Problem struktural seperti konflik agraria membuat posisi perempuan makin rentan. Persoalan itu mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan yang bisa melahirkan kekerasan berbasis gender, pemiskinan, dan kehilangan rasa aman. Dampak dan beban ganda itulah yang mendesak perempuan Malangsari melawan perampasan ruang hidupnya.
Perempuan bertopi renda itu mengepalkan tangan kirinya. Di hadapan barisan polisi, ia berteriak, “Hidup rakyat!” Teriakan Dewi Purwati (28) itu disambut sorak-sorai puluhan perempuan sambil membentangkan spanduk: sapu bersih mafia tanah! Suara mereka pun memecah bising kendaraan di Bundaran Tugu Adipura, Bandar Lampung, Selasa siang, 19 Juli 2022.
Hari itu, ratusan warga Desa Malangsari, Kecamatan Tanjungsari, Lampung Selatan, berdemonstrasi. Mereka menuntut pemerintah memerhatikan nasib masyarakat setempat yang sedang menghadapi konflik pertanahan.
Sebanyak 34 kepala keluarga di salah satu rukun tetangga (RT) di Desa Malangsari terancam kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan. Tanah seluas 10 hektare yang mereka tempati sejak 1997 tiba-tiba diklaim oleh seorang penegak hukum.
Semua bermula pada 21 Februari 2021. Sekitar jam dua siang, Dewi bersama dua tetangganya sedang bercakap-cakap di pekarangan rumah. Dewi tinggal di Jalan Beringin, RT 03, Dusun IV, Malangsari. Desa yang terletak di perbatasan Lampung Timur dan Lampung Selatan itu terdiri dari empat RT. Penghuninya sebanyak 511 jiwa.
Tak lama kemudian, sebuah mobil pick up berkelir putih melintas, lalu parkir sekitar 15 meter dari lokasi mereka. Ada empat orang di dalam kendaraan tersebut. Dewi dan tetangganya celingukan. Mereka belum pernah melihat orang-orang itu.
Syahdan, empat orang dimaksud mulai menggali tanah dan memasang sebuah plang besi. Papan pengumuman itu berisi klaim kepemilikan tanah seluas 10 hektare atas nama Adi Muliawan, seorang jaksa yang bertugas di Kejati Sumatra Selatan. Selain itu, tertera pula ancaman pidana penjara bagi orang yang memakai lahan tersebut tanpa izin. Pemasangan plang itu juga disaksikan sejumlah warga setempat.
Sebenarnya, Dewi dan warga RT 03 tidak kaget dengan pemasangan plang itu. Sebab, sehari sebelumnya, para warga Malangsari dikumpulkan di balai desa. Saat itu, kepala desa menyampaikan bahwa telah terbit sertifikat hak milik (SHM) atas tanah warga RT 03. Ia juga bilang bahwa akan ada orang yang memasang plang di desa.
Warga yang ikut dalam pertemuan malam itu terkejut. Sebab, tanah yang mereka tempati tiba-tiba punya orang lain. Mereka coba menolak. Namun, kepala desa kala itu bilang, aparatur desa yang akan membereskan. Ia sekaligus meminta warga tidak melakukan perlawanan ketika pemasangan plang.
Itu sebabnya warga desa tak bereaksi saat plang dipasang. Mereka hanya melihat dari kejauhan, lalu membiarkan orang-orang itu pergi.
“Kami kesal waktu itu, tanah kami mau diambil. Tapi, kepala desa bilang jangan rusuh,” kata Dewi di Malangsari, Selasa 7 Februari 2023.
Belakangan diketahui, dokumen kepemilikan yang jadi dasar klaim atas tanah warga Malangsari diduga palsu. Pada Jumat, 30 September 2022, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Lampung menetapkan lima tersangka yang terlibat dalam upaya penyerobotan lahan warga Malangsari.
Lima orang itu, RA (41), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Lampung Selatan; FBM (44), juru ukur Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Selatan; SHN (52), mantan Camat Sekampungudik, Lampung Timur; SYT (62), Kepala Desa Gunung Agung, Sekampung Udik, Lampung Timur; dan SJO (70), warga Kemiling, Bandar Lampung.
Penetapan itu berdasar surat pemberitahuan penetapan tersangka oleh Polda Lampung dengan nomor: B/1063/ix/res 1.9/2022. B/1079/ix/res 1.9/2022. B/1061/ix/res 1.9/2022. B/1045/ix/res 1.9/2022. B/1047/ix/res 1.9/2022. Para tersangka dijerat dengan Pasal 55 jo Pasal 263 KUHP tentang memakai surat palsu dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara.
Merujuk rilis Polda Lampung, kasus dugaan mafia tanah di Malangsari berawal pada Juni 2020. Ketika itu, tersangka SJO yang juga pensiunan Polri menjual objek tanah seluas 10 hektare di Malangsari kepada Adi. Penjualan tanah tersebut menggunakan dokumen pendukung kepemilikan palsu yang dibuat oleh SYT.
Kemudian, dokumen itu dikuatkan oleh SHN. Selanjutnya, tersangka RA membantu untuk membuatkan akta jual beli. Akta tersebut juga memuat keterangan palsu. Setelah beralih kepemilikan kepada Adi, objek tanah tersebut didaftarkan ke BPN Lampung Selatan untuk penerbitan SHM. Dalam prosesnya, FBM yang mengukur bidang tanah.
Saat ini, kasus dugaan pemalsuan dokumen tersebut sedang bergulir di Pengadilan Negeri Kalianda, Lampung Selatan. Pengadilan mengagendakan pembacaan vonis terhadap para terdakwa pada akhir Februari.
Selain kelima tersangka, Adi Muliawan pun turut terseret dalam pusaran kasus mafia tanah tersebut. Polda Lampung menetapkannya sebagai tersangka pada Senin, 21 November 2022.
***
Berdampak Terhadap Perempuan
Sejak pemasangan plang, kehidupan warga Malangsari berubah. Rumah tempat berteduh dan lahan mencari nafkah terancam hilang. Mereka tak tahu hendak ke mana. Mereka hidup dalam bayang penggusuran. Perubahan itu terutama dirasakan kaum perempuan.
Dalam konflik agraria, perempuan menjadi kelompok yang rentan menerima dampak dan beban ganda. Tak hanya berpotensi berhadapan secara fisik dengan aparat keamanan atau pihak swasta, kehilangan sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan dan ekonomi keluarga adalah dampak langsung. Alhasil, beban perempuan meningkat. Mereka terpaksa bekerja serabutan seraya mengerjakan urusan domestik.
Hal itu dirasakan Dewi. Rumahnya sempat didatangi pria berseragam tentara. Orang yang mengaku Bintara Pembina Desa (Babinsa) itu bilang, di sekitar rumah Dewi akan dipasang pagar sesuai perintah Adi. Mendengar hal itu, Dewi dan warga lain menolak. Sebab, kasus mafia tanah itu masih diusut kepolisian.
“Saya gemetar waktu itu. Saya takut kalau rumah saya dipagar. Saya minta tolong warga lain untuk menolak,” kata Dewi.
Akhirnya, perempuan di Malangsari membuat barikade di depan pintu masuk menuju desa. Mereka membawa beberapa alat seperti pentungan, bambu, dan benda lain untuk menghalangi pemasangan pagar. Saat itu, dikabarkan pendirian pagar setelah matahari tergelincir ke arah barat. Melihat gencarnya penolakan dari ibu-ibu, pemasangan pagar pun batal.
Di Malangsari, banyak perempuan bekerja sebagai petani, buruh, penyortir rongsokan, dan berniaga. Mereka melakoni pekerjaan tersebut demi membantu suami guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, di tengah kondisi ekonomi yang sulit, mereka dihadapkan dengan persoalan yang bakal merenggut ruang hidupnya.
“Makanya pas ada masalah ini (mafia tanah), beban kami makin berat. Biaya untuk urus kasus ini kan besar, padahal untuk makan sehari-hari saja susah,” ujar Dewi.
Kondisi demikian dirasakan perempuan Malangsari dua tahun terakhir. Sebelum didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung pada 2022, warga Malangsari kerap dimintai uang oleh aparatur desa. Besarannya tak tentu, sekitar Rp100 ribu-Rp300 ribu. Dana itu untuk mengurus kasus perampasan lahan. Namun, selama satu tahun sejak plang dipasang, tidak ada progres terkait nasib tanah masyarakat.
Sepenggal persoalan itulah yang akhirnya mendesak kaum perempuan di Malangsari turun ke jalan. Mereka hingga kini memperjuangkan haknya: tanah dan ruang penghidupan.
“Ini adalah hak kami. Kami tak minta apa-apa, hanya minta dikembalikan. Kami tak pernah merasa menjual tanah,” kata Dewi.
Indriyani (47), salah satu penyortir rongsokan, turut merasakan dampak konflik tanah tersebut. Ia mesti menyisihkan upahnya untuk membantu perjuangan masyarakat Malangsari. Padahal, hasil keringatnya terkadang tak cukup untuk sekadar dapur tetap mengepul.
Ia menerima upah Rp1.000-Rp2.000 per kilogram dari memilah rongsokan. Pembayaran upah menyesuaikan waktu penjualan dari empunya lapak. Jadi tak tentu, bisa dua minggu atau satu bulan sekali.
Indriyani terpaksa menjadi penyortir rongsokan untuk menopang perekonomian keluarga. Ia tadinya mengambil upahan sebagai buruh pengupas singkong. Suaminya bekerja sebagai sopir truk yang biasa memuat batu untuk bahan bangunan. Semenjak kasus mafia tanah bergulir, beban keluarganya bertambah.
“Buat makan dan biaya sekolah anak saja sudah berat, sekarang malah tanah kami mau diambil,” ujarnya.
Karena itu, Indriyani dan suaminya istikamah berjuang. Mereka berbagi peran. Ketika suami bekerja, Indriyani yang turun ke jalan dan ikut aksi bersama masyarakat Malangsari.
Kondisi tak berbeda dialami Yuliani (59). Ia adalah petani karet di Malangsari. Sejak 2005, ia menggarap lahan seluas seperempat hektare. Kini, kebun yang menopang kehidupan keluarganya itu terancam hilang. Situasi demikian memaksanya memutar otak untuk tetap bertahan. Sekarang, Yuliani mencoba berdagang keliling. Ia menjajakan beras, gula, dan barang pokok lainnya.
“Memang jahat mereka (mafia tanah) itu. Cuma kebun (karet) kecil itulah buat bertahan hidup selama ini, mau diambil pula,” kata Yuliani.
Atas kondisi tersebut, Yuliani tak pernah ketinggalan dalam aksi perempuan Malangsari. Ia berusaha mempertahankan haknya meski dengan keterbatasan.
Namun, hal itu bukan sesuatu yang saklek. Ketika ada warga yang memang tak punya uang, warga lainnya menalangi. Bahkan, ada warga yang sampai menjual ayam demi bisa menyokong.
Gerakan kolektif itulah yang menguatkan perjuangan masyarakat Malangsari, khususnya kaum perempuan. Kolektivitas tersebut berhubungan dengan kesadaran masing-masing warga. Mereka berkomitmen untuk saling bantu.
Solidaritas
Masyarakat Malangsari sudah biasa gotong royong dalam keseharian. Sekadar berbagi makanan dan mengulurkan tangan terhadap pekerjaan adalah hal jamak. Bahkan, ketika pertama kali kasus mafia tanah itu mencuat, dukungan terhadap warga RT 03 terus mengalir. Warga dari RT lain pun turut serta dalam beberapa demonstrasi.
Salah satunya Yatini (51). Warga RT 04 itu merasa kesal tatkala mengetahui tanah tetangganya dirampas aparatur sipil negara. Walaupun persoalan tersebut tak menimpa dirinya secara langsung, ia bisa merasakan penderitaan mereka. Hal itu bukan tanpa alasan. Sebelum menetap di RT 04, perempuan yang mendiami Desa Malangsari sejak 1999 itu pernah tinggal di RT 03. Lokasinya tak jauh dari rumah Dewi.
“Jadi, sudah seperti saudara. Senasib sepenanggungan. Sakit satu, sakit semua,” ucap Yatini dengan mata berkaca-kaca.
Rasa persaudaraan itulah yang mendorong Yatini bersolidaritas. Kendati usianya tak lagi muda, ia hampir tak pernah absen dalam aksi perlawanan yang diprakarsai perempuan Malangsari. Yatini pun tak keberatan membagi hasil keringatnya untuk logistik aksi. Bahkan, perempuan yang sehari-hari mengangon kambing itu sempat berpikir ingin mendatangi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Kalau enggak selesai-selesai, saya mau nemuin Jokowi. Saya mau minta tolong,” ujarnya.
Perlawanan Yatini karena ia paham akan kondisi perempuan yang terdampak. Nasib perempuan menjadi sulit ketika menghadapi persoalan tersebut. Beban kerja akan bertambah karena kebutuhan meningkat. Belum lagi, para perempuan berkutat dengan pekerjaan rumah tangga, seperti mengurus anak. Sehingga, waktu, tenaga, dan uang akan tekuras lebih banyak.
“Mereka (warga RT 03) kan tak punya apa-apa lagi, hanya punya tanah itu. Ladangnya di situ, cari uang juga di situ, kalau diusir mereka mau kemana? Makanya, mau sampai mana pun tetap diperjuangkan,” kata Yatini.
Perjuangan perempuan Malangsari dalam mempertahankan ruang hidup sejalan dengan pandangan Komnas Perempuan. Lembaga negara itu menyatakan, perampasan tanah berdampak buruk dan berantai terhadap perempuan. Persoalan itu mengakibatkan hilangnya sumber ekonomi, pangan, dan air bersih yang merentankan perempuan serta anak-anak atas kekerasan berbasis gender. Misal, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan orang, maupun kekerasan seksual.
Konflik sumber daya alam/agraria dan tata ruang pun tak menguntungkan perempuan. Mereka bisa mengalami kriminalisasi, pemiskinan, dan kehilangan rasa aman. Terlebih, ketika konflik menyebabkan segregasi sosial akibat pro kontra dalam masyarakat.
Tingginya konflik sumber daya alam/agraria dan tata ruang terutama disebabkan politik dan prioritas pembangunan infrastruktur yang masif, impunitas, dan supremasi korporasi. Selain itu, pengabaian hak masyarakat adat, ketidaktaatan hukum, dan diskoneksi kebijakan pusat dengan daerah.
Kemudian, tidak dipatuhinya uji tuntas pemberian izin lingkungan terkait pembangunan, seperti memenuhi hak informasi dan partisipasi publik bagi masyarakat terdampak, khususnya perempuan. Hal ini ditunjang dengan ketidakteraturan perundang-undangan dan kebijakan pertanahan serta tata ruang. Hukum sebagai dasar penyelenggaraan agraria nasional menjadi sumber konflik.
“UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Omnibus Law yang memberi kemudahan luas bagi investasi semakin menjauhkan warga negara, khususnya perempuan, dari keadilan agraria,” kata Komnas Perempuan.(*)
Laporan Derri Nugraha dan Hendry Sihaloho
Liputan ini didukung Google News Initiative News Equity Fund.