Perampasan ruang hidup di Sumatra adalah manifestasi dari struktur kekuasaan yang timpang. Atas nama pembangunan dan hajat ekonomi, negara dan pemilik modal bersekutu merenggut sumber-sumber penghidupan masyarakat. Dalam konteks ini, perlawanan rakyat bukan hanya tentang mempertahankan hak-hak dasar, tapi juga menciptakan tatanan yang lebih adil dan berdaulat.
Minggu pertama September 2023, Pulau Rempang di Kota Batam, Kepulauan Riau, berubah menjadi medan pertempuran. Ribuan warga meninggalkan rumah. Mereka berbaris di pos penjagaan yang dibangun di sejumlah akses masuk menuju kampung. Posko-posko itu menjadi benteng awal bagi warga untuk melindungi diri.
Satu bulan sebelumnya, kabar tentang penggusuran pulau telah menyebar. Orang tua, pemuda, anak-anak sekolah, dan perempuan berkumpul di posko-posko itu, berjaga siang dan malam. Mereka tak hanya menjaga posko, tapi juga mempertahankan hak menempati tanah leluhur.

Pagi itu, Jembatan IV Barelang, penghubung utama menuju pulau, menjadi saksi bisu konfrontasi antara warga dan aparat. Sekitar jam 09.40 WIB, ribuan aparat TNI, Polri, Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan Batam, dan Sat Pol PP memaksa masuk ke Rempang untuk memasang patok. Bentrok tidak terhindarkan. Polisi menembakkan gas air mata dan water cannon ke arah massa, membuat warga kocar-kacir.
Warga terus melawan. Mereka tahu bahwa jika aparat berhasil masuk pulau, maka kampung akan hancur. Aparat semakin membabi buta. Suara tembakan yang keras dan berderak memenuhi udara. Gas air mata menyebar ke sekolah-sekolah, membuat para siswa berhamburan. Wajah mereka dipenuhi ketakutan dan rasa sakit. Anak-anak itu lari menuju hutan dekat sekolah. Beberapa di antaranya jatuh pingsan, sesak napas, dan dilarikan ke rumah sakit.
“Mereka (aparat) memang biadab,” kata Riska (22), mengenang tragedi Rempang.
Riska adalah warga Desa Pasir Panjang, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang. Hari itu, ia berdiri di garis depan perjuangan. Riska berjaga di Pos Simpang Tiga Dapur 6, pintu masuk menuju beberapa kampung di Kelurahan Rempang Cate. Sementara, ayahnya mengadang aparat di Jembatan IV.
Ketika kabar kericuhan menyebar, Riska segera menjemput ayahnya. Ia menyaksikan alat negara memukul dan menembakkan peluru karet ke arah masyarakat yang tidak berdaya. Seorang warga harus menerima 12 jahitan di kepalanya, sebuah luka yang mengerikan dan membekas.
Riska kemudian mengevakuasi sang ayah menuju posko. Keduanya mengamankan diri sampai malam hari. Sementara, polisi menyisir kampung-kampung dan menembakkan gas air mata hingga azan magrib berkumandang.
Di tengah kekacauan, Riska merasakan ketakutan yang mendalam. Tangisan perempuan dan anak-anak terdengar di setiap selongsong peluru yang jatuh ke tanah. Sampai sekarang, masyarakat Rempang menyimpan trauma.
Di balik brutalisme aparat, terdapat sebuah rencana besar yang telah digariskan pemerintah. Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023, yang disahkan oleh Airlangga Hartanto pada 28 Agustus 2023, memasukkan Rempang ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).
Proyek “Rempang Eco-City” ini menggandeng perusahaan kaca terbesar asal Tiongkok, Xinyi Internasional Investment Limited, dengan investasi sebesar Rp381 triliun. Namun, harga yang harus dibayar oleh warga Rempang sangat mahal. Mereka dipaksa meninggalkan rumah dan tanah leluhur yang telah dihuni dari generasi ke generasi.
Badan Pengusahaan (BP) Batam telah menetapkan batas waktu relokasi pada 28 September 2023. Setelah pengosongan lahan selesai, pengelolaan Pulau Rempang akan diserahkan kepada PT Makmur Elok Graha, anak perusahaan Grup Artha Graha – konglomerasi bisnis milik Tomy Winata.
Di atas kertas, perseroan tersebut memang memiliki sertifikat hak guna bangunan seluas 16.583 hektare selama 80 tahun. Namun, di balik dokumen resmi itu, terdapat sejarah panjang yang telah mengakar di Pulau Rempang.
Sebenarnya, rencana pengembangan Pulau Rempang dimulai sejak Agustus 2004, yang ditandai dengan penandatanganan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE). Dalam perjalanannya, rencana tersebut mandek karena dugaan korupsi. Belasan tahun kemudian dihidupkan kembali sebagai Proyek Strategis Nasional.
Riska dan warga lainnya mempertanyakan keabsahan plan ini. Sebab, Pulau Rempang adalah rumah bagi mayoritas suku Melayu, jauh sebelum Indonesia merdeka. Tanah ini menjadi bagian dari kehidupan mereka secara turun-temurun. Kini, kearifan lokal yang mereka jaga terancam oleh rencana relokasi. Penolakan warga bukan hanya soal mempertahankan ruang hidup, tetapi juga tentang menjaga tanah leluhur dan identitas kolektif.
Dua tahun berlalu. Api perlawanan warga Rempang masih menyala. Masyarakat terus berjuang meski dihadapkan pada intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi yang tak henti-hentinya.
Selama periode ini, setidaknya 54 orang yang berdemonstrasi ditangkap, dan 46 di antaranya menjadi tersangka. Belasan orang lainnya luka parah hingga menjalani perawatan di rumah sakit. Penyerangan terhadap warga terus terjadi, meninggalkan luka dan trauma mendalam.
Selain unjuk rasa, masyarakat Rempang juga mengadu ke parlemen. Perjuangan mereka sempat mendapat angin segar ketika Proyek Rempang Eco-City disebut tidak masuk daftar Proyek Strategis Nasional pemerintahan Prabowo-Gibran.
Namun, kabar baik itu tak bertahan lama. Ketua Panitia Kerja Pengawasan Tata Kelola Kawasan Batam Andre Rosiade menyatakan, informasi mengenai Rempang Eco City yang tak lagi berstatus PSN adalah tidak benar. Sampai saat ini, Rempang Eco City masih bagian Proyek Strategis Nasional. Perpres 12/2025 hanya melanjutkan, bukan membatalkan Perpres 18/2020 yang menetapkan Rempang Eco-City sebagai PSN.
Dengan status proyek yang masih berlanjut, masyarakat Rempang hidup dalam bayang ketakutan akan kehilangan ruang hidup. Kendati pembangunan ditunda, aktivitas orang-orang perusahaan masih berlangsung. Upaya-upaya melobi masyarakat agar pindah dari pulau pun terus dilakukan. Saat ini, sebanyak 162 kepala keluarga telah direlokasi oleh BP Batam, meninggalkan kesan bahwa ancaman penggusuran terasa nyata.
Riska dan ribuan warga lainnya menolak tunduk. Bagi mereka, pemerintah telah menjual masyarakat dan kearifan lokal kepada investor asing. Penduduk Rempang bukan menolak pembangunan, tapi menentang ketidakadilan.
Seperti banyak warga lainnya, Riska tak rela bila tanah adat mereka dirampas untuk kepentingan para pemilik modal. Ia yakin bahwa kekayaan alam dan sumber daya di Pulau Rempang harus dikelola untuk kemaslahatan rakyat, bukan korporasi. Atas dasar itu, warga Rempang menyatakan diri terus berada dalam garis perlawanan, hingga negara sadar bahwa warga harus berdaulat di tanahnya sendiri.
***
Sugianto tak bisa lagi berladang dengan tenang. Perasaan takut dan cemas terus menyelimuti petani sawit berusia 45 tahun itu. Desa Tobing Tinggi, tempat tinggalnya, kini menjadi bayang-bayang ketakutan. Benaknya selalu teringat peristiwa kelam yang terjadi selama lebih dari dasawarsa terakhir.
Sugianto adalah salah satu warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri (KTTJM). Bersama 250 kepala keluarga, ia mengelola lahan sawit lebih dari 1.023 hektare sejak 2004. Awalnya, para petani adalah pendatang dari kawasan Toba. Mereka membeli lahan warga setempat dengan keyakinan bahwa tanah tersebut bebas masalah.
Camat Barumun Tengah, kepala desa, dan pegawai BPN Tapanuli Selatan telah meyakinkan mereka. Bahkan, ada akta jual beli yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang kala itu. Kini, keyakinan tersebut mulai dipertanyakan.
Pada akhir 2009, dua perusahaan yang bergerak dalam usaha Hutan Tanaman Industri (HTI), PT Sumatera Sylva Lestari dan PT Sumatera Riang Lestari, mengklaim lahan mereka. Tanpa negosiasi, kedua perusahaan itu mengambil alih tanah warga.
Puncak konflik terjadi pada 2012-2013. Puluhan rumah terbakar dalam pengambilalihan tanah garapan warga. Lahan yang sebelumnya lebih dari 1.023 hektare kini tersisa 600 hektare, dikelola 139 keluarga. Ratusan keluarga petani lainnya terusir dari tanahnya sendiri, meninggalkan kenangan dan harapan yang hilang.
Pagi, siang, dan malam, petani KTTJM berjaga di ladang. Mereka tidak tidur nyenyak, selalu waspada terhadap ancaman yang mengintai. Selain berjaga, para petani juga menempuh jalur-jalur demokratis untuk memperjuangkan hak. Mulai aksi demonstrasi hingga mengadu kepada pemerintah setempat dan DPR.
Pada 2012, warga bahkan menggelar mogok makan dan menjahit mulut di kantor DPRD Sumatera Utara selama satu bulan. Namun, usaha itu sia-sia. Konflik masih berlanjut, perusahaan dengan segala kekuatannya terus menggerus tanah petani. Malah, perlawanan petani diganjar kriminalisasi.
Pada 2020, PT Sumatera Sylva Lestari melaporkan anggota KTTJM ke Polda Sumatra Utara. Tiga petani menjadi tersangka. Di tengah perjuangan, warga harus disibukkan dengan panggilan-panggilan polisi, menambah beban dan kesulitan yang mereka hadapi.
Pada 2022, petani mengikuti program Tana Objek Rerforma Agraria (TORA) untuk penyelesaian konflik lahan. Warga mengajukan skema TORA melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Sumatra Utara. Namun, berkas dikembalikan dengan alasan lahan yang diajukan masuk dalam kawasan hutan. Padahal, ketika membeli pada 2004, warga tidak diberitahu oleh pejabat setempat bahwa lahan tersebut adalah kawasan hutan. Lahan yang digarap semak belukar, bukan hutan.
Perjuangan petani pun berlanjut. Pada Agustus 2023, warga mengajukan berkas permohonan sosial kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Direktur Persiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) Ditjend PSKL KLHK, Syafda Roswandi, menyatakan bahwa pemegang izin wajib bermitra dengan masyarakat. Artinya, PT Sumatera Sylva Lestari dan PT Sumatera Riang Lestari harus bekerja sama dengan petani, bukan merampas tanah mereka. Namun, perusahaan tetap kukuh hendak mengambil lahan petani.
Terbaru, okupasi lahan warga kembali terjadi. Pada 2 Juni 2025, sekitar pukul lima pagi, tiga unit alat berat tiba-tiba menumbangkan pohon kelapa sawit milik komunitas petani di desa Sugianto. Penggusuran itu tanpa pemberitahuan. Tak butuh waktu lama, dua hektare lahan warga rata dengan tanah. Buldoser perusahaan hendak meratakan lebih banyak lahan, namun petani membentuk pagar hidup dengan tubuhnya.
Meskipun kondisi saat ini relatif stabil, upaya-upaya perampasan lahan warga masih berlangsung. Termasuk mengadu domba sesama warga yang memicu konflik horizontal. Salah satunya dengan penggunaan satuan pengamanan swakarsa.
Kendati demikian, Sugianto bersama seluruh petani KTTJM tetap solid. Bagi mereka, tanah adalah nyawa petani. Tanpa tanah, petani akan kehilangan lahan produksi sekaligus ruang penghidupan.
Para petani sebenarnya berpikiran terbuka. Jika perusahaan tetap ingin beroperasi, maka petani membuka peluang untuk kemitraan dengan tanah tetap dikuasai petani. Bila perusahaan bersikeras merampas tanah rakyat, maka api perlawanan tak akan pernah padam.
***
Perampasan Ruang Hidup
Kisah Riska di Pulau Rempang dan Sugianto di Padang Lawas hanyalah potret kecil dari berbagai perampasan ruang hidup di Sumatra. Dari Aceh sampai Lampung, konflik yang menindas rakyat jelata dan kelompok rentan seperti petani, nelayan, dan komunitas adat terus berlangsung. Konflik umumnya berkaitan dengan kawasan hutan, perkebunan, dan tambang. Dengan dalih kepentingan ekonomi dan investasi, ruang hidup aman bagi masyarakat kerap direnggut.
Di Lampung, salah satu konflik agraria yang tak kunjung selesai adalah pengusiran warga di tujuh desa, Kabupaten Tulangbawang, oleh PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL). Pada 1991, PT BNIL dengan bantuan tentara mengusir warga secara paksa dan kejam.
Mereka menggunakan gajah untuk merangsek ke permukiman, menghancurkan rumah dan tanaman warga. Suara senjata mengiringi aksi kekerasan. Seorang warga meninggal terinjak gajah. Lebih dari 3.000 warga terusir dari tanahnya. Sampai hari ini, ribuan warga masih memperjuangkan ruang penghidupan.
Kemudian, sebanyak 400 kepala keluarga petani singkong di Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan, belum memiliki kepastian hak atas lahan garapan. Pemerintah berulang kali mencoba menggusur dan mengusir warga, serta memberlakukan sewa lahan. Petani melakukan berbagai perlawanan, mulai dari unjuk rasa hingga mendatangi wakil rakyat. Namun, hanya berujung pada kriminalisasi.
Salah satu perempuan petani, Uun Irawati, dilaporkan berkali-kali atas tuduhan penyerobotan lahan dan perusakan. Ia harus membayar Rp40 juta untuk terhindar dari ancaman penjara.
“Hukum hanya untuk memenjarakan orang yang bersuara,” kata Uun Irawati, yang akrab disapa Tini.
Di Sumatra Barat, lahan petani milik masyarakat adat Nagari Kapa, Kabupaten Pasaman Barat, ditanami perkebunan sawit oleh PT Permata Hijau Pasaman (PHP) I sejak 1994. Meskipun warga setempat menolak, perusahaan tetap membangun perkebunan sawit di atas tanah ulayat seluas 924 hektare. Ratusan petani Kapa berjuang merebut ruang hidup itu kembali.
Pada 2019, mereka sempat menggarap lahan tersebut, sebelum akhirnya direbut paksa lagi oleh perusahaan pada 2024. Puluhan petani dilaporkan ke polisi dan kini status hukumnya sudah P21. Artinya, mereka akan diadili hanya karena memperjuangkan haknya.
“Saya ikhlas kalau harus dipenjara demi kebenaran. Pemerintah memang tidak berpihak kepada rakyat,” ujar Syahmiarti alias Ica, salah satu perempuan petani Kapa yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumatra Barat.
Bila Tini dan Ica belum sempat masuk bui, hal berbeda dirasakan Yuzarwedi, petani dari Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Pada 2017, Yuzarwedi ditangkap polisi usai menolak proyek energi listrik tenaga uap di desanya. Saat itu, wilayah konsesi perusahaan mencakup sekitar 27.000 hektare yang mencaplok tanah ulayat Nagari Batu Bajanjang, termasuk lahan pertanian Yuzarwedi. Bentrok dengan aparat tidak terhindarkan sewaktu unjuk rasa.
Setelah aksi, Yuzarwedi dituduh sebagai provokator. Ia dijebloskan ke penjara lebih dari 3 tahun 6 bulan, harga yang harus dibayar karena mempertahankan ruang hidupnya.
Yuzarwedi sadar, ganjaran penjara itu tidak sebanding jika perusahaan geothermal beroperasi. Puluhan ribu orang bakal kehilangan lahan produktifnya. Perlawanan Yuzarwedi dan para petani setidaknya bisa menghentikan upaya perampasan hingga hari ini, meskipun perusahaan terus melobi masyarakat.
“Jadi, harus terus dilawan. Masyarakat mesti berani menentang kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat,” kata Yuzarwedi.
Ancaman terhadap ruang hidup masyarakat tak hanya terjadi di sana. Di Kepulauan Mentawai, keindahan alam terancam rusak. Pulau Sipora bakal kehilangan 20.706 hektare atau sepertiga luasnya setelah pemerintah mengeluarkan persetujuan perizinan berusaha untuk PT Sumber Permata Sipora (SPS).
Nurtiana, salah satu penduduk Pulau Sipora, mengatakan hutan dan masyarakat adat Mentawai tidak bisa terpisahkan. Selain melaut, perekonomian masyarakat juga bergantung dari hasil hutan seperti durian, kelapa, pinang, pala, dan sagu.
“Alam menyediakan segalanya, tapi perusahaan mau rampas,” ujarnya.
Persoalan tidak berhenti di situ. Di Sipora, hutan rimbun nan lebat bakal menjadi korban berikutnya. Ancaman pembalakan dapat memperparah bencana banjir yang sudah sering melanda. Karena itulah masyarakat menolak kehadiran perusahaan yang berupaya melenyapkan hutan mereka.
Saat ini, PT SPS belum beroperasi karena penolakan masyarakat. Nurtiana bersama warga akan sekuat tenaga mempertahankan keberadaan hutan.
Mereka tidak sendirian. Banyak kelompok masyarakat lain juga menghadapi perampasan ruang hidup, terutama dalam isu tambang dan energi. Hak warga atas lingkungan hidup yang sehat terabaikan, lagi-lagi dengan dalih pembangunan dan investasi.
Sejak 2019, sejumlah desa di Kabupaten Aceh Timur diselimuti bau menyengat seperti gas dan belerang. Lebih dari enam tahun, warga Desa Gampong Blang Nisam, Alue Ie Mirah, Suka Makmur, dan Jambo Lubok menjalani hidup dengan hidung perih, tenggorokan gatal, dan dada sedikit sesak. Mereka tahu bahwa aroma itu berasal dari proses produksi PT Medco E&P Malaka, entitas bisnis dalam eksplorasi dan produksi minyak-gas bumi.
Sepanjang 2019-2022, lebih dari 13 orang dirawat di puskesmas. Sebagian besar korban terpaksa dibawa ke rumah sakit.
Pada 9 April 2021, sebanyak 250 warga Gampong Panton Rayeuk harus mengungsi ke kantor Camat lantaran bau busuk tak tertahankan. Lebih dari 60 orang memperlihatkan gejala keracunan gas. Bulan lalu, kebocoran gas terjadi lagi, membuat warga kembali merasakan ketakutan dan ketidakpastian.
Yessi, salah satu warga Desa Alue Ie Mirah, bergabung dengan ratusan masyarakat lain dalam komunitas perempuan peduli lingkungan. Mereka tidak meminta banyak, hanya udara bersih, tanah yang sehat, dan lingkungan yang aman.
Sebenarnya, warga sudah melapor ke pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Timur. Namun, solusi yang ditawarkan belum menyentuh akar masalah. Sebaliknya, masyarakat diminta beradaptasi saat menguar aroma busuk.
“Bila tidak bisa mengatasi kebocoran gas, kami minta perusahaan itu pergi dari desa,” kata Yessi.
Ia bersama masyarakat lainnya tak lagi memiliki harapan untuk mendapatkan perhatian pemerintah setempat. Mereka pun berencana menggugat perusahaan, menuntut hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bebas polusi.
Seperti masyarakat Alue Ie Mirah yang berjuang melawan polusi, warga desa sekitar PLTU Pangkalan Susu, Langkat, Sumatra Utara, juga merasakan dampak serupa. Nurhayati, seorang petani padi yang kini beralih menjadi pedagang sembako, merasakan langsung bagaimana asap PLTU merusak sawahnya. Air hujan yang biasanya menyuburkan tanaman, kini membawa kematian.
Ia tidak sendirian. Banyak warga lainnya menderita akibat polusi udara, air, dan tanah. Nelayan setempat terpaksa menjual kapal mereka karena tangkapan kian menyusut. Pada 2022, Yayasan Srikandi Lestari menemukan banyak warga yang menderita penyakit terkait polusi. Bahkan, beberapa di antaranya meninggal dengan sakit parah.
Warga pun tak tahan lagi. Mau tak mau, mereka meninggalkan kampung halaman untuk mencari penghidupan lebih baik. Tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan berubah menjadi sumber penderitaan.
“Buat apa dipertahankan kalau hanya merusak kehidupan masyarakat,” kata Nurhayati.
Di pesisir Timur Lampung, nelayan merasakan hal sama. Aktivitas tambang pasir laut berdampak buruk terhadap penangkap ikan.
Miswan, nelayan dari Desa Margasari, merasakan langsung impaknya. Ia mengingat masa-masa rajungan melimpah, kini tinggal cerita.
Dalam satu kali melaut, Miswan hanya mampu membawa pulang 5-7 kg, jauh dari jumlah yang biasa ia dapatkan, 30 kg-50 kg. Pemulihan ekosistem yang rusak membutuhkan waktu ratusan tahun, membuat Miswan gelisah akan masa depan keluarga.
“Masyarakat selalu paling rugi kalau alam dirusak,” ujarnya.
***
Jalan Perlawanan
Tubuh Sugianto bergetar tatkala membaca pernyataan sikap dan deklarasi pada Temu Rakyat Sumatra di Desa Sripendowo, Lampung Timur, Senin, 8 September 2025. Lebih dari 500 peserta dari berbagai provinsi di Sumatra hadir, termasuk Aceh, Jambi, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Riau, Bengkulu, dan Lampung. Mereka menyatakan tidak akan tunduk terhadap negara dan korporasi yang merampas ruang hidup rakyat.
“Kami memilih jalan perlawanan,” kata Sugianto.
Jalan yang penuh resiko, tapi satu-satunya cara menuju kedaulatan sejati. Mereka percaya bahwa dari Sumatra bakal lahir gelombang rakyat lebih besar, yang akan menolak penindasan. Mereka ingin membangun dunia lebih adil, setara, dan berdaulat atas tanah, laut, dan hutan.
Dalam acara yang diprakarsai LBH Bandar Lampung dan Walhi Lampung itu, masyarakat dari berbagai latar belakang berkumpul. Mereka berasal dari pesisir, hutan, dan desa-desa perkebunan.
Riska, Sugianto, dan warga lainnya yang terampas ruang hidupnya bergabung di sana. Mereka dipersatukan oleh nasib yang sama: direnggut ruang hidupnya dan tidak mendapat keadilan.
Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas bilang, Temu Rakyat Sumatra bertujuan mengonsolidasikan gerakan rakyat. Gerakan ini untuk menghadapi perampasan ruang hidup dan ketidakadilan struktural.
Selain itu, Temu Rakyat Sumatra juga wadah refleksi. Negara dan korporasi kini bersekutu menghancurkan ruang hidup masyarakat demi investasi, pembangunan, dan transisi energi. Padahal, kedaulatan sejati di tangan rakyat, bukan pemerintah atau korporasi.
“Melalui kekuatan persatuan, perusahaan dan aparat bisa dilawan dan diusir dari tanah rakyat. Sebab, negara ada karena rakyat, bukan sebaliknya,” kata Prabowo.
Selama tiga hari, para peserta dari sembilan provinsi di Sumatra berbagi kisah. Mereka pun mengevaluasi gerakan dan merumuskan strategi perjuangan.
Dalam diskusi, muncul pertanyaan dari mereka yang mengalami kriminalisasi, seperti Tini, Ica, dan Yuzarwedi. “Apakah masih bisa menempuh jalur hukum, sementara hukum digunakan untuk memenjarakan rakyat?” tanya mereka. “Bagaimana rakyat yang berjuang atas haknya dicap seperti penjahat?”
Pertanyaan lain diajukan Riska, Sugianto, Yessi, dan Nurhayati: Masihkah berharap pada pemerintah dan wakil rakyat untuk menuntaskan konflik? Sementara, merekalah yang bertahun-tahun membiarkan rakyat hidup di atas penderitaan, penindasan, dan perampasan.
Di tengah pergumulan itu, Tini punya refleksi tersendiri. Bagi Tini, menyandarkan kepercayaan pada instrumen kekuasaan hari ini sudah tidak relevan. Petani singkong yang berulang-ulang ditekan itu memulai perlawanan dengan tidak memberi suara pada pemilu.
Ia bilang, untuk apa memilih pemimpin atau wakil rakyat kalau terus-terusan sengsara. Tini percaya rakyat bisa berdikari dan hidup di atas kakinya sendiri. Maka, untuk merebut kedaulatan, rakyat harus bersatu. Keadilan tidak akan diberi oleh penguasa, melainkan direbut dengan penuh perjuangan.
Yuzarwedi punya pengalaman serupa. Aparat hanya alat penguasa untuk menjalankan kepentingannya. Ia menekankan warga tidak takut lagi akan aksi represi aparat. Tanpa perlawanan, rakyat hanya memperpanjang rantai ketidakadilan dan mengakumulasi ketertindasan.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.