Lebih dari setengah abad, strategi pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan industri ekstraktif terbukti menghasilkan ketimpangan antarkelas dan kerusakan lingkungan. Alih-alih mengubah paradigma pembangunan ekonomi, Jokowi justru berupaya melipatgandakannya. Siapa yang paling diuntungkan?
Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen
Jumat lalu, saya kebetulan berada di Stasiun Senen, Jakarta. Hari itu, masjid dekat Stasiun Senen terlihat ramai. Rupanya, Jokowi akan menunaikan salat Jumat di sana.
Usai sembahyang, orang-orang berebut untuk bersalaman dengan Jokowi. Dari jauh, saya melihat Jokowi memasuki mobilnya. Ia kemudian melempar bungkusan dari jendela. Orang-orang pun berebut bungkusan itu.
Melihat pemandangan tersebut, perasaan saya berkata, “Kok begitu ya seorang presiden memperlakukan warga negaranya?” Saya merasa ada yang kurang pas secara etis dari cara presiden melemparkan bungkusan lewat jendela mobil, dan melihat bagaimana warga negaranya berebut bungkusan yang tak tahu apa isinya itu.
Kita merasa cemas ketika melihat Jokowi mengarahkan pilihannya pada salah satu pasangan capres-cawapres. Sebab, sebagai presiden diharapkan bersikap netral. Tampaknya hampir mustahil menghalangi kehendak Jokowi untuk memenangkan pasangan tertentu.
Jokowi tidak saja memahami bahwa Indonesia dikuasai oleh para oligark, tapi juga mafhum bahwa mayoritas bangsanya merupakan bagian dari kelas ekonomi menengah bawah, yang bisa diperlakukan seperti ia melempar bungkusan dari jendela mobilnya. Jika dugaan saya benar bahwa bagi Jokowi mayoritas kelas ekonomi menengah bawah sesungguhnya tidak memiliki otonomi dalam menentukan pilihan politiknya karena sangat tergantung bagaimana sikap pemimpinnya, maka bagi Jokowi menjadi masalah kalau sebagai presiden bersikap otoriter-pragmatis terhadap bangsanya.
Sikap otoriter-pragmatis Jokowi sudah terlihat tatkala memutuskan Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya. Setelah memenangkan Pilpres 2019, Jokowi tampak makin kuat dalam mengonsolidasikan hukum sebagai strategi untuk mencapai tujuan-tujuannya, antara lain melalui penyusunan Omnibus Law (UU Cipta Kerja) dan merevisi UU KPK. Dalam kaitan ini juga bisa dilihat mengapa Jokowi menyatukan semua lembaga penelitian pemerintah menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Bagi Jokowi, alasan yang melatarbelakangi semua kebijakan ini adalah efisiensi.
Dalam pandangan Jokowi, rekayasa dan konsolidasi hukum, terutama penyusunan UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK diperlukan untuk menarik para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Ia memandang, hukum yang ada, termasuk menyangkut KPK, menghambat kelancaran investasi dan pembangunan ekonomi.
Jokowi tidak melihat perlunya mengubah paradigma pembangunan ekonomi yang dimulai sejak awal Orde Baru, setelah Presiden Soekarno digulingkan dan PKI dihabisi oleh tentara. Paradigma pembangunan ekonomi itu adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui investasi asing dan industri ekstraktif yang mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Dihitung dari hari ini berarti paradigma pembangunan ekonomi yang diarsiteki oleh Widjojo Nitisastro telah berjalan selama 57 tahun. Sri Mulyani yang dipercaya oleh Jokowi untuk menjadi Menteri Keuangan dalam sebuah acara mengaku sebagai cucu murid dari Widjojo Nitisastro. Sehingga, tak keliru bila Sri Mulyani adalah penerus dari pendahulunya dalam melanjutkan strategi pembangunan nasional yang basis utamanya adalah pertumbuhan ekonomi. Pertanyaannya, siapa yang akan paling diuntungkan oleh strategi pertumbuhan ini?
Mungkin, bagi Jokowi, yang akan diuntungkan nantinya adalah mayoritas bangsa Indonesia yang tergolong kelas ekonomi menengah bawah itu.
Akan tetapi, lebih dari 50 tahun, strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan industri ekstraktif terbukti hanya menghasilkan ketimpangan antarkelas dan kerusakan lingkungan. Dalam kaitan ini, sangat menarik penolakan Email Salim atas pemberian penghargaan sebagai tokoh penyelamat lingkungan. Sebab, dirinya merasa gagal dalam upaya pelestarian lingkungan.
Seperti kita tahu, Emil adalah Menteri Lingkungan Hidup yang pertama ketika rezim Orde Baru berkuasa. Ia merupakan anggota tim ekonom-teknokrat yang dipimpin oleh Widjojo Nitisastro, arsitek utama pembangunan ekonomi Indonesia pasca 1965 yang menekankan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai ekonom, disertasi doktor Email Salim di Universitas Berkeley sesungguhnya berurusan dengan pemerataan pendapatan, tapi kemudian mengalihkan perhatiannya pada lingkungan hidup. Dalam sebuah wawancara, saya bertanya kepada Emil mengapa ia mengalihkan soal pemerataan ke lingkungan hidup. Sebagai salah seorang anggota tim ekonom-teknokrat yang selalu diminta oleh Widjojo Nitisastro untuk menghadapi wartawan, Emil memang pandai bersilat lidah. Pertanyaan saya pun tidak terjawab karena ia kemudian berbicara tentang hal-hal lain.
Ihwal pemerataan memang tidak menjadi perhatian pemerintah sejak Orde Baru karena yang utama adalah pertumbuhan. Tapi, sekarang kita melihat hasilnya: ketimpangan pendapatan dan kerusakan lingkungan.
Awal tahun ini, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan peningkatan jumlah konflik agraria di berbagai tempat. Eskalasi konflik agraria sejalan dengan meningkatnya eksploitasi kekayaan alam Indonesia oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif, di mana jumlahnya naik seiring kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Jokowi kepada investor asing.
Pada awalnya, banyak orang mengira Jokowi betul-betul bisa menjadi presiden dari wong cilik. PDIP yang menjadi partai pengusungnya selalu mengklaim sebagai partai wong cilik. Tapi, setelah terpilih menjadi presiden, Jokowi ternyata meneruskan strategi pembangunan Orde Baru yang telah terbukti hanya meningkatkan ketimpangan kelas ekonomi, dan menghancurkan lingkungan hidup.
Jokowi tak hanya meneruskan strategi pertumbuhan, namun berupaya melipatgandakannya dengan berusaha menarik sebanyak mungkin investor dari mancanegara. Rekayasa dan konsolidasi hukum, terutama melalui UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK, tidak lain untuk menciptakan iklim yang memudahkan para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Obsesinya akan pembangunan infrastruktur dan ambisinya untuk membangun ibu kota baru di Kalimantan Timur, jelas memerlukan investasi asing untuk menunjang agenda pembangunan nasionalnya yang sangat besar.
Saat ini, Jokowi hanya memiliki waktu kurang dari satu tahun untuk merealisasikan obsesi dan ambisinya. Dalam sedikit sisa waktu, sebagai presiden tidak ada cara lain untuk mengamankan agenda pembangunannya. Cara itu adalah memastikan bahwa presiden yang terpilih nanti adalah orang yang dapat memberi garansi bahwa agenda pembangunannya yang jauh dari selesai itu akan dilanjutkan.
Dengan tingkat popularitasnya yang masih tinggi di kalangan masyarakat kelas ekonomi menengah bawah, yang berhasil disihirnya dengan cara-cara seperti pemberian bungkusan yang saya saksikan di dekat Stasiun Senen itu, Jokowi dengan semua kekuasaan yang masih dimilikinya akan sangat menentukan untuk memenangkan pasangan calon presiden yang menjadi pilihannya. Kemenangan pilihan Jokowi niscaya akan melanggengkan ketimpangan ekonomi dan kerusakan lingkungan.