Penyalahgunaan kekuasaan oleh kepolisian adalah manifestasi dari disfungsi sistem hukum. Revisi KUHAP berpotensi memperkuat kekuasaan tanpa kontrol yang dapat memperburuk keadaan. Lewat rancangan ini, pemegang otoritas berupaya menjadikan hukum sebagai alat menundukkan masyarakat dan merenggut hak-hak sipil.
Pagi itu, Oman sendirian membersihkan halaman Masjid Al-Jihad di Balaraja, Tangerang, Banten. Tiba-tiba, sekelompok pria berpakaian preman muncul dan menangkapnya. Mereka adalah tim buru sergap Polres Lampung Utara.
Oman dituduh merampok rumah warga Dusun V Dorowati, Desa Penagan Ratu, Kecamatan Abung Timur, Lampung Utara. Ia tak mengenal nama daerah itu dan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tanpa surat perintah, polisi menggeledah rumahnya dan menemukan sesuatu yang mereka klaim sebagai senjata api. Oman membantah.
Aparat kemudian menggiring Oman ke Polsek Balaraja. Sampai di sana, ia dibawa ke ruangan kosong di lantai dua. Di kamar itu, polisi menyiksa Oman menggunakan pentungan. Ia dipukul di beberapa bagian badan dan kaki. Polisi memaksanya mengakui perampokan.
“Demi Allah, saya tidak melakukan perampokan. Saya tidak pernah kemana-mana. Saya terus di masjid,” teriak Oman agar polisi berhenti menyiksanya.
Jeritan itu tak dihiraukan. Polisi malah mengancam menembak mati dan membuang mayatnya ke laut jika tidak mengaku. Oman tetap bergeming.
Lalu, seorang pria dibawa ke ruangan itu. Namanya Abdul Gani. Ia pernah datang ke masjid tempat Oman tinggal dan meminta doa. Setelah itu, Oman tak pernah melihatnya lagi. Ternyata, Abdul lebih dahulu ditangkap dan mengaku Oman terlibat dalam perampokan. Itulah yang membuat Oman dipaksa mengaku.
Dalam kondisi babak belur, Abdul meminta Oman mengaku saja. Marbot itu tetap teguh, menolak mengakui kejahatan yang sama sekali tidak dilakukannya. Polisi makin brutal, terus menyiksa Oman. Tak kuat lagi menahan sakit, Oman pun akhirnya mengakui telah merampok.
Dengan tangan diborgol, tubuh lebam-lebam, dan kaki pincang, Oman dan Abdul dibawa menggunakan minibus menuju Polres Lampung Utara. Selama perjalanan, mata Oman ditutup dengan selotip hitam. Setelah menyeberang ke Lampung, kira-kira jam lima subuh, mobil berhenti di suatu tempat. Polisi menyuruh Oman turun. Selotip dibuka, dan Oman melihat bahwa tempat itu adalah perkebunan kelapa sawit, bukan kantor polisi.

Aparat memerintahkan Oman berjalan menjauh. Baru beberapa langkah, ia mendengar suara letusan senjata api. Sebuah peluru menembus betis kiri Oman. Seketika itu pula ia tumbang, darah mengalir dari kakinya. Polisi menodongkan senjata ke kepala Oman, mengancam agar ia benar-benar mengakui perampokan. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan.
Sebelum tiba di Polres Lampung Utara, polisi membawa Oman ke rumah sakit. Ia dirawat satu minggu karena betis terus mengeluarkan darah. Di sela perawatan, penyidik menginterogasi Oman. Ia kembali jujur: tidak terlibat perampokan. Namun, penyidik mengabaikan pengakuannya.
Satu minggu berlalu. Oman akhirnya dijebloskan ke Rumah Tahanan Negara Kotabumi. Ia tidak menerima surat perintah penangkapan, tidak ada pemberitahuan kepada keluarga. Lelaki tua itu menjalani penjara selama 10 bulan.
Di ruang sidang yang sunyi, kebenaran pun terungkap. Korban perampokan yang menjadi saksi memandang Oman dengan ragu.
“Saya melihat pelakunya orang dengan tubuh besar,” ujarnya. Oman berdiri di samping, tubuhnya pendek dan kecil.
Abdul yang sebelumnya menuding Oman terlibat perampokan berubah pendirian. Ia mencabut kesaksiannya. Para tetangga Oman juga membenarkan. Mereka melihat Oman mengurus zakat menjelang Lebaran, sementara perampokan terjadi di tempat lain. Saat itu, Oman berada di masjid, menjalankan kewajibannya sebagai umat Muslim.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabumi memutus bebas Oman dari segala tuntutan melalui Putusan Nomor 15/Pid.B/2018/PN Kbu, tanggal 7 Juni 2018. Hakim memerintahkan jaksa segera membebaskan Oman.
Jaksa penuntut umum sempat mengajukan kasasi. Namun, pada 25 September 2018, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi tersebut. Oman akhirnya menghirup udara segar.
Sebagai korban salah tangkap, Oman melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Kotabumi. Ia berhak mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi sesuai Pasal 95 dan 97 KUHAP serta PP 92/2015 tentang Pelaksanaan KUHAP.
17 Juni 2019, persidangan praperadilan yang dipimpin hakim tunggal Imam Munandar mengabulkan permohonan Oman. Hakim menyatakan polisi dan jaksa keliru dalam penangkapan, penahanan, dan penuntutan. Kedua institusi itu harus memberikan kompensasi kepada Oman sebesar Rp222 juta.
Namun, putusan tersebut tidak serta-merta membuat Oman mendapatkan haknya. Lebih dari lima tahun, Oman tak kunjung mendapat ganti rugi sesuai perintah pengadilan. Ia terus menanti.
Melalui kuasa hukumnya, Oman menempuh berbagai cara agar ganti rugi dibayarkan, termasuk mengadu kepada presiden dan jumpa pers. Polres Lampung Utara akhirnya memberikan kompensasi kepada Oman pada 8 Januari 2024. Kapolres Lampung Utara Komisaris Besar Teddy Rachesna turut meminta maaf.
Dari kisah perjuangan Oman, Abdurrahman sebagai kuasa hukum melihat betapa rentannya masyarakat menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi. Aparat memiliki wewenang yang besar. Namun, hak-hak masyarakat kerap kali diabaikan ketika berhadapan dengan hukum. Apalagi dengan adanya revisi KUHAP, menambah kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar.
Kabarnya, revisi itu bakal memperluas wewenang kepolisian dalam penegakan hukum. Abdurrahman gelisah. Ia tak ingin kisah Oman terulang, di mana kekuasaan besar menjadi momok bagi masyarakat yang mencari keadilan.
“Partisipasi publik dalam penyusunan KUHAP sangat penting, agar hasilnya dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat,” ujarnya.
***
Pukul setengah empat sore. Kabut tipis menyelimuti rumah Romadhon di Desa Batubadak, Kecamatan Marga Sekampung, Lampung Timur. Rintik hujan jatuh perlahan.
Romadhon duduk di ruang keluarga bersama istrinya Sakdiyah dan kedua anaknya, memperbaiki sepatu yang rusak. Orang tuanya, Wahab dan Seripah, bersila di beranda.
Tak lama berselang, sebuah kendaraan berkelir perak tiba. Tiga anggota Polda Lampung turun dari Toyota Avanza. Dua di antaranya mendekati rumah Romadhon. Wahab menanyakan identitas, tapi mereka langsung masuk ke dalam rumah mencari Romadhon.
Wahab berteriak memanggil anaknya dengan keras. Romadhon beranjak dari tempat duduknya. Ketika ia membuka gorden yang memisahkan ruang keluarga dan ruang tamu, salah satu polisi mengarahkan senter ke wajahnya. Sejurus kemudian, Romadhon ditembak dari jarak dekat pada bagian perut. Peluru menembus tubuhnya hingga pinggang bagian belakang.
Penembakan itu berlangsung di hadapan istri, kedua anak, dan orang tua Romadhon. Polisi lalu hendak menyeret tubuh Romadhon keluar dari rumah. Namun, tindakan itu dicegah oleh Sakdiyah dan Seripah.
“Ini manusia, bukan hewan!” ujar keduanya seraya memeluk tubuh Romadhon yang lemah.
Polisi bertindak keras. Aparat menjambak rambut Sakdiyah. Seripah mencoba melindungi menantunya, tapi ditendang hingga terjungkal. Tangisan anak-anak Romadhon memenuhi ruangan.
Setelah keduanya terlepas, kaki Romadhon diseret dari dalam rumah sampai ke jalan. Dalam kondisi hujan dan berlumuran darah, tubuh Romadhon dimasukkan secara paksa ke dalam mobil. Sakdiyah melihat suaminya sudah tidak bergerak. Keluarga tidak tahu ke mana polisi membawa Romadhon.
Sakdiyah dan Seripah masih terkapar. Sementara Wahab ketakutan, belum bisa menerima apa yang terjadi. Keluarga kemudian mengabari Andi Pratama, adik Romadhon. Andi bergegas ke rumah Romadhon, wajahnya penuh kekhawatiran.
Malam harinya, sekitar pukul 19.00 WIB, kepala desa setempat mengabari Andi bahwa pihak kepolisian mengonfirmasi sang kakak meninggal dunia. Jenazahnya berada di RS Bhayangkara Polda Lampung. Andi diminta datang ke Polsek Sekampung Udik guna menandatangani beberapa dokumen.
Andi langsung berangkat, langkahnya tergesa-gesa. Polisi bilang, jasad Romadhon akan diautopsi dan Andi harus menandatangani surat pernyataan. Andi menolak. Ia yakin bahwa kakaknya meninggal karena ditembak polisi.
Setelah berbincang, Andi menyadari bahwa dokumen yang dimaksud tidak berada di Polsek Sekampung Udik, tapi RS Bhayangkara. Ia pun kembali ke rumah.
Esoknya, Andi mendatangi RS Bhayangkara, didampingi kepala desa dan Bhabinkamtibmas. Ia diarahkan ke ruangan forensik, tapi tidak dapat langsung melihat jenazah kakaknya. Andi diminta menunggu anggota kepolisian yang melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di rumah mereka.
Saat itu, puluhan personel Polda Lampung mengawal pemeriksaan TKP. Sebagian dari mereka menggunakan seragam dan lainnya berpakaian sipil dilengkapi rompi dan senjata laras panjang. Polisi menyita sebuah jaket dan sebilah badik. Romadhon dituduh terlibat pencurian dengan kekerasan.
Di RS Bhayangkara, anggota kepolisian menghampiri Andi dengan membawa berkas dokumen. Aparat memintanya meneken delapan surat, tapi Andi menolak. Petugas memaksa Andi menandatangani semua dokumen serta Berita Acara Serah Terima Jenazah. Jika tidak, Andi tidak dapat membawa pulang jasad kakaknya. Ia terpaksa mengikuti kemauan polisi. Aparat tak mengizinkan Andi untuk membaca dokumen yang ditandatangani.
Setelah meneken, mayat Romadhon pun dibawa pulang. Ketika keluarga memandikan jasadnya, mereka menemukan bekas pembedahan dari leher hingga bawah pusar. Keluarga kaget karena sebelumnya mereka sudah menolak autopsi. Polisi telah membedah tubuh Romadhon tanpa persetujuan keluarga. Romadhon kemudian dimakamkan di desa setempat.
Esok hari, 30 Maret 2024, Polda Lampung menggelar konferensi pers soal kasus pencurian kendaraan bermotor. Polisi menyampaikan bahwa Romadhon melakukan perlawanan dengan menodongkan senjata api rakitan. Senjata itu disita sebagai barang bukti, bersama dua selongsong peluru dan empat peluru aktif, serta sebuah kunci leter T. Hasil autopsi juga diungkapkan bahwa terdapat indikasi narkoba dalam urine Romadhon, selain luka tembakan yang menyebabkan kematiannya.
Sakdiyah membantah keras tuduhan polisi. Menurutnya, Romadhon sama sekali tidak melawan. Justru polisi yang brutal menembak dan menyeret suaminya tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan. Ia juga tidak percaya suaminya memiliki senjata api dan menggunakan narkoba.
Tak terima atas tuduhan keji terhadap suaminya, Sakdiyah didampingi LBH Bandar Lampung membuat pengaduan ke Propam Mabes Polri pada 20 Mei 2024. Aduan tersebut mengenai extrajudicial killing yang dilakukan anggota Polda Lampung. Propam Mabes Polri memeriksa seluruh keluarga Romadhon dan jajaran internal Polda Lampung.
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP), Propam Mabes Polri menemukan bukti pelanggaran Kode Etik Profesi Polri oleh lima anggota Polda Lampung. Kelimanya, satu perwira pertama, satu perwira menengah, dan tiga bintara. Pemeriksaan Kode Etik Profesi lima polisi itu dilimpahkan ke Bidpropam Polda Lampung.
LBH Bandar Lampung mengirim permohonan SP2HP terkait putusan sidang tingkat pertama kepada Bidpropam Polda Lampung. Tapi, surat itu tak pernah dibalas. LBH justru mendapatkan putusan sidang Kode Etik Profesi setelah bersurat ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Dalam salinan putusan tersebut, kelima anggota Polda Lampung divonis bersalah. Beberapa dari mereka menerima hukuman demosi. Sementara, eksekutor penembakan Romadhon menerima sanksi berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Keluarga korban masih menunggu kejelasan tentang proses banding yang diajukan kelima aparat itu. LBH Bandar Lampung kembali mengirimkan permohonan SP2HP, namun hingga kini belum ada respons.
Ketiadaan transparansi dalam penegakan hukum ini membuat keluarga korban kesulitan memperoleh kepastian hukum dan keadilan. Putusan banding yang belum jelas menentukan langkah hukum selanjutnya bagi keluarga korban. Bahkan, tak menutup kemungkinan pelaku penembakan Romadhon diseret ke peradilan umum terkait pembunuhan di luar proses hukum.
Alih-alih menerima putusan banding, berdasarkan informasi yang diterima LBH, polisi yang menembak Romadhon dikabarkan kembali bertugas.
“Hal ini dapat melanggengkan praktik impunitas di tubuh kepolisian,” kata Prabowo Pamungkas, Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung.
Selain extrajudicial killing, LBH juga menyoroti indikasi rekayasa kasus. Dua hari setelah kematian Romadhon, Polda Lampung mengadakan jumpa pers dengan memperlihatkan barang bukti berupa senjata api rakitan dan sejumlah peluru aktif. Mereka menyebut Romadhon melakukan perlawanan dengan senjata tersebut.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa polisi tidak pernah menemukan senjata. Sebaliknya, yang didapati adalah senter yang digunakan polisi sebelum menembak Romadhon. Lampu suluh itu tertinggal di kediaman Romadhon.
“Dalam hal ini, kepolisian berupaya menutupi kebenaran dengan merekayasa kasus Romadhon,” ujar Prabowo.
Ia menilai, sistem yang melanggengkan impunitas dan minimnya mekanisme kontrol dalam penegakan hukum telah membuka celah bagi kesewenang-wenangan polisi. Kasus Romadhon menjadi contoh tragis betapa sulitnya masyarakat memperoleh keadilan ketika berhadapan dengan proses hukum.
Mekanisme sidang etik yang masih dipegang oleh lembaga internal Polri terkesan tidak transparan. Dua kali LBH Bandar Lampung mengajukan permohonan untuk mengetahui hasil sidang etik, namun tidak ada jawaban. Hingga kini, keluarga korban masih menanti kabar tentang nasib pelaku penembakan yang merenggut nyawa Romadhon.
“Sangat sulit mengawasi kerja-kerja kepolisian karena lembaga yang mengadili etik mereka masih dari internal polisi. Istilahnya, ‘jeruk makan jeruk’,” ucap Prabowo.
Di balik ketidakpastian hukum yang menghantui keluarga Romadhon, trauma mendalam masih membayang-bayangi kehidupan mereka. Kedua anak korban, yang berusia 7 dan 14 tahun, terngiang-ngiang dengan memori ayahnya yang ditembak mati di hadapan sendiri.
Sakdiyah kini bekerja sebagai asisten rumah tangga di luar kota untuk menopang kehidupan. Orang tua Romadhon juga terjebak dalam duka tak berkesudahan. Kerap menangis dan sulit berbicara tentang kehilangan anak mereka yang tragis.
Prabowo menekankan bahwa kasus Romadhon harus menjadi perhatian serius. Hal itu untuk mencegah tindakan brutal dan kesewenang-wenangan aparat dalam penegakan hukum.
Pembunuhan di luar pengadilan seperti ini bukanlah kejadian pertama di Lampung. Pada 2017, lima pelajar asal Lampung Timur menjadi korban penembakan oleh Tim Ranger Tekab 308 Polresta Bandar Lampung. Mereka dituduh sebagai begal, lalu ditembak mengarah ke dada, bukan kaki.
Pascapenembakan, foto-foto polisi berpose dengan mayat-mayat yang dijejerkan seperti hewan buruan beredar luas. Polisi mengklaim terjadi baku tembak. Namun, data lapangan yang dikumpulkan LBH Bandar Lampung memperlihatkan klaim tersebut hanya dalih untuk membenarkan pembunuhan.
Kasus lainnya menimpa Mursalin. Warga Desa Bojong, Sekampung Udik, Lampung Timur, itu tewas dengan luka tembak setelah empat jam ditangkap polisi. Mursalin ditangkap pada jam tiga dini hari, lalu dikembalikan dalam kondisi tak bernyawa pada pukul tujuh pagi. Polisi menembak Mursalin lantaran dicurigai sebagai pelaku pencurian dengan kekerasan.
Konsentris berupaya meminta konfirmasi Polda Lampung soal extrajudicial killing, rekayasa kasus, dan hasil banding lima polisi dalam kasus Romadhon. Selama dua hari, tidak ada jawaban.
Bidpropam Polda Lampung menyatakan semua pintu informasi harus melalui humas. Sedangkan, Kasubbid Penmas Polda Lampung Komisaris Andri Yulianto mengatakan, masih belum menerima data dari Bidpropam terkait kasus tersebut. Ia bilang akan mengecek kebenarannya.
Sementara, melalui layanan perpesanan, Kabid Humas Polda Lampung Komisaris Besar Yuni Iswandari menyatakan, setiap pelanggaran oleh anggota Polri akan ditindak tegas.
“Tidak boleh ada parasit dalam institusi kami,” kata Yuni.
***
Gila Kuasa
Duka yang masih membayang-bayangi keluarga Romadhon dan Mursalin menjadi pengingat betapa rapuhnya perlindungan hukum bagi warga biasa. Salah tangkap dan rekayasa kasus, seperti yang menimpa Oman, serta pembunuhan di luar hukum yang merenggut nyawa Romadhon dan korban lainnya, menjadi contoh nyata penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi.
Di tengah situasi ini, revisi KUHAP justru berpotensi menambah kewenangan kepolisian tanpa kontrol memadai. Institusi itu akan semakin kuat dengan penambahan fungsi dan kekuasaan di sejumlah pasal, sementara masyarakat khawatir akan penyalahgunaan kekuasaan yang lebih parah.
Kajian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan bahwa puluhan pasal dalam revisi KUHAP dapat menghilangkan hak-hak masyarakat dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat. Hal ini memungkinkan kepolisian untuk melakukan tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi yang jelas.
Di balik kata-kata yang terukir dalam Rancangan KUHAP, tersembunyi ancaman terhadap hak asasi manusia. Pasal 134 huruf c, tidak secara eksplisit menjamin hak atas bantuan hukum. Kemudian, Pasal 146 ayat (5) yang tidak memungkinkan kontrol hakim dalam penolakan pendampingan hukum, semakin memperlemah posisi terdakwa. Lalu, Pasal 236 ayat (2) dan (3), yang mengatur penggantian advokat berhalangan, namun sidang tetap dilanjutkan meskipun penggantinya masih berhalangan. Hak bantuan hukum seperti dikebiri, sementara keadilan menjadi ilusi.
Lebih lanjut, Pasal 134 c dan Pasal 135 b tidak menjamin hak tersangka/terdakwa/saksi mendapatkan bantuan hukum maupun pendampingan selain dari advokat. Ini bertentangan dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, serta UU Peradilan Anak yang menjamin hak tersebut.
Sementara itu, Pasal 16 Rancangan KUHAP memberikan kewenangan kepada polisi untuk melakukan investigasi khusus, seperti pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan. Namun, tidak ada aturan yang jelas tentang persyaratan dan prosedur kewenangan investigasi khusus, sehingga membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Kewenangan penyidik Polri yang luas menimbulkan pertanyaan ihwal keseimbangan kekuasaan. Rancangan KUHAP mensubordinasi penyidik negeri sipil, seperti PPNS Bea Cukai, PPNS Pajak, PPNS Komdigi, PPNS Kehutanan, dan PPNS Lingkungan Hidup, di bawah kewenangan Polri. Ini berpotensi menciptakan struktur kekuasaan yang timpang dan membuka peluang penyalahgunaan wewenang.
Lebih jauh, jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam Rancangan KUHAP masih lemah. Pasal 134 dan 135, tidak memberikan jaminan yang cukup untuk melindungi seseorang dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Klausul ini bertentangan dengan berbagai instrumen hukum dan HAM internasional.
Revisi KUHAP gagal melindungi hak asasi manusia ketika tidak mengakomodasi perlindungan terhadap penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya. Putusan MA Nomor 2216/K/Pid.Sus/2021 dan Putusan MA Nomor 600 K/Pid/2009 menjadi preseden penting dalam membebaskan terdakwa yang mengalami penyiksaan. Namun, Rancangan KUHAP belum mengintegrasikan prinsip-prinsip ini dalam ketentuan hukum.
Rancangan KUHAP juga membatasi peran praperadilan dalam mengawasi kesewenang-wenangan aparat. Pasal 103, 149, dan 151 membatasi objek praperadilan hanya pada upaya paksa yang tidak mendapatkan izin dari pengadilan. Ini berarti bahwa upaya paksa yang telah mendapatkan izin tidak dapat diuji melalui praperadilan. Akibatnya, aparat penegak hukum memiliki celah untuk melakukan kesewenang-wenangan tanpa dapat diadili secara efektif.
Hal lainnya, Rancangan KUHAP memberikan kewenangan luas kepada penegak hukum untuk melakukan penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan pemeriksaan surat tanpa kontrol yang efektif. Pasal 106 dan 132A memungkinkan penggeledahan dan pemblokiran data tanpa kriteria objektif dan pengawasan pengadilan. Aturan ini membuka ruang penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran HAM.
Kemudian, ketentuan penahanan dalam Pasal 93 dan 94 juga bermasalah. Sebab, tidak ada jaminan bahwa orang yang ditangkap harus segera dihadapkan ke hakim. Prinsip habeas corpus yang seyogianya melindungi hak asasi manusia tidak diterapkan secara efektif. Kewenangan aparat penegak hukum semakin meluas dalam beberapa pasal, seperti Pasal 106 ayat (4), 112A ayat (2), 124 ayat (1), dan Pasal 130, tanpa mekanisme kontrol dan indikator yang jelas.
Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung Refi Mediantama mengkritik keras penambahan kewenangan kepolisian dalam RUU KUHAP. Ia memandang langkah itu bentuk “gila kuasa” aparat dalam penegakan hukum. Refi khawatir dengan kewenangan yang lebih luas, polisi akan semakin berpotensi melakukan tindakan yang melanggar hak asasi manusia.
Secara filosofis, hukum pidana lahir untuk membatasi kekuasaan yang sewenang-wenang. Ia memastikan bahwa kekuasaan berjalan sesuai aturan. Namun, penambahan kewenangan kepada polisi dalam Revisi KUHAP berpotensi memperbesar ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Refi menyarankan untuk memperketat mekanisme kontrol terhadap kepolisian dalam penanganan perkara. Tujuannya, mencegah brutalitas dan penyelewengan oleh polisi. Revisi KUHAP seharusnya lebih fokus pada perlindungan hak-hak tersangka, korban, dan saksi, bukan terus menambah kuasa aparat. Dengan demikian, penegakan hukum dapat lebih adil dan beradab.
Ia menekankan pentingnya asas persamaan di hadapan hukum. Prinsip ini memastikan bahwa semua orang, tanpa memandang status sosial atau kekuasaan, memiliki hak yang sama di depan hukum. Tidak ada yang berada di atas hukum, dan semua orang harus tunduk pada aturan yang sama.
“Perlu penyetaraan supaya tidak terjadi ketimpangan dalam penegakan hukum,” kata Refi.
Penundukan Rakyat
Asfinawati, akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, melihat penambahan kekuasaan pada kepolisian sebagai tanda bahwa negara ingin berkuasa penuh atas warganya. Ia menyaksikan bagaimana hukum dijadikan alat untuk menundukkan masyarakat dan merenggut hak-hak sipil.
Dalam beberapa tahun terakhir, Asfinawati mengamati eksekutif dan legislatif membentuk kebijakan dan aturan yang berpotensi mengkriminalisasi rakyat dan melemahkan pengawasan terhadap pemerintahan.
Mantan Ketua YLBHI itu melihat pola yang mengkhawatirkan dalam upaya pemerintah memperluas kekuasaannya. Ia mengaitkan Rancangan KUHAP dengan sejumlah kebijakan lain yang juga bermasalah, seperti revisi UU TNI yang melebarkan intervensi militer pada ranah sipil, revisi UU KPK yang melemahkan penegakan korupsi, serta Omnibus Law Cipta Kerja yang merenggut hak buruh dan merusak lingkungan.
“Apabila Revisi KUHAP absah, pemerintah akan punya kontrol penuh terhadap rakyat, baik secara ekonomi maupun politik,” ujarnya.
Asfinawati menilai penambahan wewenang polisi dalam Revisi KUHAP tidak berdasarkan sains. Bukti empiris menunjukkan bahwa polisi sering melakukan pelanggaran hukum dalam penyidikan dan keberhasilan mengungkap kejahatan juga rendah. Atas dasar itu, wewenang polisi seharusnya dikurangi, bukan diperluas.
Ia juga memandang demokrasi sedang terancam. Indonesia seperti berjalan menuju pemerintahan yang otoriter sepenuhnya.
Asfinawati menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan penundukan melalui hukum. Perlawanan ini dapat dilakukan melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi atau gerakan politik dan sosial-politik.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.