Sejak 1965, Indonesia berkembang menjadi negeri yang kapitalistik. Setelah Soeharto lengser, rezim politik yang kapitalistik itu bertahan dan terus berkembang, hingga dikuasai oligarki. Dalam sistem politik elektoral, ia kemudian menjadi sangat transaksional. Jadi, apa yang sesungguhnya dalam benak anak-anak muda ketika mendengar kata “politik”?
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen
Dalam satu gebrakan, Jokowi mengantarkan anak-anak dan menantu laki-lakinya dalam pusat pusaran politik Indonesia. Jokowi melihat politik dengan caranya sendiri. Tidak umum dan karena itu tak mudah diprediksi. Jika ada satu prinsip yang bisa dikatakan menjadi pegangannya adalah politik sebagai bisnis.
Jokowi adalah pebisnis politik. Sebagai pebisnis, ia tidak memiliki ideologi yang muluk-muluk, misal Sosialisme atau Marhaenisme. Jika toh mau disebutkan ideologi politiknya, saya kira ya pragmatisme. Dalam hal ini mungkin ia belajar dari Teng Hsiao Ping yang mengatakan, “Tidak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus.”
Dalam sebuah wawancara dengan Thee Kian Wie, Mohamad Sadli, salah seorang anggota lingkaran inti tim ekonomi-teknokrat Orde Baru di bawah Widjojo Nitisastro yang saya kira paling ideologis, mengatakan apa itu pragmatisme. Menurut Sadli yang konon dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), pragmatisme adalah cara atau strategi yang bisa merealisasikan tujuan.
Belum lama ini, saya melihat baliho yang menampilkan gambar anak Jokowi, Kaesang Pangarep, yang cukup dua hari setelah dapat kartu anggota, menjadi Ketua Umum PSI yang baru – Partai Solidaritas Indonesia. Di bawah foto Kaesang tertulis, “Politik Riang Gembira.” Melihat dan membaca tulisan itu, saya tersenyum sambil mereka-reka pesan apa yang mau disampaikan oleh baliho besar dan mungkin tersebar di semua provinsi negeri itu.
PSI, partai baru yang awalnya mendapat cukup banyak simpati karena dianggap sebagai partainya anak muda ini, seperti mendapatkan darah segar di tangan anak Presiden Jokowi. Sebagai anak presiden, Kaesang memiliki kemewahan-kemewahan yang tidak mungkin dimiliki oleh anak muda manapun yang bukan anak presiden.
Jokowi bisa bermain watak dan mengatakan tidak cawe-cawe dengan kegiatan politik anaknya, tapi sudah tentu itu bohong. Tatkala saya menjadi mahasiswa di sebuah kampus di Australia, saat itu sedang musim kampanye untuk memilih perdana menteri. Salah satu kandidat adalah Bob Hawke dari Partai Buruh. Para mahasiswa mencetak poster yang ditempel di mana-mana. Di poster itu ada gambar Bob Hawke dengan tulisan di bawahnya, “He lies and he know that he lies.”
Sejak 1965, setelah semua yang berbau PKI dibantai dan Soekarno digulingkan, Indonesia bergerak makin jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan. Indonesia berkembang menjadi negeri yang kapitalistik tanpa borjuasi seperti di Amerika Serikat, atau tanpa partai rakyat seperti di Cina. Ketika Soeharto lengser keprabon, rezim politiknya yang kapitalistik itu bertahan dan terus berkembang dalam sistem yang kuasi demokratik. Tom Friedman, kolumnis The New York Times, menyamakan Indonesia pascaruntuhnya Soeharto seperti Rusia pascaruntuhnya Uni Soviet. Keduanya disebut sebagai the messy state – but too big to fail.
Republik Indonesia – sekarang lebih sering disebut NKRI – tidak runtuh dan tetap berdiri, tapi dengan keadaan politik yang messy. Seperti Rusia yang dikuasai para oligark, Indonesia juga dikuasai oligarki.
Jokowi tampaknya memahami politik yang messy dan berkuasanya oligarki. Sebagai pebisnis politik, ia pelan-pelan, tapi pasti menaiki tangga politik sampai ke puncak. Di puncak, Jokowi berusaha menggenggam kekuasaan itu di tangannya sendiri. Jokowi tahu harus bersahabat dengan para oligark dan tahu harus berselancar dalam negeri yang messy dan menjadi kapitalistik itu.
Sebagai pebisnis, kapitalisme dan anaknya konsumerisme, merupakan situasi politik dan habitus yang cocok bagi Jokowi. Kedua anak laki-laki Jokowi, Gibran dan Kaesang, sebelum nyemplung ke politik juga seperti bapaknya, bergerak di dunia bisnis. Hitung-menghitung, mengkalkulasi untung rugi menjadi kebiasaannya.
Ketika politik yang messy dikuasai oligarki dikembangkan dalam sistem politik elektoral, maka tidak aneh kalau kemudian berkembang menjadi sangat transaksional. Cita-cita proklamasi kemerdekaan, Pancasila, dan etika menjadi semakin elusif melayang-layang di alam simbolik dikunyah-kunyah para intelektual dan budayawan. Pragmatisme menjadi the order of the day. Jokowi menangkap semangat zaman dan mengembangkan diri dalam the messyness yang kapitalistik dan transaksional itu.
Jika kemudian suasana yang berkembang saat ini dibahasakan sebagai “politik riang gembira”, bukankah ini merupakan sebuah taktik yang menarik?
“Politik riang gembira” membawa pesan, tampaknya untuk anak-anak muda, bahwa yang namanya politik jangan dianggap sebagai sesuatu yang serius, menakutkan, apalagi kotor. Politik adalah sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan, seperti kongko sambil mengopi di kafe, atau berjingkrak ketika menonton pementasan musik. Politik harus dibebaskan dari etika dan nilai-nilai yang membuatnya menjadi begitu berat dan serius. Politik dalam perspektif pebisnis seperti Jokowi dan anak-anaknya yang sedang dikarbit ini harus didudukkan sebagai komoditas, seperti cabai, nikel atau mebel.
Politik sebagai komoditas mengandaikan adanya pasar politik dan segmen masyarakat tertentu sebagai konsumen-konsumennya. Kita tahu, pasar politik Indonesia begitu besar dan kita juga tahu segmentasinya berdasarkan kelas-kelas ekonomi. Jokowi yang memiliki popularitas tinggi dalam survei-survei kepuasan publik tentulah memiliki segmen pasar tertentu sebagai konsumennya. Apakah konsumen identik dengan konstituen politik? Bisa jadi, tapi juga bisa tidak.
Sebagai peneliti sosial, jika ada yang saat ini ingin saya teliti adalah isi kepala generasi sebaya Kaesang Pangarep. Apa sesungguhnya yang ada di benak mereka ketika mendengar kata politik?
Terus terang, saya merasa cemas jika benar mereka melihat politik seperti apa yang saya tafsirkan dari baliho Kaesang di jalan-jalan itu. Kecemasan saya meningkat ketika melihat bagaimana sebuah politik yang dimulai dengan niat dan leitmotif otoritarian, pragmatis, antidemokrasi, dan representasi dari persekutuan yang tidak suci (unholy alliance) tampaknya akan tampil dalam bentuk yang ugly and cruel, jauh dari politik riang gembira, politik santun, yang ditampilkan dalam baliho-baliho itu.