Dalam perspektif agama, hukuman atas persekutuan tidak suci adalah neraka. Tapi, dalam politik, bukan sebuah masalah. Proses politik yang terlahir dari persekutuan tak suci mencemaskan masa depan bangsa.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen
Bukan Jokowi kalau tidak berusaha sampai ujung, “push into the limit, why not?” Begitulah kita semua menyaksikan bagaimana Jokowi akhirnya mempersandingkan putra pertamanya, Gibran Rakabuming Raka, dengan bekas musuh Pilpres-nya, Prabowo Subianto.
Kali ini, Prabowo yang sudah tiga kali maju sebagai capres dan selalu kalah itu tampaknya mendapatkan jaminan dari Jokowi. “Ini saatnya Prabowo Subianto menjadi Presiden,” begitu tertulis dalam baliho-baliho sepanjang jalan.
Mengapa Jokowi menginginkan Prabowo menjadi presiden?
Salah satu dugaan karena hanya Prabowo yang bisa menjamin kelangsungan agendanya yang belum selesai, setelah tak lagi menjadi presiden. Pembangunan ibu kota baru, misalnya. Posisi anaknya yang ditempatkan sebagai cawapres bisa menjadi pengikat agar Prabowo tidak mengingkarinya jika nanti terbukti menang.
Belum lama ini, melalui sebuah rekayasa hukum lewat putusan MK yang diketuai oleh adik iparnya, Presiden Jokowi meloloskan Gibran sebagai cawapres. Manipulasi hukum itu dibayar cukup mahal dengan pencopotan jabatan adik iparnya sebagai Ketua MK.
Majelis Etik menilai, putusan meloloskan Gibran itu merupakan tindakan tak etis dan menyalahi konstitusi. Dalam opininya, Majalah Tempo menyebut Gibran sebagai anak haram konstitusi. Tapi, bagi Jokowi, bayar membayar dalam politik adalah hal biasa. Selalu ada ongkos dalam setiap tujuan yang ingin dicapai.
Bagi orang awam yang masih punya nalar waras, pencopotan adik ipar sebagai Ketua MK sangat memalukan keluarga. Bagi Jokowi, meskipun rasa malu itu ada, namun sebagai orang Jawa mungkin akan berkata “idep-idep tumbal” untuk meraih kemuliaan hidup keluarga yang lebih besar.
Memang, seperti ada yang berada di luar batas kewajaran, melampaui batas nalar manusia pada umumnya. Tetapi, hal itu tampaknya yang sedang diperlihatkan oleh Jokowi. Seorang teman, aktivis LSM dari Yogyakarta, menggunakan istilah Jawa melihat fenomena Jokowi yang sulit dimengerti itu sebagai “kami tenggeng-en“.
Dalam agama, hukuman atas persekutuan tidak suci adalah neraka. Tapi, dalam politik, bagi Jokowi, bukan sebuah masalah. Meskipun mungkin tidak pernah membaca Sang Pangeran dan Machiaveli, Jokowi tampaknya menjalankan dengan baik ajarannya.
Menurut Machiaveli, politik yang baik mesti dipisahkan dari etika. Politik berurusan dengan hal-hal yang duniawi, bukan yang ukhrawi seperti etika dan agama. Baik buruk politik tidak bisa diukur oleh baik buruk etika atau agama. Dengan latar belakangnya sebagai pebisnis, Jokowi memandang politik tak lebih sebagai persoalan kalkulasi untung rugi, “cost and benefit”.
Sebagai pelaku ajaran Machiavelli, Jokowi saya kira memandang persekutuan tidak suci antara beberapa pihak merupakan sesuatu yang biasa dan tak perlu dipersoalkan. Bagi sebagian orang yang menganggap politik itu kotor, saya kira karena adanya praktik-praktik “unholy alliance” ini.
Sabtu lalu, 25 November 2023, saya menghadiri peluncuran novel terbaru Leila Chudori yang berjudul “Namaku Alam”. Dalam sebuah aula yang cukup besar di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM) itu, pengunjungnya sebagian besar mahasiswa berjubel memadati ruangan. Diskusi buku baru Leila yang merupakan bagian dari acara Borobudur Writer and Cultural Festival (BWCF) ini sangat menarik karena memperlihatkan besarnya antusiasme generasi milenial terhadap sejarah dan politik negerinya.
Saya kebetulan sudah membaca novel Leila sebelumya yang berjudul “Pulang” (2012) dan “Laut Bercerita” (2017). Rupanya, novel terbarunya “Namaku Alam” (2023) boleh dikatakan kelanjutan dari novel “Pulang”. Roman tersebut mengisahkan perjalanan hidup seorang pelarian politik, korban peristiwa 65.
Tokoh utama cerita ini mendapatkan suaka politik di Perancis. Kota Paris sebagai seting dan demonstrasi mahasiswa tahun 1969 serta percintaannya dengan seorang mahasiswi Perancis diramu dengan menarik oleh Leila. Sementara, novel terbarunya “Namaku Alam” mengisahkan kehidupan seorang anak Tapol (tahanan politik), juga korban peristiwa 65, yang hidup di tengah Kota Jakarta.
Pada novel “Laut Bercerita” dalam “genre” yang sama, Leila mengisahkan sekelompok mahasiswa yang melakukan gerakan untuk menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto. Saya kira, Leila satu generasi dengan para aktivis ini. Sebab, novel yang ditulisnya berdasarkan riset dan wawancara dengan para pelaku, sehingga terasa kedekatan dirinya dengan tokoh-tokoh utama dalam novel.
Dalam presentasinya, Leila misalnya mengatakan saat ini masih ada 13 aktivis yang diculik sekitar 1998 yang tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Yang menarik dari diskusi buku yang dipenuhi mahasiswa di kampus UM itu saat sesi tanya jawab. Salah satu pertanyaan adalah apakah Leila pernah merasa takut karena novel-novelnya selalu mengambil tema-tema politik yang sensitif? Terus terang, jawaban Leila terhadap pertanyaan ini mengejutkan saya yang duduk di barisan belakang bersama Halim HD dari Solo.
Leila mengatakan bahwa tentu saja ada rasa takut itu, apalagi orang-orang yang dahulu menjadi bagian dari Orde Baru masih ada. Oleh karena itu, Leila mengaku selalu mengambil sikap hati-hati. Tapi, kemudian Leila mengatakan bahwa sekarang dirinya benar-benar merasa takut, terutama setelah adanya putusan MK itu. Leila sangat khawatir dengan perkembangan politik akhir-akhir ini. Ia takut Orde Baru akan hidup kembali di Indonesia.
Lahirnya “unholy alliance” antara Prabowo dan Gibran yang dibidani Jokowi, saya kira tidak hanya menakutkan Leila, tapi banyak orang, termasuk saya. Munculnya pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam sebuah persekutuan yang tidak suci memang mencemaskan masa depan Indonesia.
Ketakutan Leila, seorang novelis, yang menuliskan ceritanya melalui penghayatan mendalam dari para aktivis yang mengalami penculikan dan penyiksaan menjelang kejatuhan Jenderal Seoharto pada Mei 1998 adalah sesuatu yang nyata. Represi dan kekejaman dari sebuah rezim yang telah berhasil ditumbangkan itu memang tidak terbayangkan kalau lahir kembali. Jika itu terjadi, Indonesia akan kembali tidak saja ke titik nol, tapi ke dasar kubangan lumpur yang paling dalam.