Krisis ekonomi terus menghantui Indonesia. Di balik narasi pembangunan yang dikuasai modal besar, usaha rakyat kecil justru menjadi tulang punggung perekonomian negara. Realitas ini menunjukkan bahwa ekonomi kerakyatan bukan hanya alternatif, tapi kebutuhan untuk membangun kemandirian yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Di tengah hiruk-pikuk kendaraan di sekitar Kantor Kejaksaan Tinggi Lampung, sebuah kekontrasan terhampar di pinggir Jalan Wolter Monginsidi. Warung Soto Bu Yanti, dengan dapur sederhana yang memancarkan aroma sedap, menjadi magnet bagi mereka yang mencari kehangatan dan kesederhanaan.
Tangan Yanti (58) bergerak dengan lihai mengaduk kuah soto berwarna kuning yang mendidih, sebelum menyiramkannya ke dalam mangkuk berisi suwiran ayam, ceker, bihun, dan bawang goreng. Aroma soto memenuhi udara, membangkitkan selera pelanggan yang telah menunggu dengan sabar. Mata mereka memandang sajian yang segera dihidangkan.
Sejak pukul tujuh pagi, Warung Soto Bu Yanti telah menjadi tempat berkumpul bagi mereka yang mencari makanan lezat. Sejarah warung ini telah terukir sejak 1965, ketika orang tua Yanti memulai usaha berjualan soto, pecel, dan nasi rames di depan rumah mereka. Sebuah kisah yang bermula dari kesahajaan, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Lampung.
Warung Soto Bu Yanti telah menjadi tulang punggung kehidupan keluarga selama puluhan tahun. Setelah ayahnya tiada, sang ibu yang gigih menjalankan usaha kecil itu, menghidupi sembilan anaknya. Ketika ibunya semakin menua, Yanti mengambil alih tongkat estafet, melanjutkan usaha soto yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka sejak lama. Kini, warung Yanti menumpang di lahan yang dikuasai Pemerintah Provinsi Lampung, di depan kantor kejaksaan tinggi.
Awal jualan, Yanti masih menyediakan nasi rames. Namun, seiring waktu, soto menjadi hidangan yang paling diminati pelanggan. Ia pun memutuskan untuk fokus berjualan soto dengan resep turun-temurun dari orang tuanya.
Sampai sekarang, Yanti mempertahankan resep tersebut dengan tekun, memastikan setiap porsi soto memiliki rasa yang konsisten. Soto nan lezat itu hanya dibanderol Rp12 ribu per porsi, setelah mengalami kenaikan dua tahun belakangan akibat bahan pokok yang semakin mahal. Sebelumnya, soto tersebut dihargai Rp10 ribu per porsi.
“Yang penting jualan berputar, anak bisa makan dan bayar sekolah,” kata Yanti.
Warung sederhana itu mampu mengantarkan tiga anaknya menjadi sarjana. Saat ini, ketiganya bekerja sebagai pegawai di Pemprov Lampung.
Dalam membangun usaha, keluarga Yanti sudah jatuh bangun melewati beberapa masa krisis. Mereka menghadapi hiperinflasi pada 1965, krisis moneter 1998, dan krisis finansial global pada 2008. Setiap kali krisis melanda, nilai tukar rupiah melemah, harga bahan pokok meroket, dan roda ekonomi negara tampak akan ambruk.
Di tengah keadaan menghimpit tersebut, warung Yanti tetap berjualan. Usaha yang tidak berorentasi pada akumulasi laba itu justru mampu mempertahankan eksistensinya. Warung Yanti bahkan menjadi sumber penghidupan bagi tetangga, membantu mereka yang sulit mendapat pekerjaan.
Bagi Yanti, kunci dari bertahannya usaha selama ini adalah kesederhanaan. Ia tidak mengambil untung besar, sehingga semua kalangan masih bisa menjangkau dagangannya. Dengan begitu, perputaran produk lebih baik ketimbang menjual dengan harga mahal, namun minim pembeli.
Konsistensi tersebut memantapkan Yanti pada kemandirian ekonomi. Usahanya berdikari tanpa bantuan pemerintah. Kendati demikian, terselip keinginan agar usahanya bisa berkembang, membuka lapangan pekerjaan lebih banyak dan memberi manfaat yang luas kepada masyarakat.
Namun, keinginan itu tampaknya sulit terlaksana. Dunia usaha tidak selalu mulus. Ada saatnya sepi pembeli. Bahkan, Yanti sempat kekurangan modal. Ia pernah beberapa kali meminjam uang di bank.
“Namanya dagang naik turun. Harus tetap bertahan, enggak bisa mengandalkan bantuan dari pemerintah,” ujarnya.
***
Dini hari di Gunung Sulah, Wayhalim, Bandar Lampung, terasa dingin dan sepi. Waliman (61) bekerja keras memompa tuas dongkrak yang telah dimodifikasi untuk pemerasan. Air keluar dari karung bungkil tahu basah yang telah direndam sebelumnya, mengalir deras seiring gerakan tangannya yang kuat dan tekun. Di bawah dongkrak, balok kayu menekan karung-karung tersebut, mengurangi kadar air yang berlebih.
Setelah pemerasan, ampas tahu dikeluarkan dari karung dan diayak, lalu didiamkan sejenak. Selanjutnya, bahan tersebut akan dikukus dalam drum penyaring.
Pengukusan sekitar 30-45 menit untuk membunuh mikroba dan melunakkan tekstur. Setelah matang, adonan didinginkan sebelum akhirnya dicetak ke wadah bambu berbentuk persegi panjang berukuran dua meter. Oncom siap dijual setelah tiga hari proses fermentasi. Tanda fermentasi berupa spora berwarna oranye.
Dalam sekali produksi, Waliman bisa mencetak 20-26 wadah bambu. Ia menggeluti usaha rumahan itu selama 30 tahun terakhir.
Sejak remaja, Waliman sudah bekerja sebagai pembuat tahu. Waktu itu, ia masih ikut orang. Ketika menikah, Waliman mencoba peruntungannya dengan memulai usaha sendiri. Mulanya, ia masih memproduksi tahu. Namun, seiring kenaikan harga kedelai, modalnya tak lagi cukup untuk terus memproduksi tahu. Sepuluh tahun belakangan, ia beralih membuat oncom yang biaya produksinya lebih murah.
Dalam bekerja, Waliman dibantu dua remaja yang tinggal di sekitar rumahnya. Di zaman yang sulit mencari pekerjaan, kehadiran usaha Waliman cukup membantu anak muda mendapat penghasilan. Kedua anak tersebut menerima upah sebesar Rp500 ribu dalam satu minggu.
Di daerah Waliman, kebanyakan warga memang memiliki usaha di bidang makanan. Beberapa adalah produsen tahu, tempe, mi, atau oncom. Mereka kerap bertukar makanan dan saling membantu bila ada kesulitan.
“Jadi, enggak mungkin kelaparan di sini,” kata Waliman.
Ia bilang, warga memiliki usaha rumahan karena sulit mencari kerja di sektor formal. Banyak yang tidak memiliki ijazah seperti dirinya. Meski begitu, usaha rumahan dapat menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Waliman bisa menyekolahkan anaknya dan hidup sederhana.
Ia pernah merasakan masa krisis pada 1998 dan 2008. Namun, usahanya tetap bertahan karena tidak tergantung pada ekonomi global. Produknya langsung menyentuh masyarakat tanpa syarat rumit. Oncom dijual ke tetangga atau pedagang sayur keliling. Kini, produk Waliman menghiasi pasar-pasar tradisional di Bandar Lampung dan Lampung Selatan.
Seperti Yanti, Waliman tidak mengambil untung besar. Ia menjual satu wadah bambu oncom ukuran dua meter dengan harga Rp30 ribu. Pedagang kecil itu hanya ingin usahanya lancar dan bisa menghidupi keluarga di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
***
Teras depan rumah Nurulia (31) kini terasa ramai. Beberapa anak kecil kerap menyambangi serambinya. Bukan tanpa alasan, anak-anak itu hendak jajan aneka camilan.
Tiga tahun terakhir, Nurulia memanfaatkan ruang di beranda rumahnya untuk berniaga. Ia menyediakan berbagai jajanan dan bahan pokok, seperti gula, minyak, beras, hingga gas elpiji. Pembelinya adalah warga sekitar Perumahan Bina Mitra, Gedongtataan, Pesawaran.
Inisiatif berjualan itu bermula dari ketakutan akan kondisi ekonomi yang tak pasti. Sebelumnya, Nurulia tidak bekerja, hanya ibu rumah tangga. Sementara, suaminya bekerja sebagai operator gudang di salah satu retail bahan pokok.
Dalam pekerjaannya, sang suami sering dihadapkan pada posisi tidak nyaman dan penuh ketidakpastian. Suaminya kerap dipindahkan ke daerah-daerah tertentu yang jauh dari rumah. Selain itu, banyak kawan sepekerjaan suami Nurulia mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Melihat kondisi ekonomi yang tidak pasti, Nurulia dan suaminya merasa perlu membangun kemandirian. Mereka tidak tahu kapan akan terkena PHK.
Beberapa tahun lalu, ketika Nurulia baru membuka usaha, dunia belum sepenuhnya pulih dari Pandemi Covid-19. Ekonomi negara masih terseok-seok akibat pembatasan aktivitas di sejumlah sektor.
Akhirnya, Nurulia dan suami sepakat membuka warung di depan rumah. Modalnya adalah tabungan yang disisihkan dari upah suami. Sewaktu merintis, mereka hanya membeli satu etalase untuk menyusun jajanan. Seiring waktu, usaha kecil itu berkembang pesat. Nurulia bisa menambah sejumlah rak dan lemari kaca. Dagangannya pun bertambah. Kini, ia tak lagi khawatir akan kebutuhan sehari-hari.
“Kami bisa lebih hemat, bisa menabung untuk keperluan anak sekolah nanti,” kata Nurulia.
Merasa usaha bisa menjadi jalan kemandirian ekonomi keluarganya, suami Nurulia ikut membuka pangkas rambut di samping warung. Setelah mengikuti kursus keahlian memotong rambut di Kota Metro, ia kini melayani pelanggan sepulang bekerja. Bila libur, sang suami bisa sepenuhnya melakoni pekerjaan sebagai barber.
Nurulia percaya bahwa memiliki beberapa sumber pendapatan dapat mengurangi ketakutan akan kehilangan pekerjaan. Setidaknya, pendapatan dari pangkas rambut dan warung bisa menjadi penolong bila suatu saat suaminya dipecat.
Ihwal usahanya, Nurulia berharap bisa lebih berkembang. Saat ini, kendala utamanya adalah ketersediaan modal untuk menambah dagangan. Dahulu, setelah dua tahun membuka warung, pernah ada aparatur dari kecamatan melakukan pendataan usaha dan menjanjikan bantuan. Hingga kini, janji itu tak kunjung terealisasi.
“Enggak bisa berharap kepada pemerintah, harus berusaha sendiri,” ujarnya.
***
Penyelamat Ekonomi
Di tengah riwayat panjang Indonesia, beberapa kali negara ini diterpa badai krisis ekonomi yang dahsyat. Salah satunya adalah krisis moneter 1998, yang menghantam republik ini dengan dampak luar biasa. Nilai tukar rupiah terjun bebas, dari Rp2.500 menjadi lebih dari Rp17 ribu per USD pada puncak krisis.
Inflasi melambung tinggi, lebih dari 70 persen, membuat harga-harga kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan bakar meningkat tajam. Daya beli masyarakat merosot, dan banyak perusahaan serta bank gulung tikar karena tidak mampu membayar utang. Kerusuhan dan desakan untuk reformasi pun meningkat, meninggalkan luka yang dalam bagi bangsa ini.
Namun, dalam kekacauan tersebut, usaha-usaha kecil berbasis masyarakat muncul sebagai oase. Mereka menjadi mercusuar, memberikan secercah cahaya di tengah kegelapan. Usaha seperti milik Yanti, Waliman, dan Nurulia, secara kolektif membangun benteng pertahanan ekonomi bagi rakyat menengah ke bawah.
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) seperti itu seringkali menjadi tulang punggung perekonomian. Mereka menopang stabilitas ekonomi nasional dengan kontribusi yang signifikan dalam penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya beli masyarakat.
Fleksibilitas dan kemampuan adaptasi UMKM lebih tangguh dibandingkan perusahaan besar. Mereka kuasa menyesuaikan diri dengan perubahan pasar dan kondisi ekonomi yang tak pasti. Dengan kemampuan ini, UMKM dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi besar bagi perekonomian.
Dalam meningkatkan daya beli masyarakat, UMKM beroperasi di tingkat lokal, menjual produk yang terjangkau dan membantu menjaga konsumsi masyarakat saat krisis. Usaha rakyat itu juga berperan penting dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antardaerah dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Penelitian Pusat Analisis Sosial AKATIGA memperkuat temuan ini. UMKM yang berorientasi pada ekspor dan penggunaan bahan baku lokal justru mengalami kenaikan keuntungan pada masa krisis ekonomi 1998. Survei yang dilakukan pada 800 pelaku UMKM di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Utara, dan Sumatra Utara itu memberikan gambaran yang jelas tentang ketangguhan UMKM dalam menghadapi tekanan ekonomi.
Pada krisis keuangan 2008 yang mengguncang pasar global, UMKM kembali memperlihatkan ketangguhan. Terbatasnya keterkaitan dengan pasar global, tidak adanya utang luar negeri, dan orientasi pada pasar lokal membuat UMKM relatif stabil. Hanya pelaku UMKM terkait pasar ekspor yang terdampak.
Kontribusi UMKM dalam perekonomian nasional memang terbilang besar. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, jumlah pelaku UMKM di Indonesia pada 2021 mencapai 64,2 juta, dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto sebesar 61,07 persen. UMKM juga menyerap 97 persen dari total angkatan kerja dan menghimpun 60,4 persen dari total investasi di Indonesia.
Di tengah kerapuhan industri manufaktur, peran usaha rakyat dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin menonjol. Sektor industri yang bergantung pada tenaga kerja mengalami kemerosotan. Industri pengolahan makanan dan minuman, tekstil, serta furnitur banyak yang gulung tikar.
Data Kementerian Tenaga Kerja, sebanyak 80.000 pekerja dari berbagai industri mengalami PHK pada 2024. Bahkan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat bahwa sejak awal tahun hingga Maret 2025, sudah 73.992 pekerja yang terkena PHK.
Perusahaan-perusahaan, seperti PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Music Product Asia, dan PT Sritex terpaksa menutup operasionalnya dan merumahkan ribuan pekerja. PT Sritex sendiri mengumumkan PHK massal terhadap 10.969 pekerja ketika menutup pabriknya pada 1 Maret 2025. Semua ini terjadi saat UMKM membuktikan ketangguhannya dalam menghadapi krisis ekonomi.
Di balik angka-angka yang dingin, tersembunyi kisah pahit para pekerja yang terpaksa meninggalkan tempat kerja mereka. Seperti yang terlihat pada sektor industri yang mengalami kemunduran, PHK menjadi salah satu opsi bagi perusahaan-perusahaan untuk bertahan.
Berdasarkan survei Apindo terhadap 357 perusahaan per Maret 2025, mayoritas atau 65% perusahaan mengakui bahwa PHK menjadi opsi karena permintaan menurun tajam. Lalu, 43,4% perusahaan menyatakan memilih PHK karena biaya produksi makin tinggi.
Perubahan regulasi ketenagakerjaan berupa upah minimum juga menjadi alasan bagi 33,2% perusahaan untuk memangkas karyawan. Di tengah kesulitan ini, UMKM membuktikan kekuatannya semakin penting sebagai penopang perekonomian Indonesia. Meski begitu, lebih dari 200 perusahaan menyatakan tidak berencana berinvestasi dalam waktu dekat.
Badai PHK dan minim investasi telah melanda Indonesia, meninggalkan jejak panjang pengangguran. Data BPS, jumlah tunakarya di Indonesia mencapai 7,28 juta orang pada Februari 2025.
Kusutnya kondisi ekonomi itu berbanding lurus dengan data Bank Dunia. Lebih dari 60,3 persen dari populasi Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan dengan pengeluaran minimum harian sebesar USD 6,85, atau setara Rp38.411 per orang.
Melawan Kapitalisme
Ironisnya, indikasi yang mengarah krisis itu tidak serta-merta membuat usaha rakyat yang terbukti tangguh dan menjadi tulang punggung ekonomi negara mendapat perhatian serius. Yanti, Waliman, dan Nurulia merupakan potret perjuangan usaha kecil dalam bertahan tanpa bantuan pemerintah.
Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Revrisond Baswir memandang, usaha rakyat seperti UMKM seharusnya bisa menjadi jalan bagi Indonesia untuk meruntuhkan sistem kapitalisme yang selama ini menindas rakyat kecil.
Menurutnya, sistem ekonomi kapitalis yang menghamba pada kepentingan pemilik modal, terus memperlebar kesenjangan sosial dan mengeksploitasi sumber daya alam. Keadaan ini membawa rakyat dalam jurang kemiskinan struktural yang tak berkesudahan.
Rakyat yang menjadi buruh diperas tenaganya tanpa memperoleh hak secara adil. Kondisi tersebut semakin parah dengan utang luar negeri yang membelit negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.
“Beberapa ciri itu tergambar dalam kondisi ekonomi Indonesia hari ini,” ujarnya.

Ia melihat kehadiran usaha rakyat kecil bisa menjadi jalan pembebasan belenggu kapitalisme. Sistem ekonomi neoliberal yang mencengkeram Indonesia telah membuat rakyat kecil terjepit dan tercekik dalam kemiskinan sistemik. Namun, ekonomi kerakyatan menawarkan harapan baru bagi masyarakat yang haus akan keadilan dan berjuang untuk kemerdekaan ekonomi.
Konsep ini menekankan partisipasi aktif seluruh masyarakat dalam kegiatan ekonomi, baik sebagai produsen, konsumen, maupun pengawas. Dengan demikian, masyarakat dapat mengendalikan ekonomi mereka dan menikmati hasil jerih payah sendiri.
“Ekonomi kerakyatan bukan sekadar ekonomi prorakyat, tetapi juga berfungsi sebagai gerakan politik untuk memerdekakan kelompok masyarakat yang terpinggirkan,” kata Revrisond.
Kendati demikian, saat ini usaha rakyat belum tentu menganut sistem ekonomi kerakyatan, beberapa masih prakapitalis. Maksudnya, kondisi usaha yang masih menempatkan ketimpangan kuasa antara pemilik modal dan pekerja. Oleh karena itu, wujud nyata dari dari sistem ekonomi kerakyatan adalah membangun koperasi.
Koperasi adalah organisasi ekonomi yang mengedepankan prinsip pengelolaan demokratis dan partisipatif, serta berasaskan gotong royong dan kekeluargaan. Tujuannya, semata-mata meningkatkan kesejahteraan para anggotanya, alih-alih pemilik modal.
Secara praktik, butuh peran pemerintah sebagai fasilitator supaya perkembangannya adil dan merata. Contoh, pemerintah melalui badan usaha dan kebijakannya mendorong pembentukan koperasi bagi kelompok-kelompok usaha mikro, seperti Yanti, Waliman, atau Nurulia. Pemerintah dapat menjadi jembatan untuk pertumbuhan dan pemasaran produk mereka. Pada saat bersamaan, pemerintah juga membuat skema-skema insentif agar usaha rakyat berkembang.
Akan tetapi, Revrisond menganggap pemerintah tidak pernah serius untuk mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan. Melalui beragam kebijakannya, pemerintah justru menggencet ekonomi kerakyatan dan melanggengkan ekonomi kapitalis yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Hal itu tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Perkoperasian. MK membatalkan beleid itu karena dipandang berjiwa korporasi. Sejumlah pasal mengatur norma badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi, diinilai menghancurkan roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, asas kekeluargaan dan kebersamaan yang dijamin konstitusi. Karena itu, MK menyatakan seluruh materi dalam UU 17/2012 bertentangan dengan UUD 1945, membuat masyarakat yang terpinggirkan semakin terjepit dalam sistem pasar bebas.
Penyuburan kapitalisme itu juga terlihat dari bagaimana sub bab soal privatisasi diatur khusus dalam UU BUMN. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 angka 16 UU 1/2025 yang berbunyi, “Privatisasi adalah penjualan saham milik Negara Republik Indonesia pada persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain.”
Aturan tersebut berimplikasi pada perubahan status badan hukum, sehingga BUMN yang sebelumnya menjadi harapan rakyat, kini milik segelintir orang yang menghisap kekayaan negara. Privatisasi merupakan ciri khas ekonomi kapitalis yang mendukung pemupukan laba bagi para pemilik modal besar, membuat kehidupan rakyat miskin semakin terpuruk.
“Artinya, selama ini negara sengaja memelihara kapitalisme melalui instrumen kekuasaan,” kata Revrisond.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.