Pekerja Kampus dalam Balutan Hustle Culture

  • Whatsapp
PARA anggota Serikat Pekerja Kampus. | dok. SPK

Fenomena hustle culture di kalangan pekerja kampus bukan sekadar tentang kerja keras dan dedikasi, melainkan bagaimana sistem eksploitatif memanfaatkan dalih loyalitas dan profesionalisme untuk mengisap tenaga dan sumber daya pekerja. Di balik narasi kesuksesan, tersembunyi ketidakadilan dan penindasan yang menguntungkan segelintir pihak, sementara pekerja kampus menanggung beban berat. Perlu perubahan sistemik secara mendasar untuk membongkar struktur ini dan memberikan perlindungan yang lebih adil bagi pekerja kampus.






Dhia Al Uyun | Ketua Serikat Pekerja Kampus | dosen Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Bacaan Lainnya

Dalam artikelnya yang berjudul “Hustle Culture: Etos Kerja atau Eksploitasi Sistemik?”, Haerawati Idris membahas tentang fenomena hustle culture yang relevan dengan kondisi pekerja kampus saat ini. Hustle culture adalah budaya yang menormalisasi tekanan dan eksploitasi sebagai kewajaran dalam rutinitas kerja. Menurut Nabila Nurazizah dkk (2023), hustle culture merupakan salah satu dampak perubahan budaya dari tradisional ke modern dan postmodern.

Pekerja kampus sering kali dihadapkan pada tuntutan dengan jam kerja yang panjang dan tekanan untuk memenuhi target. Bahkan, jam kerja kerap diibaratkan bentuk loyalitas bawahan terhadap atasan, sehingga pekerja harus selalu siaga dihubungi dan merespons perintah. Permenpan RB 1/2023 memperburuk kondisi ini dengan membawa “virus penundukan” atas nama loyalitas, yang dapat diartikan sebagai upaya sistemik untuk mengontrol pekerja kampus dan menghilangkan otonomi mereka.

Salah satu contoh yang menunjukkan dampak hustle culture pada pekerja kampus adalah kasus D. Ia diberhentikan lewat telepon lantaran mempertanyakan status pekerjaannya di muka publik. D dituduh melempar kotoran ke lembaganya, menunjukkan bagaimana pekerja kampus sering mengalami tekanan dan intimidasi dari atasan. Serupa dengan kasus N yang terhalang menjadi profesor karena atasannya tak suka, meskipun proses hukum dimenangkan. Kasus-kasus ini memperlihatkan bagaimana hustle culture dapat memengaruhi kesejahteraan dan karier pekerja kampus.

Di sisi lain, pekerja kampus terlihat sibuk dengan berbagai tugas dan tanggung jawab. Menurut Kanti P (2023), dalam kertas kerja “Gaji Minimum Beban Kerja Maksimum”, sebanyak 76 persen dosen melakukan pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup. Ini merupakan strategi kesintasan yang dilakukan oleh banyak dosen, meskipun dalam beberapa kasus dapat menyebabkan persoalan integritas.

Namun, bila dipahami secara sistemik, produktivitas dosen sebagai pekerja kampus berbiaya tinggi. Agar menjadi dosen dengan performa profesional, mereka harus memiliki laptop yang memadai, dengan harga minimal Rp 5 juta ke atas untuk mendukung semua aplikasi yang diperlukan. Selain itu, aplikasi yang menyertai laptop juga memerlukan langganan, seperti MS Word, Canva, atau Artificial Intelligence, yang tentunya berbayar.

Biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan oleh dosen, termasuk ponsel, di mana mesti siaga menerima telepon atasan atau mahasiswa; buku, pulsa, kendaraan, daya listrik, dan akses internet. Semua ini tidak dinilai secara ekonomis, melainkan melekat dalam paket dosen. Jika dihitung nilai gunanya, tentu jasa dosen akhirnya tidak bernilai karena hasilnya dikurangi oleh biaya-biaya yang mendukung produktivitasnya.

Kehadiran pekerja kampus di kampus barangkali bukanlah keharusan. Kampus negeri di Solo, misalnya, presensi dengan screening wajah lebih dari dua kali dalam sehari. Sementara itu, kampus lain di Jawa Timur, pekerja kampus wajib mengirim tagging lokasi keberadaan.

Di era remote work, pekerjaan kampus tidak selalu mewajibkan pekerja kampus berada di kampus. Banyak tugas dapat dilakukan secara fleksibel, seperti koreksi hasil ujian, konsultasi tugas akhir, ujian, dan membuat surat tugas.

Bahkan, rapat tak perlu setiap hari dan melibatkan semua orang dalam struktur penugasan. Absen dalam rapat bukan berarti bahwa seseorang tidak bekerja. Dalam banyak kasus, surat tugas relatif sering dipegang oleh hierarki tertinggi yang menjadi pengarah atau penanggung jawab. Mereka mendapatkan honorarium terbesar tanpa harus melakukan pekerjaan yang sebenarnya. Sebaliknya, orang yang berada di tingkat bawahlah yang melakukan pekerjaan sebenarnya dan menerima perintah secara hierarkis. Birokrasi semacam ini adalah budaya yang dinormalisasi untuk eksploitasi sistemik.

Beberapa waktu lalu, Komisi IX DPR mengimbau dosen swasta tidak pindah kampus. Namun, perpindahan ke kampus yang lebih baik seringkali menjadi mimpi bagi dosen swasta. Setelah diterbitkannya Surat Edaran Menteri Pendidikan, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penundaan Implementasi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen, yang mensyaratkan surat lolos butuh untuk perpindahan dosen, dosen swasta diposisikan sebagai kepemilikan kampus swasta.

Contohnya, M, yang selama 10 tahun tidak mendapatkan surat lolos butuh. Ia tidak menerima upah hingga saat ini. Sebaliknya, M dituduh merugikan kampus dan dimintai Rp600 juta dengan jaminan sertifikat tanah dan rumah karena memutuskan pindah, mengikuti suaminya. Surat lolos butuh layaknya ijazah yang menahan dosen swasta untuk dieksploitasi secara sistemik oleh petinggi kampus.

Sudah saatnya menghentikan rantai eksploitasi sistemik ini. Kerja cerdas tak lagi diukur berdasarkan durasi dan kehadiran, melainkan substansi kerja. Perlu disadari bahwa pekerja kampus bukanlah milik atasannya, tetapi bagian dari sistem kerja yang harus dijaga keberlanjutannya.

Saat ini, pemerintah sedang mengkaji Rancangan Undang-undang tentang Ketenagakerjaan. Beberapa koalisi telah menyampaikan gagasan, seperti Koalisi Gekanas, Koalisi Upah Layak Kerja Layak, Koalisi Serikat Pekerja Partai Buruh, dan Koalisi Buruh Bersatu. Namun, dengan situasi ini, gerakan buruh mengalami fragmentasi, yang mengakibatkan penurunan kepadatan serikat (union density), sebagaimana dikemukakan Vedi Hadiz dalam penelitiannya tentang buruh dan negara di Indonesia.

Dalam berbagai koalisi itu, terdapat kesadaran bahwa eksploitasi kerja hanya dapat diselesaikan dengan berserikat. Namun, untuk mencapai kesadaran kolektif ini, sering kali pekerja dibungkus dengan istilah-istilah yang menyelubungi sistem kerja.

Pekerja kampus, misalnya, diselubungi dengan istilah tenaga pendidik atau tenaga profesional. Pekerja kesehatan disebut tenaga kesehatan, bukan pekerja kesehatan. Pengemudi ojek online disebut mitra. Istilah-istilah ini seolah memberikan status yang lebih tinggi, padahal menutupi terhitungnya pekerja-pekerja sebagai bagian dalam sistem ketenagakerjaan.

Sistem ketenagakerjaan memberikan kesetaraan bagi pekerja. Mengapa UU ketenagakerjaan awalnya disebut Undang-undang Perburuhan? Karena pembuat peraturan memahami ketimpangan relasi buruh dan majikan, sehingga membutuhkan afirmasi berupa perlindungan pemerintah dalam bentuk undang-undang. Dengan paket UU Perburuhan, tercipta mekanisme perlindungan hak, kepentingan, dan sistem yang tidak sehat, seperti memecat buruh seenaknya.

Perlindungan lainnya dengan berserikat. Pembentuk undang-undang kala itu tahu bahwa jika buruh memperjuangkan haknya secara individual, akan mudah dipecat. Tetapi, lewat serikat, maka keseimbangan kerja akan terwujud.

Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 pada pertimbangan 3.10.3 menegaskan bahwa hubungan ketenagakerjaan membutuhkan campur tangan pemerintah untuk perlindungan yang layak. Oleh karena itu, definisi buruh atau pekerja perlu diperluas meliputi pekerja kampus, pekerja kesehatan, pekerja kreatif, pekerja online, dan sebagainya. Dengan termuatnya pekerja ini, akan mengurangi eksploitasi sistemik yang bersembunyi di balik hustle culture.(*)

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 62 = 72