Lewat kolaborasi, sejumlah lembaga menghidupkan kembali diskursus publik di Lampung. Melalui wacana kritis dan gagasan alternatif, mereka memperkuat demokratisasi dan pemajuan hak asasi manusia.
Wandi Barboy Silaban | Penulis
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. (Pasal 28 E Ayat [3] UUD 1945 Setelah Amandemen)
Izinkan saya mengantarkan tulisan ini dengan mengutip undang-undang dasar yang merupakan hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, justru di sinilah pangkal persoalan itu bermula.
Setidaknya hal itu mengusik perhatian Konsentris.id, sebuah media dengan ruang redaksi independen nonprofit yang hanya mengandalkan dukungan dari pembacanya. Apakah sebuah media bisa hidup hanya mengandalkan dukungan dari pembacanya di Indonesia wabil chusus Lampung? Tentu garisan waktu yang bisa menjawabnya.
Namun, yang terang, sebagaimana bisa dibaca pada profil Konsentris.id khususnya sub kanal Tentang Kami, media dengan kapital ala kadarnya itu memiliki visi memperkuat demokrasi dan jurnalisme, mengawasi kekuasaan, serta menjaga hak-hak publik. Konsentris mengedepankan kerja-kerja investigatif. Menggali jauh ke dalam isu-isu penting dan mendasar, menyoroti penyalahgunaan kekuasaan, serta menyuarakan mereka yang tak mampu bersuara. Sesuatu yang langka-untuk tidak mengatakan nihil- digarap media mainstream di Lampung, baik cetak maupun online.
Media ini tampaknya mengusung idealisme yang tinggi. Konsentris.id percaya jurnalisme membawa kebaikan. Jurnalisme yang baik tak hanya menyampaikan kabar, tapi juga membawa perubahan. Sebagai lembaga nirlaba, Konsentris.id tidak menerima iklan. Bahkan, kehadiran Konsentris.id tidak dibiayai investor maupun disponsori perusahaan/organisasi. Konsentris.id mengaku dalam kerja-kerja jurnalistik terutama sekali mengandalkan donasi. Sekali lagi, apakah media di Indonesia, khususnya Lampung, bisa hidup dari mengandalkan donasi?
Kalau di luar negeri kita bisa menyebut sejumlah media yang mengandalkan dari donasi. Sebut saja The Guardian di Inggris yang sukses dengan sistem donasi. Atau di Belanda, media lokal Belanda de Correspondent juga mengandalkan donasi, di Prancis ada media lokal Prancis, Le Monde, dan media lokal lainnya yang bisa disejajarkan dalam hal mengandalkan donasi. Tapi itu di luar negeri? Bagaimana kondisi Indonesia? Mau tidak mau, lingkup Indonesia, kita harus menyebut Project Multatuli di Jakarta yang juga punya spirit yang sama dengan Konsentris.id. Lantas, di Lampung? Apakah Konsentris.id bisa bertahan lama dalam iklim yang sangat jauh berbeda dari media di luar negeri? Bahkan dari Project Multatuli yang “diuntungkan” karena berada di wilayah dengan akses informasi yang sangat luas dan beragam.
Maka, dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik yang serius itu, Konsentris.id terbuka untuk berkolaborasi. Konsentris.id juga membuka peluang kerja sama dengan lembaga/organisasi yang memiliki visi yang sama. Lantas, isu dan kasus apa yang mengusik perhatian Konsentris.id, sehingga LBH Bandar Lampung, Komunitas Film Dokumenter Blackbeard, dan Watchdoc bergerak bersama dalam satu pemikiran dan advokasi yang sama?
Ya, kasus itu adalah Kasus Skors-DO Mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) di Lampung. Setidaknya, ada tiga liputan soal Kasus Skors-DO Mahasiswa UTI yang sudah tayang dan dipublikasikan oleh Konsentris.id pada lamannya. Pertama, liputan berjudul Selubung Kasus Skors-DO Mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia. Liputan ini bahkan termasuk dalam kategori Konsentris Terpopuler pertama. Artinya, sejak awal kasus ini tayang di Konsentris.id pada 30 Juli 2021, liputan itu menjadi yang paling banyak dibaca dan kelanjutannya selalu ditunggu oleh pembaca Konsentris.id. Liputan ini juga pernah dimuat di laman Independen.id pada 2 Mei 2021.
Selanjutnya, liputan berjudul Kasus Skors-DO Mahasiswa Teknokrat: Vonis yang Mengundang Tanya tayang pada 21 Oktober 2021 juga masuk dalam jajaran kategori Konsentris Terpopuler yang keempat, dan terakhir berjudul Kasus Skors-DO Mahasiswa Teknokrat: Mencari Kebenaran Hingga Kasasi pada 26 Februari 2022. Ditambah satu liputan tentang film dokumenter yang mengisahkan empat mahasiswa UTI yang di-drop out (DO) oleh kampusnya pada 4 Februari 2022. Judul liputan tersebut Film “Sang Juara” dan Tumbuhnya Benih Solidaritas.
Dari sana terlihat Konsentris.id, melalui jurnalisnya Derri Nugraha, Yoga Nugroho, dan Hendry Sihaloho, mengawal kasus skors-DO Mahasiswa itu bahkan hingga ke tingkat pengadilan. Kembali, hal ini sesuatu yang teramat langka dilakukan jurnalis-jurnalis media mainstream di Lampung. Ya, Konsentris.id telah membikin patoknya sendiri. Di tengah media yang terus mencari inovasi dan melakukan transformasi digital untuk menciptakan keberlangsungan bisnis media yang tepat di masa kini, media kecil yang jarang dibicarakan publik pers di Lampung itu terus saja berjalan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Hal itu juga sesuai spirit para jurnalisnya yang berkomitmen untuk mengungkap kebenaran, tidak peduli berapa lama atau berapa biayanya.
Perlahan tapi pasti, mereka bertemu dengan aktivis-aktivis prodemokrasi yang sejalan dan sepemikiran. Sejak awal kasus itu mencuat, LBH Bandar Lampung langsung mengadvokasi mahasiswa yang diskors-DO oleh kampusnya. Pada liputan yang tayang di Konsentris.id pada 30 Juli 2021 itu, LBH memandang penjatuhan skors dan DO tersebut bentuk pengekangan terhadap kemerdekaan mahasiswa untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
“Ini pengekangan, seharusnya kampus mendukung. Sebab, mahasiswa ini berjuang sendiri membuat sekretariat,” ujar Kodri Ubaidillah, Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, saat jumpa pers di kantor LBH setempat, 19 April 2021.
LBH meminta UTI segera mencabut sanksi skors dan DO. Sebab, secara prinsip, hak atas pendidikan adalah hak yang dijamin oleh undang-undang dan negara. Bila tak segera mencabut, LBH akan menggugat keputusan rektor UTI ihwal skors dan DO ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Tidak lama, Komunitas Film Blackbeard juga memiliki keprihatinan yang sama. Merespons pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi mahasiswa dan kebebasan berpendapat, mereka terpanggil dan membikin film dokumenter yang mengisahkan perjuangan empat mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia yang dijatuhi skors dan drop out setelah mendirikan sekretariat di luar kampus. Film itu berjudul Sang Juara yang rencananya diluncurkan di laman YouTube pada Rabu, 6 April 2022.
Sebelumnya, Film “Sang Juara” pernah ditayangkan di Kafe Teras Banuwa, Bandar Lampung, Minggu malam, 19 Desember 2021. Sedikitnya, ada seratusan orang menghadiri peluncuran film tersebut. Alam semesta tampaknya mendukung (Mestakung). Watchdoc, rumah produksi fim dokumenter yang mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay 2021 for Emergent Leadership di bidang jurnalisme investigatif, tertarik dengan garapan film “Sang Juara” yang dilandasi semangat independensi yang tinggi. Pihak Watchdoc menyambut kolaborasi.
Salah satu pendiri Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono (DDL), menyatakan cita-cita Watchdoc saat didirikan adalah ingin agar kebebasan informasi mendorong terjadinya demokratisasi, literasi, dan pemikiran kritis (critical thinking). Maka, bertemulah dua media yang mengedepankan kerja-kerja investigatif itu. Pada percakapan WhatsApp, Selasa, 5 April 2022, DDL menyatakan bahwa salah satu alasan mereka membikin Watchdoc Kolaborasi memang untuk ihwal semacam yang “disuarakan” Konsentris.id.
“Suara-suara lewat film yang mungkin kurang menjangkau publik secara luas, kita kolaborasikan biar bergaung,” tulis DDL.
Produser Film Sang Juara Renaldi yang pernyataannya juga bisa dilihat di laman Konsentris.id pada 4 Februari 2022 mengungkapkan pembuatan film Sang Juara itu dilatari kondisi kebebasan akademik secara nasional. Ia melihat beberapa kasus pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dialami mahasiswa.
Tak terkecuali di Lampung. Selain kasus skors-DO mahasiswa UTI, beberapa mahasiswa di kampus lain, seperti Universitas Bandar Lampung (UBL) dan Politeknik Negeri Lampung (Polinela), turut mengalami represi. Mahasiswa UBL dilaporkan dosennya ke polisi setelah demo menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT). Syahdan, lima mahasiswa Polinela menerima surat peringatan saat berencana berdemonstrasi. Semua terjadi pada 2021.
Renaldi menyatakan kasus tersebut seolah tak menjadi perhatian serius para mahasiswa dan masyarakat sipil di Lampung. Kasus-kasus yang notabene korbannya mahasiswa itu minim solidaritas. Aneh tapi nyata, justru mahasiswa di luar Lampung yang pertama kali bersolidaritas untuk mahasiswa UTI ketika mahasiswa dan masyarakat sipil di Lampung belum lagi menentukan sikapnya terkait kasus tersebut. Maka, lewat film “Sang Juara”, Renaldi ingin menyampaikan pentingnya bersuara dan bersolidaritas. Sebab, bukan tidak mungkin hal serupa akan menimpa mahasiswa di kampus lain.
“Jadi, saat memutuskan menggarap dokumenter itu, kami ingin sampaikan bahwa ini bukan soal mahasiswa UTI saja, ini persoalan bersama. Ini tentang kebebasan yang tak lagi bebas,” kata Renaldi, produser film “Sang Juara”.
Pertanyaan yang muncul kemudian mengapa mahasiswa dan masyarakat sipil di Lampung belum mengambil sikap jelas terkait kasus ini? Apakah organisasi masyarakat sipil/Non-Governmental Organization(NGO) tidak mengetahui kasus ini lewat media massa atau wacana publik di Lampung? Atau jangan-jangan semua diam karena tidak ada lagi wacana kritis yang bisa disuarakan dan ditawarkan di Lampung?
Padahal, Lampung pada periode 1990-an terkenal juga dengan wacana kritis dan alternatif. Seiring kejatuhan rezim Orde Baru, Lampung juga turut menyuarakan sikap kritisnya terhadap penguasa pada masa itu. Lampung lewat tragedi UBL berdarah pada 1999 turut berkontribusi dalam hal penegakan demokrasi bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya di seluruh penjuru tanah air. Selain itu, diskursus publik saat itu begitu hidup dengan berbagai forum dan lembaga alternatif untuk membangun demokratisasi dan memperjuangkan hak asasi manusia (HAM).
Masa akhir rezim Orde Baru tentu saja berbeda dengan masa kini dan segala kompleksitasnya. Namun, apakah diskursus publik yang biasanya disuarakan dan digaungkan oleh aktivis-aktivis pro demokrasi – termasuk akademisi dan jurnalis – masa itu tidak bisa ditumbuhkan kembali pada masa sekarang? Apakah semua aktivis prodemokrasi di Lampung melihat kondisi negara ini dalam keadaan baik-baik saja? Tidak ada lagikah pemikiran kritis (critical thinking) aktivis-aktivis prodemokrasi di Lampung menyikapi kondisi bangsa dan daerahnya?
Kolaborasi Konsentris.id, LBH Bandar Lampung, Komunitas Blackbeard, dan didukung Watchdoc telah memberikan angin segar bagi diskursus publik di Lampung. Barangkali ini adalah kolaborasi pertama antara media dan NGO serta komunitas di Lampung. Semoga dengan kolaborasi apik ini publik Lampung kian tercerahkan.
Dan di akhir catatan ini, masih bisakah berharap untuk menghidupkan kembali diskursus publik di Lampung untuk memperkuat demokratisasi dan membangun Lampung yang kian berjaya?