Keadilan Tidak Bisa Dibeli: Menggugat Visum Berbayar!

  • Whatsapp
PENGEMUDI ojek online melintas di depan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM), Bandar Lampung, Sabtu, 11/10/2025. Kendati KUHAP mengatur soal visum ditanggung negara, rumah sakit milik pemerintah daerah itu tetap menarik biaya atas dasar Peraturan Gubernur Lampung. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Visum berbayar menjadi hambatan serius terhadap akses keadilan. Biaya visum memaksa para korban kekerasan memilih antara melanjutkan proses hukum atau mencabut laporannya. Perlu evaluasi mendasar guna memastikan bahwa keadilan bisa diakses oleh semua orang.






Malam itu, Dhi duduk di beranda, menyeruput kopi hangat sambil menikmati suasana yang sepi. Pekerjaannya sebagai agen motor listrik dari perusahaan Tiongkok membuatnya sering bepergian ke berbagai wilayah di Sumatra Bagian Selatan. Tugasnya, mencari pengusaha lokal yang berminat membuka diler kendaraan bertenaga baterai.

Bacaan Lainnya

Namun, suasana santainya tiba-tiba buyar ketika seorang perempuan muncul di hadapannya dengan terengah-engah. Wajahnya berdarah. Matanya lebam. Perempuan itu adalah teman lama Dhi. Dengan air mata yang mengalir, ia meminta tolong diantar ke kantor polisi. Perempuan tersebut mengaku menjadi korban kekerasan oleh suaminya.

Dhi dikenal punya pengalaman panjang dengan urusan kepolisian. Sebelum seperti sekarang, lelaki berusia 40 tahun itu sempat lontang-lantung selepas lulus kuliah pada 2006. Bahkan, ia pernah terjerumus dalam lingkaran perjudian yang hampir merenggut nyawanya. Peristiwa tersebut yang mengantarnya berhadapan dengan hukum. Lantaran pengalaman itulah perempuan dimaksud menganggap Dhi bisa menolong.

Dhi pun membonceng ibu rumah tangga itu ke Polsek Sukarame, Bandar Lampung. Setelah membuat laporan, polisi meminta mereka melakukan visum ke rumah sakit. Pemeriksaan medis tersebut guna mengungkap tindak pidana yang berkaitan dengan penganiayaan, kekerasan, atau penyebab kematian. 

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek Lampung | website RSUDAM Lampung

Dengan sepeda motor, keduanya menuju Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM). Di bagian pendaftaran, Dhi menyerahkan surat visum dari kepolisian. Petugas RSUDAM menyebutkan tarif sebesar Rp350 ribu. Teman Dhi tampak bingung, wajahnya yang masih berdarah dan lebam kini ditambah dengan kekhawatiran. Uang di sakunya hanya Rp300 ribu, kurang Rp50 ribu untuk bayar visum.

Mereka saling bertukar pandang, khawatir jika tidak melakukan visum hari itu, penanganan kasusnya akan tertunda. Visum mesti segera guna mempertahankan bukti luka atau perubahan pada tubuh korban. Bila tidak, dapat mengurangi nilai visum sebagai alat bukti.

Dhi sudah mengingatkan temannya bahwa visum berbayar, tapi tidak menyangka bila tarifnya berubah. Pada 2015, Dhi pernah menjadi korban pengeroyokan, lalu visum di rumah sakit yang sama. Saat itu, biayanya masih Rp250 ribu. Lima tahun berlalu, angkanya naik menjadi Rp350 ribu.

Mereka mencari pinjaman, tapi beberapa orang yang dihubungi belum dapat membantu. Maklum, kasus itu terjadi pada pertengahan 2020, di mana Pandemi Covid-19 menggerus perekonomian masyarakat yang membuat finansial semakin berat.

Tak punya pilihan, teman Dhi terpaksa menjual cincin, satu-satunya barang berharga yang masih tersisa. Setelah terjual, mereka membayar administrasi yang diperlukan. Perempuan itu baru diperiksa menjelang tengah malam.

Keduanya merasa aneh. Visum itu adalah permintaan penyidik untuk mengungkap kasus. Namun, justru terbebani dengan biaya.

“Sudah jadi korban penganiayaan, harus jadi korban lagi karena bayar visum,” kata Dhi.

Suasana di depan Gedung Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polresta Bandar Lampung, Kamis, 9/10/2025. Polisi mengatakan, beberapa warga mencabut laporan karena tak sanggup membayar visum. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Bukan hanya Dhi, Mun juga merasakan ketidakadilan serupa. Juni lalu, ibunya menjadi korban kekerasan oleh kakak ipar hingga wajahnya terluka. Keduanya melapor ke Polresta Bandar Lampung, dan polisi memberikan surat pengantar visum ke RSUDAM. Di bagian administrasi, mereka diminta membayar Rp445 ribu. Jumlah itu memberatkan Mun, tapi demi keadilan untuk mamanya, ia terpaksa menyanggupi.

Mun tidak terlalu kaget dengan biaya visum yang mahal. Dua tahun silam, temannya yang menjadi korban penganiayaan juga mengalami hal sama. Saat itu, Mun mengantar temannya visum di RSUDAM, dan biayanya masih di bawah Rp400 ribu.

“Sekarang semua serba uang,” ujarnya.

Bagi Mun, membayar visum bukanlah perkara sepele. Biaya yang tidak sedikit itu bisa menjadi batu sandungan bagi mereka yang mencari keadilan. Apalagi, jika korban dari kalangan tak mampu, maka proses hukum akan terhambat. Bukti luka dan lebam hanya bisa dipastikan melalui rekam medis. Namun, tarif visum yang mahal membuat banyak orang berpikir dua kali untuk melanjutkan kasusnya.

Mun tahu, sebagai orang kecil, ia tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya bisa mengikuti arahan dari kelas penguasa. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polresta Bandar Lampung, ada beberapa kasus yang batal diusut lantaran korban tidak sanggup memenuhi biaya visum.

Salah satu kasus yang masih segar dalam ingatan adalah seorang tukang bangunan yang menjadi korban penganiayaan. Pada suatu malam, ia mendatangi polresta untuk membuat laporan. Namun, tak lama kemudian, ia kembali mencabut laporan dan mengembalikan surat pengantar visum.

“Saya enggak jadi (laporan), Pak. Tak punya uang bayar visum,” ucap polisi menirukan kata-kata kuli bangunan itu.

Tak hanya RSUDAM, sejumlah rumah sakit pemerintah dan swasta juga mematok tarif bervariasi untuk pembuatan visum. Di RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo, Bandar Lampung, biaya visum sekitar Rp300-Rp400 ribu. Sementara, di Rumah Sakit Airan Raya, Lampung Selatan, tarifnya lebih rendah, yaitu Rp250 ribu.

Satu-satunya rumah sakit yang tidak memungut biaya visum adalah RS Bhayangkara Polda Lampung. Namun, RS Bhayangkara hanya ada di Kota Bandar Lampung. Sementara, Provinsi Lampung punya 15 kabupaten/kota. Artinya, tidak semua orang bisa dengan mudah mengakses visum gratis. Misalnya, warga di Kabupaten Pesisir Barat harus menempuh 6-8 jam perjalanan bila hendak ke Bandar Lampung.

Apakah keadilan harus dibayar dengan biaya yang mahal dan perjalanan yang melelahkan?

***

Sebuah video yang merekam protes seorang pria terhadap visum berbayar di RSUDAM menuai perhatian warganet, Sabtu, 4 Oktober 2025. Dengan nada tegas, ia mempertanyakan keadilan sistem yang memaksa korban kekerasan membayar visum.

“Visum seharusnya gratis,” ujarnya, mengacu pada Pasal 136 KUHAP.

Namun, petugas RSUDAM menyatakan bahwa visum tidak ditanggung negara. Proses yang timbul dari visum dibebankan kepada korban.

Video tersebut memicu gelombang komentar dari pengguna media sosial. Mereka merasa prihatin dengan nasib korban tindak pidana.

“Bagaimana mungkin korban kekerasan harus menanggung biaya visum?” tanya seorang netizen.

“Ini adalah keadilan yang timpang,” tambah lainnya.

Para netizen menyoroti bahwa banyak orang yang tidak mampu secara ekonomi akhirnya kesulitan mengakses hukum karena terkendala biaya. Situasi ini membuat mereka merasa tidak terlindungi oleh sistem.

Persoalan biaya visum yang memberatkan korban kekerasan sampai kepada Direktur Utama RSUDAM Imam Ghozali. Ia bilang, biaya pelaksanaan visum mengacu pada Pergub Lampung Nomor 18 Tahun 2023 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan RSUDAM. Berdasarkan Lampiran I Nomor 6.7 ihwal Pelayanan Forensik dan Kamar Jenazah, pemeriksaan forensik oleh dokter umum sebesar Rp175 ribu dan pemeriksaan forensik korban dugaan pidana umum/penganiayaan Rp325 ribu. Sehingga, total tarif pelayanan visum mencapai Rp500 ribu. 

Seorang pengendara melintasi RSD dr. A. Dadi Tjokrodipo, Bandar Lampung, Senin, 6/10/2025. Sejumlah rumah sakit pemerintah maupun swasta menarik biaya visum sekitar Rp250 ribu-Rp500 ribu. Padahal, Pasal 136 KUHAP mengatur bahwa biaya visum ditanggung negara. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Kendati demikian, Imam menyampaikan bahwa korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan anak mendapatkan visum secara gratis. Kebijakan itu perjanjian kerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Lampung, yang menanggung biaya visum.

Ia kemudian bicara bahwa visum bagian integral dari penyelidikan, bukan penyidikan. Atas dasar itu, Imam tak sependapat bahwa biaya visum harus ditanggung negara. 

“Pasal 136 KUHAP secara spesifik mengatur biaya dalam penyidikan, sedangkan visum pada tahap penyelidikan,” ujarnya.

Ihwal seruan masyarakat agar visum digratiskan untuk seluruh kasus, Imam menunjukkan keterbukaan. Ia tidak menutup diri terhadap masukan tersebut. Pihaknya akan berkomunikasi kepada gubernur untuk membahas kemungkinan perubahan aturan.

Dalam peliputan, konsentris menemukan sejumlah informasi yang bertolak belakang dengan pernyataan RSUDAM. Misalnya, soal biaya visum yang mencapai Rp500 ribu, ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan Pergub Lampung 18/2023.

Dalam peraturan tersebut, visum masuk dalam layanan medikolegal, yaitu pemeriksaan medis untuk kepentingan hukum. Tercatat bahwa biaya pembuatan surat visum untuk korban hidup rawat jalan hanya Rp208.108. Sementara itu, apabila korban dirawat inap, visum dikenakan biaya sebesar Rp406 ribu. Jika korban meninggal, tarif visum mencapai Rp653.092, sebuah angka yang tidak sedikit.

Media nirlaba ini juga mendapati bahwa korban KDRT dan anak tak sepenuhnya memperoleh fasilitas visum gratis, seperti yang disampaikan sebelumnya. Kasus teman Dhi dan ibu Mun adalah contoh. Mereka harus membayar biaya visum meskipun menjadi korban kekerasan yang trauma.

Atas temuan itu, Humas RSUDAM Desi Yuanita belum bisa memberi keterangan. Ia beralasan harus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Pungutan Liar

Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas memiliki perspektif berbeda dengan direktur RSUDAM. Ia melihat visum salah satu alat bukti sah dalam sistem peradilan Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b dan c KUHAP. Dokumen itu surat keterangan resmi dari seorang dokter atas permintaan tertulis dari penyidik kepolisian. Fungsinya sangat krusial: memperkuat pembuktian dalam perkara pidana, terutama yang berkaitan dengan kekerasan fisik, mental, atau seksual.

Dengan demikian, visum selayaknya menjadi tanggung jawab negara, sesuai dengan kerangka Pasal 136 KUHAP. Bagi Prabowo, hal ini bukan sekadar masalah biaya, tapi soal keadilan dan hak korban untuk mendapatkan perlindungan yang seharusnya.

Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas | ist

Namun, realitas menunjukkan bahwa korban kekerasan masih kesulitan mengakses layanan kesehatan. Pasalnya, layanan ini tidak termasuk dalam kategori yang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Akibatnya, terdapat kekosongan hukum terkait mekanisme pembiayaan layanan kesehatan untuk korban kekerasan.  

Prabowo mengajukan usul bahwa persoalan itu perlu dijawab melalui peraturan teknis. Ia menggarisbawahi bahwa ketidakpastian hukum akan memperburuk keadaan mereka yang sudah menjadi korban.

“Kekosongan hukum ini berpotensi membuka peluang terjadinya pungutan liar. Bahkan lebih parah, negara mengambil keuntungan dari rakyatnya sendiri,” ujarnya.

Renggut Keadilan

Ajeng Gandini Kamilah, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menyoroti Peraturan Gubernur Lampung yang menjadi dasar bagi RSUDAM untuk membebankan biaya visum kepada korban kekerasan. Ia bilang, pergub tidak boleh bertentangan dengan peraturan lebih tinggi. Hal Ini sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam hierarki hukum, KUHAP jelas memiliki kedudukan lebih tinggi daripada peraturan gubernur. Bahkan, peraturan gubernur tidak termasuk dalam tata urutan perundang-undangan yang sah. Ini berarti bahwa peraturan gubernur harus tunduk pada KUHAP.

Peneliti ICJR Ajeng Gandini Kamilah | dok. ICJR

Meski pergub termasuk dalam kategori Peraturan Daerah (Perda), produk hukum ini tetap harus patuh pada peraturan yang lebih tinggi. Sebagai peraturan di tingkat provinsi, pergub dimaksudkan untuk melengkapi UU atau peraturan pemerintah di atasnya.

“Jika ada pergub yang memberi wewenang kepada rumah sakit untuk menentukan tarif visum bagi korban tindak pidana, maka itu jelas menyalahi aturan,” kata Ajeng.

Mengenai perlakuan berbeda bagi korban KDRT dan anak, Ajeng mengingatkan agar peraturan tidak diskriminatif. Sebab, KUHAP tidak mengenal segregasi korban atau tindak pidana tertentu. Artinya, kebijakan harus berlaku secara universal, tidak hanya terbatas pada KDRT dan anak. Selama visum untuk kepentingan pengungkapan kasus dan sudah ada laporan resmi ke polisi, maka biaya visum harus menjadi tanggungan negara, bukan korban.

Pemerhati isu reformasi KUHP dan Legislasi Pidana itu menekankan bahwa tidak terpenuhinya hak korban untuk visum gratis memicu efek domino dalam penegakan hukum. Korban yang tak mampu membayar visum mungkin mencabut laporannya, sehingga pelaku kejahatan bebas dan ketertiban umum terganggu. Ini juga merenggut hak setiap orang atas keadilan dan membiarkan impunitas bagi pelaku kejahatan.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 19 = 26