Sebagai ilmuwan politik, Ichlasul Amal sesungguhnya bisa dekat dengan pemerintah. Ia memiliki tempat terhormat justru karena independensinya dari tarikan-tarikan politik yang dapat memberikan imbalan materi maupun nonmateri.
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen
Namanya mengandung makna yang dalam, beramal dengan ikhlas. Sebuah kebajikan yang semakin sulit ditemukan. Meninggal 14 November 2024, pada saat dunia kampus yang dicintainya semakin amburadul. Saya tidak mengenal Ichlasul Amal dari dekat. Ia mungkin sekitar 10 tahun lebih tua dari saya. Ketika saya menulis disertasi tentang hubungan pusat dan daerah, saya harus membaca disertasinya. Disertasinya tentang kasus Sumatra Barat, setahu saya dibimbing Herbeth Feith di Monash University, Australia.
Disertasi itu ditulis ketika sentralisasi sedang kuat-kuatnya digenggam Orde Baru. Menulis disertasi tentang isu hubungan pusat dan daerah pada masa itu bisa berbahaya karena merupakan isu sensitif. David Henley, sekarang profesor di Universitas Leiden, gagal mendapatkan visa riset tatkala proposal PhD-nya yang hendak mengkaji hubungan pusat-daerah dengan kasus Minahasa, Sulawesi Utara. Tapi, Ichlasul Amal orang Indonesia dan tidak perlu visa riset.
Dari ingatan saya yang tercecer, saya melihat Ichlasul Amal orang yang bersahaja, mungkin juga hikmah dari nama yang diberikan orang tuanya itu. Tak pernah terdengar oleh saya cerita yang aneh-aneh tentang Ichlasul Amal. Sejak mahasiswa aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan merupakan tokoh di belakang pendirian Masjid Kampus UGM.
Sebagai ilmuwan politik, ia sesungguhnya bisa dekat dengan pemerintah atau menjadi pesohor. Kesempatan itu sepertinya tak dipilihnya. Sebagai akademisi, kariernya terus menanjak sehingga terpilih sebagai Rektor Universitas Gadjah Mada ketika kampus-kampus bergolak melawan Soeharto. Sebagai rektor, saya ingat dia tidak takut dengan demo mahasiswa. Mahasiswa yang demo didatangi dan diajaknya berbicara. Lagi-lagi mengingat itu, menjadikan Ichlasul Amal teladan yang sulit ditemukan penerusnya, hari ini. Ketika jabatan rektor begitu gemerlap tak bisa disentuh dan menjadi bagian dari elite politik tanpa kartu anggota partai politik.
Setahu saya, di kampusnya, khususnya di Fisipol UGM, pada zamannya bertaburan bintang-bintang para pesohor. Meskipun UGM didirikan oleh Bung Karno untuk menjadi kampus rakyat, bukan rahasia lagi kalau para akademisinya menguasai posisi-posisi elite dalam birokrasi pemerintahan. Ichlasul Amal tampaknya lagi-lagi jadi pengecualian. Pada zamannya bisa disebut pesohor-pesohor yang berasal atau berada di Fisipol UGM. Sebut saja sebagai contoh Yahya Muhaimin, sempat jadi Mendikbud, Amin Rais, Bambang Kesowo, Sofian Effendi, Affan Gafar, Mochtar Mas’oed, Cornelius Ley, Riswanda Imawan, dan Daniel Dhakidae. Jika yang lain dekat dengan pemerintah atau partai politik, atau intelektual publik; Iklasul Amal sepertinya punya tempatnya tersendiri yang agak berbeda.
Ketika pergantian kekuasaan yang disebut sebagai reformasi, Ichlasul Amal yang saat itu menjabat Rektor UGM juga terlihat biasa-biasa saja. Sementara, yang lain saling berebut panggung ketika perubahan politik membuka banyak peluang untuk mencari posisi. Sebagai ilmuwan politik yang menekuni persoalan pusat daerah, Ichlasul Amal juga terlihat tidak banyak terlibat. Misalnya, ketika di bawah Ryaas Rasyid dibentuk Tim 7 untuk menggodok desain hubungan pusat daerah yang baru. Seingat saya, dari Fisipol UGM ada nama Affan Gafar dalam Tim 7 itu. Begitu juga ketika desain sistem kepartaian dan sistem pemilu dirancang, ia tidak terlihat aktif, dibandingkan misalnya koleganya dari UI, Nazaruddin Sjamsuddin, dan dari UNAIR, Ramlan Surbakti – yang menjadi ketua dan wakil ketua KPU pertama. Kita masih ingat kemudian terjadi skandal korupsi dan beberapa anggota KPU, termasuk ketuanya, masuk penjara.
Ilmuwan sosial, apalagi ilmuwan politik, terasa wajar jika terlibat dalam kegiatan politik, apakah itu di pemerintahan atau partai politik. Kisah seperti ini bisa dilacak jauh ke belakang, ketika para pendiri bangsa dan negara ini umumnya juga punya latar belakang akademik, setidaknya orang-orang yang gemar membaca. Jelas wawasan akademik diperlukan dalam mengelola negara. Kalau tidak, pengelolaan negara didasarkan semata-mata oleh insting politik. Tapi, sepertinya ini yang terjadi sejak Orde Baru hingga hari ini ketika pemimpin negara tampaknya lebih ditentukan oleh insting politik daripada wawasan yang bersifat akademik, tanpa harus menjadi akademisi.
Dalam sebuah wawancara, Bob Woodward, wartawan kawakan dari The Washington Post, yang terkenal karena bersama Carl Bernstein dalam investigasi skandal Water gate. Dua wartawan ini berhasil membongkar skandal politik yang dilakukan oleh Presiden Richard Nixon, yang dikenal sebagai Water Gate Scandal. Dalam wawancara itu, Bob Woodward berkomentar tentang Donald Trump yang secara mengejutkan menang telak dari Kamala Haris dalam pemilu presiden, 5 November lalu. Donald Trump, pengusaha real estat, yang memenangi pemilu presiden Amerika Serikat untuk yang kedua kalinya itu, menurut Bob Woodward, orang yang mengambil keputusan berdasarkan insting politiknya.
Saat ini, publik Amerika, juga dunia, sedang menunggu dengan harap-harap cemas. Apa yang akan dilakukan oleh Donald Trump setelah pelantikannya sebagai presiden Amerika Serikat ke-47 pada 20 Januari 2025?
Kemenangan telak telah memberikan mandat kuat bagi Donald Trump. Boleh dikatakan untuk melakukan apa saja yang dia mau. Melihat rekam jejaknya, Donald Trump dikenal sebagai presiden yang tidak mau diatur oleh konvensi-konvensi yang ada. Janji-janji politiknya menakutkan banyak pihak, baik di dalam maupun di luar Amerika Serikat. Sebab, dia akan menjungkirbalikkan tatanan, sesuai dengan insting politiknya, yang masih banyak belum terduga.
Di Indonesia, dalam 10 tahun terakhir ini negara dipimpin oleh Jokowi, seorang pengusaha mebel dari Solo. Seperti Donald Trump, saya kira Jokowi punya insting politik yang kuat, yang menjadi dasar keputusan akhir yang ia buat, tentu setelah mendengarkan bisikan para penasihat kepercayaannya. Salah satu penasihat kepercayaan adalah mantan Rektor UGM Pratikno. Pratikno adalah junior dari Iclasul Amal di Fisipol UGM. Pratikno juga mengambil disertasi tentang politik lokal, kasus Kota Gresik. Saya pernah mewawancarai Pratikno ketika masih menjadi Dekan Fisipol untuk sebuah penelitian. Kesan saya, orangnya biasa-biasa saja, sedikit mirip seniornya, Ichlasul Amal.
Tapi, kita semua kemudian tahu dalam dasawarsa terakhir ini ia menjadi pendamping Jokowi yang penting, kalau tidak yang terpenting. Dalam periode kepemimpinan Prabowo-Gibran, terbukti Pratikno tetap diberi peran. Tidak terlalu keliru kalau kita mengatakan bahwa masa kepemimpinan Prabowo-Gibran merupakan kelanjutan dari masa kepemimpinan Jokowi, di mana Pratikno memegang peran kunci dalam mengendalikan birokrasi. Apakah sebagai ilmuwan politik ilmunya cukup membantu? Mungkin saja, tapi mungkin juga lebih karena kepribadian dan instingnya yang punya chemistry yang pas dengan Jokowi.
Dalam kaitan ini menarik membaca pidato pengukuhan guru besar Cornelius Ley, beberapa tahun lalu. Ia merefleksikan peran yang menurut perspektifnya harus diambil oleh seorang ilmuwan politik. Meskipun tulisan itu bisa juga dilihat sebagai pembenaran atas pilihannya menjadi penasihat politik Ketua PDIP Megawati. Tapi, saya kira, ilmuwan apa pun tidak berada dalam ruang kedap udara. Sedikit atau banyak ia harus mengambil posisi dalam hubungannya dengan kekuasaan. Sebagaimana adagium yang telah lama kita dengar tentang knowledge/power itu.
Mengenang Ichlasul Amal berarti mengenang seorang ilmuwan politik yang hidup dalam zamannya dalam ekosistem dunia perguruan tinggi pada masanya. Sebagai ilmuwan sosial, pengaruhnya dalam kancah ilmu sosial dunia boleh dikatakan tidak terasa. Tapi, memang barangkali seperti itulah nasib ilmuwan sosial Indonesia.
Dalam sebuah obrolan ringan dengan Vedi Hadiz, seorang ilmuwan sosial Indonesia yang barangkali paling terpandang di dunia, mengatakan bahwa seharusnya ilmuwan sosial Indonesia bisa berkontribusi di kancah internasional, untuk bisa duduk setara dengan koleganya dari luar Indonesia. Mungkin itu pula yang menjadi motivasi dari institusi perguruan tinggi dan lembaga riset seperti BRIN, mendorong akademisinya untuk mempublikasikan tulisannya di jurnal internasional. Tapi, apa yang kemudian terjadi? Kita tahu, delapan dari sepuluh profesor Indonesia terbukti memublikasikan tulisannya di jurnal predator.
Mengenang Ichlasul Amal berarti mengenang sebuah kesederhanaan seorang akademisi. Mungkin saatnya para akademisi dan para pengambil keputusan di institusi-institusi yang mengurus dunia kampus dan dunia akademik untuk memikirkan dengan serius: sesungguhnya apa yang hendak dicari bersama?