Jokowi dan The Politics of Meaning (9)

  • Whatsapp
PRESIDEN Joko Widodo (kanan) membagikan kaus saat menghadiri Konser Satu Komando Sapu Lidi di Stadion Gelora 10 November Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur, Minggu, 21/8/2022. ANTARA FOTO/Umarul Faruq

Tesis orang baik merupakan ilusi. Fenomena Jokowi justru membuka kotak pandora mengenai diskrepansi yang selama ini tak disadari. Dalam wacana global, fenomena Jokowi memperlihatkan kecenderungan politik yang semakin otoritarian dan pragmatis.






Riwanto Tirtosudarmo | Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980-2017 | Kini Peneliti Independen

Bacaan Lainnya

Fenomena Jokowi, selanjutnya saya singkat FJ, menarik untuk diperbincangkan sebagai pembelajaran sejarah sosial politik negeri ini. Sebagai sosok yang pada awalnya – menggunakan istilah yang dipakai oleh Setri Yasra dalam podcast Opini Tempo (4 Desember 2023) sebagai tesis orang baik yang kemudian terbukti keliru – FJ, sekali lagi menunjukkan rentannya demokrasi dan ambiguitas diskursus demokrasi di negeri ini.

Belum lama ini, seorang sahabat yang membaca esai terakhir saya (Jokowi dan Satu Putaran) mengatakan setuju dengan isi tulisan saya. Hanya, ia bertanya, “Mengapa itu bisa terjadi?” Mungkin pertanyaan implisit dari sahabat ini selanjutnya adalah, “Bagaimana mencegah supaya itu tidak terjadi?”

Saya bukan orang yang rajin mengikuti berita-berita yang berseliweran di ruang publik yang semakin dipenuhi oleh media sosial. Apalagi, dalam musim kampanye menjelang hari pemungutan suara, 14 Februari mendatang. Namun, saya juga tidak mungkin menutup telinga, dan beberapa kiriman dari teman sempat saya buka. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah wawancara dengan Hariman Siregar, tokoh Malari, di sebuah kanal YouTube.

Hariman mengatakan, orang-orang yang tidak pernah ikut dalam pergerakan demokrasi, justru yang saat ini paling berkuasa menentukan arah negeri. Jokowi dengan manuver-manuver politiknya menjelang akhir periode kedua masa jabatannya, dalam bahasa Hariman, memperlihatkan anomali demokrasi. “Mengapa itu bisa terjadi?” demikian pertanyaan sahabat saya.

FJ, menurut Setri, membuktikan gagalnya tesis orang baik. Saya sependapat, tesis orang baik sebuah ilusi dan tidak bisa dipakai. Seperti telah saya tunjukkan dalam esai pertama, gejala Jokowi menjadi pragmatis sudah terlihat ketika memutuskan memilih Ma’ruf Amin sebagai pasangannya dalam Pilpres 2019. Ma’ruf, Ketua MUI, seorang konservatif Islam dipilih untuk meredakan serangan kelompok Islam garis keras dan menarik pemilih Islam ke kubunya. Bagi Jokowi, politik tidak lebih dari kalkulasi cost-benefit, sebagaimana dalam dunia bisnis.

FJ dan berbagai variannya telah dikupas banyak pengamat politik. FJ bukan sesuatu yang unik Indonesia. FJ merupakan kecenderungan politik negara-negara yang menganut demokrasi liberal, multipartai, dan politik elektoral. Authoritarian turn merupakan istilah untuk menunjukkan kecenderungan politik yang semakin otoritarian dan pragmatis. FJ merupakan bagian dari kecenderungan global itu.

Jika FJ bukan sesuatu yang bersifat anomali secara global, mengapa Hariman mengatakan gejala ini sebagai anomali demokrasi untuk Indonesia? Saya sependapat dengan Hariman bahwa untuk Indonesia, FJ adalah sebuah anomali demokrasi. Juga, pertanyaan sahabat saya menjadi relevan, “Mengapa itu bisa terjadi?”

Bagi pengamat asing mungkin terlihat nasionalistik mengamati politik Indonesia seolah berbeda dengan negara-negara lain. Selain tentu saja kritik yang melihat cara pandang bahwa ada anomali demokrasi di Indonesia sebagai perspektif yang too inward looking. Seolah-olah negeri kita sebagai negeri terburuk di dunia. Tetapi, saya kira, sebagai warga negara yang ikut aktif memikirkan perkembangan politik yang terjadi di negeri sendiri, tidak perlu berkecil hati dikatakan too nationalistic atau too inward looking. Terlebih, kalau ada pertanyaan, “Bagaimana mencegah itu terjadi?” Menjadi tanggung jawab setiap warga negara turut memikirkan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan.

Menurut hemat saya, FJ membuka kotak pandora tentang diskrepansi yang selama ini tidak disadari, antara politik yang “resmi” dan politik yang “tidak resmi’. Diskrepansi antara prosedur politik secara legal dan praktik politik yang sesungguhnya. Diskrepansi antara politik yang terlihat di permukaan dengan politik yang berlangsung di bawah permukaan. FJ memperlihatkan terjadinya insurjensi dan subversi politik oleh the ruling elites.

Dalam sebuah esai berjudul The Politics of Meaning, sebagai Afterword dari kumpulan esai yang berjudul Culture and Politics in Indonesia (Cornell University Press, 1970) Clifford Geertz, antropolog Amerika Serikat, yang mengawali kariernya dengan meneliti keberagamaan orang Jawa di Pare Jawa Timur, menulis sebagai berikut: One of the things that everyone knows but no one quite think how to demonstrate is that a country’s politics reflect the design of its culture. At one level, the proposition is indubitable – where else could France politics exist but France?” Yet, merely to state it is to raise doubts. Since 1945, Indonesia has seen revolution, parliamentary democracy, civil war, presidential autocracy, mass murder, and military rule. Where is the design on that?

Dalam esainya, Geertz antara lain mengatakan: But in Indonesia the pattern of official life and the framework of popular sentiment within which it sits have become so dijoined that the activities of government, though centrally important, seem nevertheless almost beside the point, mere routinisms convulsed again and again by sudden irruptions from the screened-off (one almost wants to say, repressed) political course along which the country is in fact moving. Meski ditulis pada awal 1970-an, saya kira, pengamatan Geertz bisa jadi referensi untuk menjelaskan FJ tentang adanya diskrepansi antara politik yang resmi dan yang tidak resmi.

Barangkali, sampai di sini, kita bisa memahami apa yang dikatakan oleh Hariman sebagai anomali demokrasi. FJ adalah sebuah anomali demokrasi yang untuk sementara bisa saya pahami dengan memakai referensi The politics of meaning dari Clifford Geertz. Tentu saya belum menjawab pertanyaan rekan saya: “Mengapa hal itu bisa terjadi?”

Pada esai kedua yang berjudul “Jokowi dan Oposisi” saya menulis: Jangan-jangan selama ini memang kita tidak pernah bertanya sejauh mana berbagai lembaga demokrasi itu sesungguhnya menjadi pilihan kita sendiri, atau sebenarnya merupakan agenda politik yang diam-diam dicangkokkan ke dalam tubuh kita? Sahabat saya, almarhum Mochtar Pabottingi, mengatakan apa yang terjadi setelah reformasi tak lebih dari “bablasan” Orde Baru.

Ada yang seperti kita ambil begitu saja (taken for granted) dari “barat” ketika kita berada dalam euforia politik pascalengsernya Presiden Soeharto Mei 1998. Seperti kita tahu, berbagai lembaga internasional, termasuk Bank Dunia dan IMF, memberikan bantuan beserta kondisi-kondisi yang harus dipenuhi Indonesia. Reformasi politik yang kemudian berjalan terbukti baru menghasilkan demokrasi prosedural, seperti pemilu yang diikuti oleh banyak partai politik setiap lima tahun. Kita merasakan ada jarak membentang antara apa yang kita lihat di panggung dengan apa yang kita lihat sehari-hari.

FJ membuka kotak pandora bagaimana yang legal jauh dari apa yang sesungguhnya terjadi. Dalam bahasa Clifford Geertz disjoined antara yang official dan yang popular. Dalam sepuluh tahun pemerintahannya, melalui berbagai rekayasa hukum, Jokowi mampu menciptakan yang legal untuk memberikan legitimasi kekuasaan menjalankan agenda pembangunannya. Namun, dalam dua tahun terakhir, publik yang kritis mulai merasakan ada yang tidak sinkron antara yang legal dan yang real, antara yang official dan yang popular.

Setelah reformasi politik 1998, ilusi publik ihwal yang legal dan official menjadi lengkap ketika lembaga-lembaga survei menyajikan angka statistik yang diklaim ilmiah dan objektif tentang keadaan dan kecenderungan politik. Apa yang tidak kita ketahui adalah bagaimana angka statistik itu diolah dan disajikan. Sesuatu yang pasti, lembaga-lembaga survei itu juga bagian dari kepentingan bisnis dan politik yang menyajikan angka melalui bahasa yang telah dikalkulasi dampak publiknya.

Bagi Bung Setri Yarsa dkk di Tempo dan Bung Hariman Siregar serta kawan-kawan dalam pergerakan demokrasi di negeri ini, saya kira memang ada pekerjaan rumah besar bersama. Tidak saja menganalisis secara cermat “Mengapa itu bisa terjadi”, namun yang tidak kalah pentingnya: “Bagaimana kemudian mencegah agar itu tidak terjadi?”

DukungKami.png.png

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

61 − 56 =