Tergusur Berulang Kali Atas Nama Pembangunan: Menggugat Tujuan Bernegara

  • Whatsapp
SUTIRA dan suaminya di depan rumah yang mereka bangun pascapenggusuran tahap dua di Sabahbalau, Lampung Selatan, Kamis, 6/11/2025. Keluarga Sutira berulang kali tergusur atas nama pembangunan. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Pembangunan untuk kepentingan umum yang dipromosikan negara menciptakan kontradiksi struktural. Instrumen hukum formal dan aparat keamanan kini berfungsi sebagai mesin legitimasi bagi perampasan ruang hidup masyarakat marginal. Dalam konteks ini, kemiskinan bukanlah takdir, melainkan konsekuensi sistemik dari kebijakan pembangunan yang membakukan ketidakadilan sosial.






Tubuh Sutira membeku. Matanya tertancap pada ekskavator yang merobohkan rumahnya. Air mata menetes. Hunian yang dibangunnya dari berjualan es tebu rata dengan tanah.

Bacaan Lainnya

Sutira mencoba mendekat. Namun, puluhan aparat menghalanginya. Ia cuma berdiri, terkejut. Tempat tinggalnya hancur dalam sekejap. Raung buldoser menggema di udara, membuatnya serasa dalam mimpi buruk.

Alat berat meratakan rumah warga di Sabahbalau, Lampung Selatan, beberapa waktu lalu. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Hari itu, Pemprov Lampung mengeksekusi 30 rumah di Sabahbalau, Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Pemerintah mengklaim tanah yang digusur tercatat dalam sertifikat hak pakai. Akta tersebut berdasarkan Surat Ukur Nomor 691/Sabah Balau/2014 tanggal 2 Mei 2014, dengan luas 599.508 meter persegi. Nantinya, lahan itu akan disulap menjadi Agropark, kebun wisata berbasis edukasi.

Sutira berdiri di tengah puing-puing rumahnya. Keluarganya menjadi satu-satunya yang menolak penggusuran. Sementara, warga lain memilih pasrah, ada juga yang ketakutan, mengingat tragedi serupa pada Februari lalu. Saat itu, Pemprov Lampung menggusur 42 kepala keluarga di Kampung Kepala Burung. Ribuan personel mengawal, mulai dari TNI, polisi, hingga Sat Pol PP.

Warga yang menolak penggusuran menjadi sasaran kebrutalan aparat. Petugas masuk ke kampung, menghancurkan rumah-rumah. Seorang ibu hamil jatuh pingsan. Ia mengalami pendarahan. Orang tua sesak napas, beberapa lainnya luka-luka. Mereka berupaya mempertahankan tempat tinggal, tapi tak banyak perlawanan.

Ribuan aparat, mulai TNI, Polri, hingga Sat Pol PP mengawal penggusuran warga Kampung Kepala Burung, Desa Sabahbalau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, Rabu, 12/2/2025. Penggusuran itu atas perintah Pemprov Lampung dengan dalih penertiban aset daerah. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Sutira berusia 54 tahun. Ia lahir dan dibesarkan oleh kerabatnya di pesisir Lampung. Orang tuanya berasal dari Sumatra Selatan, mengikuti program transmigrasi ke Lampung semasa Orde Baru.

Sedari kecil, Sutira sudah berjuang. Keterbatasan biaya hanya mampu mengantarnya tamat SMP. Sejak itu, ia cari kerja untuk menafkahi keluarga.

Sutira pun mengadu nasib ke Pulau Jawa. Ia bekerja di pabrik tekstil selama beberapa tahun. Setelah menikah, Sutira pulang ke Lampung. Ia dan suami kemudian mencoba peruntungan dengan berjualan makanan sederhana. Mereka menyewa sebuah kios di Pasar Griya, Bandar Lampung.

Baru beberapa tahun di sana, kabar buruk datang. Kampung Pasar Griya bakal digusur. Sutira dan suami memutuskan pindah ke Kampung Kepala Burung pada 2006. Mereka membayar sejumlah uang kepada lurah yang menjabat saat itu.

Jauh sebelum klaim Pemprov Lampung, Sutira mendapat cerita bahwa tanah itu dahulu milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN), lalu diberikan kepada karyawan untuk digarap sejak 1988. Sutira dan suaminya membangun rumah geribik dengan atap seng. Tempat itu menjadi saksi perjuangan mereka membesarkan ketiga anaknya. Sutira berjualan es tebu, sedangkan suami menjadi kuli bangunan.

Pada 2014, ujian kembali datang. Pemerintah setempat mengultimatum warga segera mengosongkan Kampung Kepala Burung. Sutira bingung. Ia tak punya rumah selain di sana.

Berbekal tabungan berjualan, Sutira membeli sebidang tanah tak jauh dari kediamannya. Ia membayar Rp4 juta kepada mantan pekerja PTPN. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini tanah yang dibeli memiliki dokumen sporadik, tertanggal 21 Maret 2014.

Surat itu menyatakan tidak ada pihak lain yang mengajukan keberatan. Artinya, tak ada klaim kepemilikan. Sutira berpikir tanah yang jelas akan membuatnya aman dari penggusuran.

Setelah membeli lahan, Sutira kembali menabung untuk membangun rumah. Ia masih tinggal di Kampung Kepala Burung. Lima tahun berselang, Sutira baru bisa mendirikan rumah semipermanen, sekadar tempat berteduh bila sewaktu-waktu terusir.

Apa yang ditakutkan pun tiba. Pada Februari, pemerintah menggusur Kampung Kepala Burung. Sutira menjadi salah satu dari 42 kepala keluarga yang dipaksa angkat kaki. Untunglah ada gubuk yang dipersiapkan bertahun-tahun lalu. Mereka pun pindah. Namun, ketenteraman itu tidak bertahan lama.

Delapan bulan kemudian, Sutira kembali tergusur. Kali ini, ia benar-benar pusing. Tanah itu memiliki riwayat yang jelas. Ia membeli dari eks karyawan PTPN dan mengantongi surat penguasaan tanah. Bahkan, lahan tersebut terdaftar di Badan Pertanahan Nasional atas nama Saipul Harun, suami Sutira.

Selama mendirikan bangunan, Sutira juga membayar pajak bumi dan bangunan. Semua itu wujud Sutira untuk memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Namun, negara tidak pernah berpihak padanya. Berulang kali ia tergusur atas nama pembangunan.

Pemerintah hanya memberi tali asih sebesar Rp2,5 juta per keluarga. Warga yang tergusur harus mencari tempat tinggal sendiri.

Penampakan bagian dalam rumah yang ditempati keluarga Sutira pascapenggusuran. Sutira terpaksa menumpang di tanah orang lain karena tak punya uang untuk membeli lahan baru. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Sutira kini menumpang di tanah orang, hanya 50 meter dari rumah lamanya. Ia membangun tempat tinggal sementara menggunakan GRC, papan tipis campuran semen dan serat kaca yang biasa dipakai untuk plafon.  

Meski panas dan kecil, Sutira tak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak punya harta lain. Baginya, yang terpenting ada tempat berteduh. Namun, kondisi itu belum tentu membawa ketenteraman. Keluarganya bisa sewaktu-waktu terusir karena menumpang di lahan orang.

Dari penggusuran demi penggusuran, Sutira belajar. Ia tahu bahwa mereka yang lemah harus berjuang lebih keras. Sutira sudah tidak percaya dengan pemerintah. Ia tak ingin lagi terlibat dalam pemilihan umum.

Saat ini, Sutira fokus pada pendidikan anaknya. Si bungsu masih di SMP, sedangkan paling tua sedang berjuang menjadi sarjana. Ia berharap, anak-anaknya dapat keluar dari jurang kemiskinan di masa depan.

“Karena menjadi miskin akan selalu terbuang di negeri ini,” kata Sutira.

Di tengah kerumunan aparat dan deru buldoser, seorang perempuan kecil berdiri termangu. Ia adalah Eliyati, bekas tetangga Sutira. Februari lalu, Eliyati mengalami penggusuran tahap pertama. Ia datang untuk bersimpati kepada warga yang tergusur. Ia tahu rasanya terusir dari rumah sendiri.

Enam tahun terakhir, Eliyati dua kali tergusur. Pertama, penggusuran Kampung Pasar Griya. Bila Sutira sudah pindah sebelum pengusiran, Eliyati memilih bertahan. Ia bersama puluhan warga sempat menentang. Namun, Pemkot Bandar Lampung tetap meratakan seluruh bangunan pada 2018. Sekarang, kampung itu menjadi kantor kejaksaan negeri setempat.

Saat penggusuran, Eliyati naik ke atas sekop alat berat. Ekskavator berjalan, ia terangkat dan terjatuh. Beberapa bagian tubuhnya luka. Penggusuran kedua di Sabahbalau juga sama brutal.

Eliyati, korban penggusuran di Kampung Pasar Griya (2018) dan Sabahbalau (2025), sedang mengumpulkan barang bekas, beberapa waktu lalu. Penggusuran demi penggusuran itu berdampak terhadap hak-hak dasar, antara lain anaknya putus sekolah. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Eliyati seorang janda berumur 65 tahun. Ia hidup dengan mengais sampah di sudut-sudut Kota Bandar Lampung. Keluarganya hanya makan sekali dalam sehari.

Kesulitan tidak berhenti di situ. Penggusuran juga merenggut hak dasar. Yogi, anak ketiganya, berhenti sekolah pada 2018. Anak keduanya tidak lanjut SMK. Hanya anak pertama yang lulus SMA. Itu pun ijazahnya ditahan pihak sekolah karena tak mampu membayar. Kini, anak sulungnya mencari-cari pekerjaan.

Eliyati pasrah dengan keadaan. Nenek itu terus bekerja sepanjang hari untuk menghidupi keluarganya.

Lebih dari setengah abad, ia menjadi saksi kekuasaan yang tidak berpihak pada orang lemah. Rakyat miskin selalu tersingkir. Mereka hanya dibutuhkan saat menyangkut kepentingan yang punya kuasa. Setelah itu, mereka dibiarkan sendiri.

“Apa gunanya bernegara kalau terus sengsara,” ujar Eliyati.

Ia kesal atas keadaan. Negara yang berjanji melindungi, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menegakkan keadilan. Tapi, semua itu seperti angin lewat. Eliyati harus berpeluh untuk hal-hal mendasar, sementara kekuasaan terus berpaling dari orang-orang lemah, seperti dirinya.

Dalam konstitusi, negara berkomitmen meningkatkan taraf hidup. Namun, tujuan itu tampaknya masih menjadi impian. Warga Sabahbalau dan Pasar Griya mesti berjuang untuk memperoleh sandang, pangan, papan, dan pendidikan yang layak.

Di tengah-tengah perjuangan itu, Pemprov Lampung punya pandangan berbeda tentang pembangunan. Mereka bilang, pembangunan harus memikirkan semua pihak, bukan hanya warga terdampak.

Di Sabahbalau, pemerintah mengklaim sudah memikirkan segala aspek, termasuk menjaga aset daerah. Tetapi, realitas di lapangan terlihat berbeda. Sutira dan Eliyati harus menghadapi kenyataan pahit ketika dihadapkan pada penggusuran. Mereka bukan satu-satunya yang terusir dari tempat tinggal. Mereka adalah contoh dari banyak orang yang terpaksa meninggalkan rumahnya atas nama pembangunan.

Pemprov Lampung menggusur puluhan bangunan di Sabahbalau, Lampung Selatan, Kamis, 6/11/2025. Rencananya, lahan itu hendak dijadikan Agropark, kebun wisata berbasis edukasi. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Di Tulangbawang, ribuan petani terbangun setiap pagi dengan rasa cemas. Mereka harus melepaskan rumah, sawah, dan segala yang dimiliki. Korporasi ingin tanah mereka. Cara-cara kekerasan digunakan kepada yang melawan. Hingga kini, para petani masih terperangkap dalam kemiskinan. Mereka kehilangan alat produksi untuk menghidupi keluarga.

Perampasan ruang hidup seperti itu juga terjadi di Waykanan, Lampung Tengah, Mesuji, Lampung Timur, dan Pesawaran. Di setiap desa, di setiap kecamatan, cerita yang sama terulang. Petani yang kehilangan tanah, kehilangan rumah, kehilangan harapan. Mereka yang dahulu memiliki kebun, sekarang harus mengais rezeki di tempat lain.

Tidak terbatas di Lampung, problem struktural serupa menjadi momok bagi kelompok marginal. Di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, masyarakat adat yang hidup tenteram selama puluhan tahun dari hasil alam, harus tersingkir atas nama investasi ekonomi melalui Proyek Strategis Nasional (PSN). Rumah dihancurkan, tanah dirampas, dan mereka menghadapi pelbagai kekerasan.

Di Merauke dan Mappi, tanah Papua Selatan yang kaya sumber daya alam, konflik telah menjadi ancaman utama. Di Keerom, Papua; Fakfak serta Teluk Bintuni, Papua Barat, isu perampasan tanah dan ruang hidup memicu kekerasan dan ketidakadilan. Tak hanya Papua, di Sumatra Utara dan Kalimantan Tengah, proyek food estate juga melahirkan persoalan serupa. Di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah di Jambi, ekspansi perkebunan sawit menjadi momok bagi keberadaan masyarakat adat.

Sutira dan Eliyati hanyalah potret kecil dari konflik-konflik yang tercipta atas nama ekonomi dan pembangunan itu. Seperti mereka bilang, “Karena menjadi miskin akan selalu terbuang. Lalu, apa guna bernegara kalau terus sengsara?”

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

41 + = 49