Ratusan satwa liar dan dilindungi asal Papua hendak diselundupkan ke luar negeri lewat jalur Sumatra. Sejumlah orang yang sempat ditangkap, di antaranya oknum polisi, lepas.
Sebuah minibus berkelir putih berhenti di tepi Jalan Soekarno-Hatta, Palembang, Sumatra Selatan, Senin malam, 6 September 2021. Syahdan, polisi berpakaian preman berjalan mendekati Toyota HiAce B 7084 TDB itu.
Ketika pintu mobil digeser, dua anak muda tanggung terdiam. Salah satu mengenakan jaket merah, satu lagi pakai sweter kebiru-biruan. Keduanya tak berkata kala polisi mendapati banyak satwa dalam mobil tersebut.
Di samping pintu bagian depan, polisi berpakaian preman merangkul seorang pria. Ia menunduk dan tak banyak bicara. Lelaki berkaus hitam itu Bharatu AN. Ia tercatat sebagai anggota Brimob.
AN bersama dua pemuda tanggung tadi dan sang sopir mencoba menyelundupkan pelbagai satwa dilindungi asal Papua. Rencananya, satwa tersebut hendak disusupkan ke Thailand lewat jalur Sumatra Utara.
Sebelum tertangkap di Palembang, kendaraan yang mengangkut satwa liar dan dilindungi itu transit di Surabaya. Kemudian, singgah lagi di kediaman AN di Bogor.
Mereka berhasil melewati pos pemeriksaan di Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan. Keluar dari pelabuhan, mereka masuk Jalan Tol Trans Sumatra. Upaya menyelundupkan satwa liar dan dilindungi ke Negeri Gajah Putih itu terhenti di pintu keluar tol di Palembang.
Adapun satwa yang disita dari minibus tersebut sebanyak 141 ekor. Perinciannya, kakatua raja enam ekor; kakatua jambul oranye tujuh ekor; nuri kepala hitam 10 ekor (satu mati); burung mambruk dua ekor; nuri mazda 22 ekor; nuri hitam 17 ekor; dan nuri bayan 22 ekor. Selanjutnya, kadal panana 20 ekor; soa payung 20 ekor; sugar glider tujuh ekor; bajing enam ekor; serta garangan sebanyak dua ekor.
Ratusan satwa dan empat penumpang Toyota HiAce itu pun dibawa ke Polda setempat. Mereka sempat dimintai keterangan. Namun, setelah itu, tak ada kelanjutan.
Demikian pula Kasubdit IV Tindak Pidana Tertentu AKBP Rahmat Sihotang. Perwira menengah itu memilih menghindar. “Nanti saja ya, saya lagi di lapangan,” kata Rahmat sembari mematikan telepon, Kamis, 30 September 2021.
Di sejumlah media, Rahmat mengatakan bahwa penumpang Toyota HiAce itu melarikan diri. “Tidak ada orang dalam mobil tersebut, kemudian mobil itu bergerak-gerak. Setelah dicek bagian belakang ternyata banyak satwa di dalam sangkar,” ujarnya, seperti dilansir Antara.
Keterangan Rahmat berbeda dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Selatan. Pihak BKSDA menyaksikan bahwa polisi menangkap sejumlah orang.
“Waktu itu kan ada beberapa mobil. Posisi saya di belakang, jadi saya lihat dua orang (ditangkap),” kata Muhammad Andriansyah, Kasat Polhut BKSDA Sumatra Selatan.
Hal senada disampaikan Kepala BKSDA Sumatra Selatan Ujang Wisnu. “Bersama dengan kendaraan dan satwa sitaan itu ada tiga orang (yang ditangkap),” ujarnya.
Modus penyelundupan satwa endemik Papua dan Maluku itu tergolong rapi. Ujang menduga bahwa pengangkutan satwa dilindungi negara itu menggunakan kapal. Setelah itu, diselundupkan via jalur darat. “Mesti diusut aktor intelektualnya,” kata Ujang.
Di pasaran, harga satwa yang dilindungi tersebut terbilang tinggi. Kakatua raja, misalnya, harga bisa mencapai Rp45 juta per ekor. Sedangkan burung nuri sekitar Rp20-an juta per ekor.
Jumlah Satwa Susut
Ratusan satwa yang disita dari Toyota HiAce sempat menginap di Polda Sumatra Selatan. Pihak kepolisian baru melimpahkan satwa tersebut ke BKSDA pada 7 September. Jumlahnya sebanyak 114 ekor.
Dari jumlah tersebut, satu di antaranya mati, yaitu nuri hitam. Artinya, BKSDA setempat menerima sebanyak 113 satwa yang hidup. Soal detailnya, Ujang dan Andriansyah tidak ingat. Namun, ada sembilan jenis satwa, yaitu kakatua raja, kakatua jambul, nuri kepala hitam, ayam Papua, nuri ara besar, kasturi Ternate, kasturi/nuri hitam, kadal panana, dan soa payung. Dari sembilan jenis satwa tersebut, hanya kadal panana yang tidak dilindungi.
“Tidak ada sugar glider, bajing, dan garangan,” kata Andriansyah.
Setelah menerima satwa tersebut, BKSDA menitipkannya ke Bird Park Jakabaring. Dalam perkembangannya, sebanyak 31 satwa mati. Dengan kata lain, jumlah satwa liar dan dilindungi mengalami penyusutan. Berdasar pemeriksaan dokter hewan, kebanyakan satwa mati karena stres.
“Kami baru pantau lagi. Beberapa satwa masih stres,” ujar Ujang.
Hingga kini, satwa masih menjalani rehabilitasi di Taman Burung Jakabaring. Nantinya, BKSDA Sumatra Selatan akan mentranslokasi satwa-satwa yang masih hidup pada 5 Oktober mendatang.
“Kami telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak, di antaranya BKSDA Papua dan Garuda Indonesia. Translokasi agak ribet karena perlu menjalani beberapa tes, seperti PCR dan serologi. Sebab, wilayah Papua itu bebas flu burung,” kata Ujang.
Lingkaran Setan
Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menangani sekitar 187 kasus perdagangan dan perburuan satwa liar. Dari jumlah tersebut, pemerintah menyita barang bukti berupa 12.966 satwa dan 10.233 bagian satwa. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan nilai transaksi terkait perdagangan satwa dilindungi lebih dari Rp13 triliun per tahun.
Prof Ronny Rachman, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University, menyebut bahwa Indonesia berada di pusaran perdagangan satwa liar dunia. Hasil riset, Indonesia merupakan salah satu eksportir produk satwa liar terbesar dunia, bersama Jamaika dan Honduras.
Ia bilang, semakin besar jurang kemiskinan antara negara kaya dan miskin menjadi pemicu perdagangan satwa liar. Sebagian besar aliran perdagangan satwa liar berasal dari negara miskin.
“Perdagangan satwa liar, baik secara legal maupun illegal, merupakan lingkaran setan yang tidak pernah berujung. Sebab, ada pihak yang membutuhkan dan ada pihak lain yang dengan berbagai alasan, utamanya alasan ekonomi, memperdagangkan satwa liar,” ucap Ronny.
Sebagai negara yang dikenal mega biodiversitas, Indonesia perlu berupaya keras mengurangi perdagangan satwa liar, terutama yang dilindungi dengan status langka. Jika tak serius, maka dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, status mega biodiversitas itu hilang. Hal ini akan merusak reputasi Indonesia di dunia internasional.
“Indonesia memang masih memiliki hutan, namun satwa liar penghuni hutan secara pasti akan menghilang jika penegakan hukum tidak serius. Juga pemenuhan kebutuhan masyarakat di sekitar hutan agar menjadi bagian dalam pelestarian satwa liar,” ujarnya.
Dalam ekosistem hutan, keberadaan satwa liar sangat vital. Ia saling berinteraksi dengan tumbuhan sebagai faktor biotik dan tanah hutan sebagai faktor abiotik. Interaksi itu membentuk ekosistem hutan.
Secara ekologis, 97% satwa liar membantu tumbuhan di ekosistem hutan untuk berkembang biak. Secara biologis, keberadaan satwa dapat memperbaiki aerasi tanah.(*)