Kebebasan berekspresi sedang dalam tekanan. Dalam kurun waktu tak berjauhan, para mahasiswa dari sejumlah kampus mengalami represi setelah menyampaikan ekspresi, seperti intimidasi, pelaporan ke polisi, hingga skors dan drop out. Situasi ini telah diproyeksikan.
Sepucuk surat tiba di rumah Sultan Ali Sabana, Senin siang, 22 Februari 2021. Namun, hari itu, tak ada orang di rumah. Si pembawa surat akhirnya menitipkan surat ke tetangga Sultan. Ketika orang tua Sultan sampai di rumah, tetangga itu memberikan surat titipan. Begitu membaca, sontak orang tua kaget dan langsung menghubungi Sultan.
Sultan tak sangka surat itu benar-benar datang. Surat tersebut ihwal klarifikasi terkait laporan polisi nomor LP/B/423/II/2021/LPG/Resta Balam atas nama Bambang Hartono. Wakil Rektor III Bidang kemahasiswaan Universitas Bandar Lampung (UBL) itu menuduh Sultan melakukan penghasutan dan melanggar kekarantinaan kesehatan. Dua teman Sultan juga dilaporkan, yaitu Rizky Aditya Nugraha dan Reyno Pahlevi.
Bambang melaporkan Sultan dkk ke polisi pada 19 Februari 2021, tepat dua hari setelah sejumlah mahasiswa yang mengatasnamakan Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) UBL menggelar aksi di depan gedung rektor UBL. Mereka menuntut penurunan uang kuliah tunggal (UKT). Sebab, pandemi Covid-19 “menggusur” penghasilan orang tua mereka.
Dua hari lalu-sebelum Bambang membuat laporan polisi-Sultan bangun lebih cepat. Jiwanya bergelora pagi itu. Setelah mandi, ia menyisir rambut dengan gaya belah tengah. Mengenakan kaus putih dipadu denim, Sultan kemudian sarapan dengan nasi uduk. Ia tahu bahwa perjuangan hari itu perlu tenaga ekstra. Mengenakan sneakers bergaya retro dengan sepeda motor matic, Sultan membelah jalan protokol menuju UBL.
Sekitar jam delapan, Sultan tiba di titik kumpul di depan Gedung F Fakultas Ekonomi dan Bisnis UBL. Belum ada peserta aksi lain di lokasi. Ia sempat berpikir bahwa aksi tidak jadi.
Setengah jam kemudian, satu per satu peserta aksi berdatangan. Beberapa dari mereka membawa poster dan banner berisi tuntutan. Setelah menunggu kurang lebih dua jam, KBM memulai unjuk rasa pada pukul sepuluh. Sebelum demo, mereka melengkapi diri dengan masker dan menjaga jarak sebagai protokol kesehatan untuk meminimalkan risiko terpapar virus corona.
“Hidup Mahasiswa!!!” teriak Rizky Aditya Nugraha, koordinator lapangan, membakar semangat massa aksi. “Hidup Mahasiswa!!!” sahut puluhan demonstran. Mereka longmarch dari Gedung F menuju gedung rektor UBL.
Setiba di depan gedung, massa disambut beberapa orang berseragam cokelat. Mereka adalah anggota Satuan Tugas (Satgas) Covid-19. Namun, saat itu, Satgas Covid-19 tidak membubarkan massa.
Secara tertib, para mahasiwa menyampaikan tuntutan kepada pihak kampus. Sejumlah poin penting dalam tuntutan, antara lain keringanan UKT dan transparansi dana kemahasiswaan. Selama pandemi, besaran UKT yang dibayarkan para mahasiswa tetap sama. Namun, proposal untuk dana kemahasiswaan tidak turun.
Sekitar jam sebelas, Wakil Rektor II Harpain dan Bambang Hartono menemui massa. Mereka berdialog di pelataran gedung rektor UBL.
Setelah berdialog lebih dari setengah jam, Rizky mewakili massa aksi menyerahkan tuntutan kepada pihak kampus. Setelah itu, para mahasiswa membubarkan diri secara tertib.
Jauh sebelum aksi, 7 Februari 2021, Sultan bersama Rizky mengirim surat audiensi kepada Rektor UBL Yusuf S Barusman. Besoknya, mereka menghadap Bambang sekaligus membawa surat permohonan audiensi terkait tuntutan mahasiswa. Di ruang kerja Bambang, mereka berdialog cukup panjang. Bambang mempertanyakan legalitas KBM yang menurutnya bukan organisasi resmi kampus.
Sultan bilang, KBM memang bukan sebuah organisasi. Tetapi, wadah bagi mahasiswa yang merasakan keresahan bersama.
“Apakah hanya organisasi resmi yang boleh menyampaikan pendapat? Saya rasa, selagi ia mahasiswa UBL dan punya keresahan, maka ia boleh menyampaikan pendapat,” kata Sultan, Jumat, 16 April 2021.
Pada pertemuan tersebut, Sultan dan Rizky menerima intimidasi dari Bambang.
“Kalau kalian mau berperkara dengan saya, ya silakan,” ujar Sultan menirukan ucapan Bambang saat dialog. Hal itulah yang membuat Sultan terkejut. Bambang benar-benar memperkarakan aksi mereka.
Secara manusiawi, Sultan dan mahasiswa yang tergabung dalam aksi merasa takut dengan itimidasi tersebut. Namun, rasa takut itu ditekan karena melihat kondisi perekonomian keluarga yang kian terpuruk semasa pandemi. Mereka memandang perlu ada kebijakan meringankan UKT mahasiswa.
“Jadi, kalau memang kami sampai dilaporkan (ke polisi) ya kami siap,” ujar Sultan.
Setelah menyerahkan surat permohonan audiensi, mahasiswa menunggu tanggapan kampus terkait tuntutan mereka. Hingga 15 Januari 2021, pihak kampus tak juga merespons surat mahasiswa. Itulah mengapa Sultan dkk memutuskan berdemonstrasi.
**
Sultan dan Rizky memutuskan memenuhi panggilan Polresta Bandar Lampung atas laporan Bambang. Mereka didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung. Kala itu, mereka menghubungi Reyno, salah satu mahasiswa yang dilaporkan. Namun, Reyno tak dapat menghadiri agenda pemeriksaan tersebut. Belakangan diketahui, Reyno lebih dahulu menemui pihak kampus untuk mediasi pencabutan laporan.
Di ruang Unit III Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Polresta Bandar Lampung, Sultan dan Rizky dicecar pertanyaan seputar demo. Mereka diperiksa terpisah selama empat jam.
Saat pemeriksaan, Sultan sempat bertanya kepada penyidik, “Jika memang kami melanggar protokol kesehatan, mengapa tak dibubarkan sejak awal?” Dalih polisi, bila dibubarkan, maka membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Usai pemeriksaan, Rizky meneriman telepon dari Harpain. Wakil Rektor itu menawarkan agar Rizky dan Sultan menemui Bambang untuk mediasi.
Rizky dan Sultan kemudian dengar pendapat dengan kawan-kawannya yang turut berdemonstrasi. Beberapa orang memberi pertimbangan untuk mediasi dengan pihak kampus. Dasar utamanya mempertimbangkan faktor psikologis, biaya, dan waktu untuk menghadapi perkara tersebut.
Pada 1 Maret 2021, Sultan dan Rizky akhirnya bertemu dengan Bambang untuk mediasi. Pertemuan berlangsung di ruang kerja Bambang. Di ruangan itu ada Harpain dan Yulfriwini, Kapala Biro Pembinaan Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni UBL.
“Saat itu, kami ditawarkan kalau ingin laporan kepolisisan dicabut, maka buat surat pernyataan,” kata Sultan.
“Kami juga gak boleh mempermasalahkan tuntutan aksi tempo hari,” ujar Rizky.
Sultan dan Rizky pun menekan surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan mereka: Demo! Surat tersebut juga ditandatangani oleh orang tua mereka. Sampai sekarang, mereka belum mengetahui bagaimana kelanjutan proses hukum yang dijalani.
Rizky menyayangkan pelaporan oleh pihak kampus. Sebab, hal itu mengesankan bahwa kampus sebagai institusi akademik antikritik dan tidak demokratis.
“Kalau takut manusiawi ya, apalagi berurusan dengan hukum,” tambah Sultan.
Ia juga menyimpulkan bahwa dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja dan cenderung otoriter. “Orientasi pendidikan hari ini tidak lagi menimbulkan hasrat untuk keingintahuan, tapi hanya ingin membungkam dan membuat tunduk mahasiswa,” ujarnya.
Kami berupaya mengonfirmasi kepada Bambang ihwal tindakannya melaporkan mahasiswanya sendiri yang menggelar aksi menuntut keringanan UKT. Kami menemui Bambang di depan ruang kerjanya, Senin lalu, 19 April 2021. Namun, Bambang menolak untuk diwawancarai.
Sebelumnya, dua hari berturut-turut, 17-18 April, kami menghubungi Bambang lewat pesan WhatsApp. Namun, tak mendapat jawaban kendati pesan yang terkirim bertanda centang biru (terbaca).
**
Peristiwa yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Lampung tak hanya menimpa mahasiswa UBL. Pada 17 Maret lalu, lima gubernur mahasiswa Politeknik Negeri Lampung (Polinela) mendapat surat peringatan karena berencana menggelar aksi lanjutan mengawal penurunan UKT. Mereka dituduh akan memprovokasi para mahasiswa lainnya.
Sebelum menerima surat peringatan itu, mahasiswa Polinela lebih dahulu demo di halaman gerbang kampus setempat, Kamis siang, 11 Februari 2021. Sama seperti keresahan mahasiswa di berbagai daerah, mereka menuntut penurunan UKT. Sebab, pandemi berdampak buruk pada penghasilan orang tua.
Ketika demo, sempat beberapa kali terjadi ketegangan. Pasalnya, pihak otoritas tidak mengizinkan massa masuk ke dalam kampus. Demonstran baru dapat masuk kampus sekitar jam setengah empat.
Syahdan, peserta aksi berdialog dengan beberapa perwakilan direksi kampus, salah satunya Pembantu Direktur (Pudir) III Bidang Kemahasiswaan Beni Hidayat. Saat itu, beberapa tuntutan dapat disepakati oleh pihak direksi. Namun, hingga akhir aksi, salah satu poin penting tuntutan mahasiswa belum bisa diterima oleh direksi. Tuntutan dimaksud, pemotongan UKT 50% bagi seluruh mahasiswa tanpa syarat, kecuali semester akhir. Massa aksi akhirnya sepakat mengadakan audiensi lanjutan untuk memperjuangkan poin penting tersebut.
Pada 15 Februari 2021, Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) dan gubernur mahasiswa perwakilan dari masing-masing jurusan di Polinela beraudiensi dengan pihak kampus. Dalam pertemuan tersebut mahasiswa dan direksi mencapai kesepakatan.
Pascakesepakatan, mahasiswa mulai mengajukan permohonan keringanan UKT. Namun, hampir sebulan sejak kesepakatan, tak ada pengumuman dari kampus terkait penurunan UKT. Sementara, batas pembayaran UKT Polinela hingga 19 Februari. Hal itulah yang mendorong para gubernur mahasiswa menggelar rapat untuk membahas tindak lanjut penurunan UKT.
Mereka berencana berunjuk rasa untuk kembali mendesak direksi mengumumkan penurunan UKT. Namun, belum sempat menggelar aksi, lima gubernur mahasiswa menerima surat peringatan pertama.
Dalam perkembangannya, pihak kampus menerbitkan surat yang menganulir surat peringatan menjadi surat teguran. Langkah itu untuk mencegah para mahasiswa tidak demo. Polinela merasa khawatir aksi mahasiswa akan ditunggangi pihak atau organisasi dari luar kampus.
“Sebab, waktu demo itu ada pihak dari luar yang menunggangi mereka. Jadi, surat teguran itu sebagi tindakan preventif agar tidak terjadi lagi hal tersebut,” kata Beni, Minggu, 18 April 2021.
Beni bilang, surat teguran tersebut bukan bermaksud membungkam kebebasan mahasiswa menyampaikan aspirasi dan pendapat. Kampus hanya melarang demo karena masa pandemi Covid-19.
“Tidak ada yang melarang menyampaikan pendapat, silakan saja, bebas. Yang kami larang itu demo. Sebab, sedang dalam masa pandemi,” ujarnya. Tapi, bila mahasiswa tetap menggelar aksi, maka Polinela memberikan surat peringatan.
M Fitratul Haq, salah satu mahasiswa yang mendapat surat teguran, menyampaikan bahwa tidak benar aksi mahasiswa ditunggangi. Gubernur Mahasiswa Jurusan Budi Daya Tanaman Perkebunan itu memastikan aksi mahasiswa murni karena keresahan, di mana perekonomian keluarga merosot semasa pandemi.
“Mulai konsolidasi sampai aksi, semua tuntutan yang kami bawa memang dari keresahan mahasiswa,” kata Fitra. “Kampus tergesa-gesa mengambil keputusan.”
Bagus Apriyanto, Gubernur Mahasiswa Jurusan Ekonomi dan Bisnis, merasa kecewa dengan keputusan kampus. Peran gubernur sebagai representasi mahasiswa bertugas menampung keresahan para mahasiswa. Jadi, tidak mungkin para gubernur akan membuat gaduh dan memprovokasi mahasiswa.
“Niat kami hanya ingin mengawal kepastian penurunan UKT,” ujarnya.
Ia memandang surat peringatan akan membatasi proses demokasi di kampus. Mahasiswa akan takut dan waswas untuk mengeluarkan pendapat. Sebab, penyampaian ekspresi dibayangi sanksi.
“Saya rasa pihak kampus perlu menghargai proses demokrasi di kemahasiswaan. Kalaupun ada yang mengganggu, kampus sebaiknya klarifikasi atau konfirmasi. Jangan mengambil keputusan sepihak,” ucap Bagus.
**
Telepon M Iqbal Surya Putra bergetar ketika bersiap-siap pulang dari tempat praktik kerja lapangan (PKL), Senin sore, 22 Februari 2021. Di layar ponsel tertera pesan baru lewat WhatsApp. Pengirimnya, Dian Pratiwi, Kepala Program Studi Teknik Sipil Universitas Teknokrat Indonesia (UTI).
Isi pesannya: “Assalamualaikum Iqbal. Maaf, miss harus menyampaikan SK skorsing Iqbal selama dua semester. Maaf sebesar-besarnya, Iqbal. Untuk hardcopy bisa diambil di ruangan miss. Mohon maaf, Iqbal…”
Iqbal bergeming. Kaget. Niat hendak pulang tertunda. Setelah berpikir sejenak, mahasiswa semester akhir itu memutuskan menemui Dian. Mengendarai sepeda motor dari tempat PKL di kawasan Telukbetung, Iqbal menuju kampusnya di bilangan Kedaton, Bandar Lampung.
Iqbal bukan satu-satunya menerima skors. Delapan temannya juga mendapat surat skors dan drop out (DO).
Mereka yang dipecat adalah Vernanda Ade Vamula, Ulil Absor Abdalla, dan Agung Fernando Habeahan. Ketiganya mahasiswa tingkat akhir angkatan 2017.
Sedangkan yang kena skors selain Iqbal, yaitu Ahmad Mu’fatus Sifa’i, Abdullah Azzam, Handri Kusuma, Afran Rasyid, dan Rahmad Wijaya. Mereka masing-masing diskors satu hingga dua semester.
Mereka semua tercatat sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil (Himateks) UTI. Kampus menjatuhkan sanksi DO dan skors setelah mereka mendirikan sekretariat semipermanen. Lokasi sekretariat itu di samping Kantin Panggung, tepat di belakang UTI.
Berdasar surat keputusan (SK) rektor UTI, mereka yang terkena skors dan DO karena melanggar kode etik mahasiswa dan melakukan kegiatan merusak citra kampus. Kampus Sang Juara itu menyebut sembilan mahasiswa dimaksud mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat dengan aktivitas mereka di permukiman warga dan kampus. Aktivitas tersebut menyebabkan pihak UTI beberapa kali dipanggil dan ditemui pihak kelurahan setempat beserta jajarannya. Kampus juga khawatir aktivitas tersebut akan membangun jiwa ekstremisme dan radikalisme bagi mahasiswa UTI, di mana bertentangan dengan prinsip-prinsip akademis.
Auliya Rahman Isnain, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer UTI, mengonfirmasi bahwa aktivitas yang dimaksud dalam surat DO dan skors adalah aktivitas membangun sekretariat di luar kampus.
“Pelanggaran kode etiknya (dalam surat DO dan skors) itu karena aktivitas tersebut membuat kami dipanggil RT, kelurahan, dan dengan warga setempat juga kami merasa tidak enak,” kata Auliya. “Mereka juga sudah ditegur Babinkamtibmas lebih dari lima kali karena kumpul-kumpul.”
Ihwal sikap ekstremisme dan radikalisme, Auliya bilang, “Ada simbol atau kata-kata (di sekretariat) yang seharusnya tidak ada. Seperti, tulisan ‘kawasan danger (berbahaya)’; ‘kawasan ekstrem’.”
Ahmad Mu’fatus Sifa’I merasa heran jika mereka dianggap meresahkan warga, apalagi berjiwa ekstremisme dan radikalisme. Pasalnya, warga sekitar pun mengizinkan mereka berkegiatan di lahan tersebut.
“Di sana, kami hanya mengadakan rapat, diskusi, dan merancang agenda himpunan. Jadi, heran kalau kami dianggap berjiwa esktrem,” ujarnya.
Di markas Himateks memang terdapat simbol yang digambar oleh mahasiswa. Simbol tersebut berupa gambar seperti dinosaurus dengan tulisan “Civil Engineering (teknik sipil)”. Terdapat pula gambar dinosaurus berjenis t-rex sedang mengaung dan serigala sedang melolong. Selain itu, tampak tulisan besar “Datang dengan berbeda untuk bersaudara”.
Sultan, warga setempat yang rumahnya berjarak sekitar 10 meter dari sekretariat Himateks, merasa tidak terganggu dengan aktivitas mahasiswa. Para mahasiswa juga kongko dalam batas waktu yang relatif wajar.
Rumah warga yang paling dekat dengan sekretariat hanya kediaman Sultan dan pemilik kantin. Selebihnya, bangunan milik Teknokrat yang beroperasi saat hari kerja saja.
“Enggak ada itu mereka meresahkan,” kata Hendrison, warga setempat. Rumah Hendrison sekitar 50 meter dari sekretariat Himateks.
Demikian pula Noneng (70), warga yang tinggal di depan rumah Hendrison. Ia menilai aktivitas para mahasiswa tidak meresahkan atau mengganggu penduduk setempat.
Menilai banyak kejanggalan ihwal skors dan DO, enam dari sembilan mahasiswa meminta pendampingan hukum ke LBH Bandar Lampung. LBH memandang penjatuhan skors dan DO tersebut bentuk pengekangan terhadap kemerdekaan mahasiswa untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
“Ini pengekangan, seharusnya kampus mendukung. Sebab, mahasiswa ini berjuang sendiri membuat sekretariat,” ujar Kodri Ubaidillah, Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, saat jumpa pers di kantor LBH setempat, 19 April lalu.
LBH meminta UTI segera mencabut sanksi skors dan DO. Sebab, secara prinsip, hak atas pendidikan adalah hak yang dijamin oleh undang-undang dan negara. Bila tak segera mencabut, LBH akan menggugat keputusan rektor UTI ihwal skors dan DO ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
“Ini catatan buram potret pendidikan. Seharusnya, kampus menjadi wadah untuk mendidik mahasiswa menjadi lebih baik dan kritis,” kata Kodri.
Sudah Diproyeksikan
Dalam catatan akhir tahun 2020, LBH Bandar Lampung menyebut, selama pandemi, banyak terjadi pembungkaman terhadap kebebasan bereskpresi dan berpendapat di Lampung. Pada 11 Juni 2020, dua jurnalis mahasiswa teknokra Universitas Lampung (Unila) menjadi korban teror dan peretasan ketika hendak menggelar diskusi soal Papua.
Selanjutnya, saat aksi #MosiTidakPercaya menolak UU Cipta Kerja terjadi pembungkaman dan aksi represif terhadap massa aksi. LBH mencatat 17 korban represif aparat saat aksi pada 7 Oktober 2020. Banyak dari korban yang mengalami luka-luka dan sesak napas akibat gas air mata.
“Setiap manusia punya hak untuk menyampaikan pendapat dan ekspresinya. Dan itu dijamin oleh undang-undang, negara harus menghormati itu,” ujar Kodri.
Secara nasional, Laporan Lokataru Foundation berjudul “Babak Belur di Kampus Sendiri” mengungkap bahwa mulai September 2019 hingga Januari 2020 marak terjadi sanksi DO bagi mahasiswa. Rerata kasus berkaitan dengan kebebasan akademik, kebebasan berpendapat, hingga tuntutan transparansi.
Dimulai pada 31 Oktober 2019, sebanyak 11 mahasiswa Universitas Darma Persada Jakarta Timur mendapat surat peringatan dan terancam dipecat oleh rektor. Pasalnya, mereka menggelar aksi damai menuntut transparansi dan perbaikan sistem birokrasi kampus.
Syahdan, 12 Desember 2019, empat mahasiswa Universitas Khairun Ternate juga terkena drop out secara sepihak karena ikut aksi Front Rakyat Indonesia West Papua. Pada bulan yang sama, sebanyak 11 mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen dan Informatika Komputer (STMIK) Akba Makassar dikeluarkan karena berdemonstrasi ihwal pemberlakuan jam malam.
Kemudian, pada awal 2020, kasus DO massal menimpa 28 mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus Makassar, Sulawesi Selatan. Hal tersebut buntut dari aksi protes mereka soal kebijakan yang mengharuskan mahasiswa memiliki IPK minimal 3.00 untuk dapat menjadi pengurus organisasi kemahasiswaan.
Pada Juli 2020, sebanyak 37 mahasiswa Universitas Nasional (Unas) dipanggil pihak rektorat. Pemanggilan itu ihwal demo menuntut keringanan uang kuliah tunggal selama masa pandemi Covid-19. Sanksi berupa skors, peringatan keras, dan drop out.(*)
Catatan: Liputan ini dimuat Independen.id pada 3 Mei 2021.
Laporan Derri Nugraha dan Hendry Sihaloho