Mahkamah Agung mengabulkan seluruh gugatan eks mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia ihwal skors dan drop out. Ikhtiar mahasiswa dalam mencari kebenaran bak jalan panjang, mulai pengadilan tingkat pertama hingga kasasi. Mereka disebut sebagai simbol perlawanan “orang kecil” terhadap kekuasaan yang semena-mena.
Jantung Ahmad Mu’fatus Sifa’I berdebar ketika sohibnya, Iqbal Surya Putra, mengabari bahwa Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan mereka. Kala itu, Fatus-sapaan Mu’fatus- sedang santai bersama kawan kuliahnya di indekos.
“Fatus, gugatan kita menang,” ujar Iqbal dengan suara terbata melalui sambungan telepon, Kamis petang, 29 Juli 2022.
Gugatan dimaksud ihwal kasus skors dan drop out (DO) mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia (UTI). Pada Februari-Maret 2021, Rektor UTI Nasrullah Yusuf meneken surat keputusan (SK) skors-DO kepada sembilan mahasiswa teknik sipil. Sanksi itu dijatuhkan setelah mereka mendirikan sekretariat Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil (Himateks) di luar kampus.
Berdasar SK, mereka yang terkena skors dan DO karena melanggar kode etik mahasiswa dan melakukan kegiatan merusak citra kampus. Kampus Sang Juara itu menyebut aktivitas mereka mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat setempat. Kampus juga khawatir aktivitas mereka akan membangun jiwa ekstremisme dan radikalisme bagi mahasiswa UTI.
Syahdan, empat dari sembilan mahasiswa itu mengambil sikap untuk menggugat. Mereka adalah Iqbal Surya Putra, Ahmad Mu’fatus Sifa’i, Handri Kusuma, dan Ulil Absor Abdalla. Namun, satu gugatan atas nama Handri tak masuk pengadilan. Sebab, terkendala kelengkapan administrasi dan tenggat waktu pengajuan gugatan. Kendati demikian, Handri memperlihatkan komitmennya dalam menentang keputusan tersebut. Sejak awal, ia aktif mendampingi ketiga kawannya, bahkan menjadi saksi dalam persidangan.
Pada pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandar Lampung menolak gugatan mereka. Pun demikian ketika banding di Pengadilan Tinggi TUN Medan. Tak menyerah, mereka terus berjuang mencari kebenaran hingga kasasi.
“Alhamdulillah, perjuangan kami tak sia-sia,” kata Fatus menanggapi vonis kasasi MA.
Rasa senang bercampur haru menyelimuti Fatus. Ia tak menyangka jalan panjang mencari kebenaran berbuah manis. Pasalnya, perjuangan yang mereka lakukan hanya bermodal keyakinan: tak bersalah!
Dalam upaya menemukan kebenaran, Fatus dkk memilih jalur konstitusional yang disediakan oleh negara. Hampir dua tahun mereka bergelut dengan waktu, menginvestasikan tenaga, biaya, dan pikiran untuk berjuang.
“Kemarin hampir putus asa, tapi dukungan dari kawan-kawan menguatkan,” ucap Fatus.
Anak yatim piatu itu nyaris kehilangan harapan ketika dua kali pengadilan menolak gugatan mereka. Padahal, sejak awal, dalil kampus dalam SK skors dan DO bahwa aktivitas mereka merusak citra kampus dan melanggar kode etik mahasiswa tak terbukti di persidangan.
“Sekarang cukup lega, Mahkamah Agung bisa melihat bahwa kami memang tidak bersalah,” ujarnya.
Walau begitu, saat ini mereka masih harap-harap cemas. Sebab, putusan yang baru keluar adalah gugatan atas nama Fatus. Sedangkan gugatan Iqbal dan Ulil belum vonis karena pendaftaran kasasi tak berbarengan. Meski demikian, mereka optimistis karena semua isi memori kasasi yang dikirimkan sama. Sebab, dasar penjatuhan sanksi oleh Universitas Teknokrat Indonesia memuat konsiderans yang sama.
Simbol Perlawanan
Merujuk putusan Nomor 325 K/TUN/2022, dalam pokok perkaranya, MA mengabulkan seluruh gugatan Fatus. Kemudian, majelis hakim menyatakan batal/tidak sah objek sengketa, yakni SK rektor UTI Nomor 005/UTI/B.3.3/II/2021, dan mewajibkan rektor UTI untuk mencabut keputusannya ihwal skors terhadap Fatus. Selain itu, mengembalikan Fatus pada kedudukan semula sebagai mahasiswa UTI.
Vonis tersebut sekaligus menganulir putusan Pengadilan Tinggi TUN Medan Nomor 262/B/2021/PT.TUN.MDN serta putusan PTUN Bandar Lampung Nomor 24/G/2021/PTUN.BL.
Dalam memutus perkara tersebut, majelis hakim memiliki beberapa pertimbangan. Pertama, berdasarkan Pasal 21 ayat (2) SK rektor UTI Nomor 002/UTI/B.3.16/III/2017 tentang Kode Etik Mahasiswa, sanksi skors merupakan jenis sanksi bersifat sedang.
Pelanggaran tersebut didefiniskan pada Pasal 19 ayat (4), yakni merokok dan minum-minuman keras, melakukan perjudian dan perjokian, membawa pihak luar ke dalam kampus sehingga menimbulkan keributan, menjanjikan hadiah kepada civitas akademika dengan tujuan yang tidak dibenarkan, berkelahi dan melakukan tindak kekerasan lainnya. Sementara, melihat fakta hukum, majelis hakim menilai Fatus tidak memenuhi satu pun unsur pelanggaran etik bersifat sedang. Atas dasar itu, keputusan rektor UTI memberi skors bertentangan dengan aturan yang dibuatnya sendiri.
Lalu, penjatuhan sanksi yang semata-mata didasarkan kehadiran mahasiswa pada rapat Dekanat Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer UTI dinilai melanggar prinsip keseimbangan dalam penerbitan keputusan. Maksudnya, mahasiswa yang hadir dijatuhi sanksi skors, sedangkan yang absen dihukum pemberhentian. Padahal, penerbitan sebuah keputusan tata usaha negara harus memerhatikan asas keseimbangan, yang menghendaki kriteria yang jelas dalam sebuah keputusan mengenai kualifikasi pelanggaran, sehingga terjadi kesamaan perlakuan.
Selanjutnya, kekhawatiran kampus bahwa mahasiswa akan membangun jiwa ekstremisme dan radikalisme yang bertentangan dengan prinsip akademis adalah alasan yang tak sesuai dengan prinsip penerbitan sebuah keputusan tata usaha negara. Hal itu mengacu Pasal 10 ayat (1) huruf d UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal dimaksud mengatur bahwa suatu keputusan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan atau pelaksanaan keputusan. Majelis hakim pun berpendapat bahwa rektor UTI melanggar asas kecermatan dalam penerbitan objek sengketa.
Atas pertimbangan itulah hakim agung mengabulkan permohonan kasasi. Putusan tersebut diperkuat dengan tidak ditemukannya alasan yang melemahkan kasasi pada jawaban kasasi oleh pihak UTI.
Menanggapi vonis MA, Direktur LBH Bandar Lampung Suma Indra Jarwadi mengatakan, pihak kampus telah melakukan tindak kejahatan keperdataan terhadap mahasiswa. Hal itu melihat fakta bahwa tuduhan atau stigma radikal dan ekstremis yang tak terbukti.
“Ketika seseorang yang dituding bersalah hanya karena prasangka atau diasosiasikan terhadap suatu kejahatan atau tindak pidana tanpa proses peradilan, tentu sangat merugikan,” kata Indra-sapaan Suma Indra Jarwadi. LBH Bandar Lampung mendampingi Fatus dkk mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi.
Selain itu, Indra bilang, putusan kasasi bisa menjadi momentum bagi mahasiswa untuk merebut kembali haknya. Selama lebih dari satu tahun, mahasiswa kehilangan hak pendidikan yang direnggut oleh pihak kampus. Beberapa dari mereka akhirnya melanjutkan kuliah di kampus lain. Itu pun sempat dipersulit oleh UTI. Misalnya, kampus meminta mereka yang diskors untuk membayar uang kuliah tunggal sebelum pindah ke universitas lain. Lalu, mereka harus menandatangi surat perjanjian yang ditentukan oleh kampus.
Hal sama tak berlaku bagi yang drop out. Mereka tidak dapat melanjutkan kuliah. Jika DO, kampus tak mengeluarkan transkrip nilai yang merupakan syarat mengurus pindah. Sehingga, mahasiswa bukan hanya menanggung kerugian secara materiil, namun juga imateriil.
“Selain waktu, tenaga, dan biaya, selama hampir dua tahun, mahasiswa harus menanggung beban moral atas tudingan pihak kampus bahwa aktivitas mereka mengarah ektremis dan radikal,” sebut Indra.
Atas dasar itu, ia menilai bahwa sangat mungkin bagi mahasiswa untuk melanjutkan gugatan keperdataan. Langkah dimaksud agar pihak kampus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang merugikan mahasiswa.
“Sebab, mereka tak semata mencari keadilan, melainkan menjadi simbol dari perlawanan terhadap pemberangusan kebebasan akademik, berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat di kampus yang otoriter,” ujarnya.
Ihwal vonis kasasi, Universitas Teknokrat Indonesia belum mengambil sikap. Sekolah tinggi yang belum lama beralih status menjadi universitas itu masih menunggu salinan resmi putusan Mahkamah Agung.
“Mungkin setelah kami dapat salinan putusan resminya, baru kami akan menentukan sikap,” kata Ahmad Fatoni, kuasa hukum UTI.
***
Terus Berjuang
Sore itu, Fatus, Iqbal, dan Handri berkumpul di kantor LBH Bandar Lampung. Mereka sowan kepada pengabdi LBH yang selama ini memberikan pendampingan secara pro bono. Ketiganya tampak semringah.
“Akhirnya, menang juga,” ujar Fatus, Jumat, 30/7/2022.
“Kan memang sejak awal kita gak salah,” timpal Iqbal.
Fatus meluapkan kegembiraan. Sebab, perjuangannya menemukan kebenaran dan mendapatkan hak dijawab putusan MA yang mengabulkan gugatan. Ia bersyukur bisa menunaikan tanggung jawabnya kepada almarhum orang tua. Hal itulah satu-satunya alasan Fatus untuk bertahan.
Fatus pontang-panting bekerja hingga ke Palembang agar tetap melanjutkan kuliah di kampus lain. Ia harus menghidupi dirinya sendiri. Terlebih, perjuangan melawan kampus besar seperti UTI tak mudah. Berbeda dengan pihak kampus yang memiliki banyak sumber daya, Fatus dkk melawan secara swadaya. Biaya yang terpakai selama persidangan berasal dari kocek pribadi. Bahkan, mereka harus membuka donasi untuk meringankan biaya perkara.
Maka, berangkat dari putusan kasasi, Fatus berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-haknya yang terampas. Katanya, “Hak pendidikan, nama baik, harkat, dan martabat akan terus diperjuangkan.”
Soal amar putusan yang mengembalikan statusnya menjadi mahasiswa UTI, Fatus bilang tak akan kembali kuliah di sana. Selain sudah pindah kampus, ia enggan melanjutkan kuliah di tempat yang menghambat dirinya berkembang.
Sementara ini, baru Fatus yang menerima vonis kasasi. Dua lainnya, Iqbal dan Ulil, masih menunggu. Meski demikian, Iqbal turut senang atas putusan terhadap Fatus.
Iqbal yang pertama kali memberitahu Fatus soal vonis MA. Ia tak kuasa menyembunyikan perasaannya saat mengetahui kabar tersebut. Begitu tahu hakim agung mengabulkan gugatan mereka, Iqbal langsung mencari ibunya.
“Bun, Iqbal menang gugatan,” kata Iqbal sembari memeluk sang bunda yang baru pulang dari pasar.
Mendengar hal itu, mata ibunya berkaca-kaca. Sang ibu pun mengucap syukur. Ibunya bilang, doanya selama ini terkabul. Sejak awal, ia yakin anaknya tidak seperti yang dituduhkan pihak kampus.
“Putusan itu jawaban dari semua doa-doa bunda, Nak,” sebut Iqbal menirukan ucapan sang ibu.
Menurut Iqbal, kasus tersebut menjadi pelajaran bagi pihak kampus agar tak semena-mena terhadap hak orang lain. Kampus harus membuka ruang seluas-luasnya untuk mahasiswa mengembangkan diri.
“Jadi, jangan asal mencabut hak orang lain untuk memperoleh pendidikan,” ujarnya.
Demikian pula dengan Handri. Kendati gugatannya tidak masuk pengadilan, ia turut bangga.
“Sebisa mungkin saya terus berusaha melawan melalui berbagai cara. Entah itu ruang publik maupun pergerakan mahasiswa,” kata Handri.
Setelah mendengar putusan kasasi, ia semakin bersemangat untuk memperjuangkan hak-haknya. Bila dirinya dapat mengajukan gugatan perdata berdasarkan putusan MA, maka ia akan tempuh.
“Karena memang sejak awal itu yang saya perjuangkan. Selain soal kebenaran, yang terpenting pengembalian hak kami,” ujarnya.
Melalui kasus mereka, Handri ingin mengetuk hati berbagai kalangan, khususnya mahasiswa. Ketika melihat suatu ketidakadilan dan perampasan hak, maka jalan terbaik adalah melawan. Perlawanan itu agar peristiwa serupa tak terulang. Sebab, siapa pun bisa jadi korban.
“Di Indonesia, hal semacam itu (skors-DO) menjadi alat bagi kampus untuk memberangus kebebasan dan membungkam mahasiswa,” kata Handri.
Secara terpisah, Ulil yang sedang di Tangerang turut merasakan semangat dari ketiga kawannya. Berbeda dengan mereka, hanya Ulil yang dihukum drop out. Ia pun tidak bisa melanjutkan kuliah dan harus bekerja.
Di Tangerang, Ulil mulai membangun usaha kedai kopi dan bengkel las. Ia memperoleh pengalaman meracik kopi di Lampung. Waktu itu, ia bekerja sebagai pramusaji sebuah kafe yang menjual kopi kekinian.
“Mendengar kabar kemenangan itu, sebagian diri saya yang hilang muncul lagi. Saya kembali bersemangat untuk melanjutkan pendidikan,” ucap Ulil.
Ia mengapresiasi putusan Mahkamah Agung. Pasalnya, langkah mereka melawan pihak kampus sempat dikecilkan beberapa pihak.
“Apa sih lu sok lawan ‘raksasa’. Itu gak mungkin, kalian gak akan menang,” ujar Ulil menirukan ucapan orang-orang yang mematahkan semangat.
Memang, untuk meraih keadilan itu tak mudah. Ulil mengibaratkan perjuangan mereka nyaris kehabisan darah. Keadaan mereka terseok-seok. Beberapa kawannya harus bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Lewat perjuangannya itu, Ulil memberi pesan bahwa siapa pun bisa melawan, meski hanya ‘orang kecil’.
“Saya hanya ingin kembali kuliah,” kata Ulil.(*)
Laporan Derri Nugraha