Gelar Pahlawan Soeharto: Reinventing Indonesia dan Kekerasan Sebagai Virtue

  • Whatsapp
FOTO Presiden kedua Indonesia, Soeharto, menjadi latar belakang saat Presiden Prabowo Subianto (kanan) memberikan selamat kepada putri tokoh hukum dan diplomat Mochtar Kusumaatmaja, Armida Alisjahbana (kiri) usai prosesi upacara pemberian gelar pahlawan di Istana Negara, Jakarta, Senin, 10/11/2025. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto menuai protes dari berbagai kalangan. | ANTARA FOTO/ Aditya Pradana Putra

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto oleh Prabowo Subianto merupakan kulminasi upaya melegitimasi kekerasan sebagai kebajikan publik. Latar belakang militer Prabowo dan kedekatannya dengan Soeharto mengungkap bagaimana otoritarianisme dan kekerasan telah menjadi bagian dari budaya politik Indonesia. Keputusan ini tak hanya mengabadikan warisan rezim Orde Baru, tapi juga upaya menginternalisasi kesadaran publik bahwa kekerasan adalah suatu yang positif.






Riwanto Tirtosudarmo | Peneliti Independen

Bacaan Lainnya

Seperti yang terkira, Presiden Prabowo Subianto tak menggubris surat para tokoh dan akademisi agar tidak memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Bagi Prabowo, gelar pahlawan kepada seniornya di militer adalah bentuk apresiasi terhadap generasi pendahulu yang memberi teladan heroisme dan patriotisme. Lebih dari itu, pemberian gelar tersebut merupakan manifestasi dari keyakinannya bahwa kekerasan adalah sebuah public virtue (kebajikan publik).

Nama kedua Prabowo – Subianto – diambil dari nama salah satu pamannya yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan melawan Belanda. Prabowo Subianto adalah anak kandung heroisme dan patriotisme. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo adalah direktur pertama Bank Indonesia dan pendiri Partai Indonesia Raya (Parindra). Ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo merupakan doktor ekonomi lulusan Universitas Roterdam, Belanda. Ia salah satu tokoh Partai Sosialis Indonesia. Sumitro pernah menjadi pelarian politik setelah gerakan PRRI/Permesta yang didukungnya gagal dan ditumpas TNI di bawah Jenderal Nasution.  

Prabowo menghabiskan masa kecilnya di luar negeri. Setelah kembali ke Indonesia, ia memilih karier sebagai tentara dengan masuk Akabri di Magelang.

Ketika berpangkat Kapten (1983) di Kopassus, Prabowo menikah dengan anak perempuan Soeharto, Siti Hediati. Ia alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sumitro pernah menjadi dekan di sana. Ia sempat mengirim Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, dan Emil Salim dengan beasiswa Ford Foundation ke Universitas Berkeley, Amerika Serikat.

Sebagai menantu Soeharto bisa dimengerti jika kariernya meroket di militer. Rekam jejak Prabowo dapat dilihat di wilayah-wilayah konflik yang pada masa Orde Baru dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), seperti Timor Timur, Papua, dan Aceh. Dunia militer, di mana kekuatan, kekerasan, disiplin dan loyalitas menjadi ruh, meresap dalam dirinya.

Ketika politik berkecamuk dan krisis ekonomi memaksa Soeharto lengser, Prabowo yang saat itu berpangkat Letnan Jenderal dan Panglima Kostrad (sebuah jabatan yang pernah dipegang oleh mertuanya saat menghabisi PKI), bersama kolega terdekatnya di dunia militer Sjafrie Sjamsoeddin (Panglima Kodam Jaya/DKI Jakarta), melakukan operasi militer yang kemudian dianggap ilegal dan melanggar HAM. Operasi tersebut bertujuan menggagalkan upaya berbagai elemen masyarakat yang hendak menurunkan Soeharto.

Setelah Soeharto lengser, dalam masa pemerintahan B.J. Habibie, Prabowo diberhentikan sebagai militer oleh atasannya waktu itu, Jenderal Wiranto. Prabowo juga bercerai dengan Siti. Ia kemudian memilih hidup di luar negeri dan berbisnis bersama adiknya, Hasyim Djojohadikusumo.

Setelah kembali ke Indonesia semasa pemerintahan Megawati, Prabowo mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Mungkin saja terinspirasi oleh partai yang didirikan kakeknya, Parindra.

Dari sini jelas, Prabowo tidak seperti pendiri partai-partai lain yang bertebaran saat reformasi. Ia punya legacy dari kakeknya, disamping tentu saja dari ayahnya sendiri. Prabowo punya mimpi besar tentang Indonesia Raya.

Untuk mewujudkan mimpinya inilah Prabowo terus berusaha menggapai kekuasaan tertinggi, yang sejak reformasi harus ditempuh melalui pemilu. Secara rekam jejak, Prabowo hampir selalu kalah dalam perebutan kekuasaan melalui pemilu. Sampai akhirnya, lewat pemilu yang kontroversial pada 2024, ia berhasil menang dengan dukungan mantan Presiden Jokowi yang menjadikan anaknya Gibran Rakabuming, sebagai wakilnya. Saat ini, kekuasaan di tangan Prabowo. Apa pun yang diinginkannya tak ada yang dapat merintangi.

Momen Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada putri dan putra Presiden ke-2 Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 10/11/2025. | REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana

Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto – bekas mertua dan seniornya di dunia militer – meskipun ditentang banyak orang tidak digubrisnya. Di mata Prabowo, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto tidak saja menunjukkan penghargaan terhadap mantan atasannya. Lebih dari itu, kekuatan legacy Soeharto sebagai penguasa sekaligus pemimpin militer yang memiliki ketegasan dalam menjalankan kekuasaan dengan tangan besi.

Di sinilah kekerasan dilihat oleh Prabowo sebagai virtue (kebajikan). Kekerasan sebuah nilai yang patut dijunjung tinggi karena di tangan Soeharto dianggap membawa kemaslahatan publik. Di bawah kekuasaan Soeharto, kekerasan terhadap ribuan orang yang dianggap PKI adalah kebajikan, bukan pelanggaran HAM. Kekerasan dan kekejaman Soeharto pada 1965 dan selama Orde Baru dipandang untuk kepentingan bangsa dan negara, sehingga layak diganjar penghargaan sebagai pahlawan nasional.

Prabowo seperti Soeharto, orang yang meniti karier di dunia militer. Meskipun sebagai presiden tunduk pada aturan-aturan sipil yang dasarnya adalah prinsip-prinsip demokrasi, namun dengan kekuasaannya sudah terlihat kebijakan-kebijakan yang ingin mengembalikan supremasi militer dalam dunia sipil. Apakah akan ada resistensi terhadap ekspansi militer ke ranah sipil?

Sejauh yang bisa diamati tampaknya resistensi itu tidak terjadi. Jika toh ada justru penolakan berupa surat permohonan yang ditandatangani 300 akademisi dan tokoh masyarakat. Meminta Prabowo tidak memberi gelar pahlawan Soeharto adalah absurd. Sebab, kita sesungguhnya dapat memastikan bahwa Prabowo adalah orang yang paling berkepentingan untuk menjadikan Soeharto – role model-nya dalam dunia militer – sebagai pahlawan nasional. Di luar mereka yang menolak tampaknya hampir semua partai politik, kecuali beberapa politisi dari PDI Perjuangan, seperti Bonnie Triana. Sedangkan lainnya diam, yang bisa ditafsirkan tidak menolak.

Gejala kekerasan sebagai virtue bisa dilihat di Amerika Serikat dengan kemenangan Donald Trump untuk kedua kalinya. Menjelang akhir masa pemerintahannya yang pertama, Trump melihat kemungkinan kekalahan dalam pemilihan melawan Joe Biden, calon wakil Partai Demokrat. Trump ditengarai melakukan agitasi kepada pendukungnya untuk menyerang Gedung Parlemen (Capitol Hill) di Washington DC.

Peristiwa kekerasan pada 6 Januari 2021 itu jelas mencoreng demokrasi di negeri kampiun demokrasi. Para perusuh itu kemudian dihukum dan sebagian masuk penjara. Tapi yang menarik, ketika Donald Trump terpilih lagi menjadi presiden dalam pemilu 2024, melalui hak prerogatifnya, para perusuh yang terkena hukuman penjara itu dibebaskan.

Belum lama ini, Donald Trump mengembalikan nama Department of Defense sebagai Department of War, seperti namanya semula sebelum Perang Dunia II. Trump juga mengerahkan tentara federal untuk menghadapi aksi-aksi protes yang menentang kebijakan imigrasinya. Dalam sebuah pidatonya, Trump mengatakan akan menggunakan sumber daya militer untuk menangani masalah-masalah dalam negeri.

Apa bedanya Trump dengan Prabowo? Keduanya memandang kekerasan sebagai virtue (kebajikan) untuk kemaslahatan publik.

Pada 2024, terbit sebuah buku berjudul “Infrastructure of Impunity: New Order Violence in Indonesia” (Cornell University Press). Pustaka itu hasil penelitian Elizabeth F Drexler tentang bagaimana secara sistematis sebuah struktur kelembagaan rezim Orde Baru yang menginternalisasi dalam kesadaran publik. Pembunuhan mereka golongan kiri di Indonesia adalah sebuah tindakan yang bertujuan mengamankan bangsa dan negara. Riset Drexler membuktikan kuatnya lembaga pengampunan yang menyebabkan sulitnya dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, seperti banyak dibentuk di berbagai negara pascaruntuhnya rezim-rezim otoriter.

Apa yang disimpulkan dalam penelitian tersebut mencapai bentuknya paling banal dalam pemberian gelar pahlawan nasional oleh Prabowo kepada Soeharto dan Jenderal Sarwo Edhi Wibowo. Berbagai studi menunjukkan bahwa keduanya memiliki peran besar dalam peristiwa pembunuhan PKI dan golongan kiri di Indonesia pada 1965-1966.

Kekerasan sebagai virtue memberi legitimasi atas penggunaan kekerasan oleh negara. Gejala ini tak hanya di Indonesia, tetapi di negeri seperti Amerika Serikat. Ketika penguasa otoriter menganggap kekerasan sebagai kebajikan publik, perlawanan harus dimulai dari kesadaran kritis terhadap manipulasi negara. Pada rezim Prabowo, Kementerian Kebudayaan dibentuk dan dipimpin oleh Fadli Zon. Ia memiliki pandangan bahwa masyarakat bisa ditundukkan melalui narasi yang menggiring kesadaran bahwa kekerasan adalah kebajikan publik.

Fadly dengan cerdik menggunakan idiom “Reinventing Indonesia” sebagai jargon yang memberinya jalan untuk merumuskan apa dan siapa itu Indonesia. Sudah terlihat gejala-gejala bagaimana loyalis Prabowo itu mempermainkan semantik ihwal korban kekerasan seksual Mei 1998. Puncaknya adalah penyusunan buku sejarah versi baru. Penulisan ulang sejarah ini ditengarai memperhalus dan memperlunak peristiwa-peristiwa penting, di mana negara terlibat dalam penggunaan kekerasan seperti tragedi 1965-1966, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, kejadian Talangsari, kekerasan selama pemberlakukan DOM di Timor-Timur, Papua, Aceh dan lain-lain. Semasa rezim Jokowi, sesungguhnya ada tanda-tanda berbagai pelanggaran HAM yang melibatkan negara mulai diakui. Namun, apa yang saat itu terlihat sebagai pertanda baik kini menguap dan kembali ke titik nol.

Ketika Soeharto dan Sarwo Edhi dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, kita tahu bahwa “reinventing Indonesia” telah dimulai dengan kekerasan sebagai virtue (kebajikan) dan sejarah Indonesia versi baru sedang dinarasikan. Sebuah narasi tentang Indonesia yang melawan jati dirinya antipenindasan dan penjajahan.(*)

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

68 + = 70