Supremasi sipil berada di ujung tanduk. Menguatnya militerisme dalam ranah sipil telah mengaburkan batas antara keamanan dan kebebasan. Satu-satunya cara menghentikan kemunduran lebih lanjut adalah mengonsolidasikan kekuatan rakyat secara kolektif.
Sekretariat Bersama Roeang Boemi terdengar riuh, sore itu. Para aktivis dari berbagai organisasi, termasuk Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), sedang merumuskan tuntutan aksi Hari Buruh pada 1 Mei 2025.
Setelah diskusi keras, mereka menyepakati bahwa kapitalisme, oligarki, dan militerisme adalah musuh kelas pekerja. Hasil keputusan juga mencakup pencabutan UU Cipta Kerja, pendidikan gratis, penolakan PHK dan jaminan kesejahteraan buruh, serta penolakan terhadap segala bentuk militerisme dalam penguasaan alat produksi.
Di tengah hiruk-pikuk perdebatan, Wahyu, sang pemandu diskusi, menerima pesan WhatsApp dari nomor tidak dikenal. Isinya singkat: pertanyaan tentang keberadaan dan agenda rapat yang digelar Wahyu bersama aktivis lainnya.
Wahyu terdiam sejenak, pikirannya teralihkan dari diskusi yang masih alot. Ia meninggalkan ruangan sebentar, keluar ke udara terbuka untuk memikirkan pesan tersebut. Sementara, perdebatan di dalam ruangan terus berlanjut, dengan peserta konsolidasi yang masih beradu argumen. Setelah menarik napas, Wahyu membalas pesan dengan bertanya tentang maksud dan tujuan orang itu.
Pengirim pesan mengaku berasal dari sebuah Komando Distrik Militer (Kodim). Ia ingin mengetahui rencana aksi May Day yang sedang dikonsolidasikan oleh Wahyu dan kawan-kawan. Wahyu langsung menolak permintaan tersebut.
“Kami tidak mengundang aparat,” ujarnya.
Akan tetapi, pengirim pesan meminta untuk bertemu dengan Wahyu selepas diskusi. Wahyu pun mengabaikan pesan tersebut dan mempercepat konsolidasi. Ia khawatir orang itu mendatangi lokasi mereka.
Kekhawatiran Wahyu bukan tanpa alasan. Beberapa bulan lalu, saat muncul gerakan #IndonesiaGelap, LMID juga menggelar diskusi internal. Aksi massa itu merupakan gelombang penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak prorakyat serta jauh dari prinsip keadilan sosial dan demokrasi.
Demonstrasi membara dengan penolakan keras terhadap kebijakan yang memprioritaskan program Makan Bergizi Gratis sambil memotong anggaran pendidikan dan kesehatan. Suara-suara kritis juga menentang Revisi Undang-Undang TNI yang mengancam supremasi sipil.
Kala itu, Wahyu membagikan undangan diskusi internal di media sosial. Namun, sore hari ketika hendak berdiskusi, dua orang berpakaian sipil mendatangi sekretariat mereka. Kedua pria itu beralasan tak sengaja melintas. Mereka memperkenalkan diri sebagai anggota intelijen militer, meninggalkan kesan yang tidak biasa.
Wahyu dan beberapa anggota LMID yang berada di lokasi terkejut ketika angkatan bersenjata mendadak datang. Kehadiran mereka tak lazim, karena sebelumnya aparat tidak pernah mengunjungi sekretariat. Kedua tentara itu menanyakan maksud dan tujuan diskusi, membuat Wahyu dan teman-temannya merasa tak nyaman. Akhirnya, diskusi batal. Seolah-olah pertemuan mereka diawasi.
Setelah aparat itu pergi, Wahyu dkk pindah tempat, melanjutkan diskusi soal #IndonesiaGelap secara terbatas dan rahasia. Mereka waswas petugas kembali datang, membuat langkah selanjutnya harus hati-hati.
“Tentara seharusnya menjaga keamanan negara, bukan mengawasi diskusi,” kata Wahyu, mengungkapkan kekecewaannya atas intervensi militer terhadap ruang sipil. Baginya, kejadian itu menjadi tanda bahwa batas antara keamanan dan kebebasan makin kabur.
***
Di kamar indekos sederhana, Rasyid tenggelam dalam dunia novel “Lapar” karya Knut Hamsun, peraih Nobel Kesusastraan 1920. Sambil berbaring telentang, ia mengimajinasikan kerasnya hidup tokoh “Aku.” Dalam novel itu, tokoh “Aku” digambarkan sebagai seseorang yang bertekad mempertahankan nilai hidup, meskipun harus menghadapi pahitnya kehidupan. Bahkan, tokoh “Aku” pernah mengunyah sekeping kayu untuk mengisi perutnya yang kosong.
Cerita itu membangkitkan semangat Rasyid. Ia terinspirasi untuk terus bergerak, mengorganisasi kelompok anak muda di Lampung melalui Forum Literatur, sebuah perpustakaan jalanan yang tidak hanya menggelar lapak baca gratis, tetapi juga terlibat dalam aksi massa, kelas mengajar, diskusi tematik, dan bedah buku.
Rencananya, setelah membaca novel, Rasyid hendak mengikuti konsolidasi terkait persoalan banjir di Bandar Lampung. Bencana struktural itu merenggut delapan nyawa dan berdampak pada 14 ribu rumah. Hatinya tergerak untuk bersolidaritas.
Namun, dua jam sebelum pertemuan yang diagendakan pukul empat sore di Museum Lampung, ponsel Rasyid bergetar dengan panggilan dari nomor asing. Seorang pria yang mengaku sebagai anggota Kodim berada di ujung telepon.
Rasyid langsung bangun dari tidur telentangnya dan mengambil posisi duduk, mendengarkan saksama suara lelaki tersebut. Pria itu menanyakan rencana aksi Hari Buruh dan konsolidasi soal banjir, sama seperti yang pernah dialami Wahyu. Dengan cepat, Rasyid menjawab tidak tahu dan segera menutup telepon, berusaha membatasi interaksi dan informasi.
Ia melihat ada yang tidak beres. Kesadaran bahwa dirinya sedang diawasi oleh kerja-kerja intelijen makin kuat saat mengetahui bahwa pada waktu berdekatan, pria yang sama juga mengontak temannya. Pertanyaan yang sama pun diajukan, yakni rencana-rencana aksi setelah konsolidasi.
Rasyid merasakan tekanan tersembunyi, seperti tangan tak kasatmata yang mengarahkan dan mengawasi setiap gerak geriknya. Ia mencoba menilik manuver militer yang belakangan aktif memantau diskusi.
Menurutnya, giat TNI mencampuri urusan sipil dimulai ketika revisi UU TNI disetujui oleh pemerintah dan DPR. Keadaan ini merupakan perubahan besar, terutama di Bandar Lampung, di mana Rasyid tak pernah menjumpai pihak militer mengontak atau mendatangi ruang-ruang diskusi masyarakat sipil.
Bagi Rasyid, kehadiran militer dalam ruang sipil akan mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ia melihat militer memiliki domain berbeda dengan ruang sipil. Ketika militer memasuki ranah sipil, masyarakat menjadi tidak bebas dan leluasa untuk mengembangkan pikiran. Rasa takut dan pengawasan dapat membuat rakyat enggan bersuara dan bertindak. Rasyid pun menyerukan perlawanan atas campur tangan militer di ruang sipil.
“Sebab, konstitusi menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat,” kata Rasyid.
***
Pola Intervensi
Tiga bulan sebelum peristiwa yang menimpa Wahyu dan Rasyid, konsolidasi akbar #IndonesiaGelap di Universitas Lampung (Unila) dilarang dengan dalih tak berizin. Pada hari itu, sejumlah pria berseragam TNI mondar-mandir di sekitar pos Satpam, sambil mengabadikan momen mahasiswa menyampaikan pernyataan sikap.
Beberapa anggota satpam juga tampak berjaga-jaga, seolah mengawasi setiap gestur mahasiswa. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mahkamah Fakultas Hukum Unila, yang memprakarsai diskusi, tetap menyuarakan pendapatnya meski di tengah pengawasan ketat.
Shadiq Daffa, Ketua UKM Mahkamah Unila, mengecam keras kehadiran anggota TNI di kampus. Ia melihat keberadaan TNI dalam diskusi menimbulkan ketakutan di kalangan mahasiswa. Shadiq bahkan terpaksa membatasi keikutsertaannya dalam beberapa diskusi karena khawatir akan keselamatannya. Padahal, mahasiswa seharusnya bisa bertukar pikiran dan gagasan tanpa rasa takut.
Pola intervensi semacam itu tampaknya bukan hanya di Unila, tapi juga beberapa kampus lain, seperti Semarang, Bali, Depok, Jepara, Pekalongan, Tegal, hingga Papua. Situasi ini menunjukkan bahwa kehadiran militer di kampus telah menjadi fenomena yang meluas.
Di Kampus Tiga Universitas Islam Negeri Walisongo, Kota Semarang, sebuah diskusi bertema “Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer Bagi Kebebasan Akademik” tiba-tiba kedatangan seorang intel, Senin, 14 April lalu. Ia menolak memperkenalkan diri dan keluar dari forum. Namun, tak lama kemudian, petugas keamanan kampus dan tentara datang mencari penanggung jawab diskusi.
Mereka juga meminta data peserta diskusi. Bahkan, seorang jurnalis mahasiswa yang meliput diskusi menerima teror dari orang tak dikenal. Ia mengancam akan mendatangi kampus jika tidak diberi informasi tentang penulis berita dan ketua organisasi pers mahasiswa.
Dua hari setelah insiden di Walisongo, Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) Universitas Indonesia (UI) dikunjungi Kolonel (Inf) Imam Widhiarto, Komandan Dandim 0508/Depok, pada malam hari. Ia mengendarai mobil dinas dengan pengawalan seorang prajurit.
Kehadiran Imam memicu protes dari kalangan mahasiswa. Mereka menilai langkah tersebut sebagai bentuk intimidasi dan pelanggaran kebebasan akademik. Imam bilang, kunjungannya adalah undangan dari seorang mahasiswa dan kepala bagian keamanan UI, dengan tujuan silaturahmi.
Jauh sebelum peristiwa di Walisongo dan UI, jejak intervensi militer di perguruan tinggi sudah terlihat. Pada 24 Maret 2025, BEM Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) memprotes “intervensi berkedok sosialisasi” yang dilakukan angkatan bersenjata setelah mahasiswa berunjuk rasa menentang RUU TNI, 21 Maret lalu. Pihak rektorat kemudian meminta BEM Unsoed untuk memenuhi panggilan Kodim 0701 Banyumas. Namun, BEM menolak karena tidak ada surat resmi. Baru setelah mendapatkan panggilan resmi, BEM memenuhi undangan dialog dengan Kodim.
Pihak BEM menilai pertemuan dengan Kodim hanya ajang klarifikasi. Mereka juga menyampaikan permintaan maaf atas aksi penolakan RUU TNI pada 21 Maret.
Di tempat lain, mahasiswa Papua merasa terancam dengan beredarnya surat dari Kodim 1707/Merauke yang meminta data mahasiswa kepada Sekretariat Daerah Merauke. Surat menyebutkan bahwa permintaan data berdasarkan program kerja bidang intelijen/pengamanan dan pertimbangan komando dan Staf Kodim 1707/Merauke.

Mahasiswa mencurigai permintaan data itu sebagai upaya pembungkaman. Sebab, mereka kerap memprotes Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke. Setelah surat itu tersebar, beberapa wisma mahasiswa sering didatangi orang tak dikenal.
Selain upaya membungkam suara kritis mahasiswa, TNI juga terus memperluas pengaruhnya di perguruan tinggi melalui kerja sama. Contohnya, kerja sama Kodam IX/Udayana dan Universitas Udayana (Unud) yang tertuang dalam dokumen perjanjian Nomor B/2134/UN14.IV/HK.07.00/2025. Kemitraan itu baru diumumkan pada 26 Maret 2025.
Dokumen kerja sama mencakup 20 pasal yang meliputi peningkatan sumber daya manusia, pertukaran data dan informasi, hingga pelatihan bela negara. BEM setempat memandang perjanjian ini berpotensi membatasi kebebasan akademik dan kebebasan intelektual, serta membuka peluang bagi militer untuk mendominasi pendidikan sipil.
Tak hanya lingkup kampus, militer juga memperlihatkan kehadiran yang mencurigakan di sekitar kantor organisasi masyarakat sipil. Sebuah video menunjukkan kendaraan taktis Maung milik TNI melintas di kantor KontraS, Jakarta Pusat.
Dalam rekaman, tampak dua unit Maung menyatroni kantor KontraS, bahkan mengambil gambar. KontraS menyatakan bahwa kantornya didatangi dua kali, yaitu 23 Maret dan 26 Maret. Tindakan itu setelah mereka bersama koalisi masyarakat sipil menyuarakan penolakan revisi UU TNI.
***
Mengulang Rezim Orde Baru
Fenomena militerisme yang kian menguat menjadi perhatian serius banyak pihak. Sebagaimana dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya, TNI telah memperlihatkan kehadiran yang mencurigakan di berbagai lini, termasuk kampus dan kantor organisasi masyarakat sipil. Menurut peneliti Hubungan Sipil-Militer dan Politik Militer Made Supriatma, kondisi ini menjadi pertanda berakhirnya kebebasan sipil di Indonesia.
Made menilai bahwa meluasnya peran militer pada posisi strategis sipil menjadi salah satu tanda kondisi tersebut. TNI yang memegang jabatan sipil di luar pertahanan, seperti Sekretaris Kabinet, Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian, Badan Penyelenggara Haji, dan Direktur Utama Perum Bulog.
Selain itu, masuknya militer ke ruang diskusi dan akademik, hingga penggemukan prajurit melalui wacana pembentukan 100 Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan yang terdiri atas kompi perikanan, kompi peternakan, dan kompi pertanian. Terbaru, TNI juga terlibat dalam sektor lingkungan hidup dengan dalih penertiban kawasan hutan, sebagaimana diatur dalam Perpres 5/2025.
“Kondisi tersebut sudah terjadi, bahkan sebelum pengesahan UU TNI,” kata Made.
Ia bilang, pelbagai kebijakan itu sangat mengesankan pemusatan corak militer pada tata kelola negara dan pemerintahan. Ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi yang tertuang dalam TAP MPR VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
Made menyebut kondisi tersebut sebagai multifungsi ABRI, di mana ada penyimpangan tugas pokok dan fungsi militer yang menyebabkan matinya demokrasi dan supremasi sipil. Semestinya, sebagai institusi yang memiliki mandat utama di bidang pertahanan dan keamanan, militer tidak dirancang secara khusus untuk mengelola bidang pertanian, agraria, pembangunan ekonomi, ataupun tata kelola akademik. Hal itu berisiko menimbulkan konflik kepentingan serta memperburuk tata kelola pemerintahan. Keadaan ini turut diperparah dengan mendominasinya organisasi masyarakat berbasis paramiliter.
Menurutnya, keadaan Indonesia hari ini persis mengulang rezim otoriter Orde Baru. Kebijakan hanya ditentukan oleh segelintir golongan, bukan berdasarkan partisipasi bermakna dari masyarakat.
Made membayangkan bahwa dalam kondisi lebih buruk, akan ada pengerahan kekuatan militer untuk membungkam suara-suara perlawanan, seperti yang terjadi di masa lalu. Pembunuhan massal, penghilangan paksa, penculikan aktivis, dan penembakan mahasiswa banyak melibatkan kekuatan militer.
Kondisi berbahaya itu tak boleh dibiarkan. Ia mengajak seluruh lapisan masyarakat sipil untuk bersatu dan terus mengonsolidasikan kekuatan. Keadaan saat ini benar-benar memburuk dan mencekik rakyat biasa. Dominasi elite kekuasaan menguat di tengah kondisi ekonomi rakyat yang terus menurun.
“Tidak ada cara selain bersatu untuk terus bersuara dan melawan,” ujar Made.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.