Jokowi bukan presiden baperan. Ia tahu keberadaan oposisi tak akan menjatuhkannya. Sebaliknya, ia mendesain agar bisa meningkatkan popularitasnya.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini peneliti independen
Analisis dan kritik Mughis Mudhoffir tentang mitos masyarakat sipil (civil society) dan perannya yang insignificant dalam perubahan politik dan demokrasi, saya kira harus diakui banyak benarnya. Masyarakat sipil yang menjadi bagian dari kelas menengah ini, menurut Mughis, tidak akan membawa banyak perubahan karena mereka tidak punya basis yang kuat di masyarakat. Mereka dengan mudah dikooptasi oleh penguasa. Tapi, saya kira, jika ada yang disebut kelompok oposisi yang masih menyuarakan kritik terhadap pemerintah ya masyarakat sipil ini. Memang, saya sepandapat dengan Mughis, oposisi dari masyarakat sipil ini jauh dari memadai. Saat ini, memang tidak ada oposisi yang sesungguhnya, baru pseudo oposisi.
Mayarakat sipil adalah sebuah kelompok masyarakat yang tumbuh menjadi lapisan kritis ketika Orde Baru menjadikan warga negara Indonesia sebagai floating mass dan sekadar angka statistik. Bagi Jokowi yang telah menguasai hampir tuntas ketiga domain politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), oposisi dari masyarakat sipil ini perlu dipelihara untuk mengklaim bahwa dirinya seorang demokrat. Bahkan, ketika ada kritik yang sangat merendahkan dirinya sekalipun, ia biarkan. Jokowi bukan presiden baperan karena ia tahu oposisi terhadap dirinya tidak akan menjatuhkannya. Sebaliknya, ia buat agar bisa meningkatkan popularitasnya.
Dalam kaitan dengan masyarakat sipil, Jokowi tahu mereka sangat berguna bagi dirinya. Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya juga hasil dari dukungan masyarakat sipil yang saat itu melihatnya sebagai pemimpin yang akan membawa perubahan demokrasi. Sebuah gejala yang menarik tatkala sebagian masyarakat sipil seperti memilih nama menjadi kelompok relawan.
Jokowi tidak melupakan tokoh-tokoh masyarakat sipil dan para tokoh relawan yang telah ikut memenangkannya sebagai presiden. Dengan murah hati tokoh-tokoh ini diberinya jabatan dan kedudukan dalam pemerintahannya. Tokoh-tokoh ini ada yang diangkatnya sebagai menteri, wakil menteri, direktur jenderal, duta besar, dan komisaris-komisaris perusahaan negara. Tentu tidak semua tokoh masyarakat sipil ini kebagian jatah. Mungkin juga ada yang memang tidak mau jabatan dan tetap memilih di luar kekuasaan menjadi semacam oposisi.
Tidak cukup dengan kabinet, Jokowi pun membentuk Kantor Staf Presiden (KSP). Katanya, meniru tradisi presiden Amerika Serikat. Untuk memimpin KSP, Jokowi mengangkat seorang tokoh LSM yang telah banyak mendampinginya selama kampanye.
Di KSP, sejumlah aktivis LSM dan akademisi mengisi berbagai tugas, konon sebagai komplemen dari kementerian agar pembangunan berjalan lancar. Tokoh LSM yang menjadi kepala KSP ini ternyata kemudian diganti oleh seorang mantan jenderal. Jokowi bisa dibilang generous dalam membagi-bagi jabatan yang diharapkan bisa membantu dan mengangkat namanya. Dalam kalkulasi bisnisnya, ini ongkos yang harus dibayar.
Jokowi pun diketahui mengajak beberapa orang dekatnya dari Solo, sebagian juga mantan aktivis LSM atau jurnalis sebagai asisten-asisten pribadinya di Jakarta. Dalam mengangkat menteri-menterinya pun Jokowi sangat memerhatikan mereka yang pernah membantunya. Yang menarik, Jokowi tidak segan-segan memberhentikan dan mengganti menteri-menterinya dengan alasan yang saya kira hanya Jokowi sendiri yang tahu.
Dalam hal memilih menteri-menterinya, Jokowi sangat memerhatikan mana menteri yang strategis dan mana yang politis. Menteri keuangan dan menteri luar negeri yang kebetulan dijabat perempuan merupakan posisi yang baginya strategis. Mereka terbukti sangat membantu Jokowi dalam mengendalikan ekonomi dan meningkatkan citra politiknya di luar negeri.
Posisi menteri dalam negeri juga merupakan posisi yang strategis dan harus dijabat orang yang dipercayainya. Begitu juga menteri pekerjaan umum yang menjadi andalan untuk membangun infrastruktur fisik yang memang menjadi prioritasnya. Posisi-posisi menteri lainnya ia bagikan ke partai-partai pendukung. Bahkan, diberikan kepada bekas lawan politiknya di Pilpres, Prabowo Subianto. Mungkin dibenaknya, Jokowi ingin menjadi Lee Kuan Yew atau Xi Jinping – memimpin negara tanpa oposisi.
Jokowi ternyata bukan Soeharto yang bisa berkuasa dan mengendalikan kekuasaan ditangannya sendiri selama 32 tahun melalui pemilu setiap lima tahun sekali. Jokowi tidak memiliki kemewahan seperti Soeharto. Salah satu keputusan reformasi politik pasca-1998 adalah membatasi kekuasaan presiden hanya boleh dua periode.
Kita tahu Jokowi berusaha memperpanjang kekuasaannya menjadi tiga periode, tapi gagal. Kegagalan ini menunjukkan meski pun hampir tidak ada lagi oposisi, ternyata ia tidak bisa mengubah batas dua periode masa kepresidenannya. Jokowi mungkin mulai menyadari ternyata ada batas yang tidak mungkin dilampauinya. Namun, bukan Jokowi kalau tidak mencari celah untuk tetap bisa memainkan kekuasaan kendati pun nanti tak lagi jadi presiden.
Untuk membangun basis melalui organisasi-organisasi seperti buruh atau petani menjadi sangat kecil kemungkinannya. Menurut Mochtar Pabottingi, tradisi politik egaliter yang sesungguhnya sudah berkembang sebelum kemerdekaan harus surut ketika Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden 1959, dan kemudian dimatikan ketika Presiden Soeharto berkuasa pasca-1965. Ketika reformasi politik pasca-1998, meski pun para reformis telah berhasil melakukan banyak perubahan, namun bila kita lihat perkembangan politik hari ini – setelah seperempat abad berlalu – seperti kembali ke titik nol.
Dalam sebuah artikel pendek yang mengulas buku kumpulan tulisan Harold Crouch Political Reform in Indonesia after Soeharto, Michael Buehler menunjukkan ada sesuatu yang missing dalam kumpulan tulisan Harold Crouch itu. Menurut Buehler, sesuatu yang missing itu adalah mengenai peran dari lembaga-lembaga think tank dari luar negeri, terutama Amerika Serikat dalam memengaruhi pilihan-pilihan politik di Indonesia. Apa yang dikemukakan oleh Buehler ini sejalan dengan argumentasi Mughis tentang mitos masyarakat sipil yang ternyata bukan merupakan kekuatan penting dalam perubahan politik.
Kita tahu berbagai lembaga demokrasi kemudian dibentuk antara lain KPK, MK, sistem multi partai dan sistem pemilu; untuk menyebut beberapa lembaga demokrasi yang saat ini dianggap penting. Adalah juga fenomena menarik, bersama mereka yang pulang dari meraih gelar doktor di Amerika Serikat, kita melihat bagaimana dikembangkan teknik survei dan pooling, misalnya, untuk mengukur elektabilitas capres, calon anggota parlemen dan sebagainya. Industri survei politik tumbuh pesat pasca-1998 yang perkembangannya tak terpisahkan dari politik elektoral yang semakin transaksional – democracy for sale, kata Edward Aspinall dan Ward Berenschot.
Jangan-jangan selama ini kita memang tidak pernah bertanya sejauh mana berbagai lembaga demokrasi itu sesungguhnya menjadi pilihan kita sendiri, atau sebenarnya merupakan agenda politik yang diam-diam dicangkokkan ke dalam tubuh kita dari luar? Jika hari ini seperti tidak ada oposisi terhadap Jokowi, jika hari ini kita merasa seperti kembali ke titik nol, barangkali perlu dicari jawabnya pada apa yang sesungguhnya telah terjadi di titik nol itu?