Racun Politik Kekuasaan di Balik Program Makan Bergizi Gratis

  • Whatsapp
SISWA SMP Negeri 31 Bandar Lampung sedang pulang sekolah, Senin, 29/9/2025. Bulan lalu, lebih dari dua ratus pelajar sekolah itu mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi hidangan program Makan Bergizi Gratis (MBG). | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Program Makan Bergizi Gratis telah gagal dalam aspek teknis, moral, dan keadilan sosial. Kasus keracunan massal, keterlibatan petinggi militer-politikus, dan penundaan pembayaran upah pekerja menunjukkan bahwa program ini telah dikorupsi oleh kepentingan kekuasaan. Program prioritas presiden itu tak lebih dari sekadar proyek politik untuk mempertahankan relasi kuasa elektoral.






Pagi itu, Danesh bangun dengan perasaan biasa saja. Ia memulai hari lewat serangkaian rutinitas. Setelah mempersiapkan diri, remaja itu melangkah ke SMP Negeri 31 Bandar Lampung di Sukabumi.

Bacaan Lainnya

Di sekolah, Danesh bergabung dengan teman-temannya. Hari itu, mereka akan mencoba program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menunya, ayam kecap dan sayuran yang disajikan dengan buah. Beberapa saat setelah makan, Danesh tiba-tiba pusing dan mual. Ia tidak tahu apa yang salah, tapi gejala itu semakin parah ketika di rumah. Perutnya terasa nyeri dan kram, dan ia beberapa kali menceret.

Ayahnya, Rudi Safei, memerhatikan kondisi Danesh yang semakin lemas. Ia segera membeli obat diare, berharap anaknya cepat pulih. Namun, esok harinya, Danesh tak kunjung membaik. Ia terlalu lemah untuk sekolah dan harus dibawa ke klinik terdekat.

Di balai pengobatan itu, petugas kesehatan mengecek dan bertanya akan kondisinya. Setelah memeriksa, petugas kesehatan mengatakan bahwa Danesh adalah pasien ke-20 dengan keluhan yang sama. Mereka juga berasal dari sekolah di sekitar Sukabumi. Hasil pemeriksaan, Danesh mengalami gejala keracunan makanan. Beruntung, ia kuat bertahan, sehingga tak perlu rawat inap.

Dalam perjalanan pulang, Rudi menerima pesan WhatsApp dari grup sekolah. Isinya, permintaan maaf dari penyelenggara program Makan Bergizi Gratis.

“Setelah pengecekan, ditemukan bahwa ayam yang dibagikan dalam menu hari ini tidak layak konsumsi,” begitu isi pesan tersebut.

Rudi kecewa dengan program Makan Bergizi Gratis. Alih-alih mendapat asupan gizi, program itu justru membawa petaka. Ia khawatir akan keselamatan anaknya di masa depan.

“Lebih baik anggarannya dalam bentuk subsidi pendidikan atau bantuan langsung kepada masyarakat agar bisa membeli makanan sendiri,” ujarnya.

Pada hari yang sama saat Danesh menjalani perawatan di klinik, lebih dari 100 siswa SMPN 31 tidak masuk sekolah. Pihak sekolah panik. Mereka berkoordinasi dengan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang bertanggung jawab atas MBG. Pihak SPPG membawa obat sakit perut dan mual untuk dibagikan kepada siswa. Sementara itu, sekolah terus menerima laporan dari orang tua yang anaknya mengalami gejala keracunan.

Petugas SPPG sedang mangantar paket MBG ke salah satu sekolah di Bandar Lampung, Senin, 29/9/2025. Banyak Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang menjadi penanggung jawab SPPG di Lampung belum menerima upah sejak awal bertugas. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Lantaran situasi semakin kacau, sekolah sempat diliburkan. Pemerintah setempat pun turun tangan. Pihak sekolah mencatat 227 siswa menjadi korban keracunan. Puluhan dari mereka harus menjalani rawat inap. Sejumlah siswa yang kembali sekolah juga harus dirawat lagi di rumah sakit beberapa hari kemudian.

Pemeriksaan awal oleh Dinas Kesehatan Lampung bersama BPOM menemukan adanya kontaminasi Escherichia coli (E. coli) pada air dari dapur yang memproduksi MBG. Satu dapur menyalurkan MBG ke ribuan anak di sekolah-sekolah sekitar Sukabumi. Lebih dari 250 pelajar SD hingga SMA menjadi korban keracunan.

Wakil Kesiswaan SMPN 31 Bandar Lampung Rini Pangestuti bilang, perlu evaluasi mendalam terhadap penyelenggaraan MBG. Sejak hari pertama, menu MBG sudah bermasalah. Beberapa makanan berbau asam dan basi, sehingga pihak sekolah menginstruksikan tidak mengonsumsinya. Namun, pada hari kedua, keadaan menjadi lebih parah dan menyebabkan siswa keracunan.

Rini juga mengeluhkan teknis penyelenggaraan MBG. Waktu dan tenaga guru banyak tersita untuk membagikan dan mengumpulkan wadah makanan. Sebab, petugas MBG yang datang ke sekolah hanya sopir dan kernet, tanpa ada yang bertugas mendistribusikan MBG kepada siswa.

Kemudian, dalam nota kesepahaman, sekolah bertanggung jawab atas wadah makanan. Jika terjadi kerusakan atau hilang, maka sekolah harus mengganti sebesar Rp80 ribu.

“Sudah minta tolong membagikan MBG, tapi malah disuruh tanggung jawab juga kalau ada yang rusak,” kata Rini.

Ia meminta evaluasi MBG yang meliputi penyediaan tenaga distribusi, pengecekan kualitas makanan sebelum dibagikan, dan penghapusan tugas tambahan bagi guru. Rini mengharapkan program MBG dihentikan sementara hingga syarat-syarat itu terpenuhi.

Seorang dokter yang menangani pasien keracunan Makan Bergizi Gratis menyatakan, kontaminasi bakteri seperti E. coli dan Salmonella pada makanan MBG sangat mungkin terjadi karena siklus produksi tidak higienis. Hal ini mencakup cara memasak, alat dan bahan yang digunakan, penyajian, penyimpanan, hingga distribusi makanan.

Air yang tercemar limbah, sayuran tidak dicuci dengan baik, dan daging kurang matang juga bisa dihinggapi berbagai jenis patogen yang memicu keracunan dan gangguan pencernaan. Apalagi anak-anak, yang memiliki imunitas tubuh masih rentan, sehingga kontaminasi sekecil apa pun dapat berdampak.

Praktisi medis itu menyoroti kelemahan fatal dalam pelaksanaan Makan Bergizi Gratis. Satu dapur yang memproduksi ribuan paket makanan kerap kali memulai proses memasak sejak dini hari. Akibatnya, makanan yang disajikan sudah tidak segar, bahkan terkadang berbau asam.

Sistem ini jelas keliru. Makanan sangat rentan terkontaminasi bakteri atau virus, terutama jika dibiarkan selama berjam-jam dalam suhu ruangan. Sayuran dan daging sebaiknya dikonsumsi dalam waktu dua jam setelah matang. Dalam konteks seperti ini, efisiensi produksi tampaknya telah mengorbankan kualitas dan keselamatan.

Sang dokter menyarankan agar dapur Makan Bergizi Gratis dipecah menjadi beberapa bagian. Ketimbang satu dapur memproduksi ribuan paket makanan, sebaiknya ada beberapa dapur yang masing-masing memproduksi sekitar 100-200 paket. Dengan cara ini, waktu produksi bisa diminimalkan dan ahli gizi lebih mudah menentukan menu dan takaran.

Alternatif lain adalah bekerja sama dengan kantin sekolah, sehingga petugas dapur tak terburu-buru dan makanan disajikan segar. Dengan begitu, perekonomian kantin pun ikut berputar.

Selain itu, perlu pula memerhatikan wadah dan ruangan penyimpanan makanan. Suhu yang lembab memicu pertumbuhan bakteri, dan penyebaran patogen bisa melalui udara.

“Bila siklus produksi yang baik belum terjamin, lebih baik program MBG dihentikan dahulu,” ujarnya.

Kasus keracunan Makan Bergizi Gratis di Lampung mencapai taraf mengkhawatirkan. Data pemerintah per 22 September 2025, setidaknya 572 kasus keracunan siswa terjadi selama dua bulan terakhir.

Di Tanggamus, 14 siswa terjangkit keracunan. Di Lampung Timur, 27 siswa mengalami hal serupa. Sementara itu, di Bandar Lampung, jumlah kasus keracunan mencapai 503 siswa. Lampung Utara melaporkan 16 kasus, dan Metro 12 kasus.

Jumlah itu terus bertambah dengan kejadian terbaru yang menimpa 38 siswa SD-SMP di Lampung Timur. Mereka mengidap gejala keracunan usai menyantap MBG berupa roti isi sosis pada Jumat, 26 September 2025. Para pelajar mengalami keluhan seperti sakit perut, pusing, mual, dan muntah.

Tiga hari kemudian, giliran 52 siswa di Lampung Utara dan tujuh siswa di Tulangbawang Barat yang mengalami hal serupa. Mereka harus dilarikan ke rumah sakit karena gejala keracunan.

Satu kasus yang belum terdata terjadi di Pondok Pesantren Al-Islah, Desa Mataram Baru, Lampung Timur. Sebanyak 30 santri merasakan mual, muntah, dan lemas, selepas melahap MBG pada Selasa, 26 Agustus lalu.

Bila disesuaikan dengan data pemerintah, total korban MBG di Lampung mencapai 699 orang, tertinggi se-Indonesia. Secara nasional, korban keracunan MBG tercatat 8.649 anak pada Sabtu, 27 September 2025. Dari jumlah itu, sebanyak 3.289 kasus terjadi hanya dalam dua bulan. Keracunan tersebar di sejumlah daerah di Pulau Jawa, Sumatra, dan Indonesia bagian timur.

***

Monopoli

Pur terkejut mengetahui salah satu pemilik yayasan program MBG adalah seorang jenderal TNI. Ia bertemu dengan sang jenderal di sebuah hotel. Saat itu, Pur berencana membuka dapur SPPG di Lampung. Secara teknis, setiap pihak yang hendak menjadi mitra harus punya legalitas, seperti PT, CV, koperasi, dan yayasan. Informasi yang diterima Pur, pengajuan menjadi mitra akan lebih mudah jika melalui yayasan.

Dalam pertemuan tersebut, pemilik yayasan meminta Pur menyiapkan sejumlah uang. Jumlahnya mencapai Rp30-50 juta per bulan. Biaya itu meliputi sewa pinjam nama yayasan, sewa ompreng, dan insentif untuk petugas resmi SPPG, seperti ahli gizi dan bagian administrasi.

Setelah mendengar penjelasan, Pur mengurungkan niat menjadi mitra. Pasalnya, secara bisnis, biaya yang perlu disiapkan terasa memberatkan. Bila memaksakan untuk membuka SPPG, konsekuensinya akan mengurangi porsi makanan agar bisa menutupi biaya produksi dan setoran ke yayasan.

“Saya enggak mau ambil risiko. Sebab, mau tidak mau harus ngurangin kualitas menu supaya bisa menutupi bayaran ‘tidak resmi’ ke yayasan itu,” kata Pur.

Ia bilang, pengajuan mitra melalui yayasan membuka peluang monopoli. Mereka yang punya banyak uang memiliki kesempatan lebih besar. Militer yang ditemui Pur punya lebih dari satu yayasan yang bekerja sama dengan Badan Gizi Nasional (BGN). Untuk yayasan yang hendak dipinjam Pur, alamatnya berada di Sumatra Selatan. Lebih dari itu, sang jenderal merupakan salah satu pengurus BGN.

Pur tertarik bertemu dengan perwira tinggi itu karena mengira tidak akan sulit untuk mengurus kemitraan. Sebab, tidak sembarangan yayasan bisa diterima sebagai mitra program Makan Bergizi Gratis.

Keterlibatan pensiunan maupun jenderal aktif TNI-Polri dalam program MBG bukan lagi rahasia. Setidaknya, lima pimpinan BGN merupakan purnawirawan perwira tinggi militer. Bahkan, salah satu wakil kepala BGN adalah brigadir jenderal polisi.

Seorang pengendara melintas di salah satu Dapur SPPG, Jalan Tirtayasa, Sukabumi, Bandar Lampung, Senin, 29/9/2025. Berdasar informasi, sejumlah dapur ditengarai terafiliasi dengan legislator, partai politik, hingga ormas. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Selain keterlibatan TNI-Polri, banyak dapur MBG di bawah pengelolaan legislator, anggota partai politik, hingga ormas keagamaan. Lebih dari dua petugas SPPG mengatakan, dapur-dapur MBG di Lampung terafiliasi dengan anggota DPRD.

Keterangan petugas SPPG itu diperkuat Ombudsman yang menilai penetapan mitra yayasan dan SPPG belum transparan dan rawan konflik kepentingan. Ada potensi afiliasi sejumlah yayasan pelaksana program MBG dengan jejaring politik. Kondisi tersebut berisiko membuka peluang penyalahgunaan wewenang.

Persoalan afiliasi politik itu muncul bersamaan dengan kacaunya penetapan mitra yayasan dan SPPG. Dari total 60.500 yayasan yang mendaftar, sekitar 9.632 yayasan lainnya masih menunggu kepastian.

Keterlibatan wakil rakyat dalam penyediaan dapur Makan Bergizi Gratis menuai sorotan keras. Di luar Lampung, beberapa anggota DPRD dari berbagai wilayah seperti Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatra Selatan, juga turut serta menjadi mitra MBG.

Badan Gizi Nasional mengakui hal ini setelah melakukan verifikasi terhadap dapur-dapur yang beroperasi. Terungkap bahwa beberapa mitra BGN memiliki hubungan erat dengan keluarga dan pendukung Prabowo Subianto.

Salah satu dapur MBG, misalnya, dikelola oleh Yayasan Gerakan Solidaritas Nasional, di mana Prabowo tercatat sebagai pendirinya. Keluarga mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu pun terlibat sebagai pengurus yayasan.

Upah Belum Dibayar

Masalah lain yang menambah kompleksitas program MBG adalah upah Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI). Mereka lulusan perguruan tinggi yang direkrut BGN bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan. Posisinya, menjadi penanggung jawab utama dan kepala dapur MBG di daerah masing-masing. Setelah menjalani pelatihan selama tiga bulan, sebanyak 30.000 SPPI di seluruh Indonesia telah bertugas.

Namun, banyak dari mereka belum menerima upah. Hir, salah satu SPPI di Lampung Utara, mengaku frustrasi karena belum dibayar sepeser pun sejak dilantik pada Juli lalu. Lebih dari tiga SPPI di Lampung mengonfirmasi hal serupa.

Sesuai kontrak, Hir seharusnya menerima upah sebesar Rp6,5 juta per bulan. Namun, hingga kini, sama sekali belum ada pembayaran. Akibatnya, operasional sebagai SPPI mengandalkan kocek pribadi. Kondisi ini berdampak signifikan pada kehidupannya sehari-hari, membuatnya kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

Hir tak punya pilihan selain terus menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Ia meminta pemerintah segera menunaikan hak-hak mereka.

“Memang ini mengabdi kepada negara, tapi SPPI juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Apalagi, tanggung jawab SPPI bertambah berat karena kasus keracunan massal,” kata Hir.

Di tengah ketidakpastian soal upah, Hir dan rekan-rekannya menyoroti kehadiran SPPI X yang direkrut secara khusus tanpa mengikuti pendidikan tiga bulan. Ia tidak mempersoalkan prosesnya, tapi mempertanyakan kabar bahwa SPPI X telah menerima upah lebih dahulu.

“Ini soal keadilan. Kami sudah ikut proses dari awal, kenapa yang lain dapat gaji duluan?” tanyanya.

Ternyata, masalah upah ini tidak hanya di Lampung. Berdasarkan komentar di postingan Instagram resmi Badan Gizi Nasional, banyak warganet yang mengaku sebagai SPPI di berbagai daerah seperti Semarang, Kalimantan, dan Pangkal Pinang juga mengeluhkan pembayaran gaji.

Mereka menuntut pemerintah segera menyalurkan upah. Curahan hati mereka di media sosial cukup memprihatinkan, seperti: “Pengawas tak akan bekerja maksimal bila tidak digaji, fokusnya terhalangi dengan bagaimana mendapatkan uang untuk membiayai keluarga,”; “Gaji SPPI banyak yang belum cair, tapi gaji SPPI X malah udah cair semua,”; dan “Gaji kami tolong dibayarkan, anak dan istriku menjerit. Perceraian diujung tanduk. Mohon pengertiannya bapak/ibu.”

Selain masalah upah, Hir juga masih menunggu kejelasan tentang status ketenagakerjaan SPPI. Apakah mereka akan diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), atau hanya berstatus tenaga kontrak tanpa jaminan hukum yang pasti. Saat ini, para SPPI hanya dikontrak per enam bulan.

Ia berharap, setiap persoalan terkait hak SPPI segera tuntas, sehingga mereka dapat bekerja maksimal. Jangan sampai pemerintah menyampingkan nasib SPPI yang berjuang di lapangan.

Di tempat lain, Wakil Ketua BGN Nanik S Deyang membantah soal upah SPPI belum dibayarkan. Ia bilang, mekanisme pembayaran per kelompok karena jumlah SPPI mencapai 30 ribu orang.

“Anggaran sudah ada, tinggal teknis pembayaran saja,” ujarnya.

Mengenai maraknya keracunan yang dialami penerima manfaat MBG, Deyang menyatakan bahwa pihaknya sedang memperbaiki tata kelola.

Racun Politik Kekuasaan

Diah Satyani Saminarsih, Direktur Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), melihat bahwa ambisi pemerintah untuk menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025 menjadi pangkal masalah dalam program MBG. Program ini dijalankan secara terburu-buru demi mencapai target yang ambisius, sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusi tidak tertata dengan baik.

Dari aspek regulasi hingga keamanan pangan, kecukupan nutrisi, sampai pengawasan dan evaluasi, program ini tampaknya tidak dipersiapkan secara matang. Hingga delapan bulan berjalan, kebijakan MBG belum memiliki payung hukum, seperti peraturan presiden dan peraturan lainnya. Akibatnya, tata kelola kelembagaan menjadi tidak jelas, termasuk koordinasi antarkementerian atau lembaga, hubungan pusat-daerah, hingga pengaturan kerja sama multipihak.

Diah Satyani Saminarsih (pegang mic), Direktur Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) | ist

Diah menilai bahwa minimnya payung hukum dan panduan teknis, serta sistem pengawasan yang lemah, telah memicu berbagai persoalan di lapangan. Kasus keracunan akibat makanan tidak higienis bukan satu-satunya masalah. Di banyak sekolah, menu MBG ternyata diwarnai produk pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, dan lemak, serta susu berperisa tinggi gula.

Kondisi ini justru kontraproduktif dengan tujuan awal MBG, yaitu memperbaiki status gizi anak Indonesia. Pasalnya, konsumsi pangan ultra-proses dalam jangka panjang dapat memicu berat badan berlebih dan obesitas.

CISDI mendesak program MBG dievaluasi secara total. Langkah pertama adalah menghentikan sementara program tersebut untuk kemudian melakukan evaluasi menyeluruh, termasuk tata kelola organisasi, kualitas makanan, alokasi anggaran, dan akuntabilitas.

Badan Gizi Nasional perlu membuka kanal pelaporan dan segera memproses pengaduan publik. Langkah tersebut bagian dari upaya pemulihan hak korban keracunan dan makanan tidak layak. Nantinya, hasil evaluasi akan menentukan apakah program MBG masih layak dijalankan atau tidak.

Sejak awal, CISDI telah mengingatkan bahwa program MBG berisiko menjadi solusi sempit untuk persoalan kesehatan yang kompleks. Urgensi sebenarnya terletak pada ketimpangan akses layanan kesehatan dan kebutuhan dasar kesehatan primer yang belum terpenuhi.

“Banyak layanan kesehatan dasar yang juga penting untuk dibenahi, seperti mencetak tenaga kesehatan baru dan memastikan jaminan kesehatan yang mudah diakses masyarakat,” kata Diah.

Pemerhati HAM dan hukum konstitusional Herlambang P Wiratraman memandang bahwa program MBG berpotensi merenggut hak asasi warga negara. Hal ini karena prinsip-prinsip HAM tidak terpenuhi dalam pembuatan kebijakan. Salah satu prinsip yang dilanggar adalah prinsip tak terbagi (Indivisibility), yang menyatakan bahwa semua hak asasi manusia memiliki nilai yang sama dan tidak dapat dibagi-bagi. Dengan demikian, tidak diperbolehkan mengabaikan atau mengesampingkan hak-hak tertentu demi hak-hak lainnya.

Dalam konteks MBG, kebijakan ini dipandang menggerus hak asasi lainnya, seperti hak atas pendidikan dan kesehatan gratis serta layak. Anggaran untuk program ini diambil dari sektor lain, termasuk pendidikan dan kesehatan, sehingga kualitas layanan dan akses terhadap keduanya semakin menurun. Jika pemerintah bersikeras menjalankan program MBG, maka prosesnya tak boleh mengurangi hak asasi yang lain.

Akademisi Universitas Gadjah Mada Herlambang P Wiratraman | ist

Prinsip saling bergantung (Interdependent) juga relevan dalam konteks ini. Prinsip dimaksud bahwa terpenuhinya satu kategori hak tertentu akan selalu bergantung pada pemenuhan hak lainnya. Contoh, hak atas pekerjaan bergantung pada terpenuhinya hak atas pendidikan. Begitu pula, hak untuk memilih dan menjalankan suatu keyakinan bergantung pada hak untuk menyatakan pendapat di muka umum.

Untuk memenuhi tujuan MBG terkait hak atas pangan dan gizi, realisasinya sangat bergantung pada pemenuhan hak-hak lainnya, seperti hak untuk hidup, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan dan pendidikan, serta hak atas keadilan sosial dan lingkungan yang memadai. Semua hak ini saling terkait dan menentukan akses serta ketersediaan pangan yang berkelanjutan.

Herlambang melihat kebijakan MBG tidak sesuai dengan prinsip pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob). Pemerintah seharusnya memaksimalkan sumber daya untuk mencapai realisasi progresif, termasuk menetapkan anggaran berdasarkan kemampuan negara. Namun, program MBG justru menyedot anggaran dari berbagai sektor layanan publik, sehingga membebani kemampuan negara untuk memenuhi hak asasi lainnya.

“Jadi, secara desain, MBG justru merusak dan menggerus hak asasi yang lain,” ujarnya.

Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu merekomendasikan program MBG tidak dijalankan sebelum negara menyelesaikan kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan gratis yang mudah diakses. Dengan segala kekacauan, termasuk kasus keracunan, ia yakin bahwa MBG hanya sekadar proyek politik untuk mempertahankan relasi kuasa elektoral. Keterlibatan pengurus dan penyelenggara yang terafiliasi dengan kekuasaan membuat program ini sarat konflik kepentingan dan pelaksanaan serampangan.

“Jadi, secara struktural program itu sudah kacau karena berangkat dari proyek politik, bukan kebutuhan mendasar warga negara. Bagi saya, itulah racun paling berbahaya, yaitu racun politik kekuasaan,” kata Herlambang.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

18 + = 26