Perlawanan Golok Anak Tuha di Tengah Oligarki Agraria

  • Whatsapp
MASYARAKAT dari tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, membangun tenda juang di lahan yang dikuasai PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) sejak Minggu, 9/11/2025. Aksi itu adalah pernyataan hidup, simbol perlawanan nyata terhadap perampasan ruang hidup mereka. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Masyarakat adat Marga Anak Tuha dihadapkan pada ketidakadilan agraria sistemik. Janji kesejahteraan yang menguap sejak 1972 menjadi landasan bagi konsesi korporasi raksasa yang merampas ruang hidup dan identitas budaya. Melalui perlawanan yang disimbolkan oleh golok, masyarakat adat Anak Tuha menantang struktur kekuasaan oligarki agraria dan menuntut penegakan kembali hak-hak dasar di tanah leluhur.






Pagi buta pada September 2023, raung traktor memecah keheningan di jalan utama Kecamatan Anak Tuha. Cahaya lampu menyapu kegelapan, menciptakan bayangan aneh di antara derap sepatu bot yang beriringan di samping mesin bajak raksasa tersebut.

Bacaan Lainnya

Di ruang tamunya yang sederhana, Heri Asari mondar-mandir. Ia tidak bisa tidur, keresahan membebatnya erat. Sesekali, ia melongok ke arah jalan, berusaha memastikan ke mana iring-iringan mesin dan petugas itu tertuju. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang sudah berhari-hari menghantuinya. Fajar terbit tanpa ia sempat memejamkan mata.

Sekitar jam enam pagi, sesudah mengantarkan ayahnya yang terkena diabetes ke bidan terdekat, Heri memutar setang motornya menuju ladang. Beberapa hari sebelumnya, beredar kabar bakal ada penggusuran di lahan warga. Ia khawatir rombongan semalam adalah petugas yang bakal mengeksekusi lahan yang menjadi tumpuan hidupnya.

Beberapa ratus meter sebelum mencapai ladang, pemandangan kacau menyambutnya: banyak warga kampung berlarian. Heri memarkir motornya dengan tergesa di rumah salah satu warga. Ia lalu bergegas bersama kerumunan yang cemas itu.

Aparat menangkap dan memiting petani di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah, Kamis, 21/9/2023. Brutalisme itu dipicu penolakan warga atas penggusuran tanah adat oleh PT Bumi Sentosa Abadi (BSA). | ist

Sampai di pintu masuk area perkebunan, aparat gabungan TNI, Polri, dan Sat Pol PP bersenjata lengkap sudah memblokade jalan. Masyarakat dilarang masuk. Dari kejauhan, warga menatap tanpa daya saat traktor-traktor meratakan tanaman singkong yang hijau.

Hari itu, PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) datang bersama aparat. Mereka menggusur hampir 1.000 hektare tanah. Lahan itu milik Masyarakat Adat Anak Tuha dari tiga kampung: Negara Aji Tuha, Negara Aji Baru, dan Bumi Aji.

Heri adalah salah satu warga Negara Aji Baru. Ia menanam dua hektare singkong di sana. Umur tanamannya sudah enam bulan. Sebentar lagi panen. Sebagian modal untuk menggarap merupakan tabungannya ketika merantau. Sisanya, hasil meminjam uang dari kerabat.

Air matanya tertahan di kelopak mata. Ia menatap tanaman singkong hasil memeras keringatnya rata dengan tanah.

Di depan barisan polisi bersenjata lengkap itu, Heri berteriak. Suaranya pecah, dipenuhi keputusasaan. “Ini negara hukum atau bukan? Kenapa ladang kami digusur?”

Heri melepas bajunya. Ia memastikan kepada petugas bahwa tidak membawa senjata. Dadanya telanjang, ia memaksa masuk ke ladang. Ratusan warga dari tiga kampung juga mencoba masuk ke lahan, menembus barikade aparat.

Bentrok pun tak terhindarkan. Polisi mengusir masyarakat. Sejumlah warga disergap dan dipiting. Ada juga warga yang kepalanya diinjak sepatu lars aparat. Puluhan petani lainnya berhamburan ke pinggiran ladang.

Polisi menginjak salah satu warga dalam penggusuran di tanah adat Marga Anak Tuha, Lampung Tengah, Kamis, 21/9/2023. PT Bumi Sentosa Abadi (BSA), anak korporasi Sungai Budi Group, mengeksekusi hampir 1.000 hektare tanaman singkong milik masyarakat setempat. | Akun TikTok @Sangga_01

Dalam kerumunan itu, Heri menjadi salah satu yang ditangkap. Ia diborgol, lalu dilempar seperti ternak ke mobil aparat. Total delapan warga dibawa ke markas polisi. Satu di antara mereka ditahan dan mendekam di penjara selama beberapa bulan.

Tiga jam sebelum penggusuran, Rohaya (35) sedang menumis kulit tangkil campur tempe. Aroma masakan memenuhi udara. Ia ingin memastikan suaminya makan dengan lahap sebelum menengok ladang singkong mereka. Setelah makan bersama, Rohaya melepas sang suami bekerja. Tidak ada firasat apa pun hari itu.

Kabar penggusuran belum sampai ke rumah mereka. Rohaya dan keluarganya tinggal di Desa Bumi Aji. Jaraknya sekitar 15 menit perjalanan naik sepeda motor dari perkebunan.

Sore hari pascapenggusuran, sang suami pulang ke rumah. Bajunya lusuh. Keringat mengalir di beberapa bagian tubuh. Wajahnya tertunduk lesu. Suaranya sedikit serak, seperti orang yang habis berteriak keras.

Suami Rohaya memberitahu tanaman mereka telah porak-poranda. Ubi kayu yang sudah ada umbinya itu tidak bisa lagi mereka panen. Batangnya telah hancur, menyatu dengan tanah.

Tidak hanya itu, sepeda motor yang menjadi satu-satunya harta benda keluarga Rohaya disita kepolisian. Sampai hari ini, motor itu belum dikembalikan.

Rohaya bergeming. Pikirannya melayang pada utang untuk modal menanam. Uang pinjaman itu kini menguap bersama batang singkong yang hancur. Dari rumah itu, terdengar jeritan panjang yang memilukan. Ia tak tahu bagaimana harus hidup ke depan.

Hari-hari berikutnya, sang suami kerap melamun di beranda rumah. Matanya sering kali kosong. Ia tidak tahu harus bekerja apa. Stok beras menipis. Anak tertua mereka, yang belajar di pesantren, terpaksa dipulangkan. Mereka tak punya biaya lagi.

Rohaya punya empat anak. Ketika terjadi penggusuran, anak paling bungsu masih berumur tiga tahun.

Kondisi yang semakin mencekik itu akhirnya memaksa sang suami merantau. Ia ikut orang lain mengampas bahan bakar minyak di Subang, Jawa Barat.

Baru beberapa bulan di perantauan, kabar duka sampai ke telinga Rohaya. Sang suami mengembuskan napas terakhirnya akibat penyakit lambung.

Sebelum merantau, fisik suaminya itu memang semakin kurus. Ia sulit menelan makanan lantaran terus memikirkan tanah yang dirampas perusahaan.

Dalam beberapa kali percakapan lewat telepon, sang suami selalu cerita susah makan. Ia terbayang Rohaya dan anak-anaknya di kampung. Suaminya meninggal dunia empat bulan setelah penggusuran.

Rohaya (jilbab kuning) bersama puluhan perempuan petani Desa Bumi AJI, Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah, sedang istirahat di tenda juang, Sabtu, 29/11/2025. Mereka hendak mengambil kembali tanah adat yang digusur PT Bumi Sentosa Abadi (BSA), dua tahun lalu. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Kini, Rohaya harus menghidupi keempat anaknya sendirian. Ia tidak punya lahan. Sehari-hari, ia berjualan gorengan.

Dari hasil dagang dan bantuan sejumlah kerabatnya, Rohaya mendaftarkan kembali anak-anaknya ke sekolah. Ia tahu pendidikan sangat penting, berharap mereka punya kehidupan yang lebih baik.

Periode setelah tanah dikuasai PT BSA, kehidupan masyarakat di tiga kampung makin sulit. Lebih dari 900 kepala keluarga bergantung pada tanah leluhur tersebut. Akibatnya, banyak dari mereka merantau dan bekerja serabutan untuk bertahan hidup.

Ibu-ibu mencari rongsok dan memungut brondolan sawit. Sedangkan bapak-bapak bekerja apa saja yang bisa menghasilkan rupiah.

Tadinya, banyak warga kampung punya ternak. Setelah tanah dikuasai perusahaan, pakan ternak menghilang. Kini, kandang-kandang itu kosong.

Beberapa keluarga mengaku kerap kehilangan barang. Fenomena ini mencuat setelah tanah dikuasai perusahaan. Banyak warga menganggur. Tabungan mereka habis. Sampai hari ini, tak sedikit warga terlilit utang pupuk dan bibit singkong dari musim tanam terakhir.

Penderitaan yang membelit Heri, Rohaya, dan ratusan keluarga lainnya pada 2023 bukanlah sebuah kejadian tunggal. Ia adalah puncak dari ketidakpastian hukum dan janji-janji yang menguap selama lebih dari empat dasawarsa – sebuah narasi panjang yang akarnya tertanam jauh di masa lalu, ketika Heri dan suami Rohaya belum lahir ke dunia.

Sengketa ini bermula Pada 1972. Saat itu, PT Candra Bumi Kota (CBK) hendak menyewa tanah adat marga Anak Tuha guna membuka perkebunan tebu. PT CBK menawarkan ganti rugi tanam tumbuh dan menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat. Tetapi, waktu berlalu tanpa tanda-tanda pemenuhan hak masyarakat. Lalu, pada 1990-an, PT BSA muncul dan mengambil alih lahan, menanam sawit di atas tanah yang telah ditanami kopi dan karet selama beberapa generasi.

PT BSA, anak perusahaan Tunas Baru Lampung, yang berada di bawah naungan Sungai Budi Group – salah satu pabrik dan distributor produk konsumen berbasis pertanian terbesar di Indonesia – kini menjadi pusat konflik. Afiliasi konglomerasi ini tercatat bersengketa dengan masyarakat di beberapa wilayah Lampung lainnya, dari Kabupaten Mesuji, Tulangbawang, hingga Way Kanan. Di Anak Tuha, sejarah panjang itu kini terwujud dalam bentuk kandang ternak yang kosong dan air mata Rohaya yang mengering.

Bagi masyarakat adat Marga Anak Tuha, perjanjian dengan PT Candra Bumi Kota adalah pinjaman dengan durasi yang jelas: 20 tahun. Saat masa sewa itu berakhir, warga merasa tidak pernah mengalihkan hak guna tanah tersebut ke entitas baru bernama PT Bumi Sentosa Abadi (BSA). Perusahaan sawit itu adalah penyusup di mata mereka.

Masyarakat dari tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, menduduki lahan yang dikuasai PT Bumi Sentosa Abadi (BSA), beberapa minggu lalu. Hingga kini, mereka masih bertahan di tanah leluhur tersebut. | dok. LBH Bandar Lampung

Pada 2012, setelah dua dekade merasa diabaikan, warga dari tiga kampung – Negara Aji Tuha, Negara Aji Baru, dan Bumi Aji – mengambil langkah kolektif yang berani. Mereka menyebutnya “merebut kembali.” Ratusan petani turun ke lahan, membagi petak-petak tanah itu di antara keluarga mereka. Namun, kebahagiaan tersebut berumur pendek.

Setahun kemudian, sejarah kekerasan terulang. Perusahaan datang lagi, kali ini dengan pengawalan aparat keamanan bersenjata lengkap. Penggusuran berlangsung cepat, meninggalkan trauma mendalam. Aparat menembakkan gas air mata ke arah kerumunan petani yang tak bersenjata. Asap pedas memenuhi udara, membuat mata perih dan napas sesak, memaksa warga lari kocar-kacir.

Lima petani ditangkap dalam peristiwa itu. Di markas polisi, perwakilan petani diminta menandatangani surat penyerahan lahan yang secara efektif akan melegitimasi klaim perusahaan, sebagai syarat untuk membebaskan teman-teman mereka. Namun, warga menolak. Solidaritas mereka lebih kuat dari ancaman tersebut. Masyarakat tetap menguasai lahan dan melanjutkan hidup di atas tanah leluhur.

Konflik memasuki fase baru pada akhir 2013. Kali ini, rombongan tentara memasuki lahan dengan dalih latihan tempur. Mereka secara terang-terangan menakut-nakuti warga, mendesak mereka keluar dari area perkebunan. Namun, Masyarakat Adat Marga Anak Tuha tetap bertahan.

Ketegangan yang teredam itu akhirnya meledak pada September 2023. Dampaknya menjadi yang terparah selama sengketa berlangsung. Seperti yang dialami keluarga Heri dan Rohaya, di mana ruang hidup dirampas paksa, anak-anak terpaksa putus sekolah karena ketiadaan biaya, dan pengangguran merajalela. Di sisi lain, korporasi terus mengambil keuntungan dari tanah adat yang menjadi sumber penderitaan mereka.

***

Fajar baru saja menyingsing ketika ratusan warga dari tiga kampung Anak Tuha memasuki ladang tebu yang dikuasai PT BSA, awal November lalu. Di pinggang mereka terselip sebilah golok. Parang pendek itu bukan sekadar perkakas pertanian, melainkan simbol budaya.

Sejak zaman nenek moyang, ada keyakinan yang mengakar di Marga Anak Tuha: seorang laki-laki diciptakan dengan rusuk tidak lengkap. Sebab, salah satu tulang itu digunakan untuk menciptakan perempuan. Untuk melengkapi kekurangan fisik dan spiritual tersebut, diselipkanlah senjata. Filosofinya, senjata itu adalah teman paling dekat, penyeimbang eksistensi. Sejak lahir, bayi-bayi di sana sudah ditemani semacam besi kecil. Senjata itu tetap menemani mereka hingga liang lahad.

Dengan golok sebagai pendamping sunyi, masyarakat tiga kampung menduduki lahan tebu PT BSA. Di sanalah, di tengah hamparan hijau yang terasa asing, mereka mendirikan “tenda juang” darurat beratapkan terpal. Aroma tanah segera bercampur dengan bau asap kayu bakar. Dengan tangan terampil, mereka menanam kembali kehidupan di atas tanah sengketa itu: bibit singkong, jagung, dan pisang. Aksi itu adalah pernyataan hidup, simbol perlawanan nyata terhadap perampasan ruang hidup mereka.

Suasana malam hari di tenda juang masyarakat adat Marga Anak Tuha, Lampung Tengah, Jumat, 28/11/2025. Sudah lebih dari 20 hari mereka menjaga lahan itu secara kolektif. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Perlawanan itu tidak terjadi dalam semalam, melainkan lahir dari perbincangan panjang di acara adat dan pertemuan-pertemuan desa. Pengalaman pahit para warga yang digusur pada September 2023 menyebar dari mulut ke mulut, dari dusun ke dusun. Cerita tentang bagaimana kelompok masyarakat adat terusir dari tanahnya sendiri, menyisakan trauma dan penderitaan berkepanjangan, menjadi bahan bakar pergerakan ini.

Akhirnya, warga dari tiga kampung berembuk. Mereka ingin tanah leluhurnya kembali. Warga merasa harus makmur dan berdaya di tanah kelahiran mereka sendiri. Mereka juga percaya bahwa tanah tersebut milik Tuhan dan sudah dikelola masyarakat adat Anak Tuha sejak puluhan tahun lalu. Keberadaan makam kuno di tengah area perkebunan menjadi pertanda bisu: masyarakat sudah ada di sana jauh sebelum perusahaan datang membawa janji dan buldoser.

“Perusahaan tidak pernah membawa tanah ke sini. Mereka menumpang, tapi malah mau merampas,” kata Talman (60), salah satu tokoh adat Marga Anak Tuha.

Musyawarah warga menghasilkan kesepakatan bulat. Mereka mengutus enam orang, termasuk Talman, untuk mencari pendamping hukum. Hal itu untuk memudahkan perjuangan. Pencarian membawa mereka hingga ke Pulau Jawa. Mereka sempat luntang-lantung selama satu minggu penuh, hanya berbekal peta Google dan informasi di internet, mencari suaka keadilan.

Mereka pun tiba di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dari sana mereka dapat petunjuk untuk mendatangi YLBHI LBH Bandar Lampung. Singkat cerita, LBH Bandar Lampung membersamai perjuangan masyarakat Anak Tuha.

Sejak saat itu, perjuangan mereka menempuh jalur konstitusional: unjuk rasa, audiensi dengan bupati dan DPRD. Puncak aksi simbolik mereka adalah upacara kemerdekaan Indonesia ke-80 di lahan sengketa, sebuah ironi pahit di mana warga negara harus memperjuangkan kemerdekaan di tanahnya sendiri.

Alih-alih mendapatkan kejelasan, delapan petani, termasuk Talman, justru menerima surat panggilan dari kepolisian usai upacara tersebut. Talman dan beberapa petani lainnya dituduh melanggar UU Perkebunan. Kurang dari 24 jam, laporan polisi langsung naik ke tahap penyidikan. Bagi Talman, meja hukum terasa dingin dan berpihak pada yang berkuasa.

Talman (pakai peci), tokoh masyarakat adat Marga Anak Tuha, diperiksa kepolisian atas tuduhan melanggar UU Perkebunan, beberapa waktu lalu. Dalam pemeriksaan itu, ia didampingi Wakil Direktur LBH Bandar Lampung Cik Ali (paling kanan). | dok. LBH Bandar Lampung

Berbagai jalur damai yang buntu memaksa mereka mengambil sikap radikal: menduduki lahan. Kini, sudah lebih dari 20 hari masyarakat adat Anak Tuha hidup di dalam lahan. Setiap hari, mereka bergantian menjaga tanah tersebut. Ibu-ibu akan berjaga dari pagi hingga sore hari, sambil merawat tanaman palawija yang baru tumbuh. Para lelaki melanjutkannya dengan berjaga semalaman, di bawah cahaya bulan dan ancaman yang tak terlihat.

Di tenda-tenda perjuangan itu juga ada Heri, yang tanaman singkongnya tergusur pada 2023. Ada Rohaya, yang suaminya meninggal setelah penggusuran. Selain untuk kehidupan keempat anaknya, perjuangan itu ia dedikasikan untuk sang suami yang terus berusaha hingga akhir hayat.

Para warga berkomitmen: tidak ada yang lebih berharga daripada memperjuangkan tanah adat. Ini bukan hanya soal generasi Heri, Rohaya, dan Talman, tapi juga anak cucu mereka. Bahkan, mereka sudah sepakat, tanah tersebut akan dibagikan secara merata kepada kelompok masyarakat adat yang sangat membutuhkan – mulai janda, orang-orang tua, yatim piatu, dan keluarga lainnya.

“Kami akan bertahan sampai tanah ini kembali menjadi hak masyarakat adat Marga Anak Tuha,” ujar Talman.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 19 = 26