Konsentris menempuh strategi “gila” untuk menjaga independensi dan mendedikasikan kerja jurnalistiknya bagi kepentingan publik. Model kerja berbasis pendanaan publik mensyaratkan media yang genap berusia satu tahun itu untuk membangun gerakan publik bersama para pembacanya.
Fuad Abdulgani | dosen Sosiologi Universitas Lampung
Tulisan ini adalah pandangan dari pembaca, sedikit pengamat, sekaligus salah satu teman diskusi awak jurnalis Konsentris. Pertanyaannya, mengapa usia satu tahun media ini patut direnungkan? Saya kira renungan ini akan berpusat pada iktikad independensi Konsentris. Sebab, iktikad inilah yang cukup menentukan seperti apa dan bagaimana kerja jurnalistik Konsentris ditempuh.
Konsentris, dalam pandangan saya, lahir dari sejenis ‘kegilaan’ untuk menginisiasi media yang punya posisi merdeka dalam menentukan berita, sudut pandang, dan keberpihakan. Merdeka dalam hal ini pertama-tama, yakni untuk bebas dari segala intervensi kuasa pemilik modal dan kepentingan politik yang menyertainya dalam melaksanakan kerja jurnalistik. Ini bukan perkara mudah. Sebab, implikasi konkretnya terletak pada kemampuan awak jurnalis untuk melaksanakan kerja jurnalistik itu sendiri yang diorientasikan untuk kepentingan publik alih-alih bisnis (profit).
Di sini, ‘kegilaan’ itu muncul karena dalam lanskap media massa arus utama di Indonesia kekuasaan modal dan politik sangat dominan. Kita bisa mengingat film dokumenter “Di Balik Frekuensi” (2013) karya Ucu Agustin yang menunjukkan bagaimana stasiun-stasiun televisi ternama di Indonesia dijadikan alat untuk melayani kepentingan politik pemiliknya. Semua pemilik stasiun televisi yang kita kenal adalah pengusaha cum politisi alias oligark media.
Dalam risetnya yang telah diterbitkan dengan judul “Kuasa Media di Indonesia” (2017), Ross Tapsell telah menyuguhkan gambaran penting bagaimana industri media massa di Indonesia kian terpusat dan membuat para oligark pemilik media menjadi semakin kaya dan berpengaruh secara politis. Bagaimana pun, media massa berperan penting dalam membentuk cara pandang, opini, persepsi, dan nalar masyarakat dalam melihat dunia. Dan cara pandang ini berimplikasi pada pilihan tindakan yang orang-orang lakukan. Pada apa yang dianggap benar, patut, salah, dan menyimpang. Dalam kaitan dengan ini, ‘kegilaan’ terletak pada usaha untuk tidak menyerah pada dominasi modal yang berimplikasi pada daya tahan untuk meneguhkan kebebasan berpikir dan bersikap.
Di tengah arus utama media massa yang kian berorientasi pada akumulasi modal dan kekuasaan politik, iktikad untuk melawan penundukan dan instrumentalisasi jurnalistik sebagaimana diupayakan Konsentris patut didukung. Jurnalistik merupakan mata untuk melihat apa yang tengah terjadi di masyarakat. Namun, apa yang penting untuk dilihat, didengar, dan diwartakan dipengaruhi oleh sudut pandang, dan bagaimana pun, keberpihakan. Oleh karena itu, aspek politis dari setiap keberadaan media, termasuk kerja jurnalistik itu sendiri, tidak bisa dianggap nihil. Dalam bingkai ini, Konsentris dapat dipandang sebagai bagian dari arus perlawanan warga sipil yang mampu memanfaatkan jagat digital sebagai ruang untuk mendedikasikan kerja jurnalistik bagi kepentingan publik.
Tentu saja Konsentris bukan satu-satunya. Saya bukan pengamat media yang terlatih, namun setidaknya saya melihat bahwa di berbagai penjuru Indonesia inisiatif untuk melawan kecenderungan dominasi oligark media bermunculan. Apa yang tampaknya penting untuk diperhatikan dari arus “yang berlawan” ini adalah kekuatan dimensi lokalitas yang diusungnya. Dimensi ini mengemuka sebagai antitesis dari kecenderungan Jakartasentris dan urbansentris yang kental dalam pewartaan dan produk budaya konsumsi massa (seperti sinetron, film) yang dihasilkan media massa milik oligark.
Untuk menyebut contoh, kita tengok Bale Bengong di Bali. Dengan motto “Media Warga Berbagi Cerita”, portal jurnalisme warga ini menempatkan warga tidak hanya sebagai objek berita, tetapi juga subjek. Warga dapat menulis atau memberi respons perihal apa pun yang relevan dengan Bali dari sudut pandangnya. Di Papua, kita bisa melihat Jubi sebagai jendela untuk melihat peristiwa dan suara dari Papua di luar pengerangkaan media arus utama yang cenderung bias dalam mewartakan Papua. Misalnya, dalam membingkai isu gerakan kemerdekaan Papua atau pemekaran daerah.
Apa pentingnya dimensi lokalitas di atas? Manakala media massa arus utama, apakah itu portal berita, stasiun televisi, tabloid, dan lain-lain, cenderung mengetengahkan lanskap dan sudut pandang Jakarta, Jawa, atau urbansentrisme dalam produk-produk kerjanya, dominasi ini cukup berbahaya ketika menghasilkan citra bahwa Indonesia tampak sesempit-luas Jawa, kota-kota besarnya, dan cara pandang orang-orangnya. Mozaik ke-Indonesia-an yang sangat beragam bisa terpelintir menjadi seragam.
Mozaik ke-Indonesia-an tentu saja tidak terbatas pada keanekaragaman produk budaya seperti lokasi wisata, kuliner, dan kesenian – yang payahnya kerap didominasi perspektif seorang turis dari kota – tetapi yang lebih urgen adalah soal pergulatan hidup manusia dalam berbagai konteks lokal spesifik. Termasuk di dalamnya pluralitas cara pandang dan pertentangan yang membentuk kompleksitas kehidupan masyarakatnya. Saya ingin mengetengahkan soal kebinekaan di sini: bahwa keberagaman bukan semata soal pernak-pernik produk sosial-budaya, tetapi juga bineka dalam urusan masalah! Degradasi lingkungan, suburnya korupsi, rupa-rupa pelanggaran hak asasi manusia, dan sederet masalah lainnya. Produk kerja Watchdoc saya kira bisa menjadi contoh tipologi media yang dapat menyajikan mozaik masalah dengan mengetengahkan ragam konteks lokal tersebut, baik menyoal masalah dalam artian negatif (misalnya, seri Demi 1%) maupun positif (seri Ekonomi Tanding).
Sejujurnya, saya melihat harapan bahwa Konsentris, dengan pertahanan sikap independensinya, dapat menjadi portal media yang mampu menghadirkan kompleksitas masalah pada konteks spesifik Lampung, tanpa kehilangan relevansi atau keterhubungannya dengan dinamika pada tingkat nasional maupun global. Laporan “Hawa Panas, Krisis Iklim, dan Bencana Ekologis di Lampung” atau “Menagih Tanggung Jawab Negara-Korporasi Atas Pencemaran Sungai di Lampung” bisa dianggap sebagai laporan yang mampu mempertalikan persoalan nasional dan global dari titik pijak lokalitas Lampung.
Berbeda dari kebanyakan portal media digital yang tumbuh subur di Lampung, Konsentris dengan format jurnalisme investigasinya memberi harapan akan terbukanya jalan untuk menghadirkan peristiwa dan perspektif kritis atas apa yang terjadi di bumi Lampung tanpa terjebak pada konsolidasi kepentingan uang dan politik. Sudah barang tentu harapan tersebut mungkin dicapai apabila hidup Konsentris itu sendiri dapat bebas dari kuasa uang dan kepentingan politiknya. Dan di sinilah Konsentris telah menempuh strategi yang cukup “gila” untuk menerapkan model kerja berbasis pendanaan publik.
Dalam hal ini penting untuk mengurai definisi publik – siapa persisnya ‘publik’ itu? Mahasiswa, pekerja, petani, pengusaha … – yang mendukung kerja Konsentris, sebab publik itu sendiri bukanlah entitas tunggal. Penting untuk melihat lebih jelas aspek kelas, gender, orientasi politik, dan etnisitas, misalnya, dari publik itu sendiri, serta mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang diterapkan.
Saya tidak tahu persis hasil dari “eksperimen” yang sejauh ini telah dilakukan Konsentris. Akan tetapi, model pembiayaan kerja demikian setidaknya dapat membuka peluang ihwal (1) membangun keterikatan antara praksis jurnalisme dan warga beserta kepentingan publik yang diperjuangkannya, sekaligus untuk mengantisipasi pemusatan kuasa oleh pemegang modal, serta (2) moda hidup dari media itu sendiri atau keberlanjutannya. Model pembiayaan ini mensyaratkan Konsentris untuk membangun gerakan publik bersama para pembacanya. Dengan ini, maka urusan Konsentris tidak hanya dibatasi pada soal membuat berita, tetapi sekaligus membangun gerakan sosial. Suatu upaya yang cukup berat, namun sungguh layak dicoba!
Barangkali saya perlu menyinggung satu contoh upaya yang menunjukkan keterlibatan kerja jurnalistik Konsentris dengan gerakan publik sebagaimana telah dirangkum dalam tulisan Wandi Barboy Silaban bertajuk “Menghidupkan Kembali Diskursus Publik di Lampung”. Ringkasnya, liputan Konsentris tentang kasus skors dan DO mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia pada 2021 silam dalam perjalanannya bertautan dengan upaya advokasi legal dan kolaborasi menghasilkan film dokumenter. Yang krusial dari peristiwa nonton bareng film tersebut adalah momen mengemukanya diskursus publik tentang kebebasan berkumpul, berpendapat, serta demokrasi. Di sini ditunjukkan bahwa praktik jurnalistik tidak berhenti pada urusan publikasi berita, namun bergulir lebih jauh menjadi gerakan publik.
Hidupnya diskursus, pertukaran gagasan, yang dilanjutkan dengan tindakan bersama sejatinya merupakan jalan menuju perubahan sosial. Praksis inilah yang dapat mematahkan upaya penundukan dan menjadikan jurnalisme sekadar instrumen bagi akumulasi kekuasaan politik modal. A luta continua!