Setiap hari Selasa, kami akan menerbitkan Esai Serial Jokowi. Esai-esai pendek ini ditulis oleh Riwanto Tirtosudarmo, peneliti sosial independen, untuk berbagi pengetahuan dan menjadi bagian dari diskursus publik yang kritis. Sosok Jokowi dipilih sebagai medium karena posisinya yang sentral dalam dinamika politik hari ini.
Jokowi mengalkulasi politik seperti halnya dalam bisnis. Selalu ada ongkos yang harus dibayar dalam setiap langkah dan pilihan politik.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Demografer Politik Pertama di Indonesia | Kini peneliti independen
Jokowi, konon pernah bercerita kalau nama itu diberikan oleh seorang pengusaha Perancis, kolega bisnisnya. Sejak itu, Jokowi menjadi nama panggilan, nick name, trade mark, merek dagang bagi Joko Widodo. Jokowi boleh dibilang pada dasarnya adalah seorang pebisnis. Seorang pengusaha mebel – mungkin tergolong papan atas di Surakarta.
Menurut sebuah cerita, setelah berkenalan dengan Pak Rudi (tokoh PDIP di Solo), nama lain dari Surakarta, Jokowi masuk PDIP. Sejak itulah ia memulai karirnya di dunia politik dan dianggap sebagai orang PDIP.
Dalam studi perbandingan politik internasional, Jokowi barangkali bisa disamakan dengan Donald Trump. Pengusaha real estate itu sempat satu periode menjadi Presiden Amerika Serikat. Donald Trump yang didukung Partai Republik kemudian terbukti tidak mampu mengendalikan politik dan harus menerima kekalahan dari Joe Biden, calon presiden Partai Demokrat.
Jokowi bisa dikatakan melebihi Donald Trump dalam kemampuan mengendalikan politik. Jokowi terbukti mampu memenangkan pemilihan presiden untuk periode kedua, mengalahkan Prabowo Subianto, eks jenderal yang juga mantan menantu Presiden Soeharto.
Presiden Soeharto semula adalah seorang jenderal yang anehnya tidak termasuk yang dibunuh ketika sekelompok tentara menculik, lalu membunuh enam jenderal di tengah malam pada 30 September 1965 di Jakarta. Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, menurut sejarawan Asvi Warman, kemudian berhasil menggulingkan Presiden Soekarno melalui kudeta merangkak. Soeharto pun menjadi presiden ketiga Republik Indonesia dan berkuasa selama 32 tahun. Prabowo Subianto, putra Profesor Sumitro Djojohadikusumo, tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI), guru besar ekonomi FEUI, menjabat sebagai Komandan Kopassus sebelum pada Maret 1998 diangkat sebagai Panglima Kostrad, seperti mertuanya dahulu, menjelang kejatuhan Presiden Soharto bulan Mei 1998.
Belum hilang dari ingatan kita apa yang terjadi menjelang kejatuhan dan setelah turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Sebagaimana dicatat dengan rinci oleh Hermawan Sulistyo dalam bukunya “Lawan: Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Soeharto”, suksesi politik kembali berdarah-darah di negeri yang katanya cinta damai itu. Sebagai upaya untuk mematikan perlawanan mahasiswa dan para aktivis, Prabowo disebut sebagai aktor yang memimpin operasi penculikan para aktivis dan berbagai aksi teror. Ia pun diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden BJ Habibie sebagai Panglima Kostrad.
Beberapa tahun kemudian, Prabowo meninggalkan Indonesia. Pada 2008, ia membentuk Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sebuah partai yang namanya mirip dengan Partai Indonesia Raya (Parindra), partai politik yang didirikan oleh dokter Sutomo pada 1935 dan kakeknya, Margono Djojohadikusumo.
Dalam periode kedua kepresidenannya, Jokowi mengangkat Prabowo Subianto, bekas lawannya dalam pemilihan presiden sebagai Menteri Pertahanan. Sebuah peristiwa yang mungkin pertama kali dalam sejarah politik seorang rival politik dalam pilpres (mau) diangkat sebagai menteri. Sebagai pebisnis, Presiden Jokowi tidak mengenal dan tidak menjalankan ideologi politik yang umum dalam dunia politik. Dalam pandangan Jokowi, politik tidak ada bedanya dengan bisnis. Dalam dunia bisnis, jika ada ideologi, barangkali adalah kapitalisme: bagaimana mendapatkan untung sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya. Memperlakukan politik sebagai bisnis berarti bagaimana mencapai tujuan politik setinggi-tingginya dengan ongkos politik serendah-serendahnya.
Sebagai pebisnis, Jokowi mengalkulasi politik seperti halnya dalam bisnis. Ketika harus memilih wakil untuk periode keduanya, insting bisnisnya bekerja, bahkan pada detik-detik terakhir. Saat itu, calon wakil presiden yang sudah disiapkannya adalah Profesor Mahfud MD, seorang ahli hukum tata negara dari UII di Yogyakarta.
Mahfud yang sudah menjahit baju dan siap datang ke Istana Negara harus gigit jari karena pencalonannya dibatalkan. Jokowi pada menit terakhir memutuskan memilih Profesor Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), konon seorang ahli ekonomi syariah. Dalam kalkulasi politik Jokowi, Ma’ruf Amin memiliki nilai politik lebih tinggi ketimbang Mahfud MD, meskipun keduanya sama-sama berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU).
Konteks politik menjelang pemilihan presiden periode kedua itu bagi Jokowi harus dikalkulasi dengan cermat. Pascakekalahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pemilihan gubernur Jakarta dengan Anies Baswedan, membuat Jokowi harus memilih pasangan yang dalam kalkulasinya bisa membendung kelompok Islam garis keras. Islam garis keras dalam kalkulasi politiknya sedang naik setelah berhasil menjatuhkan Ahok dan memenangkan Anis Baswedan. Dari sekian calon yang ada, Ma’ruf Amin dinilai sebagai pilihan yang paling tepat. Ma’ruf Amin adalah Ketua MUI yang termasuk ikut menentukan kekalahan Ahok melalui fatwa-fatwanya. Dengan merangkul Ma’ruf Amin, kelompok Islam garis keras yang bisa menghambat jalannya untuk menjadi presiden dalam periode kedua bisa dilumpuhkan.
Penilaian bahwa Jokowi bukan lagi seorang demokrat datang dari mereka yang sebelumnya menjadi pendukung atau para simpatisannya. Mereka adalah para aktivis, pegiat demokrasi dan HAM, yang sebelumnya menganggap Jokowi adalah presiden yang akan bisa membawa pembaharuan kehidupan politik yang lebih sehat di Indonesia. Para aktivis prodemokrasi dan pengamat politik dalam maupun luar negeri ini menilai Jokowi telah menggunakan cara-cara iliberal dan tidak demokratis untuk tetap berkuasa.
Sejak itu, beredar penilaian para pengamat politik, baik dari dalam maupun luar negeri, ihwal mundur atau menurunnya demokrasi di Indonesia. Hampir semua orang saat itu lupa atau tidak menyadari bahwa Presiden Jokowi adalah pebisnis politik. Bagi Jokowi, dunia politik tidak berbeda dengan dunia bisnis yang digelutinya. Politik seperti halnya bisnis hanyalah soal kalkulasi untung rugi. Selalu ada ongkos yang harus dibayar dalam setiap langkah dan pilihan politik. Jokowi sangat menyadari hal itu.