Fenomena pengibaran bendera “One Piece” bukan sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan manifestasi kerinduan rakyat akan dunia yang lebih adil. “Jolly Roger” menjadi metafora untuk menantang status quo dan mengubah keadaan. Lewat simbol populer, rakyat memperlihatkan perlawanan sembari mencari alternatif identitas komunitas yang lebih bebas dan berdaulat.
Pagi itu, Hadi Solihin berdiri di depan PT San Xiong Steel Indonesia (SXSI), mengikat tali bendera “Jolly Roger” pada tiang bambu. Ia menarik bendera hitam itu ke atas, dan angin membawanya berkibar. Di sebelahnya, bendera Merah Putih melambai lembut.
Hadi menatap “Jolly Roger”, yang bergambar tengkorak dan tulang bersilang. Hatinya masih belum tenang. Sudah setengah tahun konflik internal manajemen membuat nasib ratusan buruh sepertinya tak pasti.

Selama itu pula, para pekerja SXSI kehilangan hak-haknya. Mulai dari upah yang tertunda, tunggakan BPJS Ketenagakerjaan, dan ketidakjelasan status. Mereka telah menempuh berbagai cara menuntut perusahaan, seperti demonstrasi, mendirikan tenda juang, hingga menjalani tripartit di Dinas Tenaga Kerja Lampung Selatan. Namun, semua belum membuahkan hasil.
Hadi dan ratusan buruh lainnya berada dalam ketidakpastian. Banyak dari mereka kebingungan untuk sekadar bertahan hidup. Itulah mengapa, para pekerja SXSI mengibarkan “Jolly Roger” sebagai bentuk perlawanan. “Jolly Roger” merujuk bendera kru Bajak Laut Topi Jerami di serial animasi “One Piece.”
Dalam cerita fiksi karangan Eiichiro Oda itu, “Jolly Roger” merupakan simbol kebebasan, perlawanan terhadap ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekuasaan yang menindas, serta solidaritas sesama kru bajak laut. Monkey D Luffy – tokoh utama “One Piece” – bersama pasukan Mugiwara menolak tunduk pada sistem pemerintahan dunia yang dinilai korup. Dalam petualangannya, Straw Hat Crew selalu menunjukkan keberpihakan pada yang lemah dan bersatu menghancurkan segala bentuk penindasan.
Semangat tersebut menginspirasi Hadi dkk. Seperti Straw Hat Crew, para buruh PT SXSI menolak diam. Mereka akan terus berjuang untuk keadilan.
Namun, energi perlawanan itu berupaya diredam. Beberapa saat setelah pengibaran “Jolly Roger”, ponsel Hadi berdering. Inspektur Dua Dita Hidayatullah, Kepala Unit Intelijen Sosial dan Budaya Polres Lampung Selatan, berada di ujung telepon, meminta Hadi menurunkan bendera tersebut.
“Ini instruksi polda!” kata Hadi menirukan ucapan Dita.
Hadi menjawab bahwa pengibaran bendera itu adalah bentuk kekecewaan mereka atas kasus yang tak kunjung selesai. Namun, Dita kukuh meminta agar bendera tidak dinaikkan.
Akhirnya, Hadi menurunkan “Jolly Roger” dari atas tenda juang. Bukan takut, tapi demi keamanan para buruh yang tengah berjuang. Bendera bajak laut itu tetap berada di tenda juang, namun tidak lagi berkibar.
Iwan Sitorus, salah satu inisiator pengibaran bendera “One Piece”, terkejut melihat “Jolly Roger” sudah turun. Ia datang terlambat karena hujan. Seharusnya, ia menghadiri pertemuan antarpekerja, hari itu.
Iwan pernah dihubungi aparat, tapi diabaikannya karena tahu pasti ada pelarangan. Ia tak habis pikir pemerintah bisa gentar dengan sepotong kain yang dibelinya dari platform e-commerce. Apalagi, bendera itu cuma simbol cerita fiksi. Mestinya, pemerintah bisa menangkap pesan di balik pengibaran “Jolly Roger”: rakyat bukan benci negara, tapi kecewa dengan ketidakadilan yang terus berlangsung.
Meski dilarang, sebagai strategi perlawanan, pengibaran “Jolly Roger” sukses menarik perhatian publik. Setidaknya, ada sekelompok buruh di Lampung yang dilihat sedang berjuang mendapatkan kembali kehidupannya.
Iwan bilang, penurunan bendera itu tak menyurutkan perjuangan. Sejak awal, para pekerja SXSI hanya menuntut hak: kejelasan status dan upah. Baginya, perusahaan seperti penjahat kemanusiaan karena mengabaikan nasib ratusan pekerja yang juga punya keluarga.
Ia justru kecewa dengan kepolisian yang dinilainya tidak berpihak kepada rakyat. Menurutnya, hak-hak pekerja dilindungi undang-undang, tapi perusahaan yang tak patuh. Entitas yang berorientasi profit itu seakan kebal hukum, bahkan tidak menerima sanksi apapun.
Iwan juga melihat pemerintah setempat kurang memberi perhatian serius. Masalah ini dibiarkan berlarut tanpa penyelesaian, mengorbankan kehidupan dan masa depan para pekerja.
“Hingga kini, gubernur Lampung tidak ada pernyataan,” ujarnya.
Realitas inilah yang mendorong buruh SXSI terus melawan. Pada 7 Agustus lalu, mereka kembali berdemonstrasi di depan perusahaan. Rencananya, para pekerja akan menggugat perusahaan ke pengadilan hubungan industrial.
***
Di tengah lesunya ekonomi pascaCovid-19, Ahmad Reynaldi merasakan betapa beratnya hidup sebagai pedagang di Pasar Kota Kotabumi, Lampung Utara. Pasar-pasar seperti Dekon, Ganefo, Pagi Baru, dan Pagi Lama tak lagi ceria. Senyum pedagang perlahan memudar seiring rencana revitalisasi pasar yang mengancam mata pencaharian.

Dalam situasi seperti itu, Ahmad terinspirasi aksi pengibaran “Jolly Roger” sebagai simbol perlawanan, lalu memesannya secara online. Rencananya, bendera bajak laut itu akan dikibarkan di depan lapaknya menjelang Hari Kemerdekaan RI.
Plan peremajaan Pasar Kota Kotabumi menambah kegelisahan Ahmad. Luas pasar yang akan direvitalisasi mencapai 18.000 m². Dari jumlah itu, sekitar 8445 m² akan diberikan kepada PT Lingga Teknik Utama sebagai pengembang dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB).
Masyarakat awam menyambut baik langkah pemerintah daerah itu. Akan tetapi, para pedagang belum menerima informasi utuh, terutama soal skema revitalisasi.
Ahmad melihat program revitalisasi yang digembar-gemborkan meningkatkan kesejahteraan pedagang justru mendatangkan kekhawatiran. Penampungan sementara berukuran 2×1,5 meter untuk pemilik toko dan 1×1,5 meter bagi pedagang kaki lima terlalu sempit.
Ia tahu, para pedagang kecil hanya memutar modal Rp200 ribu-Rp500 ribu. Keuntungan cuma Rp2.000-Rp3.000 per barang. Sementara, biaya sewa toko sebesar Rp38 juta-Rp200 juta dengan pembayaran awal 30 persen terasa berat, terutama harus lunas dalam tempo satu tahun.
“Rencana ini terburu-buru dan tidak melibatkan elemen pedagang,” ujarnya.
Akhir Juli lalu, ratusan pedagang mendemo kantor bupati dan DPRD Lampung Utara. Dengan suara lantang, Ahmad menyatakan bahwa pedagang menolak kewajiban membayar uang muka 30 persen di awal pembangunan. Kebijakan itu memberatkan mereka yang tengah berjuang menghadapi penurunan penjualan.
Pedagang juga menuntut pemerintah menyediakan penampungan sementara yang layak. Bisa mencontoh bekas bangunan Ramayana yang berjarak 500 meter dari pasar tradisional. Jika tidak, keberlangsungan usaha mereka terancam.
Dalam pertemuan dengan Wakil Bupati Lampung Utara Romli, pedagang mendengar bahwa revitalisasi Pasar Kota Kotabumi menjadi prioritas. Romli menyampaikan bahwa harga sewa toko belum final karena pemerintah belum memberikan penawaran kepada pengembang. Rencananya, DPRD akan audiensi dengan pengembang, pemerintah, dan pedagang guna membahas revitalisasi.
Namun, situasi berubah ketika seseorang yang mengaku utusan pemerintah datang dengan surat edaran pada 4 Agustus. Ia meminta pedagang untuk meneken surat tanpa menjelaskan isinya. Banyak pedagang terpaksa menandatangani karena tidak ingin menimbulkan masalah.
Kenyataan pahit kemudian terungkap. Surat berkop Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung Utara itu meminta pedagang mengosongkan pasar paling lambat 14 Agustus mendatang. Mereka akan direlokasi ke tempat yang sebelumnya ditolak warga. Pedagang yang menolak bakal ditertibkan oleh Pemkab Lampung Utara.
Para pedagang pun bingung. Belum ada audiensi lanjutan, namun mereka diminta mengosongkan lapak.
Dalam keadaan ini, Ahmad merasakan semangat perlawanan seperti karakter “One Piece.” Ia ingin terbebas dari segala bentuk kesewenang-wenangan. Lewat perlawanan ini, Ahmad berharap pemerintah sadar bahwa mereka gagal memberikan makna kemerdekaan sejati bagi masyarakat.
“Sekali lagi, pedagang tidak menolak revitalisasi. Namun, meminta agar pembangunan itu memerhatikan nasib kami,” kata Ahmad.
***
Kegelisahan juga dirasakan oleh aparatur sipil negara (ASN) di Lampung, seperti Kia. Ia berniat mengibarkan bendera “Jolly Roger” menjelang Hari Kemerdekaan.
Kia melihat realitas saat ini mirip dengan dunia dalam animasi kesukaannya “One Piece”, di mana korupsi dan penindasan rakyat menjadi masalah serius.
“Termasuk di instansi saya bekerja, korupsi itu sudah menjadi budaya,” ujarnya.
Dua dekade menjadi bagian sistem pemerintahan, membuat Kia sadar bahwa korupsi bukan hanya soal oknum, melainkan problem sistemik. Ia bercerita, bagaimana pimpinannya terang-terangan menginstruksikan untuk melakukan pungutan liar.
Sebagai aparatur di institusi pelayanan publik, Kia menilai bahwa setiap pelayanan seyogianya mudah dan cepat. Namun, pimpinan meminta agar segala proses diperlambat dan rumit. Tujuannya, supaya bisa memungut rupiah dari masyarakat yang mau proses lebih cepat.
Diskriminasi juga terjadi dalam banyak pelayanan, salah satunya terhadap warga nonmuslim. Proses akan dibuat berbulan-bulan, kecuali mereka membayar jutaan. Modus tersebut hampir terjadi di seluruh bidang pelayanan.
Kia membenci praktik tersebut. Sebagai salah satu senior di kantor, ia menolak melaksanakan perintah atasan. Baginya, menjadi ASN seharusnya ladang pengabdian, bukan lahan bancakan yang merugikan rakyat.
Keberanian Kia melawan sistem dibalas dengan mutasi. Ia yang tadinya menempati posisi strategis diturunkan dan diganti dengan orang lain yang lebih mau “diatur.”
Kia tidak keberatan. Baginya, menjaga integritas jauh lebih penting ketimbang jabatan. Jika tak dilawan, praktik lancung dengan memanfaatkan kuasa akan menjadi warisan turun-temurun.
Dalam mempertahankan integritas dan menolak praktik korupsi, Kia tidak sendirian. Namun, tindakannya melawan sistem membuatnya menjadi target pengawasan. Bahkan, ada arahan khusus untuk melarang hal-hal yang dianggap dapat memancing gejolak, seperti pengibaran bendera “One Piece.”
Hal ini terkonfirmasi dari pernyataan Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Marindo Kurniawan. Ia mengecam keras pengibaran “Jolly Roger” menjelang HUT ke-80 RI. Marindo bilang, pengibaran bendera selain Merah Putih bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Kia bingung apa yang membuat para pejabat begitu gelisah dengan bendera fiksi tersebut. Seolah-olah ekspresi warga dianggap sebagai ancaman negara. Semestinya, kritik warga lewat bendera itu menjadi bahan evaluasi pemerintah agar lebih baik.
Apalagi, menurut Kia, tidak ada aturan tertulis yang melarang pengibaran bendera. UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, hanya mengatur penghinaan terhadap Merah Putih. Artinya, selama tindakan warga tidak dimaksudkan untuk mengganti, merendahkan, atau menghina, maka tak dapat dianggap melanggar hukum.
Lebih dari itu, setiap ekspresi warga negara dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
“Mengibarkan bendera sebagai bentuk kekecewaan itu pun bagian dari ekspresi,” ujarnya.
Kia bilang, pemerintah tidak boleh mengekang kebebasan warganya. Masyarakat harus merasa aman dalam menyampaikan aspirasi tanpa ancaman proses hukum. Sebab, dalam negara demokrasi, kritik warga adalah bahan bakar supaya roda negara terus berjalan.
Kekhawatiran Kia dirasakan seorang warga dari Kota Metro bernama Anang Mustarozi. Ia sempat mengibarkan bendera “One Piece” di depan rumahnya. Akan tetapi, seorang kerabat di pemerintahan mengabarkan akan ada sweeping ke kampung-kampung. Anang pun menurunkan bendera. Ia waswas terjadi kegaduhan di desanya.
Anang menyayangkan pelarangan pengibaran bendera “One Piece”. Ia menilai pemerintah sebaiknya menanggapi protes warga secara bijak. Kondisi saat ini memang menyengsarakan rakyat. Penjualan menurun, daya beli lemah, dan pengangguran meningkat.
Ia meminta pemerintah lebih fokus mengentaskan masalah tersebut ketimbang mengurusi bendera. Bahkan, ibunya yang sebelumnya tidak mengenal “One Piece”, menyuruh Anang memasang bendera itu kembali setelah mengetahui makna “Jolly Roger.”
***
Politik Ironi
Fenomena pengibaran bendera “Jolly Roger” merebak di berbagai wilayah menjelang Hari Kemerdekaan. Banyak elemen masyarakat, seperti tukang becak, buruh, dan pedagang, menaikkan bendera itu sebagai bentuk kekecewaan dan perlawanan terhadap kondisi negara. Mereka kesal dengan korupsi, kemiskinan ekstrem, pengangguran, sulitnya mencari kerja, hingga kenaikan harga barang-barang pokok.
Namun, aksi ini tak luput dari perhatian penguasa. Aparat melarang pengibaran “Jolly Roger”, bahkan mencari para pengibar bendera melalui ketua RT.
Guru Besar Filsafat Sosial Universitas Negeri Jakarta Profesor Robertus Robet melihat pengibaran bendera “One Piece” sebagai simbol aspirasi yang tak tertampung oleh sistem—republik impian.
Dalam kisah “One Piece”, bendera itu melambangkan persaudaraan antarkelas bawah, solidaritas lintas ras dan bangsa, semangat petualangan, dan perlawanan terhadap kekuasaan tirani. Nilai-nilai ini sebenarnya sangat kaya dalam pendirian awal Republik Indonesia. Namun kini, nilai-nilai itu justru dikosongkan atas nama nasionalisme. Nasionalisme resmi Indonesia telah berubah menjadi nostalgia soal stabilitas, bukan impian tentang keadilan.
Penulis buku “Republikanisme: Filsafat Politik untuk Indonesia” itu memandang pengibaran bendera “One Piece” seiring perayaan kemerdekaan sebagai manifesto bisu tentang kerinduan rakyat. Rakyat tidak lagi percaya pada nasionalisme resmi dan mencari simbol alternatif untuk memproyeksikan impian mereka—impian tentang kebebasan, solidaritas, dan petualangan kolektif yang absen dari realitas republik.
“Tidak ada makar, tidak ada kejahatan di situ. Yang ada semacam politik ironi yang bermaksud mengembalikan watak emansipatif dari nasionalisme,” kata Robertus.
Dalam kehidupan berdemokrasi, Robertus melihat fenomena pengibaran bendera “One Piece” sebagai kritik yang mesti dihargai. Kritik ini mengambil jalan ironi, bukan sebagai wujud kebencian terhadap negara, melainkan ajakan untuk mencintai Indonesia secara lebih kritis dan tidak naif. Ekspresi semacam ini dapat memperkaya semangat republikan yang lebih mengakar di rakyat ketimbang nasionalisme formal.
Republikanisme, ideologi politik yang dikaji dalam buku Robertus, menekankan beberapa prinsip utama. Pertama, kedaulatan rakyat, di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Kedua, pemerintahan terbatas, yang berarti kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh konstitusi dan hukum untuk mencegah tirani serta penyalahgunaan kekuasaan.
Selanjutnya, republikanisme menekankan nilai-nilai kewarganegaraan yang aktif dan partisipatif, di mana warga negara dapat terlibat langsung dalam urusan publik dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat. Ideologi ini juga menolak monarki dan pemerintahan berdasarkan keturunan, serta menekankan pemilihan pejabat publik melalui proses demokratis. Selain itu, republikanisme mengutamakan kebebasan individu dan hak-hak dasar warga negara, serta menekankan keadilan dan kesetaraan.
Dalam bukunya, Robertus juga menguraikan ciri-ciri umum republikanisme, antara lain: politik sebagai ibu berbagai ranah tindakan yang harus mengatasi ekonomi; despotisme dan korupsi sebagai musuh utama republik; masyarakat sebagai kerangka kebersamaan; politik yang mensyaratkan logos; kebebasan sebagai keterlibatan; partisipasi; kehendak umum atau kedaulatan rakyat; konstitusionalisme; pentingnya pendidikan; dan patriotisme.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.