“Partai Jokowi” adalah sebuah blok pemilih. Mereka memiliki ikatan yang sangat cair dan tak kenal satu sama lain. Organisasi tanpa bentuk itu tidak peduli dengan politik dan pragmatis.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen
Mungkin sekitar bulan Juni yang lalu, saat itu baru Anies Baswedan yang sudah menyatakan mencalonkan diri menjadi presiden atas dukungan Surya Paloh dan Partai Nasdem. Sedangkan Prabowo, meskipun belum resmi maju sebagai capres, orang sudah tahu bahwa ia akan nyapres.
Kabar menyebutkan bahwa Presiden Jokowi cawe-cawe di belakang Prabowo. Waktu itu, orang masih bertanya-tanya: apakah Ganjar Pranowo akan dapat restu dari Megawati untuk maju? Sebab, beredar kabar yang akan dimajukan Megawati adalah putrinya, Puan Maharani.
Ketika itu saya sedang di Malang, tempat saya sering tinggal setelah pensiun dari LIPI pada 2017. Seorang teman yang bekerja di sebuah lembaga survei politik menyampaikan apakah saya berminat bertemu dengan teman-temannya dari Jakarta, yang sedang mengadakan sebuah acara yang berkaitan dengan penggunaan media sosial untuk kampanye politik. Acara itu berlangsung di sebuah hotel yang saat ini barangkali terbesar di Malang. Ruangannya penuh dengan peserta yang mayoritas muda. Mereka para youtuber dan blogger.
Dari obrolan dengan teman-teman dari Jakarta – tokoh-tokoh papan atas dunia media sosial – saya kemudian tahu bahwa sponsor acara ini adalah orang dekat Jokowi. Acara itu bertujuan mengarahkan para pegiat media sosial untuk membesarkan nama Jokowi di dunia media sosial. Mereka diberi pelatihan bagaimana teknik membuat media content untuk mendukung Presiden Jokowi.
Saat mendengar dan melihat semua itu, saya masih menduga-duga apakah tujuan Jokowi melakukan semua itu untuk mendukung Ganjar Pranowo? Betapa naif pengetahuan dan pemahaman saya tentang politik yang bermain di bawah permukaan. Politik yang tak terlihat adalah politik yang sesungguhnya.
Jokowi hadir saat Megawati secara resmi mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Tetapi, Jokowi tidak terlihat ketika Megawati mendeklarasikan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai pasangan capres dan cawapres dari koalisi PDIP, PPP dan Perindo. Saat itu, publik sudah mengetahui kalau ada ketegangan hubungan antara Jokowi dan Megawati.
Jokowi pun terlihat mulai membingungkan publik ketika Kaesang Pangarep, anak terkecilnya, tiba-tiba menjadi Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PSI adalah partai pertama yang pernah menyatakan mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Peta politik berubah cepat dengan manuver-manuver Jokowi yang mulai memperlihatkan dukungannya terhadap Prabowo.
Publik semakin yakin bahwa Prabowolah jago Jokowi, bukan Ganjar. Terlebih, secara mengejutkan, ketua MK yang notabene adalah adik iparnya, memutuskan bahwa Gibran, anak Jokowi, bisa menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo.
Prabowo Subianto yang tiga kali nyapres, dan dua kali kalah bertarung melawan Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019, mengetahui dengan baik kalau nasibnya saat ini ditentukan oleh Jokowi. Dipasangkannya seorang yang pantas jadi anaknya, Gibran Rakabuming, sebagai cawapres, yang ia terima tanpa reserve. Prabowo, mantan jenderal, bekas menantu Soeharto, putra sang begawan ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo, dalam bahasa Jawa sudah “pasrah bongkokan” kepada Jokowi.
Secara psikologis, Prabowo sudah mencapai tahap “politically fatigue”. Saya tidak tahu apa yang sesungguhnya diinginkan Prabowo dalam sisa hidupnya. Dalam sebuah pernyataan, Prabowo bilang kalau kalah lagi, ia akan pensiun dan naik gunung. Ya, naik gunung, bukan turun gunung.
Pada masa kampanye yang dimulai 28 November lalu, dalam berbagai kesempatan, Prabowo tidak menyembunyikan rasa syukur karena didukung Jokowi. Bahkan, Prabowo tidak ragu-ragu mengatakan bahwa tim pemenangannya adalah tim Jokowi. Hasil riset berbagai lembaga survei memperlihatkan kenaikan angka pemilih pasangan Prabowo-Gibran, meninggalkan jauh perolehan pasangan saingannya, Ganjar-Mahfud dan Anies-Amin.
Meskipun masih tinggi jumlah pemilih bimbang (swing voter), sukar untuk dibantah telah bekerjanya “Partai Jokowi” dibalik meningkatnya jumlah pemilih Prabowo-Gibran. Saya mengatakan “Partai Jokowi” karena memang itulah yang sedang terjadi. Sebuah blok pemilih yang mungkin sangat cair ikatannya dan sudah pasti tidak kenal satu dengan lainnya, namum telah tersihir dalam sebuah sikap yang pro-Jokowi.
Mereka juga menganggap Jokowi telah berhasil memberikan kemudahan-kemudahan yang secara langsung telah mereka nikmati, misalnya membaiknya transportasi seperti semakin banyak jalan tol, bandara, MRT, LRT, kereta cepat dan lain-lain. Mungkin sebagian dari kelompok ini menilai Jokowi sebagai presiden yang berhasil membubarkan Islam garis keras, seperti FPI, yang selalu membuat penganut agama minoritas merasa tak aman.
Fenomena relawan yang sangat menonjol bersamaan dengan naiknya Jokowi pastilah menjadi core group dari Partai Jokowi. Sebagian bekas relawan atau pendukung Jokowi bisa jadi termasuk dalam kelompok pemilih yang disebut pemilih bimbang dalam berbagai survei yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei itu. Kelompok pemilih bimbang ini termasuk yang kecewa dengan manuver-manuver politik Jokowi yang dinilai tidak demokratis dan menodai konstitusi. Kita akan melihat nanti dalam hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024, berapa banyak dari kelompok pemilih bimbang ini akan betul-betul meninggalkan Jokowi.
Jokowi pebisnis politik yang memahami bekerjanya pasar politik. Jokowi seperti apa yang saya ceritakan diawal tulisan ini mengetahui bahwa media sosial menjadi faktor penting untuk mengetahui arah politik dan mendorong politik menuju arah yang diinginkan. Jagonya, Prabowo-Gibran, telah kita saksikan banyak menggunakan strategi yang meskipun terlihat konyol seperti menampilkan gaya gemoy untuk menarik pemilih muda yang apolitis, konon taktik itu terbukti manjur.
Penampilan Prabowo dalam acara debat pertama juga terlihat konyol dan tampak tidak berusaha menyampaikan pendapatnya secara sistematis. Jika ada yang membuat acara debat pertama itu menjadi tontonan menarik justru karena gaya Prabowo yang ingin menampilkan diri sebagai pemimpin yang tegas, namun kocak. Saya tidak yakin apakah penampilan Prabowo sebagai calon presiden dalam acara debat pertama itu akan meningkatkan daya tariknya untuk membuat orang memilihnya.
Sejauh ini, yang sangat dikhawatirkan publik justru pengaruh Jokowi sebagai presiden terhadap netralitas aparat negara, terutama militer dan polisi. Sehingga, mereka menjadi bagian dari Partai Jokowi yang dimobilisasi untuk mendukung dan memenangkan pasangan calon tertentu. Kekhawatiran publik bukan tanpa alasan. Sebab, dalam atmosfer politik yang telah menjadi otoriter dan pragmatis sulit untuk meyakini bahwa aparat negara akan bertindak netral – tidak memihak calon presiden tertentu.
Fenomena politik seperti di Filipina ketika Bongbong, anak presiden Marcos yang seperti Soeharto terjungkal dari kursi presiden karena sudah tidak disukai rakyatnya, bukan mustahil juga akan terjadi di Indonesia. Kali ini, mantan menantu Soeharto dan anak dari presiden yang sedang berkuasa.