Gerakan sipil di Lampung gagal membangun kesadaran kolektif. Absennya diskursus dan distribusi pengetahuan menyebabkan perjuangan menjadi berjarak. Kelas menengah sebagai motor gerakan tak memahami bahwa berbagai persoalan di masyarakat saling terhubung satu sama lain.
Debur ombak mewarnai pagi di pesisir timur Lampung. Sinar mentari membuka harapan baru bagi Miswan. Ia melaut dengan kail dan jala. Tapi, cuaca tak menentu menghantui hidupnya, sehingga asa mendapatkan tangkapan mulai pudar.
Ikan semakin langka di laut sekitar kampungnya. Aktivitas tambang pasir atau anomali cuaca mungkin penyebabnya.
“Kalau cuaca cerah kan ada harapan bisa dapat banyak rajungan dan ikan,” kata Miswan.
Setelah sarapan sederhana dengan ikan layang dan sambal terasi, Miswan menyeruput kopi mengawali hari. Sambil mengopi, ia memeriksa media sosial lewat ponsel, membaca berita tentang kriminalitas dan ekonomi, atau melihat tren terbaru yang menarik baginya. Namun, pikirannya terus kembali ke laut, tempat ia mencari nafkah.
Rajungan yang dahulu melimpah kini langka, membuatnya gelisah akan masa depan keluarga. Dalam satu kali melaut, Miswan hanya mampu membawa pulang 5 kg-7 kg, jauh dari jumlah yang biasa ia dapatkan, 30 kg-50 kg. Perbedaan ini terasa mencolok, seperti siang dan malam.
Ketika ibu jari Miswan menggeser layar ponselnya, beranda media sosialnya dipenuhi konten aksi penolakan revisi UU TNI. Penolakan tersebut karena revisi dikhawatirkan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, dengan memberikan akses militer pada ruang-ruang sipil. Lebih dari 50 titik aksi bergelora di berbagai daerah, mulai Sumatra hingga Papua.
Tangan Miswan berhenti bergulir ketika menemukan konten soal demo UU TNI. Ia penasaran, “Mengapa banyak orang menolak UU TNI?” pertanyaan itu mengganjal di benaknya. Sebagai nelayan yang sehari-hari berhadapan dengan ketidakpastian, Miswan ingin kehidupan politiknya tetap stabil.
Layar ponsel Miswan masih dipenuhi dengan informasi beragam ihwal revisi UU TNI, membuat dirinya bingung memilah kebenaran. Satu konten mengecam revisi UU TNI karena mengancam supremasi sipil dalam demokrasi, sementara video lain mempromosikan dukungan terhadap aturan tersebut.
Pengetahuannya yang terbatas membuatnya semakin ragu. Di tengah kebingungan, kopi di tangannya telah menjadi ampas. Saatnya Miswan meninggalkan kekacauan informasi dan kembali ke kehidupan yang lebih nyata – menangkap rajungan dan ikan. Ia menyalakan mesin motor perahunya dan berlayar menjauh dari daratan.
Kisah Miswan membuka tabir mengapa nelayan jarang terlibat dalam gerakan masyarakat sipil, seperti penolakan UU TNI yang ramai digagas oleh kalangan mahasiswa dan NGO di Lampung. Mereka beraksi, sementara nelayan lebih memilih untuk tetap di laut, jauh dari hiruk-pikuk politik.
Miswan menggelengkan kepala ketika ditanya tentang ketidakpedulian nelayan terhadap kondisi masyarakat. Menurutnya, nelayan tidak apatis, namun keterbatasan informasi akurat membuatnya sulit memahami isu-isu berkembang, seperti revisi UU TNI.
Pendidikan yang terbatas membuat nelayan rentan terhadap informasi tidak jelas kebenarannya di media sosial. Fenomena buzzer semakin memperkeruh keadaan, sehingga nelayan kesulitan memilah informasi yang dapat dipercaya.
“Selain kurang paham isu, akses informasi juga terbatas,” kata Miswan dengan nada lugas.
Dalam keheningan di atas perahunya, Miswan merasakan jarak antara nelayan dan kalangan mahasiswa serta aktivis. Nelayan seperti Miswan lebih memilih tetap di laut, menjauhkan diri dari dinamika politik yang tidak jelas arahnya.
Ia bilang, nelayan tak mudah digerakkan untuk bergabung dalam sebuah aksi. Setiap hari di laut adalah kesempatan mencari nafkah bagi keluarga. Sehari tak melaut berarti nihil pemasukan. Keadaan ekonomi yang jauh dari sejahtera membuat nelayan harus berhitung sebelum memutuskan untuk turut dalam aksi.
“Nelayan harus benar-benar mengerti isu yang diperjuangkan, terlebih bila isu tersebut bisa berdampak nyata pada kehidupan mereka,” ujarnya.
Miswan mencontohkan PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang memberi karpet merah bagi pengusaha tambang pasir. Saat itu, kelompok nelayan yang dipimpinnya menggelar aksi penolakan di berbagai ruang, mulai diskusi publik, demonstrasi, hingga kampanye melalui media sosial.
“Karena kami sadar bahwa peraturan itu bisa merusak ekosistem laut, ladang penghidupan kami,” kata Miswan. “Jadi, kalau paham isunya dan berdampak, nelayan pasti bergerak,” tambahnya dengan yakin.
Keterbatasan informasi, kapasitas, dan ekonomi nelayan diperparah dengan absennya ruang-ruang dialektika. Diskusi dan kajian kritis yang diprakarsai kelas menengah kebanyakan berpusat di kota. Pertukaran gagasan berlangsung di kampus-kampus, kafe, dan hotel. Terbilang jarang diskusi publik di kampung-kampung nelayan.
Menurut Miswan, kelas menengah yang memiliki privilese waktu, pemahaman, dan ekonomi punya tanggung jawab untuk mendistribusikan pengetahuan. Ia membayangkan jika mahasiswa atau NGO membangun sekolah rakyat atau ruang berbagi pemikiran bersama masyarakat. Dengan begitu, nelayan dapat bergabung dalam gerakan sipil yang lebih kuat.
***
Pada ketinggian seribu meter di atas permukaan laut, Usrianto membersihkan rumput sekitar tanaman kopi. Ia bertani di Register 19 Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Suara burung mengiringi aktivitasnya, sementara aroma kopi yang masih muda tercium dari tanah yang lembab.
Pembersihan rumput ini bertujuan mengurangi persaingan sumber daya, sehingga kopi dapat tumbuh maksimal. Sebentar lagi musim panen raya, dan Usrianto berharap hasil panen kali ini lebih baik dari sebelumnya.
Usrianto adalah petani kopi yang telah puluhan tahun mengelola lahan. Bersama 2.800 petani lainnya, ia menggarap lahan di kawasan hutan. Mereka mengolah sekitar 2.400 hektare lahan di lima kecamatan. Guna mengelolanya, mereka memerlukan izin melalui skema perhutanan sosial, yang memberikan akses legal untuk berkebun dan memperbaiki lahan.
Namun, hingga saat ini, Usrianto dan ribuan petani lainnya masih menunggu kepastian. Dengan kata lain, mereka belum sepenuhnya memiliki akses terhadap lahan.
Di balik kelelahan yang tak terkira, Usrianto tetap teguh berjuang. Baginya, perjuangan itu bukan sekadar hak atas lahan, tapi juga tentang pengakuan atas kontribusi masyarakat dalam menjaga dan merawat kawasan hutan.
Selama ini, petani-petani seperti Usrianto menerapkan teknik agroforestri yang menggabungkan penanaman kopi dengan beraneka pohon tajuk tinggi, misal durian dan alpukat. Pohon-pohon itu memberi peneduhan, mengatur suhu lingkungan, dan menjadi rumah berbagai makhluk hidup di hutan, serta menghasilkan nilai tambah bagi petani.
“Sampai saat ini, kami masih memperjuangkan akses kelola lahan tersebut,” ujarnya.
Dalam perjuangan itu, Usrianto kerap menggelar aksi bersama para petani kopi lainnya. Lewat berbagai ruang, mereka memperjuangkan akses kelola lahan dan menuntut keadilan dalam konflik agraria di Lampung.
Meski kerap berdemonstrasi, gerakan kaum petani jarang beririsan dengan elemen masyarakat sipil lain, seperti mahasiswa dan NGO. Pun sebaliknya, ketika mahasiswa dan aktivis bergerak pada isu-isu seperti #ReformasiDikorupsi dan revisi UU TNI, kaum petani minim ikut aksi, seolah-olah perjuangan mereka berjalan di jalur yang berbeda.
Di balik absennya petani dari gerakan sipil, Usrianto merasakan keterasingan mendalam. Di dataran tinggi yang susah sinyal, informasi menjadi barang langka. Listrik yang minim membuat televisi menjadi hiasan dinding yang tak berarti. Petani kopi seperti Usrianto harus berjuang untuk mencukupi kebutuhan keluarga di tengah ketidakpastian akan hak atas tanah.
“Jadi, sulit memikirkan hal lain, seperti kebijakan-kebijakan negara,” kata Usrianto.
Gerakan petani di Lampung memiliki semangat juang yang tinggi. Ketika memahami isu yang diperjuangkan, petani secara kolektif membangun gerakan dan saling bersolidaritas. Namun, jarak antara petani dan kelas menengah yang memotori aksi-aksi masih terasa lebar.
Petani seperti Usrianto, yang tinggal di gubuk-gubuk sederhana di bukit, jarang terlibat. Distribusi pengetahuan dan kesadaran yang tidak merata membuat gerakan sipil di Lampung seolah ada dinding pemisah. Gerakan yang dibangun kelas menengah umumnya tanpa partisipasi petani, sementara aksi petani minim dukungan mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil.
Usrianto yakin, dengan pembangunan kesadaran berkesinambungan, petani bisa menjadi tonggak dalam gerakan sipil yang lebih kuat. Ia membayangkan forum-forum diskusi yang hidup di akar rumput, di mana petani dan kelas menengah dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan. Pusat pendidikan atau sekolah-sekolah rakyat bisa menjadi tempat bagi petani untuk belajar dan berproses.
Stigma dan Diskriminasi
Persoalan lebih kompleks pada kelompok minoritas yang berbasis orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks lainnya. Bila kaum tani dan nelayan terbatas akan akses informasi, kelompok ini menemui stigma dan diskriminasi yang kental.
Michelle, salah satu pegiat Gaya Muda Lentera Lampung — organisasi yang memperjuangkan hak minoritas seksual dan keragaman gender—bilang, dalam dinamika gerakan sipil, keberadaan transpuan masih rentan. Forum-forum diskusi yang mereka ikuti belum sepenuhnya menjadi ruang aman.
“Beberapa aktivis dan kalangan mahasiswa masih menunjukkan gelagat kurang nyaman, sehingga kami merasa sungkan untuk bergabung,” kata Michelle.
Jarak antara gerakan sipil kelas menengah dan kelompok marginal seperti petani dan nelayan juga terlihat dalam konteks perjuangan minoritas seksual dan keragaman gender. Mereka juga berjuang untuk hak-hak dasar, namun seringkali tanpa dukungan memadai dari gerakan sipil yang lebih luas.
Keterbatasan kelompok minoritas seksual dalam mengakses hak dasar membuat mereka sulit berjuang untuk isu-isu lain, seperti revisi UU TNI. Di balik keberanian mereka untuk bersuara, tersembunyi kekhawatiran dan ketakutan akan masa depan. Mereka berjuang untuk mencari pekerjaan yang layak, namun diskriminasi dan stigma selalu mengintai.
Pada akhirnya, mereka hanya fokus bagaimana bisa mencapai kemandirian ekonomi karena sulitnya mencari kerja, baik di sektor formal maupun informal. Bahkan, tak jarang dari mereka terjebak dalam lingkaran prostitusi demi bertahan hidup.
Di balik kekhawatiran akan stigma dan diskriminasi, kelompok minoritas seksual menghadapi dilema dalam bergabung dengan gerakan sipil. Penguasa bisa saja memanfaatkan kehadiran mereka untuk melemahkan gerakan dengan mengalihkan fokus pada isu lain. Seperti yang dikatakan Michelle, “Jadi nanti gerakannya dibelokkan dengan isu-isu lain di luar yang diperjuangkan.”
Ketakutan ini membuat mereka bingung bagaimana menempatkan diri dalam gerakan sipil, sehingga harus berhati-hati dalam memilih langkah dan strategi perjuangan. Ini adalah konsekuensi lain dari keterbatasan dalam mengakses hak dasar, yang membuat mereka harus berjuang keras untuk setiap langkah kecil yang diambil.
Di tengah-tengah kesulitan dan stigma, Michele dan rekan-rekannya tetap teguh dalam perjuangan. Mereka menyusun kampanye kesadaran dan advokasi di komunitas, dengan harapan dapat membawa perubahan bagi kelompok minoritas seksual. Setiap langkah yang mereka tempuh diwarnai dengan ketakutan dan ketidakpastian, namun tetap maju dengan tekad kuat.
“Tujuannya kan sama, kesejahteraan bersama tanpa memandang identitas dan orientasi seksual masing-masing.”
Interseksionalitas
Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute Made Supriatma mencoba mengurai kompleksitas yang memicu diferensiasi gerakan kaum nelayan/petani/kelompok minoritas dengan kelas menengah. Secara historis, gerakan masyarakat sipil terutama masyarakat dengan tingkat sosial rendah, lahir dari kepentingan mendasar, yaitu kebutuhan hidup yang terancam.
Petani bergerak ketika lahan dirampas, nelayan beraksi ketika laut dirusak, dan transpuan melawan stigma dan diskriminasi yang terus menghujam. Gerakan masyarakat sipil seringkali dipicu oleh kebutuhan untuk melindungi hak-hak dasar dan kehidupan sehari-hari.
Ia bilang, gerakan sipil yang dimotori kelas menengah seperti mahasiswa dan NGO gagal menyuarakan isu relevan bagi nelayan, petani, dan kelompok minoritas. Isu yang diperjuangkan tidak dianggap sebagai persoalan bersama, sehingga gerakan yang dibangun terkesan berjarak dengan masyarakat.
Made berpandangan, kunci perubahan terletak pada para organisatoris komunitas yang berasal dari kelas menengah. Mereka punya ketersediaan waktu dan sumber daya yang tidak dimiliki petani dan nelayan.
Langkah yang tepat bagi aktivis komunitas adalah membangun basis di masyarakat. Dengan tinggal bersama masyarakat atau membangun ruang-ruang diskusi di kampung-kampung nelayan dan gubuk-gubuk petani, mereka dapat memberi pendidikan politik dan distribusi pengetahuan terkait kondisi terkini soal kebijakan, sosial, dan ekonomi.
“Ketika ada kebijakan yang dianggap menyengsarakan rakyat, para petani dan nelayan atau kelompok minoritas dapat bergerak dan berjuang bersama,” ujarnya.
Kolumnis independen itu juga menekankan pentingnya interseksonalitas dalam membangun gerakan sosial. Interseksonalitas adalah kajian tentang titik temu atau hubungan antara segala sistem atau bentuk penindasan, dominasi, atau diskriminasi.
Dengan memahami interseksonalitas, aktivis komunitas dapat melihat bagaimana berbagai faktor seperti gender, ras, kelas, dan orientasi seksual saling berinteraksi dan membentuk struktur kekuasaan yang kompleks. Hal ini memungkinkan para aktivis membangun gerakan yang lebih inklusif dan efektif, terutama ketika bekerja sama dengan petani, nelayan, dan kelompok minoritas.
Interseksionalitas menyatakan bahwa konseptualisasi klasik penindasan dalam masyarakat, seperti rasisme, seksisme, homofobia, dan kefanatikan terhadap kepercayaan, tidak berdiri sendiri. Akan tetapi, bentuk-bentuk penindasan tersebut saling terhubung, menciptakan sistem penindasan yang kompleks dan mencerminkan “persimpangan” dari berbagai bentuk diskriminasi.
Lewat penerapan teori tersebut, para aktivis, kaum tani, nelayan, serta kelompok minoritas seksual dapat memahami bahwa setiap penindasan tidak tunggal, melainkan bagian dari kejahatan secara sistemik dan struktural yang lebih luas.
Dalam perspektif ini, kaum tani tak hanya memperjuangkan hak atas tanah, tapi juga menyuarakan penindasan perempuan. Nelayan memperjuangkan hak-hak nelayan dan kebebasan berpendapat, demokrasi, serta hak-hak lainnya. Kelompok minoritas seksual memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk hak-hak pekerja.
“Sebab, semuanya saling terkait dan menciptakan bentuk-bentuk penindasan, maka harus dilawan secara bersama-sama,” kata Made.(*)
Laporan Derri Nugraha
Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi melalui jurnalisme independen.