Dibungkam Setelah Protes: Kelas Sosial Lemah Selalu Jadi Korban

  • Whatsapp
UUN Irawati sedang memberikan keterangan kepada penyidik Polres Lampung Selatan, beberapa waktu lalu. Petani singkong itu dilaporkan usai menghalangi traktor yang menggusur ladangnya pada 2024. | dok. LBH Bandar Lampung.

Pembungkaman menjadi instrumen untuk melumpuhkan protes warga. Kelas sosial yang lemah kerap menjadi korban, mulai kriminalisasi hingga pembunuhan. Fenomena ini mempertegas ketimpangan struktural dalam akses keadilan.






Di bawah cahaya lembut ponselnya pada Sabtu malam, 5 Juli 2025, Wawan Hendri terhenti sejenak. Jari-jarinya yang sibuk mengetik laporan sekolah melayang di atas keyboard. Lalu, notifikasi WhatsApp bergetar – sebuah file PDF masuk.

Bacaan Lainnya

Nama “Polisi” di layar menyentak perhatian Wawan. Ia membuka dokumen itu, menemukan surat klarifikasi tentang Laporan Informasi Nomor: LI/02/VII/2025 tertanggal 4 Juli 2025. Wawan diminta menemui penyidik Polres Pesisir Barat terkait tuduhan menyebarkan berita bohong lewat konten Facebook-nya. Pasal 45A ayat (3) juncto Pasal 28 ayat (3) UU ITE disebut dalam surat tersebut.

Wawan mengingat kembali hari itu di akhir Mei, ketika ia mengunggah postingan Facebook. Tulisannya berisi protes soal proyek Pembangkit Listrik Minihidro (PLTM) Way Melesom II yang dibangun PT Graha Hidro Nusantara (GHN). Perusahaan ini terafiliasi dengan PT TBS Energi Utama Tbk, korporasi yang didirikan mantan Menteri Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan.

Pembangunan power house PLTM Way Melesom II, Lemong, Pesisir Barat, Kamis, 26/9/2024. Saluran pembuangan air itu mengancam sumber pengairan lahan pertanian masyarakat setempat. | KONSENTRISID/Derri Nugraha

Wawan mengkritisi PT GHN yang menanam dan mengecor tiang jembatan di atas sumber air warga. Pembangunan itu tanpa koordinasi dan mediasi dengan masyarakat Pekon Bambang dan Pagar Dalam. Ia menuntut penegak hukum untuk membantu mereka mendapatkan keadilan.

Dalam beberapa hari, postingan tersebut riuh di dunia maya. Angka-angka di bawahnya melonjak: 14 ribu lebih orang menyaksikan, ratusan komentar mengalir seperti doa bersama.

Sejak awal proyek berjalan, Wawan menjadi salah satu warga yang vokal menolak pembangunan PLTM. Bukan tanpa alasan, pembangkit listrik yang diklaim ramah lingkungan itu justru menghancurkan sumber kehidupan warga setempat.

Pada 2022, material pembukaan jalan menuju PLTM menimpa saluran air warga. Penimbunan beberapa bagian sungai juga melewati tandon air milik warga. Setidaknya, lebih dari 20 titik pipa aliran air tak berfungsi karena tertimbun batu, kayu, dan tanah. Desa Wawan bahkan berbulan-bulan mengalami krisis air bersih. Sekitar 20 hektare sawah dan 4,17 hektare permukiman penduduk terancam kehilangan sumber air.

Pembangunan PLTM juga diselimuti berbagai masalah. Mulai dari pelanggaran izin lingkungan, penolakan warga, hingga kurangnya transparansi dan sosialisasi kepada masyarakat. Lokasi pembangunan PLTM tak sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen UKL-UPL, sebagaimana dikonfirmasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Pesisir Barat.

Lalu, warga tak pernah menerima sosialisasi dan dimintai persetujuan terkait proyek tersebut. Sebaliknya, sebanyak 159 kepala keluarga meneken surat penolakan. Mereka menuntut perusahaan menghentikan segala bentuk aktivitas pembangunan dan bertanggung jawab penuh atas kerusakan jaringan air bersih, penyempitan sungai, dan erosi.

Kemudian, kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menemukan ketidaksesuaian spesifikasi teknis pembangunan PLTM. Bendungan PLTM dibangun lebih dari tiga meter, berbeda dalam dokumen lingkungan yang menyatakan tingginya hanya tiga meter.

Berbagai persoalan itulah yang memantik semangat Wawan terus menyuarakan keresahan masyarakat. Sebelum tiang jembatan dipasang, warga sudah kesulitan mengakses air. Banyak orang, termasuk keluarga Wawan, bergantung pada air bersih itu.

Bagi Wawan, dengan berbagai pelanggaran yang terjadi, semestinya pembangunan PLTM dihentikan. Namun, sampai sekarang, proyek terus berjalan.

“Sudah terlalu banyak kerugian yang dialami masyarakat. Bila tidak dilawan, perusahaan akan terus semena-mena,” kata Wawan.

Dua hari setelah postingan Facebook-nya viral, Wawan mendapat panggilan mendesak dari tokoh masyarakat setempat. Wawan bergegas ke rumah tokoh itu, di mana suasana terasa agak tegang. Di sana, Wawan disarankan menghapus tulisan. Sang tokoh menyampaikan kabar bahwa PT GHN berencana melaporkan Wawan ke polisi. Ia berjanji akan berkomunikasi dengan pihak GHN untuk mencegah perkara berlanjut ke jalur hukum.

Wawan merasa bingung. Ia merasa tidak salah menyuarakan keresahan masyarakat. Demi menjaga keadaan tetap kondusif, Wawan pun memutuskan menarik kontennya.

Pada 11 Juni, beredar berita bahwa PT GHN akan melaporkan Wawan ke polisi. GHN menuduh Wawan mencemarkan nama baik perusahaan. Ia mengambil gambar dan memasuki kawasan proyek tanpa izin.

Beberapa hari berselang, seorang pejabat Lembaga Himpunan Pemekonan – setingkat Badan Pemusyawaratan Desa – memanggil Wawan pada malam hari. Ia memilih tidak menanggapi, karena pejabat itu memiliki hubungan kerja dengan PT GHN.

Dua hari kemudian, Wawan menerima telepon dari anggota Polsek Pesisir Utara. Polisi menyampaikan bahwa PT GHN telah melaporkan Wawan ke Polda Lampung. Wawan yang baru saja berkunjung ke rumah orang tuanya, segera menuju polsek.

Di sana, Kapolsek Pesisir Utara Iptu Imam Sanuwan menyampaikan bahwa pihaknya diminta Polda Lampung untuk memediasi persoalan yang dilaporkan PT GHN. Mereka akan mengatur jadwal mediasi. Wawan menyatakan kesediaannya.

Syahdan, Imam menghubungi Wawan untuk mediasi di kantor GHN. Wawan meminta kepolisian menyampaikan undangan resmi. Ia merasa perlu memiliki surat itu sebagai bukti mengikuti prosedur yang ditetapkan polisi.

Mendengar permintaan tersebut, Imam tiba-tiba membatalkan rencana mediasi. Pihaknya akan menjadwalkan ulang pertemuan. Hingga kini, mediasi tak kunjung terealisasi.

Awal Juli, ketika senja mulai menyelimuti desa, tiga anggota Polres Pesisir Barat mendatangi rumah Wawan. Kedatangan mereka terkait pengaduan GHN. Dengan suara tenang namun serius, polisi menanyakan maksud dan tujuan Wawan atas konten akun Facebook-nya.

Wawan menjawab dengan tegas, perusahaan harus menanggulangi keluhan dan kerugian yang dialami masyarakat terdampak. Ihwal proses hukum, ia menyatakan kooperatif. Jika mediasi dianggap jalan terbaik, Wawan akan menghormati keputusan itu.

Wawan Hendri (kemeja kotak-kotak) sedang diperiksa oleh penyidik di Polres Pesisir Barat, Kamis, 10/7/2025. Ia dituduh menyebarkan berita bohong usai mengunggah protes atas pembangunan PLTM Way Melesom II. | dok. LBH Bandar Lampung

Alih-alih mediasi, Wawan justru menerima panggilan klarifikasi. Ia diminta memberikan keterangan kepada penyidik Polres Pesisir Barat. Wawan akhirnya memenuhi panggilan tersebut pada Kamis, 10 Juli lalu. Ia didampingi pengacara publik LBH Bandar Lampung dan Walhi Lampung.

Di ruang pemeriksaan, penyidik sempat menyebut bahwa Wawan dipanggil sebagai saksi. Perwakilan LBH langsung keberatan. Mereka menegaskan bahwa Wawan hanya memenuhi undangan klarifikasi, bukan saksi.

Wawan menjalani pemeriksaan lebih dari lima jam. Penyidik mencecarnya dengan berbagai pertanyaan seputar postingan di media sosial dan dugaan tindak pidana penyebaran kabar bohong. Setelah proses yang melelahkan itu, Wawan akhirnya menandatangani berita acara pemeriksaan.

Berbagai peristiwa yang dialami Wawan membuatnya tertekan. Ia kehilangan banyak waktu, tenaga, dan pikiran hanya untuk mengurus persoalan ini. Padahal, guru madrasah itu cuma menyuarakan keresahan masyarakat.

“Konstitusi menjamin kebebasan berpendapat, tapi saya malah terancam dipenjara hanya karena bersuara,” kata Wawan.

Kendati demikian, ia tetap teguh. Lewat perlawanan, Wawan ingin menunjukkan bahwa masyarakat tidak akan menyerah. Ia akan terus menentang upaya kriminalisasi yang dilihatnya sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara-suara kritis. Jika tidak, bisa membuat warga takut memperjuangkan ketidakadilan.

***

Air mata Uun Irawati menetes saat menyerahkan uang Rp40 juta kepada Soleha di ruangan Restorative Justice Polres Lampung Selatan, Rabu, 2 Juli 2025. Penyerahan disaksikan polisi, mengakhiri kisah yang dimulai dengan penggusuran ladangnya di kota baru. Tini – sapaan Uun – terpaksa merelakan uang untuk menyelamatkan diri dari jeruji besi, setelah dilaporkan atas tuduhan perusakan pada Maret 2024.

Kenangan pahit itu masih membekas dalam ingatan Tini. Tiga traktor dikerahkan Satgas Pengamanan Aset Daerah Pemprov Lampung menghantam ladang singkong yang sudah dirawat selama tiga bulan. Tini dan keluarganya berjuang menghentikan penggusuran, sampai ban salah satu traktor rusak. Namun, perjuangan sia-sia. Dua hektare lahan, sumber utama penghidupan keluarga Tini, rata dengan tanah. Soleha, pemilik traktor yang disewa untuk menggusur, melaporkan Tini – termasuk lima anggota keluarganya.

Tapi, Tini tak menyerah. Didampingi ratusan petani, ia membuat laporan ke Polda Lampung terkait perusakan lahan. Ini langkah Tini mencari keadilan di tengah kehilangan yang begitu besar.

Dalam perjalanan kasus yang penuh liku, berkas penyelidikan akhirnya dilimpahkan ke Polres Lampung Selatan. Namun, langkah polisi kemudian mengejutkan banyak pihak: menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3). Ironisnya, meski kasus perusakan tanaman dihentikan, pengusutan terhadap Tini tetap berjalan. Bayang-bayang penjara pun semakin dekat.

Uun Irawati (pegang mic) sedang berorasi pada Hari Tani Nasional 2024. Ia dan ratusan petani kota baru mendesak pemerintah menghentikan kriminalisasi dan memberantas mafia tanah. | dok. LBH Bandar Lampung

Tini tak diam. Didukung ratusan petani kota baru, perempuan itu terus menggelar protes. Ketika polisi menghentikan pengusutan kasus perusakan tanaman, para petani bahkan menggeruduk Polda Lampung, menuntut keadilan. Di samping itu, masyarakat mendesak aparat untuk menghentikan kriminalisasi petani yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.

Namun, perjuangan itu tak mengubah keadaan. Kepolisian tetap melanjutkan kasus Tini, mengancamnya dengan kemungkinan penjara. Di tengah tekanan psikologis yang berat, polisi kemudian menawarkan jalan keluar melalui mekanisme restorative justice – penyelesaian kasus di luar pengadilan. Tini tak punya banyak pilihan. Ia akhirnya mengikuti mekanisme tersebut.

Melalui LBH Bandar Lampung sebagai kuasa hukumnya, Tini mengirimkan surat permohonan mediasi pada Juni 2025. Pertemuan dengan Soleha berlangsung di Ruang Gelar Satreskrim Polres Lampung Selatan, 16 Juni lalu. Waktu itu, Tini diwakili oleh anaknya, Sindy Hardiyanti – yang juga salah satu dari mereka yang dilaporkan oleh Soleha. Tini sendiri sedang berada di luar kota.

Dalam pertemuan tanpa didampingi kuasa hukum maupun polisi, Soleha dan Sindy berbincang empat mata. Pihak Soleha sempat mengajukan tuntutan ganti rugi kerusakan ban traktor sebesar Rp200 juta.

Sindy sontak kaget. Jumlah tersebut sangat besar bagi keluarganya yang sehari-hari menggantungkan hidup dari bertani. Ia kemudian minta keringanan, mengusulkan ganti rugi setara dengan kerusakan ban traktor yang hanya Rp7 juta.  Namun, Soleha tidak mau mengalah.

Pada ujung perundingan, muncul angka Rp40 juta yang harus dibayarkan keluarga Tini. Bila tidak, maka perkara akan dilanjutkan.

“Kalau enggak bisa bayar, salah satu dari kalian harus ada yang dipenjara,” ujar Tini menirukan perkataan Soleha saat berunding dengan Sindy.

Sindy terjebak dalam dilema berat. Hati dan pikirannya dipenuhi ketakutan bahwa keluarganya akan berakhir di penjara. Ia belum bisa menyepakati nominal Rp40 juta – jumlah yang masih terasa terlalu besar bagi mereka. Soleha memberi tenggat waktu keras: keluarga Tini harus menyerahkan uang tersebut paling lama 14 hari.

Tini baru pulang ke Lampung pada 21 Juni. Sebelum itu, Sindy sengaja tidak memberitahu ibunya tentang hasil perundingan. Ia khawatir ibunya akan terbeban berat di perjalanan. Ketika tahu, Tini seperti kehilangan pegangan. Bagaimana bisa keluarganya mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?

Kabar pembayaran ganti rugi itu pun menyebar di antara para petani kota baru. Mereka bersolidaritas, menyumbang seikhlasnya sebagai bentuk dukungan. Donasi yang terkumpul mencapai Rp16 juta.

Donasi para petani kota baru untuk membantu Tini membayar ganti rugi kepada Soleha. | dok. LBH Bandar Lampung

Untuk menutupi kekurangannya, Tini terpaksa berutang dan membongkar tabungan. Ada juga bantuan dari kerabat. Perjuangan keras mengumpulkan dana itulah yang membuat Tini menangis saat menyerahkan uang ke Soleha. Ia masih tak percaya – bagaimana mungkin dirinya harus membayar ganti rugi kepada pemilik traktor yang menggusur dan menghancurkan ladangnya?

Setelah membayar ganti rugi kepada Soleha, terungkap bahwa kepolisian menyebut Tini tidak punya kekuatan hukum atas tanaman di ladangnya. Mereka menuduh ibu empat anak itu bertani di lahan milik Pemprov Lampung. Padahal, Tini termasuk salah satu dari 400 keluarga yang mengolah lahan di kota baru – bekas kawasan Register 40 Gedong Wani. Orang tua mereka menggarap tanah itu sejak 1955.

Masalahnya dimulai ketika Surat Keputusan Gubernur Lampung untuk pembangunan kota baru terbit pada 2011, merampas lahan pertanian warga. Proyek itu mangkrak lebih dari 10 tahun. Tapi, pada 2022, pemerintah memberlakukan sewa Rp300/m² per tahun lewat Keputusan Gubernur Lampung Nomor: G/293/VI.02/HK/2022. Petani seperti Tini dipaksa membayar sewa di lahan garapan sendiri. Penggusuran ladang karena ia dianggap tidak membayar sewa.

Upaya kriminalisasi tak hanya berhenti pada kasus perusakan ladang Tini. Pada 2023, Tini dan beberapa petani harus menghadapi pemeriksaan kepolisian. Mereka dituding menyerobot lahan tanpa izin.

“Pemerintah memang enggak pernah puas menyengsarakan rakyatnya. Hukum bukan untuk keadilan, tapi buat memenjarakan orang lemah,” kata Tini.

Meski diterpa penderitaan bertubi-tubi, Tini tetap bulat untuk memperjuangkan haknya. Ia bertekad mempertahankan lahan garapan yang menjadi ruang penghidupan keluarganya. Sebab, ada kabar tak sedap: Pemprov Lampung akan melanjutkan pembangunan kota baru. Jika terealisasi, ratusan petani bakal kehilangan pencaharian karena ladang mereka tergusur.

***

Rangkaian pembungkaman terhadap kritik warga juga terjadi di Lampung Tengah. Dua bulan lalu, Surya meregang nyawa di hadapan istrinya. Warga Kampung Gunung Agung itu dikenal aktif menyuarakan penyalahgunaan bantuan sosial.

Pemicunya adalah video yang memperlihatkan penjualan beras bertuliskan Bantuan Pangan dari Bulog di sebuah pesantren di Tulangbawang Barat. Pesantren itu membeli beras dari Sukardi, Kepala Kampung Gunung Agung.

Surya dan warga lainnya berjuang agar penyelewengan bantuan pangan untuk rakyat miskin ini diusut tuntas. Mereka melapor ke polisi, kejaksaan, DPRD, dan pemerintah setempat. Warga juga turun ke jalan. Tapi, perjuangan itu seperti jatuh ke dalam lubang keheningan.

Kendati demikian, kritik terus meluncur. Surya kerap membuat konten media sosial yang menyoroti persoalan bansos. Beberapa videonya bahkan mendesak presiden untuk menyelesaikan kasus penyalahgunaan bansos.

Namun, konten-konten itu menjadi petaka. Beberapa video yang sering diunggah Surya rupanya memicu kemarahan Agus Sadewo, sepupu Sukardi. Dalam sebuah momen tragis, Agus menikam Surya ketika menemani istrinya berbelanja di Pasar Bandar Agung. Nyawa Surya tak tertolong dalam perjalanan menuju rumah sakit terdekat.

Satu minggu sebelum pembunuhan, seseorang yang mengaku utusan kepala kampung menghubungi adik ipar Surya. Orang itu memperingatkan agar Surya berhenti membuat konten soal penyimpangan bansos. Bila tidak, “hal-hal yang tidak diinginkan” bisa terjadi. Tapi, Surya tak gentar. Ia malah semakin sering memproduksi konten kritis. Meski istrinya sempat memperingatkan, Surya tetap teguh membela kebenaran.

Rumah kepala Kampung Gunung Agung di Terusan Nunyai, Lampung Tengah, dibakar massa, beberapa waktu lalu. Aksi itu dipicu kematian seorang warga yang vokal terhadap penyelewengan bantuan beras bagi keluarga miskin | ist

Kematian Surya memicu amarah di kalangan masyarakat. Seorang warga kritis yang membela hak-hak masyarakat justru menjadi korban tragis. Buntutnya, warga bergerak secara spontan, merusak rumah orang tua Agus dan membakar kediaman Sukardi. Harta benda seperti mobil dan motor tak luput dari amukan massa. Menariknya, setelah kemarahan warga itu mereda, polisi menemukan dua lokasi penimbunan BBM bersubsidi.

Dari rentetan peristiwa di Gunung Agung, polisi kini mengusut empat kasus: pembunuhan Surya, pembakaran dan perusakan rumah kepala kampung, penyelewengan bansos, dan penimbunan BBM subsidi yang melibatkan Sukardi. Di antara semua kasus itu, hanya dua yang sudah menetapkan tersangka: pembunuhan Surya dan perusakan rumah kepala kampung.

Sejumlah warga yang meluapkan amarah saat Surya dibunuh kini terancam hukuman penjara 5 hingga 12 tahun. Mereka dijerat Pasal 170 juncto Pasal 187 KUHP tentang kejahatan yang membahayakan keamanan umum.

Sementara, Sukardi yang disebut dalam kasus penimbunan BBM subsidi dan penyelewengan bantuan beras untuk keluarga miskin, sudah kembali beraktivitas seperti biasa.

Ketimpangan Akses

Peneliti Tamu di GIGA Institute for Asian Studies Abdil Mughis Mudoffir menilai bahwa maraknya pembungkaman mencerminkan ketimpangan akses terhadap keadilan. Melalui perspektif sosiologis, ia mengajak untuk memahami dinamika operasional negara.

Menurutnya, negara bukanlah entitas otonom dengan kehendak tersendiri. Meski didesain sebagai institusi independen, kebijakan dan keputusan negara tetap dipengaruhi oleh berbagai aktor, seperti politisi, partai politik, korporasi, dan pemodal. Setiap aktor membawa kepentingan yang beragam dan saling bersaing.

Pada sisi lain, negara memegang kekuasaan penuh atas warganya, menentukan siapa yang dihukum atau tidak. Dalam situasi tertentu, negara mengandalkan instrumen seperti kepolisian atau militer – yang diberi legitimasi untuk melakukan kekerasan. Ketimpangan pun muncul di sini.

Aktor-aktor yang berkompetisi demi kepentingan pribadi atau kelompok berupaya memengaruhi kebijakan dan menguasai perangkat negara. Dengan cara ini, mereka bisa menekan pihak-pihak yang menghalangi kepentingannya. Sementara, masyarakat yang lemah secara sosial-ekonomi tidak punya daya maupun akses untuk menguasai kebijakan atau mengatur bagaimana hukum diterapkan.

Itulah mengapa dalam kasus Wawan, Tini, dan Surya – mereka yang tidak punya kekuatan untuk mengakses hukum secara adil – akan menjadi pihak paling dirugikan.

“Mereka yang lemah akan selalu menjadi korban,” kata Abdil.

Peneliti Abdil Mughis Mudoffir | dok. Abdil Mughis Mudoffir

Ketua Departemen Pendidikan dan Pengembangan SDM Serikat Pekerja Kampus (SPK) itu mengatakan, pada akhirnya hukum menjadi sarana represi paling masif yang digunakan penguasa. Sebab, siapapun yang punya akses terhadap instrumen kekuasaan, akan mudah mewujudkan kepentingannya. Mereka bisa menggusur, melakukan kekerasan, bahkan menghabisi komunitas atau warga yang melawan.

Karena itu, tidak ada jalan lain bagi masyarakat tertindas selain merebut ruang atau akses negara. Warga mesti dapat masuk ke sendi-sendi kekuasaan supaya dapat memengaruhi, membentuk, dan menelurkan kebijakan yang mengakomodasi kepentingan publik secara luas, terutama kelas sosial yang lemah.

Abdil memandang bahwa dalam masyarakat kapitalisme, kelas pekerja punya potensi besar sebagai kekuatan sosial. Mayoritas penduduk dalam ekonomi neoliberal adalah pekerja tertindas yang mengalami penderitaan dan eksploitasi serupa. Solidaritas bisa mengonsolidasikan mereka menjadi kekuatan politik besar melalui serikat buruh, organisasi politik, dan lain-lain.

Dalam negara demokrasi, partai politik adalah alat untuk mengintervensi kebijakan. Rakyat bisa menggunakan medium ini untuk merebut kontrol negara dan menentukan bagaimana instrumen kekuasaan dijalankan lebih adil.

“Keadilan bukan pemberian penguasa, melainkan harus direbut dan diperjuangkan,” ujarnya.(*)

Laporan Derri Nugraha

Liputan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kurawal sebagai upaya memperkuat demokrasi.

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

84 + = 94