Proyek penulisan buku sejarah nasional yang diprakarsai Fadli Zon adalah ilusi narasi sejarah Orde Baru. Ia berupaya melunakkan narasi kekerasan negara di masa lalu dan melegitimasi rezim Prabowo Subianto. Kegagalan fundamental dalam proyek politisasi sejarah ini memperlihatkan Kementerian “Kedodoran”: sebuah institusi yang tidak mampu menjalankan fungsi substantifnya karena bertentangan dengan realitas sejarah dan sikap kritis masyarakat yang menuntut akuntabilitas, bukan distorsi.
Riwanto Tirtosudarmo | Peneliti Independen
Pada Minggu sore, ketika kelas menengah Jakarta sedang menikmati kopi di FX Sudirman atau berolahraga di Gelora Bung Karno (GBK), Fadli Zon justru berpidato di kantornya, Kementerian Kebudayaan—hanya sepelempar batu dari keramaian itu. Ia berceramah dalam acara peluncuran buku sejarah nasional yang baru.
Cuaca Jakarta cerah, kontras dengan hari-hari sebelumnya yang mendung dan hujan. Di bawah langit terang itu, publik Indonesia seolah tengah menyaksikan sekuel drama tragis-komedi “Reinventing Indonesia” yang ia sutradarai.
Beberapa waktu lalu, saya diberitahu oleh sahabat saya, Profesor Susanto Zuhdi – pemain utama dalam proyek sejarah nasional ini – bahwa buku tersebut akan di-soft launching. Dalam pesan WhatsApp-nya, Profesor Zuhdi menulis: “Soft launching 14 Des. Bertepatan ‘Hari Sejarah’ berdasar Seminar Sejarah Nasional Pertama 1957 di UGM Yogya.”
Kepada Profesor Zuhdi, saya mengatakan ingin membaca dan meresensi buku sejarah versi Fadli Zon. Saya ingin membuktikan, atau setidaknya menguji, apakah prasangka saya keliru jika buku itu bertujuan memperlunak kekerasan negara.
Dari seorang kawan, saya melihat undangan acara dimaksud. Undangan resminya berbunyi: “Yth. Bapak/Ibu Pimpinan Komunitas/Asosiasi/Lembaga. Selamat pagi, salam sejahtera. Direktorat Sejarah dan Permuseuman mengundang Bapak/Ibu dalam peluncuran buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global yang akan dilaksanakan pada: hari, tanggal: Minggu, 14 Desember 2025, waktu: Pukul 13.00 s.d 16.00 WIB, tempat: Plaza Insan Berprestasi, Gedung A Kompleks Dikbudristek, Jakarta.” Rupanya, teman saya diundang karena mewakili komunitas kebudayaan berbasis masyarakat lokal.
Tepat di Minggu petang itu, saat acara berlangsung, saya menanyakan kehadirannya via WhatsApp. “Ya,” jawabnya.
Menurut kawan yang menghadiri acara, selain pidato Fadli Zon – yang langsung meninggalkan acara setelahnya – ada gelar wicara (talk show) berdurasi sekitar satu jam. Acara tersebut menampilkan Profesor Singgih Tri Sulistiyono (UNDIP), Profesor Agus Suwignyo (UGM), dan Asep Kambali, yang konon mewakili masyarakat.
Teman saya menganggap talk show itu tidak menarik, sehingga ia memilih mengopi di luar. Ia juga menyampaikan bahwa isi pidato dan diskusi tidak berbeda dengan materi yang pernah disampaikan di UI, beberapa bulan sebelumnya. Justru, pemaparan di UI dinilai lebih baik. Pada acara kali ini, tak ada informasi tertulis yang dibagikan kepada undangan; hanya daftar isi buku yang ditayangkan, dan tidak ada kejelasan kapan buku tersebut benar-benar diluncurkan.
Seperti yang telah saya tuliskan dalam beberapa esai sebelumnya, saya menduga bahwa buku sejarah versi baru ini – yang ditulis oleh lebih dari seratus sejarawan dari berbagai perguruan tinggi – pada intinya ingin melunakkan narasi kekerasan yang dilakukan negara. Dugaan ini berdasarkan pengamatan saya terhadap rezim Prabowo Subianto.
Prabowo, yang selalu tampil dengan retorika heroik dan nasionalistik, sesungguhnya berkeinginan menciptakan historical legacy sebagai pemimpin dari sebuah negeri besar. Indonesia memang negeri besar: keempat terbesar dari jumlah penduduknya, sekaligus negara kepulauan terbesar dengan keanekaragaman hayati dan kekayaan alam yang sulit dicari bandingannya di dunia. Persoalannya, setelah merdeka, politik Indonesia menjadi sangat elitis. Kedaulatan rakyat dan demokrasi hanya jargon belaka.
Sejarah politik Indonesia juga terbukti penuh kekerasan, dari awal kemerdekaan hingga sekarang. Dari rezim ke rezim, kekayaan alam terus dikuras dan keanekaragaman hayati dirusak. Kementerian Lingkungan Hidup, yang selalu ada sejak era Emil Salim, terbukti cuma papan nama. Banjir dan longsor yang menelan banyak korban di Sumatra adalah bencana yang diciptakan oleh negara, akibat terus mengeruk kekayaan alam tanpa memedulikan konsekuensi fatal bagi warga negara.
Dalam sejarah Indonesia, kekerasan politik terbesar terjadi pada 1965, ketika Jenderal Soeharto, atas dukungan Amerika Serikat dan sekutunya, membabat habis Partai Komunis Indonesia. Di bawah kekuasaan Soeharto – juga dengan dukungan AS – Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda (1969). Kemudian, dengan dukungan Amerika Serikat dan Australia, Indonesia menginvasi Timor Timur (1975). Selama 32 tahun kekuasaannya (1966-1998), rezim Orde Baru juga menumpas pejuang kemerdekaan di Timor Timur, Aceh, dan Papua melalui status Daerah Operasi Militer (DOM), serta menggebuk mereka yang berani mengkritik.
Di tengah krisis politik dan ekonomi 1997-1998, Presiden Soeharto dengan cerdik melepaskan jabatan dan menyerahkannya kepada wakilnya, B.J. Habibie. Taktik pengunduran diri ini dipersiapkan oleh para pembantunya di Sekretariat Negara, termasuk ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra (saat ini Menko Hukum dan HAM).
Soeharto sempat disidangkan atas tuduhan korupsi, namun prosesnya dihentikan dengan alasan sakit. Suasana politik menjelang kejatuhannya dipenuhi kekacauan dan kekerasan: penembakan mahasiswa, penculikan aktivis, pembakaran, dan pemerkosaan. Peristiwa tragis ini melibatkan Letnan Jenderal Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad.
Peristiwa turunnya Soeharto, yang awalnya dielu-elukan sebagai kemenangan gerakan prodemokrasi, kini dilihat lebih kritis. Reformasi politik yang menjanjikan Indonesia semakin demokratis terbukti ilusi. Hari ini, kedaulatan rakyat sekadar slogan yang dikemas dalam sistem politik yang tampak makin rumit dan canggih. Barangkali, kerumitan ini mencerminkan apa yang oleh Clifford Geertz disebut proses involusi: perumitan ke dalam yang tidak menghasilkan perubahan nyata.
Dalam proses politik yang involutif ini, Prabowo terpilih sebagai presiden dan terus berusaha tampil heroik dan nasionalistik. Berbeda dengan kolega militernya di Akabri, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang lebih dahulu menjadi presiden, Prabowo berusaha mengembalikan supremasi militer yang mulai dibatasi pada era SBY.
Prabowo juga tidak ragu-ragu menyentralkan kekuasaan ekonomi dan politik di tangannya. Dalam latar belakang politik Orde Baru dan setelah Orde Baru – yang memperlihatkan dominasi militer dan menempatkan kekerasan sebagai kebajikan publik (public virtue) – narasi baru tentang sejarah nasional sangat diperlukan.

Sejak awal, gagasan Fadli Zon, yang dipopulerkan dengan istilah Reinventing Indonesia, sudah dapat dibaca arahnya. Proyek penulisan buku sejarah nasional yang baru adalah proyek politik utama Fadli. Ia sejak awal telah menempel Prabowo dan adiknya, Hasyim Djojohadikusumo, pengusaha sukses yang menaruh perhatian pada filantropi di bidang sejarah dan warisan budaya.
Hal tidak diduga Fadli adalah resistensi publik yang keras terhadap proyek buku sejarahnya. Mengikuti sekuel demi sekuel hingga yang terakhir pada 14 Desember lalu, proyek ini akan menjadi proyek gagal. Kementerian Kebudayaan barangkali lebih tepat berganti nama menjadi “Kementerian Kedodoran”. Istilah “kedodoran” biasanya dipakai untuk menunjukkan seseorang yang memakai baju terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang kecil atau kurus.
Dalam tulisan ini, “kedodoran” saya maksudkan sebagai ketidakmampuan sebuah lembaga dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kebudayaan Indonesia terbukti terlalu besar untuk direduksi menjadi proyek politik yang sekadar ingin memberikan legitimasi bagi rezim yang dibangun dari rentetan kekerasan. Hal lain yang membuat kementerian di bawah Fadli, beserta tim penulis buku sejarahnya, akan semakin “kedodoran” adalah ketidakmampuan mereka melihat meningkatnya sikap kritis masyarakat. Publik paham bahwa pemimpin negara yang terbukti tidak becus tak bisa dibiarkan bertindak semaunya sendiri.
Dalam sistem politik yang semakin involutif – seperti yang kita alami dewasa ini – suara dan aspirasi politik warga negara tidak mungkin tersalurkan secara memadai melalui organisasi yang dibutuhkan menampungnya sistematis. Organisasi kemasyarakatan semacam itu memang telah dilumpuhkan secara sistematis sejak 1965. Dampak dari proses ini adalah tumpulnya nalar politik dan akal sehat elite yang berkuasa secara perlahan. Mereka tidak lagi mampu melihat dan menganalisa apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Kita tahu, berbagai hasil polling ihwal tingkat kepercayaan publik terhadap pemimpin negeri bisa direkayasa, seperti halnya kemenangan dalam pemilu.
Kondisi involutif ini membuat kehidupan berbangsa dan bernegara penuh hipokrisi dan tidak otentik. Ada kontradiksi internal dalam tubuh politik kita sebagai negara-bangsa (nation-state). Terdapat ketegangan akut antara negara (state) yang ingin menguasai dan mengontrol, dan bangsa (nation) yang menginginkan ruang kebebasan.
Kegelisahan warga negara akan selalu muncul secara sporadis, seperti yang kita saksikan selama ini. Gejala dapat jatuhnya sebuah rezim otoriter karena protes netizen, terutama yang dimotori Gen-Z, membuktikan bahwa ketika ada momentum yang tepat, kegelisahan warga negara dapat bertransformasi menjadi kekuatan politik yang tak terbendung lagi.(*)







