi. Kalaupun dipaksakan risiko gagal panen bakal menanti.
Rismanto terjebak dalam dilema. Tanpa menanam padi, penghasilannya hilang. Kalau memaksakan diri untuk menanam, ancaman gagal panen menghantui.
“Simalakama jadinya. Serba salah, susah jadi petani,” kata Rismanto.
Pengalaman pahit beberapa tahun terakhir telah mengajarkan Rismanto bahwa musim kemarau adalah momok. Gagal panen menjadi langganan, dengan lebih dari setengah lahan garapannya tandus dan tidak berisi padi. Tatkala kemarau panjang pada 2019 dan 2023, Rismanto terpaksa mengambil keputusan sulit: tidak menanam padi sama sekali! Selama itu, Rismanto dan keluarganya harus bertahan dengan sisa uang yang ada, bekerja serabutan, bahkan menjual ternak.
Rismanto menyadari bahwa tidak semua petani semujur dirinya. Banyak dari mereka yang hanya menggantungkan hidup dari hasil tani. Ketika kemarau tiba, mereka terpaksa berutang kepada tengkulak. Ironisnya, saat musim panen, mereka harus menjual hasil keringat dengan harga murah kepada tengkulak yang meminjami uang di masa sulit.
Saat ini, Rismanto menjabat sebagai Sekretaris Kelompok Tani Sinar Baru. Ia bergabung dengan harapan mudah mengakses bantuan pemerintah. Beberapa bantuan seperti pupuk dan alat pertanian kerap disalurkan melalui kelompok tani.
Namun, pengalaman dengan bantuan sumur bor yang diberikan pemerintah tidak sepenuhnya efektif. Tanpa aliran listrik, sumur bor tak bisa digunakan secara maksimal. Selain itu, tiada perawatan berkala, sehingga sumur tidak dapat terpakai lagi.
Petani seperti terperangkap dalam lingkaran kesulitan. Penghasilan yang pas-pasan tak cukup untuk menutupi biaya listrik dan perawatan. Sejauh ini, belum ada lagi program yang dirasakan petani terkait kekeringan.
“Ya begitulah, harus kuat bertahan kalau jadi petani,” ujarnya.
Ia berharap, pemerintah dapat memberikan solusi efektif dalam menghadapi musim kemarau yang kerap melanda. Bila tidak teratasi, ancaman gagal panen terus menghantui para petani. Mereka akan semakin sulit keluar dari garis kemiskinan.
Potensi Kekeringan
Saat ini, Lampung berada di ambang musim kemarau. BMKG Radin Inten II Lampung memprakirakan pancaroba selama dua bulan akan membawa cuaca ekstrem tak terduga, mulai dari hujan lebat hingga panas berlebih. Kondisi cuaca itu akan melanda sebagian wilayah Lampung hingga Juni mendatang. Suhu di atas 35 derajat celcius yang tercatat di Lampung pada akhir April lalu, menjadi pertanda awal dari perubahan cuaca yang drastis.
Perbedaan waktu dalam memasuki musim kemarau di berbagai daerah di Lampung akan terjadi. Akhir bulan lalu, Lampung Selatan, Pesawaran, dan Pringsewu sudah menginjak musim kemarau. Sementara itu, Bandar Lampung, Metro, Lampung Timur, dan beberapa daerah lainnya akan menyusul pada minggu pertama hingga ketiga, bulan ini. Kemudian, Lampung Barat, Tulangbawang Barat, Lampung Utara, dan Lampung tengah pada awal Juni. Musim kemarau di Lampung diperkirakan mencapai puncaknya pada September mendatang, dengan durasi sekitar tujuh bulan.
“Karena itu, kami mengimbau masyarakat untuk mewaspadai ancaman kekeringan lahan pertanian dan kebakaran hutan,” kata Rudi Hartono, Koordinator Bidang Data dan Informasi BMKG Raden Inten II Lampung.
Menurutnya, meskipun kemarau tahun ini masih diiringi curah hujan, komoditas pertanian seperti padi, singkong, dan jagung tetap akan kekurangan air. Ia mengingatkan bahwa menanam padi pada periode kemarau kemungkinan besar akan berakhir dengan gagal panen. Oleh karena itu, masyarakat sebaiknya memerhatikan jadwal tanam yang sesuai dengan prakiraan cuaca BMKG.
Rudi menambahkan, pihaknya telah memberikan peringatan kepada pemerintah tentang perubahan cuaca di Lampung. Hal itu agar regulator kebijakan dapat mengambil langkah mitigasi ihwal ancaman kekeringan dan kebakaran hutan.
Ancam Stok Pangan
Di Lampung, dekade terakhir telah menjadi saksi bisu kekeringan ekstrem. Pada 2018-2019, 2021, dan 2023-2024 menjadi tahun-tahun paling parah. Ribuan hektare lahan mengalami gagal panen dan kebakaran, meninggalkan sawah yang mati.
Di Kabupaten Lampung Selatan, November 2019 menjadi bulan paling kelam. Sekitar 1.300 hektare sawah rusak akibat kekeringan panjang. Sementara, 12 kecamatan di Kota Bandar Lampung terkena dampak, di mana warga kesulitan memenuhi kebutuhan air harian. Kondisi ini tak hanya memengaruhi panen, tapi juga mata pencaharian petani yang bergantung pada produksi padi.
Pada 2018, luas panen padi di Lampung sekitar 511,94 ribu hektare. Jumlah itu turun sebesar 47,84 ribu hektare menjadi 464,10 ribu hektare pada 2019.
Di balik kekeringan yang melanda, produksi padi juga mengalami pukulan telak. Pada 2018, produksi padi Lampung mencapai 2,48 juta ton, namun menyusut menjadi 2,16 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) pada 2019. Penurunan sebanyak 0,32 juta ton atau 13,04 persen ini bukan hanya angka-angka statistik, tapi juga memengaruhi kehidupan ribuan petani.
Bila dikonversikan, produksi padi pada 2018 setara dengan 1,42 juta ton beras. Angka itu turun menjadi 1,24 juta ton beras pada 2019. Penurunan tersebut seperti bayang-bayang kekeringan yang terus menghantui petani dan masyarakat Lampung.
Dua tahun setelah kemarau panjang, musim kering kembali melanda Lampung pada 2021. Kali ini, 232 desa menjadi saksi bisu dahsyatnya kekeringan. Luas panen padi turun 10,01 persen, dari 545,15 ribu hektare menjadi 490,59 ribu hektare.
Penurunan ini mengancam sumber penghidupan ribuan petani. Akibatnya, produksi padi berkurang 177,70 ribu ton GKG atau 6,71 persen, dari 2,65 juta ton GKG menjadi 2,47 juta ton GKG. Krisis air yang terus berulang itu membuat petani dan masyarakat Lampung harus berjuang keras untuk bertahan hidup.
Kenaikan produksi total padi di Lampung pada 2023-2024 tidak berarti bahwa krisis air telah berakhir. Di lapangan, petani masih berjuang melawan kekeringan.
Pada 2023, Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan (DTPH-Bun) Lampung Selatan mencatat 6.056,7 hektare sawah terdampak, dengan 380,75 hektare di antaranya gagal panen. Total luas tanaman padi yang terkena masalah mencapai 23.990,3 hektare. Di beberapa kecamatan seperti Natar, Way Sulan, Jatiagung, dan Ketapang, petani masih merasakan kesulitan berkepanjangan.
Tahun berikutnya, kekeringan kembali menghantam, menyisakan luka yang belum sembuh. Sekitar 6.158 hektare sawah terkapar, kering dan tandus. Dari jumlah tersebut, 474 hektare sawah yang tersebar di beberapa wilayah seperti Bandar Lampung, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Mesuji, Way Kanan, dan Tulangbawang, harus rela gagal panen, menambah derita petani yang sudah terpuruk.
Setelah gagal panen melanda ribuan hektare sawah, ketergantungan akan beras impor semakin nyata. Pada 2023-2024, Indonesia mendatangkan 3,9 juta ton beras dari luar negeri untuk menopang cadangan pangan nasional. Konsumsi beras mencapai 36 juta ton, sedangkan pasokan beras giling hanya 33 juta ton.
Produksi padi menghadapi tantangan besar. Ekspansi kota menyempitkan lahan pertanian. Penggunaan pupuk anorganik berlebihan membuat tanah kian tandus. Sementara itu, petani menua tanpa generasi penerus yang cukup.
Krisis iklim menambah kesulitan. Kekeringan berkepanjangan dan hujan deras mengacaukan ritme alam yang selama ini menjadi sandaran hidup petani.
Di tengah krisis pangan yang mengancam, Lampung muncul sebagai harapan baru. Sebagai penyangga pangan nasional, provinsi ini memasok padi ke berbagai wilayah, terutama Jabodetabek. Bahkan, Bulog pun mengandalkan beras dari Lampung.
Tahun ini, Pemprov Lampung berambisi meningkatkan produksi padi menjadi 3,5 juta ton Gabah Kering Giling. Keinginan itu sejalan dengan program swasembada beras yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto.
Di balik ambisi besar untuk meningkatkan produksi padi, realitas di lapangan justru menunjukkan gambaran yang berbeda. Petani masih bergulat dengan kesulitan air saat musim kemarau, sementara akses pupuk bersubsidi terhalang oleh birokrasi yang rumit. Akibatnya, mereka terpaksa membeli pupuk dengan harga relatif mahal.
Harga gabah yang ditetapkan gubernur Lampung, Rp6.500 per kilogram, juga tidak selalu berlaku di lapangan. Petani sering kali harus menerima pembayaran lebih rendah, terutama ketika berhadapan dengan tengkulak yang menentukan harga semaunya.
Upaya mitigasi dan penanganan kekeringan di Lampung menghadapi tantangan baru: efisiensi anggaran. Pemerintah setempat memang telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi krisis air, seperti memberikan bantuan pompa dan sumur bor di lokasi-lokasi kritis. Kerja sama lintas sektoral juga dijalin untuk memastikan irigasi berfungsi dengan baik. Program irigasi perpompaan bahkan telah dibangun untuk beberapa kelompok tani. Namun, bantuan ini belum merata di seluruh kecamatan, hanya terfokus pada titik-titik yang dianggap riskan kekeringan.
“Tahun ini, program tetap berjalan, namun akan berkurang akibat efisiensi,” kata Meliya Indriyati, Staf Fungsional Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan BPTPH Lampung.
Di tengah kondisi itu, Meliya hanya mengimbau petani untuk mempercepat masa tanam. Petani juga dianjurkan menggunakan pupuk organik untuk mengurangi dampak kekeringan yang lebih parah.
“Petani yang gagal panen bisa mengajukan usulan bantuan benih melalui petugas lapangan atau dinas kabupaten/kota masing-masing,” ujarnya.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.