Khilafatul Muslimin dan Masa Lalu Abdul Qadir Baraja

  • Whatsapp
SEJUMLAH orang sedang duduk di halaman Kantor Pusat Khilafatul Muslimin, Telukbetung, Bandar Lampung, Kamis, 9/6/2022. Petinggi organisasi ini, Abdul Qadir Baraja beserta pengikutnya di sejumlah daerah ditangkap polisi setelah mempromosikan paham khilafah. | dok. Ihwana Haulan

Kepolisian menangkap para pengurus Khilafatul Muslimin di sejumlah daerah. Dipimpin eks Komando Jihad, Khilafatul Muslimin yang tak pernah terlibat kriminalitas disebut hendak mengganti ideologi negara. Betulkah?






Djulyadi Zubairi sedang di Pasar Jatimulyo, Lampung Selatan, ketika menerima kabar penangkapan Abdul Qadir Hasan Baraja, Pemimpin Tertinggi Khilafatul Muslimin. Pagi itu, ia belanja untuk keperluan dagang istrinya. Sang istri berjualan sayuran di rumah.

Selepas belanja, Djulyadi bergegas ke Kantor Pusat Khilafatul Muslimin di Jalan WR Supratman, Telukbetung, Kota Bandar Lampung. Ia ingin memastikan kabar penangkapan Abdul Qadir. Sampai di sana, banyak polisi.

“Saya tanya kawan di mana khalifah (Abdul Qadir)? Sudah dibawa ke polresta, katanya. Ya sudah, saya pun pulang,” ujar Djulyadi, Amir Kampung Khilafah, Kamis, 9 Juni 2022.

Abdul Qadir ditangkap usai salat subuh di Masjid Kekholifahan, Selasa, 7 Juni lalu. Masjid itu satu bangunan dengan Kantor Pusat Khilafatul Muslimin. Penangkapan tersebut setelah polisi mengusut konvoi pengendara sepeda motor di kawasan Cawang, Jakarta Timur, 29 Mei lalu. Dalam konvoi itu, mereka mempromosikan khilafah dengan membagi-bagikan brosur.

Kini, Abdul Qadir berstatus tersangka. Polisi menjerat perbuatannya dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 59 ayat (4) juncto Pasal 82 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas; dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana karena menimbulkan keonaran di masyarakat. Ia terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun.

Sebelum menjalani pemeriksaan di Jakarta, Abdul Qadir sempat dibawa ke Polresta Bandar Lampung. Namun, Djulyadi tidak datang ke sana. Mantan Amir Khilafatul Muslimin Wilayah Pringsewu itu langsung pulang ke Kampung Khilafah.

Kampung itu terletak di Jalan RA Basyid, Dusun Karang Anom, Desa Karang Sari, Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan. Berdiri di atas lahan seluas tiga hektare, Kampung Khilafah dihuni sebanyak 40 kepala keluarga. Semuanya anggota Khilafatul Muslimin.

Sebelum menjadi Kampung Khilafah, kawasan tersebut seperti dusun pada umumnya. Tak banyak yang tinggal. Pemilik lahan adalah almarhum Surahman. Warga Kampung Khilafah biasa memanggilnya Abi Rahman. Semasa hidup, Abi Rahman pernah berbaiat kepada Negara Islam Indonesia (NII).

Beberapa warga Kampung Khilafah juga eks NII. Pemimpin mereka, Abdul Qadir, pun memiliki riwayat dengan NII. Alumnus Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, itu pernah dua kali masuk penjara. Pada 1979, ia diadili dalam kasus teror Warman. Enam tahun kemudian, Abdul Qadir kembali masuk sel atas tuduhan terlibat bom Candi Borobudur pada 1985. Semua kasus itu ketika ia masih menjadi anggota Komando Jihad.

“Khalifah sudah lama keluar dari NII,” kata Djulyadi.

Abdul Qadir mengumumkan Khilafatul Muslimin pada 18 Juli 1997. Pengumumannya dengan menyebarluaskan maklumat melalui ceramah-ceramah dan dialog terbuka. Dalam maklumat itu, Khilafatul Muslimin adalah wadah umat Islam dalam berjemaah melalui sistem kekhalifahan. Ia menjadi pemimpin provisional sampai terpilih secara legitimasi khalifah/amirul mukminin bagi seluruh kaum muslimin di dunia.

Tiga tahun setelah mengumumkan Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir mengikuti Kongres Mujahidin I di Yogyakarta. Kongres selama tiga hari, 5-7 Agustus 2000, itu dihadiri 1.000-an orang dan sejumlah utusan luar negeri.

Pada kongres tersebut, Abdul Qadir lewat makalahnya mengatakan, bukankah sangat mengherankan jika umat Islam yang telah diwajibkan bersatu justru memilih alternatif lain, sehingga sukar dan tidak dapat dipersatukan? Semoga kesadaran kaum muslimin pada era globalisasi dewasa ini dapat mewujudkan kembali kesatuan mereka di bawah sistem Islam, yakni Khilafah Islamiyah. Ia meyakini bahwa Khilafah Islamiyah akan membawa misi Rahmatan Lil ‘Alamin, di mana semua makhluk di permukaan bumi mendapatkan keadilan dan kesejahteraan lahir dan batin atas rahmat kasih sayang Allah.

“Maukah dan mampukah umat Islam mendukung ‘Khilafatul Muslimin’ yang melalui kongres para mujahid kali ini kita tingkatkan kegiatannya ke seluruh dunia? Jawabannya terletak pada kesadaran kaum muslimin sendiri yang akan menentukan kemudian, apakah Khilafatul Muslimin akan meraih kesuksesan atau tidak. Sebab, tanpa dukungan umat, maka kerja para pengurus Khilafatul Muslimin hanya akan sukses dalam pikiran dan ucapan belaka,” kata Abdul Qadir di hadapan peserta kongres.

***

Siang itu, Dusun Karang Anom terlihat lengang. Langit gelap berubah menjadi hujan. Sejumlah orang tampak berbincang di Masjid Al Khilafah. Masjid ini bersebelahan dengan Kampung Khilafah.

Masjid Al Khilafah belum lama berdiri. Warga Kampung Khilafah membangunnya agar lebih dekat beribadah. Abdul Qadir pernah datang ke masjid itu.

Rekam jejak Abdul Qadir yang dikenal dengan gerakan NII dan kasus terorisme berdampak pada organisasi yang sekarang dipimpinnya, yaitu Khilafatul Muslimin. Lembaga yang tak memiliki catatan kejahatan itu diasosiasikan dengan gerakan yang hendak mengubah ideologi negara.

Kampung Khilafah di Dusun Karang Anom, Desa Karang Sari, Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan, Kamis, 9/6/2022. Penghuni kampung itu mayoritas anggota Khilafatul Muslimin. | KONSENTRIS/Hendry Sihaloho

Demikian pula dengan Kampung Khilafah. Kampung yang mayoritas dihuni anggota Khilafatul Muslimin itu disebut menyeramkan. Orang-orang tidak berani masuk.

“Laporan dari babinsa, polisi saja takut masuk sini. Padahal, babinsa saja keluar-masuk, bahkan makan di sini tak ada masalah,” kata Suyono dan Muhidin, anggota Khilafatul Muslimin, di Masjid Al Khilafah, Kamis, 9 Juni 2022.

Suyono sendiri pernah bergabung dengan NII. Ia kemudian keluar, lalu berbaiat kepada Khilafatul Muslimin. Suyono tak memungkiri bahwa sejumlah eks NII menjadi anggota Khilafatul Muslimin.

“NII itu kan asabiah. Sementara, Islam rahmatan lil alamin,” ujarnya.

Ia bilang, perjuangan menegakkan khilafah sering disematkan dengan tuduhan merebut negara. Padahal, khilafah dalam konsep Khilafatul Muslimin adalah ajaran Islam, bukan bentuk negara. Itu sebabnya, salah satu aktivitas mereka adalah mendakwahkan khilafah, seperti konvoi menyebarkan pamflet.

“Khilafatul Muslimin tak ada kaitannya dengan masa lalu Abdul Qadir,” ucap Suyono.

Ihwal Kampung Khilafah, beberapa warga Dusun Karang Anom tidak keberatan. Jika mengadakan acara, penghuni Kampung Khilafah sering mengundang warga setempat. Belum lama ini, warga Karang Anom diundang menghadiri acara pernikahan.

Sejumlah warga juga menyebut bahwa mereka yang tinggal di Kampung Khilafah berbaur dengan masyarakat setempat. Siapa pun boleh masuk Kampung Khilafah.

“Tapi, jangan merokok. Bagi laki-laki tidak boleh mengenakan celana pendek. Sedangkan perempuan mesti berjilbab. Ya saling menghormatilah,” kata Sutris, pemilik warung yang tak jauh dari Kampung Khilafah.

***

Kantor Pusat Khilafatul Muslimin agak berantakan, Kamis sore. Tumpukan buku, boks, dan kardus berisi kertas-kertas tergeletak di lantai. Papan bagan struktur Khilafatul Muslimin yang dilapisi kaca tampak kosong.

“Polisi menyita buku-buku dan struktur kepengurusan di kaca itu,” kata Abdul Aziz, Sekretaris Pemimpin Tertinggi Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja.

Markas besar Khilafatul Muslimin terdiri empat lantai. Lantai pertama adalah masjid. Lantai kedua dan ketiga sebagai kantor. Sedangkan lantai empat dipakai untuk tempat tinggal Aziz.

“Buku-buku seputar jihad juga disita. Padahal, itu bukan referensi kami, cuma koleksi perpustakaan,” ujar Aziz.

Pihak kepolisian bukan cuma mengambil buku dan dokumen. Mereka pun mengangkut komputer beserta printer dari Kantor Khilafatul Muslimin. Kemudian, Majalah Al-Khilafah edisi terbaru dan buku berjudul “Gambaran Global Pemerintahan Islam.”

Buku terbitan Pustaka Al-Khilafah itu ditulis langsung oleh Abdul Qadir. Cetak pertama pada 2002, buku setebal 153 halaman tersebut ditulis pada 1994. Artinya, Abdul Qadir menulis buku itu sebelum mengumumkan Khilafatul Muslimin, yakni 18 Juli 1997.

“Khilafatul Muslimin digambarkan dalam buku itu. Khalifah menulisnya jauh sebelum Khilafatul Muslimin menjadi besar seperti sekarang,” kata Aziz.

Dalam buku Gambaran Global Pemerintahan Islam, Abdul Qadir menulis, “… sistem pemerintahan non Islam merupakan kekuasaan apartheid terselubung dalam rangka memperbudak sesama, dari zaman-zaman terdahulu sampai seterusnya. Sesungguhnya mereka hanya menjajah bangsa sendiri. Untuk melestarikan kekuasaan mereka, rakyat dipaksa membayar pajak menurut ketentuan mereka. Bumi, air, dan kekayaan alam adalah milik mereka. Jika rakyat hendak memilikinya, harus membelinya dari para penguasa zalim itu.”

Paragraf selanjutnya, “Jika suatu saat terjadi pembangkangan terhadap kekuasaan mereka, maka mereka pun tak segan-segan melancarkan berbagai penindasan, bahkan pembunuhan. Berbagai cara dilakukan dalam rangka memuaskan hati dan mempertahankan kekuasaan mereka. Rakyat hanyalah budak-budak mereka yang hanya boleh usul, boleh berbicara dan boleh bebas mengemukakan pendapat, tetapi bila menimbulkan murka penguasa, maka berarti keselamatan hidup mereka terancam.”

Dalam buku yang sama, Abdul Qadir mengapresiasi kehadiran NII (halaman 51). Itu tersirat dalam tulisannya, “… setelah kekhalifahan itu hilang tiada berlanjut dalam tempo seperempat abad lamanya, muncullah seorang hamba yang gagah berani dan penuh tawakal, bersama para sahabatnya, berjuang dengan gigih sehingga menguasai sebagian wilayah di Jawa Barat, lalu memproklamirkan berdirinya, Negara Islam Indonesia pada 17 Agustus 1949, demi mencita-citakan berdirinya sistem kekhalifahan Islam di muka bumi, dan itu berarti bahwa Indonesia hanyalah sebagai pusat gerakan (sebagai Madinah) menuju penyempurnaan pelaksanaan dakwah dan penerapan ajaran Islam di atas dunia ini. Dia adalah Imam SM Kartosuwiryo bersama umat Islam pendukungnya, di mana secara de facto telah menguasai sebagian wilayah Jawa Barat yang bermarkas di Gunung Galunggung.”

Adapun buku lain yang ditulis Abdul Qadir, antara lain Iman Hijrah Jihad, Memilih Jemaah yang Benar, Mendakwahkan Kebenaran dengan Benar, Poligami, dan Islam Tidak Bermazhab.

Selain buku, Abdul Qadir juga menuangkan pemikirannya di majalah dan tabloid Al-Khilafah. Secara umum, isu yang dibahasnya seputar Islam dan khilafah. Majalah Al-Khilafah edisi 68 Tahun 2018, misalnya. Dalam artikel “Khalifah Penyatu Ummah”, ia mengatakan bahwa cara berjemaah bagi kehidupan global kaum muslimin adalah ber-khilafah. Maka, menunjuk seorang khalifah syarat terwujudnya kesatuan umat. Sepanjang sejarah para Sahabat Nabi tidak membentuk Jemaah Anshor dan tidak juga jemaah Muhajirin dengan kepemimpinan masing-masing, kecuali mereka wajib bersatu di bawah seorang pemimpin yang disebut Khalifah/Amirul Mukminin.

“Kepemimpinan inilah yang kita sedang mulai memperjuangkannya untuk mencapai kesempurnaannya memberlakukan syariat Islam secara sempurna demi kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat, dengan memerdekakan semua umat melaksanakan ajaran agamanya masing-masing sesuai keyakinannya. Maka, orang non muslim pun harus tunduk di bawah kepemimpinan khalifah demi terjaminnya kebebasan beragama (lakum diinukum waliyadin/semua keyakinan beragama adalah merdeka bagi setiap pemeluknya).”

Dalam aktivitasnya, Khilafatul Muslimin mempromosikan Khilafah Islamiyah. Konsep mereka ihwal khilafah bukan negara, melainkan sebuah sistem ajaran Islam. Khilafah Islamiyah artinya sistem yang dipimpin khalifah.

“Kalau khilafah itu negara, maka sistem Allah itu kecil. Lebih hebat demokrasi yang mendunia,” kata Aziz.

Sering Didatangi Aparat

Ihwal menjaring anggota, Khilafatul Muslimin menggunakan cara terbuka. Mereka berdakwah dari rumah ke rumah, membagikan pamflet, hingga konvoi. Kemudian, Khilafatul Muslimin menyampaikan kepada khalayak bahwa umat Islam wajib bersatu. Dalam Islam, kewajiban dimaksud sama dengan salat maupun puasa.

Cara lainnya, mengingatkan umat Islam soal baiat. Mereka yang meninggal tanpa pernah melakukan baiat, maka meninggal jahiliah.

“Dalam Islam, baiat itu kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah wafat, baiat itu kepada khalifah,” ujarnya.

Soal operasional organisasi, Khilafatul Muslimin mengandalkan infak dan sumbangan sukarela. Aziz tertawa ketika disebut bahwa organisasinya mendapatkan dana dari luar negeri. Ia bilang, isu itu sering diembuskan.

“Kami tidak boleh bikin proposal. Sebab, hakikatnya proposal itu meminta-minta, dan perbuatan tersebut tidak disukai Allah,” ucap Aziz.

Di Khilafatul Muslimin terdapat dua macam anggota, yaitu biasa dan istimewa. Anggota biasa merupakan warga sipil. Sedangkan anggota istimewa berasal dari TNI, Polri, dan instansi.

Mudah untuk mengetahui anggota biasa. Mereka mengenakan pakaian putih-hijau dan peci. Berbeda dengan anggota istimewa, yakni berpakaian preman.

“Tugas anggota istimewa adalah ketika datang musuh, maka mereka mengangkat senjatanya untuk melawan. Perlawanan itu dalam rangka membela Islam,” kata Aziz.

Khilafatul Muslimin akan genap berusia 25 tahun, bulan depan. Sebagai petinggi organisasi yang punya anggota di banyak daerah, Abdul Qadir acap kedatangan tamu. Terbilang sering adalah kepolisian dan anggota TNI.

Terakhir kali yang menemui Abdul Qadir adalah utusan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Detasemen Khusus 88. Keperluan mereka, silaturahmi.

“Mereka bertanya soal Khilafatul Muslimin. Mau tahu seperti apa Khilafatul Muslimin dengan negara,” ujar Aziz.

***

Jami’ah Khalifah Ali Bin Abi Tholib tampak sepi aktivitas. Di bawah mendung, tiga lelaki duduk di sebuah gardu. Wajah mereka terlihat belia.

Sekitar 20 meter dari gardu itu terdapat bangunan seperti kelas. Tak lama, orang-orang keluar dari kelas tersebut. Mayoritas mengenakan pakaian putih-hijau dibalut peci. Perawakan mereka tampak remaja.

Jami’ah Khalifah adalah pondok pesantren yang pengelolaannya di bawah Khilafatul Muslimin. Tingkat pendidikannya setara dengan kampus. Artinya, para remaja tadi adalah mahasiswa.

Para santri Jami’ah Khalifah Ali Bin Abi Tholib sedang beristirahat, Sabtu, 11/6/2022. Pondok pesantren di bawah naungan Khilafatul Muslimin itu setara dengan perguruan tinggi. | KONSENTRIS/Derri Nugraha

Usia pondok pesantren itu relatif masih muda, yaitu empat tahun. Saat ini, jumlah santri sebanyak 200 orang. Usia mereka rerata di atas 10 tahun. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Berdiri di atas lahan lima hektare, Jami’ah Khalifah terletak di Jalan Terusan Margodadi-Sumber Jaya, Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan – sekitar 15 km dari Kota Bandar Lampung.

“Sementara ini, belum ada jurusan tertentu, seperti fakultas. Penekanan kurikulum masih pembelajaran Alquran,” kata Juhana Mukhlis, Penanggungjawab Harian Jami’ah Khalifah Ali Bin Abi Tholib, Sabtu, 11/6/2022.

Selain Alquran dan hadis, para santri mendapat pelajaran umum, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Santri juga diajarkan keterampilan antara lain otomotif, listrik, dan komputer. Keterampilan tersebut sebagai bekal hidup agar lulusan Jami’ah Khalifah tak menjual agama.

“Mohon maaf, sekarang ini kan ada istilah ‘ustaz amplop’,” ujarnya.

Di Jami’ah Khalifah, masa pendidikan terbilang singkat, yakni dua tahun. Mereka yang dinyatakan lulus akan menyandang gelar Sarjana Kekhalifahan Islam (S.KHI). Akan tetapi, untuk bisa mengambil ijazah minimal khatam 15 juz.

Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah (PPUI) Khilafatul Muslimin di Margodadi, Lampung Selatan, Sabtu, 11/6/2022. Tingkat pendidikan di pesantren itu setara dengan SMP dan SMA. | KONSENTRIS/Derri Nugraha

Total pengurus Jami’ah Khalifah sebanyak 20 orang. Perinciannya, 14 tenaga pengajar dan enam orang mengurus bagian umum. Biaya operasional kampus itu sekitar Rp60 juta per bulan. Pemasukan utama berasal dari sumbangan sukarela warga Khilafatul Muslimin.

“Kebanyakan sumbangan bukan berupa uang, tapi berbentuk barang seperti beras dan sayuran,” kata Juhana.

Letak Jami’ah Khalifah berseberangan dengan Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah (PPUI) Khilafatul Muslimin. Tingkat pendidikan di pesantren ini setara dengan SMP dan SMA. Masa studi masing-masing sekolah selama dua tahun.

Seperti Jami’ah Khalifah, sumber pemasukan PPUI dari donasi masyarakat. Para santri, baik di Jami’ah Khalifah maupun PPUI, sama sekali tidak membayar. Mereka bersekolah secara cuma-cuma.

Ketika mewawancarai Juhana, polisi menangkap Abdul Aziz di Bandar Lampung. Belakangan, sejumlah orang pun turut digelandang ke kantor polisi, di antaranya pengurus PPUI. Para anggota Khilafatul Muslimin di beberapa daerah juga ditangkap. Pihak kepolisian menyebut organisasi itu membangun negara di dalam negara.

Namun, warga khilafah bilang, “Masa lalu Abdul Qadir tak ada hubungannya dengan Khilafatul Muslimin.”

Laporan Hendry Sihaloho dan Derri Nugraha

Banner-DOnasi.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

32 + = 41