Seiring waktu, sistem pendidikan tinggi mengarah pada kapitalisasi. Kampus-kampus dibentuk seperti perusahaan yang mengikuti logika pasar. Fenomena ini melahirkan situasi yang memaksa banyak mahasiswa putus kuliah.
Irza Tullah beberapa kali menyeka kotoran di matanya. Ia masih mengantuk, tapi harus bangun. Sebab, jejaka itu mesti tiba di rumah majikannya sebelum pukul enam pagi.
Setelah energinya terkumpul, Irza bergegas mandi. Tak sempat sarapan, ia segera mengendarai mobil berkabin ganda menuju kediaman petinggi salah satu perusahaan tambang batu bara di Sumatra Selatan.
Saban pagi, Irza antar jemput seorang manajer tambang dari perumahan menuju kantor. Pekerjaannya baru rampung sekira jam tujuh malam.
Sebenarnya, bangun pagi bukan masalah bagi Irza. Sebelum menjadi sopir, ia sempat kuliah di Politeknik Negeri Lampung (Polinela). Kampus yang menerapkan pendidikan vokasional itu memberlakukan apel pagi bagi para mahasiswanya.
“Jadi, sudah biasa bangun pagi,” kata Irza mengenang masa kuliahnya, Senin, 18 Desember 2023.
Meski begitu, Irza mau tak mau mengubur impiannya menyandang gelar ahli madya. Ia terpaksa berhenti kuliah saat memasuki semester kedua, awal 2023. Kala itu, kondisi ekonomi keluarganya terpuruk. Di tengah kebutuhan pokok yang merangkak naik, penghasilan ayahnya sebagai petani karet tak mencukupi kebutuhan keluarga. Terlebih, Irza adalah anak kedua dari empat bersaudara. Adik-adiknya juga butuh biaya sekolah.
“Enggak sanggup lagi bayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Saya harus mengalah agar adik-adik bisa sekolah,” ujarnya.
Irza punya satu kakak perempuan. Berbeda dengan dirinya, sang kakak dapat menyelesaikan pendidikan tinggi di salah satu kampus di Palembang. Namun, UKT yang dibayar kakaknya relatif terjangkau, yakni Rp500 ribu per semester. Sementara, dirinya mesti membayar UKT sebesar Rp2,5 juta.
Irza tidak sendiri tatkala memutuskan berhenti kuliah. Dua kawan sekelasnya bernasib sama. Keduanya tak sanggup lagi membayar UKT. Salah seorang temannya bilang, jika tak mendapatkan beasiswa pada semester selanjutnya, ia akan keluar dari Polinela.
“Jadi, awal semester dua, kami bertiga memutuskan untuk berhenti. Saya dengar mereka juga sudah bekerja,” kata Irza.
Harapan Irza tak muluk-muluk. Saat ini, ia hanya ingin mencari uang untuk membantu keluarga. Sebagian upahnya dikirim kepada orang tua guna menopang kebutuhan sehari-hari.
“Kalau ada rezeki, ya mau lanjut kuliah,” ucapnya dengan suara tertahan.
Persoalan Irza dkk juga menimpa Sheva Februara, mahasiswa jurusan Sosiologi Universitas Lampung (Unila). Ia tak sangka harus mengakhiri kuliahnya pada semester tiga. Keputusan pahit itu lantaran sang ayah kehilangan pekerjaan. Selama ini, ayahnya bekerja sebagai instalator listrik di salah satu perusahan swasta.
“Pemasukan keluarga dari ayah. Jadi, saat ayah kehilangan pekerjaan, saya ambil cuti karena enggak sanggup menanggung biaya kuliah,” kata Sheva.
Semasa kuliah, Sheva bekerja sampingan sebagai pengojek online. Ia tak serta-merta mengundurkan diri dari Unila, tapi cuti selama satu tahun. Sebab, Sheva masih menyimpan harap untuk terus kuliah.
“Niatnya, kalau ekonomi keluarga membaik, mau lanjut kuliah lagi. Siapa yang tak mau sekolah tinggi,” ujarnya.
Namun, kehendak itu tampaknya sulit terwujud. Sebab, biaya kuliah saat ini relatif tinggi. Sementara, biaya kebutuhan pokok terus naik. Bila kondisi demikian berlanjut, ia merasa hanya orang kaya yang dapat menikmati pendidikan tinggi. Padahal, pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara.
“Seharusnya, pendidikan bisa dinikmati semua orang, bukan yang punya uang saja,” ucap Sheva.
Anak muda itu terus ikhtiar untuk melanjutkan kuliahnya dengan berjualan secara online. Ia juga membantu ayahnya mencari konsumen untuk instalasi listrik.
“Mestinya sudah ke kampus lagi untuk konfirmasi lanjut kuliah atau tidak. Tapi, belum bisa karena belum punya uang,” kata Sheva.
***
Putus Kuliah
Kisah Irza hingga Sheva menambah daftar panjang mahasiswa putus kuliah karena terbentur biaya. Data yang dihimpun konsentris, selama 2022-2023, setidaknya tujuh mahasiswa Polinela putus kuliah lantaran tak sanggup memenuhi besaran UKT. Survei Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Polinela, rata-rata mahasiswa Polinela dikenakan UKT sekitar Rp4 juta.
Lalu, BEM Unila menyebut, sekitar 5% dari total calon mahasiswa baru Unila dipastikan mengundurkan diri, salah satunya akibat tak kuasa membayar UKT. Presiden Mahasiswa Unila Chairul Saleh bilang, UKT yang mesti dibayar mahasiswa Unila pada golongan 4-6 atau sekitar Rp3 juta hingga Rp6 juta.
Kemudian, BEM Institut Teknologi Sumatera (Itera) mendata 213 mahasiswa baru tahun 2023 dari berbagai jurusan mengeluhkan besaran UKT. Merujuk laporan mereka, penetapan UKT oleh pihak kampus tidak memerhatikan kondisi ekonomi para mahasiswa. Misal, upah orang tua hanya Rp1,5 juta, sementara UKT yang dibebankan sebesar Rp5 juta.
“Sejak 2017-2023, rerata besaran UKT mahasiswa Itera masuk golongan V atau sebesar Rp5 juta,” kata Presiden Mahasiswa Itera Ezra Revenza.
Tak hanya di Lampung, keluhan soal UKT juga terdengar di pelbagai daerah. Pada Januari 2023, seorang mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) bernama Riska meninggal setelah pecah pembuluh darah di bagian otak. Sebelum berpulang, Riska kesusahan melunasi UKT. Ia sampai cuti dan pontang-panting bekerja demi melunasi biaya kuliah. Keadaan Riska semakin memburuk ketika ancaman putus kuliah di depan mata. Ia mengembuskan napas terakhirnya di rumah sakit.
Pada bulan yang sama, tim kajian UNY Bergerak – organisasi pergerakan mahasiswa UNY – melaporkan, sebanyak 1.020 mahasiswa UNY merasa keberatan akan besaran UKT.
Selanjutnya, Februari 2023, seorang mahasiswi Universitas Hasanuddin (Unhas) melakukan aksi simbolik di tengah jalan karena tak mampu membayar Uang Kuliah Tunggal. Dalam unggahan yang beredar di media sosial, pemudi itu membentangkan kertas bertuliskan, “Saya anak nelayan tidak mampu bayar UKT.” Dua hari berselang, Serikat Mahasiswa Unhas berunjuk rasa menuntut penurunan UKT.
Juni lalu, sebanyak 700-800 calon mahasiswa baru Universitas Indonesia (UI) mengajukan keberatan UKT. BEM UI menyebut, tiga mahasiswa hendak mengundurkan diri. Salah satu dari tiga mahasiswa itu dikenakan UKT sebesar Rp 17,5 juta. Pihak keluarga pun mengajukan keringanan. UKT yang semula Rp17,5 juta menjadi Rp15 juta. Akan tetapi, pihak keluarga hanya sanggup Rp7,5 juta.
Dua bulan berikutnya, BEM Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menemukan belasan mahasiswa putus kuliah. Nilai UKT mereka mencapai Rp3 juta. Merespons situasi itu, sejumlah mahasiswa berdemonstrasi di depan Gedung Rektorat UTM, Senin, 21 Agustus 2023.
Maraknya kasus mahasiswa putus kuliah itu seirama dengan laporan statistik pendidikan tinggi yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2020. Secara statistik, angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 orang. Mahasiswa putus kuliah itu terdiri dari mahasiswa dengan jenis dikeluarkan, putus studi, dan mengundurkan diri. Di Lampung, tercatat 8.093 mahasiswa putus kuliah.
Selain itu, data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2019, sekitar 4,3 juta atau 54% siswa di Indonesia mengalami putus sekolah yang dipengaruhi kemampuan ekonomi keluarga. Salah satu penyebabnya, biaya pendidikan kian melambung, khususnya perguruan tinggi.
Kapitalisasi Pendidikan
Melihat fenomena putus kuliah di perguruan tinggi, pemerhati pendidikan dan hukum tata negara Dhia Al Uyun mencoba riset sederhana. Ia meneliti daya jangkau mahasiswa akan besaran UKT yang patut dibayar.
Dhia membandingkan besaran UKT di lima perguruan tinggi di Indonesia, yaikni UI, Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dengan upah minimum pekerja di beberapa provinsi. Hasilnya, rerata upah minimum untuk setiap orang yang hanya Rp2,7 juta kesulitan mengakses UKT dengan besaran Rp1,7 juta-Rp19 juta.
“Kan tak mungkin orang hidup dalam satu bulan hanya memikirkan UKT. Apalagi, jika dalam satu keluarga memiliki empat anak dan semuanya mesti sekolah,” kata Dhia.
Penelitian Dhia mengonfirmasi data BEM Itera. Rata-rata besaran UKT mahasiswa Itera tak sebanding dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung yang hanya Rp2,6 juta. Artinya, mahasiswa akan kesulitan mambayar UKT golongan V ke atas yang berkisar Rp5 juta sampai Rp9,5 juta.
Secara terminologi, kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini pemilik modal dapat melakukan usahanya dengan bebas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Bagi kapitalisme, tidak ada pembatasan dari negara untuk warganya dalam memiliki aset pribadi. Kondisi tersebut memicu akumulasi modal pada perorangan.
Arus kapitalisasi pendidikan itu diperkuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 64 ayat (3), “Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a. organisasi; b. keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan f. sarana prasarana.”
Beleid itu memberi kemudahan bagi para investor untuk menanamkan modalnya di sektor pendidikan. Pemberian otonomi tersebut juga menyiratkan bergesernya tanggung jawab negara atas pendidikan.
Kapitalisasi itu pun terlihat dari upaya komersialisasi pendidikan lewat perubahan status kampus menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Sebab, PTN-BH memiliki otonomi khusus untuk mengelola sumber pendanaannya sendiri. Anggaran negara yang masuk akan dikurangi dan perguruan tinggi dituntut mencari dana sendiri dari pihak manapun.
“Sehingga, kampus yang mestinya bergerak pada trah keilmuan justru berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,” ujar Dhia.
Problemnya, kampus yang belum bisa mengembangkan pendapatan dari bisnis lain akan cenderung menaikkan biaya UKT. Skema lain adalah menyamaratakan besaran UKT para mahasiswa. Misal, sebuah universitas membagi UKT dalam delapan golongan mulai Rp500 ribu sampai Rp19 juta. Maka, kabanyakan mahasiswa akan mendapat rata-rata UKT pada golongan 4-8 atau lebih dari Rp4 juta.
Selain itu, ada beberapa kampus yang tidak menaikkan UKT, namun menambah jumlah program studi dan kuota mahasiswa. Langkah itu diyakini bisa memperbesar pemasukan. Padahal, fasilitas penunjang perkuliahan belum memadai.
“Cara-cara tersebut dirasionalisasi dengan sistem PTN-BH yang memiliki kewenangan sebebas-bebasnya dalam mengatur keuangan,” kata Dhia.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu berpendapat, pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk mengembalikan orientasi pendidikan pada ranah keilmuan. Kebijakan seperti PTN-BH mesti dikaji ulang, bahkan dihapuskan. Sebab, sudah sering memantik persoalan di berbagai sektor pendidikan.
“Karena negara bertanggung jawab penuh atas pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak pendidikan setiap warga negara,” ujarnya.
Pada sisi lain, beberapa perguruan tinggi negeri di Lampung sedang menuju status PTN-BH, di antaranya Polinela dan Unila. Skema yang dijelaskan Dhia terlihat pada dua kampus tersebut. Selama lima tahun terakhir, Polinela menambah puluhan program studi baru. Sedangkan di Unila, rata-rata UKT yang diterima mahasiswa masuk golongan 4-6 atau sekitar Rp3 juta-Rp6 juta.
Rektor Unila Lusmeilia Afriani belum dapat memastikan apakah besaran UKT para mahasiswa sesuai dengan pendapatan orang tuanya. Biasanya, mahasiswa yang tak mampu akan mengajukan beasiswa atau keringanan UKT. Jika ditemukan ada yang membayar UKT tak sesuai dengan penghasilan orang tuanya, mahasiswa tersebut akan mendapat keringanan.
Ihwal peralihan status, Lusmeilia memastikan Unila sedang menuju PTN-BH. Langkah itu untuk kemandirian kampus. Namun demikian, ia tak menjawab secara tegas soal kekhawatiran meningkatnya besaran UKT. Seperti halnya Badan Usaha Milik Negara lainnya, ia bilang, setiap perguruan tinggi memiliki bisnis masing-masing.
“Jadi, untuk mendapatkan dana tambahan tak harus bersumber dari UKT, melainkan memanfaatkan sarana prasarana seperti penyewaan gedung, kolam renang, dan lain-lain,” ujarnya.(*)
Laporan Derri Nugraha