DPRD Lampung gagal memperjuangkan kepentingan publik. Jalan rusak, banjir, akses kesehatan yang memprihatinkan, dan perampasan ruang hidup menunjukkan ketidakpedulian dan absennya pengawasan sistemik. Warga terpaksa berjuang sendiri, sementara legislatif menjadi kompi strategis eksekutif. Masih relevankah parlemen sebagai wakil rakyat, atau saatnya melakukan perubahan radikal?
Subuh yang dingin di Desa Sri Pendowo, Kecamatan Bandar Sribawono, Kabupaten Lampung Timur, menjadi awal dari hari yang sibuk bagi Suparjo dan kawan-kawannya. Mereka berkumpul di depan sekretariat Serikat Petani Lampung (SPL), memasang tarup dengan hati-hati, mempersiapkan tempat untuk buka puasa bersama.
Istri-istri mereka berbelanja di pasar dan warung terdekat. Laki-laki menyiapkan tempat berbuka, sedangkan perempuan mengolah makanan.
“Di sini, kami gotong royong,” kata Koordinator SPL Suparjo, Rabu, 19 Maret 2025.
Menjelang magrib, petani anggota SPL mulai berdatangan. Suasana begitu hangat dan penuh persahabatan. Ceramah agama dan ramah tamah dengan pemerintah desa setempat menjadi bagian dari acara tersebut.
Ketika azan berkumandang, wajah para petani tampak ceria. Mereka menyeruput es kuwut dan risol buatan istri, menikmati kebersamaan.
Acara ditutup dengan pidato Suparjo. Ia menyerukan keteguhan perlawanan terhadap mafia tanah di Lampung Timur. Suparjo adalah salah satu dari ratusan kepala keluarga yang menghadapi konflik agraria di delapan desa.
Lahan seluas 401 hektare yang mereka kelola selama lebih dari tiga dekade diklaim oleh sekelompok orang. Tanah garapan ini terletak di Desa Wana, Kecamatan Melinting, dan menjadi ruang penghidupan bagi banyak petani. Mereka menanam palawija seperti cokelat, singkong, jagung, dan kelapa.
Pada 2021, Suparjo mendapat kabar yang mengejutkan dari mantan kepala desa Sripendowo. Sertifikat atas nama orang lain telah terbit untuk 401 hektare lahan milik petani, termasuk ladang yang dikelola oleh keluarganya selama tiga generasi.
Suparjo terkesiap. Bagaimana mungkin lahan yang telah menjadi penopang kehidupannya sejak 1968 itu memiliki sertifikat atas nama orang lain?
“Saya tak pernah membayangkan bahwa ada orang lain yang ingin merebut tanah kami,” ujar Suparjo.
Awalnya, masyarakat percaya bahwa lahan yang mereka garap bagian dari kawasan Register 38 Gunung Balak. Mereka tidak pernah mengurus pendaftaran tanah. Namun, kenyataannya berbeda. Lahan tersebut terletak di luar kawasan hutan. Berdasarkan UU Pokok Agraria, tanah itu dapat dimiliki oleh masyarakat penggarap karena telah dikelola lebih dari 20 tahun.
Pada awal 2023, sekelompok orang menanam sawit di salah satu lahan warga. Suparjo dan petani lain menolak kehadiran mereka. Setelah ditentang, mereka memutuskan pergi. Malam harinya, sembilan orang mendatangi rumah Suparjo.
“Mereka mengaku memiliki sertifikat atas tanah yang kami garap,” kata Suparjo. “Beberapa dari mereka adalah mantan anggota dewan, mantan TNI, dan polisi.”
Indikasi mafia tanah semakin menguat ketika orang-orang itu meminta ganti rugi. Mereka menuntut petani membayar Rp250 juta per hektare untuk 401 hektare lahan. Dengan demikian, petani akan memiliki sertifikat.
Suparjo meminta waktu berdiskusi dengan petani lain. Mereka diberi waktu seminggu untuk mempertimbangkan tawaran ganti rugi.
Setelah jangka waktu berakhir, mereka kembali mendatangi kediaman Suparjo. Petani menolak tawaran tersebut. Harga ganti rugi pun diturunkan menjadi Rp125 juta. Suparjo bersikap tegas.
“Sepeser pun kami tidak akan membayar sertifikat yang kalian punya,” ujarnya.
Petani melawan. Dukungan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung memperkuat semangat mereka. Serikat Petani Lampung dibentuk sebagai wadah perjuangan untuk mempertahankan tanah garapan dan ruang penghidupan.
Aksi demonstrasi digelar di kantor pemerintah, ruang publik, markas kepolisian, dan pengaduan ke DPRD Lampung. Namun, keselamatan petani terancam. Tekanan dan intimidasi selalu mengiringi setiap aksi.
“Polisi yang mengawal aksi kami pernah meminta uang,” ucap Suparjo. “Mereka bilang, uang itu untuk bensin dan biaya makan.”
Perjuangan mereka tidak membuahkan hasil. Upaya mendapatkan perhatian dewan sebagai representasi suara rakyat pun tak menemui jalan terang. Janji untuk membantu petani masih belum terwujud. Suparjo merasa bahwa semua itu hanya omong kosong.
“Memiliki wakil rakyat tidak ada artinya jika mereka tidak peduli dengan kesusahan masyarakat,” ujarnya.
Kinerja DPRD Lampung tak lebih dari sekadar dusta. Setiap pertemuan dengan perwakilan petani, parlemen berjanji membawa perubahan, tapi yang terjadi justru kekecewaan berulang yang mendalam. Frustrasi pun memuncak, dan warga bergerak melakukan aksi di Kementerian ATR/BPN di Jakarta.
“Harapannya, pemerintah pusat tahu ada persoalan mafia tanah di Lampung Timur. Sebab, wakil rakyat sudah tidak mewakili kami,” kata Suparjo.
Tidak Peduli Persoalan Masyarakat
Heni Wuriati, perempuan petani di Desa Sripendowo, merasakan hal yang sama dengan Suparjo. Keduanya merasa bahwa wakil rakyat tidak peduli dengan kesusahan masyarakat.
“Kayaknya enggak ada gunanya mereka (DPRD),” ujarnya.
Heni bersama Suparjo dan para petani Sripendowo sudah berjuang empat tahun, tapi hanya kekecewaan dan ketidakpastian yang terus menghantui. Bayangan akan kehilangan ruang penghidupan membuat mereka semakin cemas dan takut, saban hari.
“Setiap kali kumpul, kami (perempuan petani) selalu menangis merenungi nasib. Bagaimana jika tanah kami dirampas? Bagaimana masa depan anak-anak kami?” ucap Heni, suaranya terdengar lemah.
Heni tak percaya lagi kepada anggota dewan. Kehadiran mereka hanya formalitas yang tidak membawa perubahan nyata bagi para petani. Ia merasa bahwa rakyat diperas keringatnya melalui pajak untuk menghidupi pejabat, membayar rumah dan mobil dinas, serta hotel-hotel tempat mereka rapat.
“Tapi, mereka tidak bekerja untuk rakyat,” ujarnya.
Dorongan untuk berjuang semakin menggelora di hati Heni dan para perempuan petani. Mereka percaya bahwa memperluas pengetahuan dan memperkuat solidaritas adalah kunci bertahan dan mengambil kendali atas nasib sendiri. Heni menyatakan dengan keyakinan penuh, “Kami harus berdiri di atas kaki sendiri, karena tidak bisa lagi bergantung pada legislatif dan pemerintah.”
Runtuhnya kepercayaan terhadap parlemen dirasakan warga di beberapa daerah. Kelurahan Waylunik, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung, misalnya, baru saja mengalami banjir yang menghancurkan rumah dan harta benda warga.
Mahmud, salah satu korban banjir, masih teringat akan suara gemuruh air yang menghantam rumahnya. Ia merasakan langsung dampak dari ketidakmampuan pemerintah dalam menangani bencana tersebut.
Selama dasawarsa terakhir, rumahnya terus-menerus terendam banjir. Hujan deras selalu membawa kerusakan, dan bau lumpur masih terasa di udara. Banjir terbesar terjadi dua bulan lalu, meninggalkan bekas yang mendalam. Semua perabotan rusak berat, kasur dan pakaian terkena lumpur dan tidak bisa digunakan lagi. Ia harus mengeluarkan biaya untuk membeli perabotan baru dan memperbaiki rumah, yang semakin memperburuk kesulitannya.
“Sebelumnya, genangan air hanya selutut. Tapi, bencana beberapa waktu lalu, benar-benar menghancurkan semuanya. Ketinggian air mencapai dada orang dewasa,” kata Mahmud.
Ia dan keluarganya hanya menerima sedikit bantuan dari pemerintah setempat, sehingga harus berjuang sendiri. Mereka hanya dapat beras dan nasi bungkus, sementara bantuan pakaian datang dari relawan organisasi masyarakat. Biaya perbaikan rumah dan penggantian perabotan yang rusak menjadi beban tambahan bagi Mahmud.
Namun, bukan itu yang menjadi masalah serius. Ia tidak terlalu memikirkan bantuan makanan karena masih bisa berusaha sendiri. Bagi Mahmud, ketakutan akan banjir yang terus-menerus adalah persoalan utama.
“Setiap hujan, aku khawatir akan banjir,” ucap Mahmud.
Kekhawatiran itu semakin besar ketika ia melihat bahwa tidak ada upaya berarti untuk mengurangi banjir. Keluarganya sempat menyampaikan aspirasi kepada anggota dewan yang tinggal di sekitar rumahnya. Namun, sejauh ini, tidak tampak perubahan nyata. Pascabanjir terakhir, rumahnya selalu kemasukan air dan lumpur, setiap hujan.
Mahmud merasa heran karena banjir tambah parah, bukan berkurang. Terkadang, muncul pertanyaan dalam benaknya: enggak mungkin para legislator tidak mengerti persoalan yang dihadapi warga?
Sejak dahulu, peta Bandar Lampung tidak berubah. Pemerintah dan DPRD seharusnya paham bagaimana mengatasi banjir berdasarkan tata ruang kota.
“Kawasan ini (Panjang) tidak bisa lagi dijadikan tempat perusahaan atau pabrik. Tapi, sekarang malah terus bertambah. Akhirnya, banjir karena semua tertutup beton,” ujarnya.
Mahmud merasa kehilangan harapan pada wakil rakyat. Mereka lebih mementingkan anggaran dan proyek ketimbang memecahkan masalah warga. Ia berpikir bahwa anggota dewan hanya menggunakan rapat untuk mendapatkan uang, membahas anggaran dan proyek, tanpa membawa perubahan nyata.
“Mereka hanya mencari modal untuk pencalonan lagi,” katanya.
Kisah Mahmud ihwal kekecewaannya terhadap wakil rakyat tidak tunggal. Di Pringsewu, warga juga mengalami kesulitan serupa. Dua minggu lalu, mereka mengambil inisiatif untuk memperbaiki beberapa ruas jalan protokol yang rusak parah. Mereka meluncurkan gerakan “Perbaikan Jalan oleh Rakyat” yang bergantung pada sumbangan masyarakat.
Erika Widiastuti, salah satu penggagas gerakan, masih teringat akan kondisi jalan yang memprihatinkan. Infrastruktur yang buruk menyebabkan banyak korban kecelakaan, bahkan kematian. Ia percaya bahwa warga harus mengambil tindakan sendiri, karena pemerintah tidak menunjukkan kemajuan dalam perbaikan jalan.
Erika melihat aksi tersebut sebagai simbol kekesalan rakyat yang sudah lama tertahan. Kondisi jalan di Pringsewu terbilang parah, dengan banyak ruas jalan berlubang, rusak berat, dan tak laik dilalui kendaraan. Mulai dari ruas jalan Gadingrejo, Sukoharjo, hingga Pringsewu kota, semua dalam kondisi yang sama buruknya.
Erika pun pernah menjadi korban kecelakaan yang mengerikan. Ia masih ingat kejadian tersebut, dua tahun lalu, ketika berangkat kerja sebagai master of ceremony di salah satu acara di Kecamatan Banyumas. Saat itu, kondisi jalan rusak berat.
Ia terjatuh saat menghindari lubang besar dan bertabrakan dengan kendaraan lain. Suara benturan yang keras masih terdengar di telinganya. Patah bagian bahu dan operasi panjang menjadi konsekuensi yang harus dihadapi. Kerugian materi dan mental pun menumpuk. Erika bahkan mengalami depresi karena harus beristirahat lebih dari enam bulan dan kehilangan banyak pekerjaan.
“Seharusnya, saya bisa tuntut ganti rugi kepada negara karena infrastruktur jalan yang buruk,” ujarnya.
Setelah kecelakaan yang mengerikan itu, Erika dan teman-temannya memutuskan bertindak. Mereka tidak ingin ada lagi korban jiwa akibat jalan rusak. Dengan penuh semangat, mereka turun ke jalan, menggalang dana dan mengumpulkan sumbangan dari warga. Hasilnya, dalam lima hari, mereka mengumpulkan donasi lebih dari Rp10 juta.
Namun, di balik semangat dan antusiasme tersebut, Erika dan teman-temannya merasa kecewa. Kebijakan pemerintah tidak berpihak terhadap warga.
Perasaan itu semakin membara ketika Erika berinisiatif mengunggah gerakan mereka di media sosial. Postingan tersebut sontak menuai beragam komentar, mulai dari dukungan hingga kritik keras terhadap kegagalan pemerintah. Banyak netizen menyoal kinerja mereka dan menuntut perubahan.
Setelah postingan tersebut viral, barulah ada anggota dewan dan bupati yang menghubungi Erika. Ia menyayangkan sikap DPRD setempat yang baru merespons setelah unggahannya mendapat perhatian publik.
Kekecewaan Erika semakin memuncak ketika membaca komentar salah satu anggota dewan di postingan Instagramnya. Legislator itu bilang tidak menerima informasi terkait perbaikan jalan yang digagas Erika.
Erika merasa frustrasi dan kecewa, seperti tak didengar oleh mereka yang seharusnya peduli. Suaranya tinggi dan tajam ketika mengungkapkan kesalnya.
“Mereka masih birokratis, tidak peduli dengan nasib warga. Mereka malah minta diundang? Padahal, sudah tugasnya untuk mengawasi.”
Erika menuntut para anggota DPRD lebih proaktif. Wakil rakyat harus turun ke lapangan, merasakan denyut nadi masyarakat, dan memahami aspirasi mereka. Tidak cukup hanya kunjungan dinas dan rapat-rapat yang terkesan rutin dan hambar.
Erika ingin para pemimpin itu merasakan napas rakyat, mengetahui apa yang membuat warga bahagia atau sedih. Ia juga menekankan pentingnya memanfaatkan media sosial. Di era digital ini, media sosial telah menjadi kanal yang efektif untuk menyampaikan keresahan dan aspirasi masyarakat.
Di balik deretan warga yang terjebak dalam problem struktural, ada suara kelompok rentan yang kerap terabaikan oleh wakil rakyat. Orang dengan HIV dan AIDS (ODHIV) masih teredam oleh stigma dan diskriminasi.
Ade Komariyah, salah satu ODHIV, tahu betul kesulitan yang dihadapi komunitasnya. Akses kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan adalah hak yang sulit diperoleh. Nyawa melayang, hubungan kerja putus secara sepihak.
Kesulitan dalam akses kesehatan diperparah dengan ketersediaan obat TLD yang semakin minim. Hak ODHIV untuk mendapatkan obat yang memadai kian jauh dari kenyataan.
TLD adalah obat antiretroviral (ARV) kombinasi dosis tetap (KDT) yang direkomendasikan oleh WHO sebagai pilihan utama pengobatan HIV. Obat tersebut efektif menekan virus dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. Namun, penggantian TLD dengan obat-obat pecahan membuat ODHIV semakin rentan.
“Mereka bisa berhenti mengonsumsi obat karena efeknya,” kata Ade.
Ia pernah mencari jawaban atas keterbatasan obat TLD dari dinas kesehatan, namun yang diterima hanya kekecewaan. Keterbatasan anggaran menjadi alasan utama.
Stigma dan diskriminasi masih menimbulkan kecemasan, membuat banyak instansi dan pemerintahan belum bisa menerima kehadiran ODHIV. Keadaan ini semakin mempersulit upaya menekan penyebaran HIV dan AIDS. Rasa takut terus membayangi ODHIV, memaksa mereka menyembunyikan kondisi sebenarnya.
Di Lampung, lebih dari 6.000 orang hidup dalam bayang-bayang HIV dan AIDS. Namun, angka ini hanya sebagian kecil dari kenyataan yang sebenarnya. Banyak yang masih enggan membuka statusnya, takut dihakimi dan diasingkan.
Ade dan kawan-kawannya telah berjuang keras untuk mengajak pemerintah dan DPRD duduk bersama, membahas nasib ODHIV. Namun, upaya tersebut terhenti di tengah jalan. Mereka kesulitan menyampaikan aspirasi, bahkan lebih sulit lagi memperoleh dukungan.
“Aku tidak mengerti, apa yang membuat mereka tidak mau mendukung. Apakah karena ketidaktahuan, atau karena ketidakpedulian?” ujarnya.
Penanganan HIV dan AIDS di Lampung masih terpuruk. DPRD belum memandang isu ini sebagai prioritas, sehingga anggaran penanganan ODHIV bergantung pada donor global.
Pengadaan logistik dan obat di fasilitas kesehatan pun makin memprihatinkan. Ribuan ODHIV di Lampung menghadapi kekurangan obat, bahkan terancam kematian.
“Tidak bisa menunda lagi, harus segera bertindak untuk menyelamatkan mereka,” kata Rachmad Cahya Aji, pegiat Konsorsium HIV dan AIDS Lampung.
Provinsi Lampung masih berjalan dalam kegelapan, tanpa peraturan daerah khusus untuk menangani ODHIV. Kesulitan menumpuk, stigma dan diskriminasi terus menghantui. Sementara itu, daerah lain telah memiliki peraturan daerah yang jelas dan tegas untuk mengatasi masalah serupa. Rachmad menatap ke depan, meyakini bahwa penyusunan peraturan daerah seperti itu harus menjadi prioritas legislatif.
Menanggapi berbagai hal tersebut, Wakil Ketua I DPRD Lampung Kostiana berbicara dengan suara yang tenang. Ia mengakui keterlambatan dalam mengatasi masalah infrastruktur dan banjir, dan meminta maaf atas hal itu.
Kostiana membela kinerja parlemen, tetapi juga mengakui kelemahan. Politisi PDI-P itu berjanji bahwa pihaknya akan terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Keadilan Substantif
Direktur LBH Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi menyoroti kelemahan dalam penyelesaian problem-problem struktural. Konflik agraria, banjir, infrastruktur jalan yang buruk, serta akses kesehatan dan pendidikan yang terbatas, tidak dapat diselesaikan hanya dengan menjalankan fungsi dan peran sesuai undang-undang.
Ia berpendapat bahwa keadilan substantif yang mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi masyarakat, diperlukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Artinya, parlemen dan pemerintah harus merumuskan kebijakan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat dan menyentuh akar persoalan. Bukan hanya berpegang pada ketentuan hukum yang formalistik dan prosedural.
Sumaindra menekankan bahwa penyelesaian persoalan mafia tanah tidak hanya memerlukan pendekatan hukum, tetapi juga mempertimbangkan aspek politik dan hak masyarakat. Ia mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur tentang hak menguasai negara atas sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, pemerintah dan DPRD harus memastikan bahwa kebijakan mereka melindungi hak warga negara dan mewujudkan keadilan sosial.
Ia bilang, anggota dewan saat ini telah menyimpang dari mandat rakyat. Hal tersebut tercermin dalam berbagai kebijakan dan undang-undang terbaru yang cenderung menguntungkan kepentingan elite berkuasa. Dalam enam tahun terakhir, beberapa kebijakan seperti UU Cipta Kerja, Revisi UU KPK, UU Minerba, RUU KUHP, dan terbaru Revisi UU TNI, telah menjadi sarana bagi mereka untuk mengeksploitasi rakyat, menguras kekayaan alam, dan meruntuhkan demokrasi.
“Hari ini, DPR yang dipilih oleh rakyat tidak lagi mewakili rakyat,” kata Sumaindra.
Syarief Makhya, akademisi FISIP Universitas Lampung, memiliki pandangan analitis soal legislatif daerah. Menurutnya, masyarakat tidak bisa berharap banyak pada mereka karena tidak lagi dianggap sebagai wakil yang efektif. Ketiadaan kekuatan oposisi membuat kepala daerah dan legislatif daerah bekerja sebagai satu tim yang solid. Dalam konteks ini, parlemen lebih berperan sebagai mitra strategis pemerintah.
“Kontrol publik menjadi lebih strategis dan efektif,” kata Syarief.
Salah satu contoh adalah kritik Bima Yudho, mahasiswa asal Lampung Timur yang kuliah di Australia. Ia menyoroti keadaan infrastruktur jalan di Lampung yang memprihatinkan. Kritiknya memicu gelombang diskursus publik, mempertanyakan kinerja pemerintah daerah dalam mengatasi problem infrastruktur yang mendalam.
Sementara itu, DPRD Lampung tampak gagal membangun narasi yang efektif untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang seharusnya dijalankan oleh DPRD provinsi, sebagaimana diatur dalam UU 17/2014, terlihat tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal kepentingan masyarakat, DPRD memiliki tiga senjata pamungkas: hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Hak interpelasi memungkinkan DPRD meminta keterangan gubernur tentang kebijakan pemerintah provinsi yang strategis dan berdampak luas.
Bayangkan sebuah lampu sorot menyinari kebijakan pemerintah yang selama ini tidak transparan. Hak interpelasi itu seperti lampu sorot tersebut, memaksa pemerintah untuk menjelaskan kebijakannya dan memastikan bahwa kepentingan masyarakat terwakili.
Jika lampu sorot tersebut tidak cukup, DPRD masih memiliki hak angket. Hak ini memungkinkan parlemen melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang bermasalah dan berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan. Ini seperti sebuah mikroskop yang memperbesar setiap detail kebijakan pemerintah, memastikan tidak ada yang tersembunyi.
Terakhir, hak menyatakan pendapat memungkinkan legislatif untuk menyampaikan pendapat tentang kebijakan gubernur atau kejadian luar biasa di daerah. Seperti panggilan moral yang mengingatkan pemerintah tentang tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Lewat hak-hak ini, DPRD dapat menjalankan perannya secara efektif sebagai pengawal kepentingan publik.
Namun, di balik kekuatan hak-hak tersebut, terdapat kenyataan pahit. Secara praktik, permintaan badan legislatif tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Artinya, rekomendasi yang disampaikan dalam berbagai kesempatan seperti rapat dengar pendapat tak bisa memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan tertentu.
“Secara moral, DPRD memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa persoalan publik bisa teratasi. Oleh karena itu, mereka harus bersuara lebih lantang agar problem rakyat dapat menjadi fokus pemerintah,” kata Syarief.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.