Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung menolak gugatan mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia ihwal skors dan drop out. Berbagai hal mewarnai perjalanan sidang kasus ini, mulai molornya salinan putusan, saksi dipantau kampus, pergantian hakim saat vonis, hingga perbedaan pendapat di antara hakim. Putusan itu pun mengundang pertanyaan.
Wajah Iqbal Surya Putra sedikit membengkak pagi itu. Rambutnya berantakan dengan beberapa garis dan kerut di pipi. Gravitasi bumi dan dehidrasi sukses membuat wajahnya kusut ketika bangun tidur. Apalagi, batinnya tak tenang sejak semalam. Sebab, ia akan menghadapi agenda penting keesokan harinya.
Iqbal pun menyiah selimut dan bergegas mandi. Kemudian, ia telah siap mengenakan jaket dipadu jin, lalu ke dapur untuk sarapan. Ia membuat telur ceplok. Selain praktis, protein telur cukup baik untuk menghadapi agenda yang memutuskan nasibnya itu.
Syahdan, Iqbal berpamitan dengan sang ibu yang sedang menjaga warung. “Bu, hari ini Iqbal dapat putusan. Doakan ya, Bu,” ucap Iqbal, memohon restu.
Mengendarai sepeda motor matic merah tua, Iqbal menuju rumah keadilan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung. Sebelum ke LBH, Iqbal mengantar adiknya ke sekolah.
Ia memiliki dua saudara perempuan. Adik pertama sedang menempuh semester awal pada jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Sedangkan si bungsu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Setelah mengantar adiknya, Iqbal mengarahkan setang sepeda motor ke LBH.
Hari itu, Rabu, 13 Oktober 2021, adalah hari penting bagi Iqbal dan ketiga temannya. Setelah lebih enam bulan berjuang, tiba waktunya mendengar vonis majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandar Lampung. Putusan itu ihwal kasus skors dan drop out (DO) yang menimpa mereka. Sanksi itu dijatuhkan setelah mereka mendirikan sekretariat Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil (Himateks) di luar kampus.
Perjuangan tak mudah. Sebab, dari sembilan mahasiswa teknik sipil Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) yang dijatuhi skors dan DO, hanya empat orang yang memutuskan melawan kebijakan itu. Mereka adalah Iqbal Surya Putra, Ahmad Mu’fatus Sifa’i, Handri Kusuma, dan Ulil Absor Abdalla.
Namun, satu gugatan atas nama Handri belum diajukan. Sebab, kelengkapan administrasi tidak berbarengan dengan tiga temannya. Kendati demikian, Handri komitmen untuk menggugat keputusan rektor UTI ihwal skors dan DO.
Ketika sampai di LBH, tiga teman seperjuangan Iqbal telah lebih dahulu tiba. Sebelumnya, mereka sepakat kumpul jam 9 pagi. Sebab, amar putusan dijadwalkan pukul 10.00 WIB. Saat itu, agenda putusan akan dirilis secara elektronik melalui situs e-court.
Namun, hingga waktu yang ditentukan, PTUN Bandar Lampung belum menerbitkan amar putusan. Beberapa teman Iqbal mulai gelisah. Ulil salah satunya. Ia sering berpindah tempat duduk.
Tak banyak yang dapat mereka lakukan. Sembari menunggu, mereka berdiskusi dengan sesekali melempar lelucon.
“Gimana ya, rasanya nanti kalau kuliah lagi,” ujar Iqbal, membayangkan jika gugatan mereka diterima.
“Tapi, gimana kalau Ulil sendiri yang gak diterima? Kan, dia sibuk bekerja dari kemarin-kemarin, ayo lo…,” timpal Prabunatagama, salah satu kuasa hukum LBH. Seisi ruangan pun tertawa.
Memang, dari mereka berempat, Ulil yang sudah bekerja. Itu sebabnya, ia kurang maksimal menemani teman-temannya di pengadilan. Semenjak di-DO, Ulil putar otak agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tak terasa matahari beringsut. Hari mulai petang. Namun, amar putusan belum juga muncul di situs e-court.
Beberapa pengabdi LBH menawari Iqbal dkk untuk makan. Meski perut sudah keroncongan, mereka tak beranjak dari tempat duduknya. Penantian selama enam bulan tak ingin mereka lewatkan begitu saja. Mereka hanya mengudap gorengan yang dibeli salah seorang teman.
Setelah dua kali mengalami penundaan, sekitar pukul empat sore, amar putusan hakim akhirnya keluar.
Riuh di kantor LBH tiba-tiba hening. Direktur LBH Bandar Lampung Chandra Muliawan yang menerima amar putusan, meminta Iqbal dkk berkumpul. Dengan raut muka sedih, Chandra menyampaikan bahwa seluruh gugatan mereka ditolak oleh majelis hakim PTUN Bandar Lampung.
Mendengar hal itu, seketika tubuh Iqbal gemetar. Ia langsung bersandar di dinding. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Matanya memerah menahan tangis. Hati kecilnya mengucap istigfar.
“Kok putusannya begini? Kurang apalagi fakta persidangan?” kata Iqbal, bertanya dalam hati.
Ulil, Fatus, dan Handri ikut tertunduk lesu. Pun begitu kuasa hukum. Mereka seakan tak percaya. Sebab, melihat fakta persidangan bahwa “angin” menuju arah mereka. Namun, vonis justru sebaliknya.
Salah satu saksi, warga yang tinggal sekitar 10 meter dari sekretariat Himateks, menyatakan tak merasa terganggu dengan aktivitas mahasiswa.
“Jadi, klaim bahwa ada masyarakat yang terganggu, bahkan ada bukti surat yang berisi puluhan warga terganggu, itu warga mana?” kata Prabunatagama. “Warga yang berada di sekitar sekretariat mahasiswa tak sampai puluhan.”
Di sekitar sekretariat memang ada beberapa bangunan yang dahulu rumah warga. Namun, sejak 2011, satu per satu bangunan menjadi milik UTI. Kini, hanya dua rumah warga yang berada paling dekat dengan markas Himateks. Sekitar 50 meter, barulah ada lagi rumah penduduk.
Dalam persidangan terungkap bahwa salah satu dasar pihak kampus mengategorikan mahasiswa melanggar etik berat, yaitu mahasiswa menutup gang yang merupakan akses menuju masjid Asmaul Yusuf (masjid yang berada di lingkungan kampus). Sehingga, masyarakat setempat menjadi resah.
Namun, saksi pihak penggugat dan tergugat dalam persidangan mengatakan bahwa gang tersebut bukanlah akses umum bagi masyarakat. Sebab, di ujungnya terdapat bangunan seperti kontrakan yang menutup lahan tersebut. Di belakang bangunan, terdapat sungai yang membelah masjid dan lahan.
Sedangkan di samping lahan sekretariat itu tampak gerbang besi dengan lebar sekitar empat meter. Gerbang itulah jalan menuju masjid. Sekitar 30 meter setelah gerbang terdapat jembatan yang langsung menuju masjid. Gerbang besi itu tidak dibuka untuk umum.
Lalu, ahli hukum Dr Budiono yang dihadirkan di persidangan berpendapat, pertimbangan kampus mengeluarkan SK skors dan DO karena khawatir mahasiswa berpotensi mengarah ekstremis dan radikalisme, tidak dapat dibenarkan. Sebab, sesuatu hal yang belum terjadi tidak dapat digunakan sebagai pertimbangan.
Melihat beberapa fakta itu, sulit bagi Iqbal dkk menerima kenyataan bahwa gugatan mereka ditolak.
Pergantian Hakim saat Vonis
Beberapa jam sebelum amar putusan di-unggah, panitera PTUN Bandar Lampung mengabari LBH bahwa terjadi pergantian salah satu hakim anggota. Sebab, hakim sebelumnya mengikuti diklat di luar kota.
Vonis itu juga telah diputuskan dalam musyawarah majelis hakim PTUN Bandar Lampung pada Kamis, 7 Oktober 2021. Musyawarah dihadiri Ketua Majelis Hakim Yarwan, Andhy Martuaraja dan Suaida Ibrahim masing-masing sebagai hakim anggota.
Namun, putusan baru dikeluarkan pada Rabu, 13 Oktober 2021. Mereka yang menerbitkan vonis, yaitu Yarwan, Andhy Martuaraja, dan Dedi Wisudawan.
Dedi baru menggantikan Suaida saat membacakan putusan. Artinya, ia tak mengikuti persidangan sejak awal.
Saat amar putusan di-unggah di situs e-court, vonis itu tak disertai dokumen salinan putusan. Saat dikonfirmasi LBH, salinan putusan itu belum ditandatangani oleh majelis hakim.
Jika mengacu Pasal 26 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Persidangan Secara Elektronik, jelas diatur bahwa putusan/penetapan vonis harus diucapkan oleh hakim/hakim ketua secara elektronik.
Pengucapan/penetapan dilakukan dengan menyampaikan salinan putusan/penetapan elektronik kepada para pihak melalui sistem informasi pengadilan. Selain itu, salinan harus dibubuhi tanda tangan elektronik sesuai peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.
“Justru majelis hakim sendirilah yang diduga melanggar asas peradilan terbuka untuk umum,” ujar Prabu.
Prabu bilang, PTUN Bandar Lampung sebagai peradilan administrasi seharusnya taat administrasi dan menjalankan ketentuan perundang-undangan.
Dokumen salinan putusan baru diberikan lima hari setelah amar putusan diterbitkan.
Dalam vonis, hakim menilai bahwa penerbitan SK skors dan DO oleh UTI dari aspek kewenangan, prosedur dan substansi, telah sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Atas dasar itu, hakim menolak seluruh gugatan mahasiswa.
Salah satu yang menjadi dasar pertimbangan hakim adalah Iqbal dkk sering nongkrong, bernyanyi-nyanyi dan bermain gitar, serta beraktivitas seperti hilir mudik kendaraan bermotor.
Padahal, saat persidangan, keterangan saksi juga menyebut aktivitas mahasiswa di sekretariat adalah rapat organisasi dan diskusi. Namun, hal itu tak menjadi pertimbangan hakim.
Hakim juga menjadikan bukti surat berupa berita acara rapat dekanat dan rapat senat sebagai dasar pertimbangan putusan.
Rapat tersebut diklaim kampus dihadiri enam dari sembilan mahasiswa yang mendapat sanksi. Hal itu juga menjadi pertimbangan pemberian sanksi oleh pihak UTI. Bahwa enam orang yang hadir terkena skors, dan tiga orang tidak hadir dihukum drop out.
Ternyata saat dikonfirmasi oleh hakim, tak ada saksi dari penggugat, dalam hal ini mahasiswa yang menghadiri rapat tersebut. Bahkan, mereka tak mengetahui rapat itu.
Berbekal kejanggalan di atas dan koordinasi dengan mahasiswa, LBH secepatnya mengajukan banding atas putusan pengadilan.
“Saat ini, kami sedang susun memori banding,” kata Prabu.
Pendapat Berbeda
Salah satu hakim anggota, Andhy Martuaraja, memiliki pandangan berbeda dengan hakim lainnya. Dalam salinan putusan, Andhy tak sependapat mengenai pertimbangan pokok perkara dalam aspek prosedur dan substansi.
Setidaknya tiga hal yang menjadi sorotan Andhy. Pertama, penjatuhan sanksi dari bukti surat berupa berita acara rapat dekanat dan senat semata-mata berdasar pada kehadiran. Maksudnya, mahasiswa yang hadir dijatuhi sanksi skors. Sedangkan yang tidak hadir dihukum pemberhentian. Maka, hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangaan dalam penerbitan keputusan.
Andhy mengutip pendapat Dr Ridwan HR dalam Buku Hukum Administrasi Negara cetakan-10 halaman 245 yang menyebut, penerbitan sebuah keputusan tata usaha negara harus memerhatikan asas keseimbangan, yang menghendaki kriteria yang jelas dalam sebuah keputusan mengenai kualifikasi pelanggaran. Sehingga, terjadi kesamaan perlakuan.
Kedua, dalam pertimbangan SK skors dan DO, pihak UTI khawatir mahasiswa akan membangun jiwa ekstremisme dan radikalisme yang bertentangan dengan prinsip akademis, adalah alasan yang tak sesuai dengan prinsip penerbitan sebuah keputusan tata usaha negara. Hal itu sejalan dengan pendapat ahli hukum Budiono.
Dalam hal ini, tak ada satu pun keterangan saksi yang menyatakan, mahasiswa membangun jiwa ektremisme dan radikalisme bagi mahasiswa UTI, serta mahasiswa tidak pernah dijatuhi hukum pidana oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebut, kecermatan ialah suatu keputusan dan/atau tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen lengkap untuk mendukung legalitas penetapan keputusan. Sehingga, keputusan dan/atau tindakan dipersiapkan dengan cermat sebelum ditetapkan dan/atau dilakukan.
Ketiga, menurut Andhy, dalam penerapan kode etik mahasiswa, seharusnya dilaksanakan tanpa mengurangi hak-hak dasar mahasiswa. Rektor sebagai pendidik memiliki tanggung jawab untuk membina secara proporsional dan mengembangkan potensi mahasiswa pada hal yang berkaitan dengan keilmuan dan akhlak mulia, sebagaimana amanat pendidikan nasional.
Berdasar pertimbangan hukum di atas, Andhy menyimpulkan terdapat cacat yuridis dalam substansi penerbitan SK.
Saksi Diperingatkan dan Dipantau
Salah satu saksi dalam persidangan diperingatkan oleh pihak kampus bahwa ia dipantau.
Hal itu bermula saat saksi hendak mengurus administrasi praktik kerja lapang (PKL). Ketika dalam ruangan, saksi diperingatkan oleh kepala prodi (kaprodi) untuk hati-hati mengambil langkah dalam kasus yang menimpa rekannya itu.
Sebab, menurut kaprodi, namanya masuk dalam pemantauan pihak kampus. Selain itu, kaprodi meminta saksi untuk tidak kongko hingga malam hari di kantin di sebelah lahan sekretariat Himateks yang dibongkar. Sebab, ada drone yang mengawasi.
Ketika saksi bertanya kapal tanpa awak itu milik siapa, kaprodi tidak menjawab. Ia hanya mengingatkan untuk tidak nongkrong di kantin hingga malam hari. Hal itu menimbulkan kekhawatiran bagi saksi ihwal karir akademiknya.
“Bu, apakah karir akademik saya di sini (Teknokrat) masih aman?” tanya saksi, takut.
“Yang jelas, kamu kuliah saja ya sekarang. Sebab, nama kamu sudah naik ke atas.”
Secara tidak langsung, hal itu menghantui pikiran saksi. Ia takut terjadi apa-apa dengan karir akademiknya.
“Bagaimana jika saya dijegal, kepikiran orang tua di rumah,” katanya.
Ia berharap, kasus tersebut segera selesai. Sebab, ia kasihan melihat masa depan pendidikan kawan-kawannya yang terancam.
“Sudah banyak juga yang dikorbankan,” ucapnya.
Rektor UTI Nasrullah Yusuf tidak merespons ketika dikonfirmasi hal tersebut. Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia itu enggan menjawab telepon kendati aktif.
Demikian pula Auliya Rahman Isnain, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer UTI. Ia tidak menanggapi walau pesan lewat WhatsApp telah centang biru (terbaca). Juga tak menjawab meski berkali-kali ditelepon.
Sementara, Ahmad Fatoni, kuasa hukum UTI, membantah terdapat saksi yang diperingatkan dan dipantau pihak kampus. “Setahu saya, tak ada (saksi diperingatkan dan dalam pemantauan),” ujarnya.
Melawan Ketidakadilan
Suatu malam, Iqbal berkumpul bersama teman-temannya. Di teras belakang warung miliknya, mereka menumpahkan kekecewaan akibat putusan pengadilan.
“Harus kemana lagi mencari keadilan?’ ujar Iqbal, yang duduk bersandar di depan pintu warung.
“Bingung juga harus ngapain lagi,” timpal Fatus.
Handri hanya diam. Sedangkan Ulil tak ikut berkumpul. Sebab, ia sudah kembali bekerja.
Iqbal dan teman-tamannya sadar. Perjuangan yang mereka lakukan bukan suatu hal mudah. Namun, demi hak dasar untuk mendapat pendidikan, maka melawan adalah keniscayaan.
Tak ada rasa penyesalan. Justru bangga. Sebab, mereka tak diam ketika melihat ketidakadilan.
Handri meneguhkan nafas perjuangannya. Ia berpandangan, apa yang dialaminya bentuk pembungkaman terhadap kebebasan sebagai manusia.
“Maka ketika lahir di dunia ini, tugas saya adalah memperjuangkan hak-hak saya,” ujarnya.
Begitupun Fatus, ia merasa haknya direnggut. Atas dasar itu, ia akan tetap melawan sampai haknya itu ia dapatkan kembali.
Sebenarnya, Iqbal dkk mendapat tawaran dari seorang perantara pihak kampus untuk menandatangani surat pernyataan. Namun, mereka dengan tegas menolak. Bagi Iqbal, jika menerima tawaran tersebut, maka mengakui kesalahan yang tak pernah dilakukan.
“Kami akan lanjutkan perkara. Kami tidak salah,” kata Iqbal.
Iqbal dan teman-temannya merasa punya tanggung jawab moral untuk menyelesaikan perjuangan mereka. Sebab, dukungan dari teman-teman tak bisa diabaikan begitu saja. Terlebih, tanggung jawab pada orang tua mereka.
“Kalau pun kalah, setidaknya sudah berjuang untuk melawan,” ucap Iqbal.(*)
Laporan Derri Nugraha dan Hendry Sihaloho